Tinta Media: Halal
Tampilkan postingan dengan label Halal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Halal. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 November 2024

Sertifikasi Halal di Sistem Kapitalis?


Tinta Media - Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan adanya temuan Majelis Ulama Indonesia mengenai beredarnya produk pangan dengan nama-nama yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sementara produk-produk tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Mengenai hal ini, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Salamet Burhanuddin menjelaskan bahwa yang menjadi permasalahan adalah terletak pada pemberian nama produk, bukan pada kehalalan fisik produknya. Jadi, menurutnya produk  bersertifikasi halal sudah melalui proses mekanisme yang berlaku.

Selain itu, penamaan produk pangan halal sudah diatur dalam ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Peraturan ini tertuang dalam fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, juga melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal.

Namun demikian, tetap saja masih ada produk-produk pangan dengan nama-nama yang tidak patut, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapatkan sertifikasi halal, baik dari Komisi Fatwa MUI ataupun dari Komite Fatwa Produk Halal.

Menurutnya, hal itu dikarenakan adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk pangan halal sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya pada Kumparan, Kamis 3/10/2024. Di sana, dikatakan bahwa perbedaan itu sebatas tentang diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama untuk produk pangan, bukan pada kehalalan zat maupun proses produksinya.

Sertifikasi halal terhadap produk dengan nama-nama benda yang diharamkan dalam syariat Islam memang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan bukan masalah karena zatnya halal, ditambah lagi dengan adanya self declare atau pernyataan sepihak terkait kehalalan produk yang dikeluarkan oleh pembuat produk itu sendiri. Tentu saja kehalalannya menjadi sangat diragukan. 

Beginilah wajah sertifikasi halal dalam sistem sekuler kapitalisme. Penamaan produk tidak dilandaskan pada hukum halal dan haram dalam syariat Islam, meskipun nama-nama yang digunakan merupakan nama-nama dari produk tidak halal yang masih beredar di masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi masalah bagi umat Islam. Dalam Islam, status halal dan haram suatu benda ataupun perbuatan merupakan persoalan prinsip.

Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang berdiri di atas sistem sekuler, yaitu negara tidak memberikan perlindungan terhadap akidah rakyat, terutama umat Islam.

Masalah yang dihadapi bukan hanya pada pemberian nama produk halal dengan nama benda yang diharamkan saja, tetapi lebih dari itu. Benda-benda yang diharamkan itu sendiri bebas beredar di masyarakat. Negara hanya memberikan fasilitas sertifikasi halal berbayar untuk produk yang dianggap tidak terkategori haram melalui proses mekanisme yang berlaku. Ini untuk membantu masyarakat membedakan mana produk halal dan mana produk haram.

Tanggung jawab sertifikasi halal dilimpahkan pada produsen yang sanggup membayar biaya sertifikasi. Namun, untuk para produsen yang belum mampu membayar biaya sertifikasi, meskipun produknya halal, sampai kapan pun tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Dari segi konsumsi, negara benar-benar membebaskan konsumen muslim untuk mengonsumsi produk halal ataupun haram. Di sini nyata benar bahwa negara bersistem kapitalis sekuler tidak memberikan perlindungan atas akidah umat Islam.

Lebih dari itu, negara malah memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ajang bisnis, karena timbulnya permintaan yang besar dari umat Islam atas sertifikasi halal dari suatu produk. 

Kita masih ingat, kewenangan penerbitan sertifikat halal dari MUI diambil alih oleh pemerintah. Tdak bisa dimungkiri bahwa urusan sertifikat halal ini menghasilkan uang yang tidak sedikit, mengingat prosesnya harus dilakukan secara berkala, tidak hanya di awalnya saja.

Dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah menyelenggarakan sertifikasi halal ini tidak berlandaskan pada ketakwaan melainkan atas dasar bisnis dan keuntungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang  sekuler menghasilkan aturan dan kebijakan yang sekuler pula. Ini jelas sangat merugikan umat Islam.

Berbeda dengan negara yang berlandaskan akidah Islam. Negara Islam menyandarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karenanya, peran negara hadir sebagai penyelenggara syariah Islam. Dengan demikian, peran negara sangat penting untuk melindungi rakyat dari segala hal yang diharamkan. Ini karena dalam Islam telah ditentukan dengan rinci tentang apa saja yang diharamkan atau dihalalkan. Penentuan halal dan haram ini didasarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, hawa nafsu, kemanfaatan, ataupun ekonomi materialistik.

Dalam Islam, negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia itu halal. Jadi, layanan kehalalan produk itu merupakan tanggung jawab negara, bukan produsen. Layanan ini diberikan oleh negara dengan biaya murah atau bahkan gratis.

Kehalalan dan ketoyyiban makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat dijamin oleh negara melalui penugasan para qodhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar dan tempat-tempat produksi maupun distribusi produk pangan maupun barang konsumsi lainnya, tempat pemotongan hewan, ataupun gudang-gudang makanan.

Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan tidak ada kecurangan dan manipulasi produk.

Bila terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik pelakunya muslim atau nonmuslim, maka negara akan menjatuhkan sanksi ta'zir pada mereka.

Bagi ahli zimmah (kafir zimmi), negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka. Namun, produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan di antara mereka saja, bukan di toko ataupun di pasar-pasar umum.

Penerapan syariat oleh negara yang menjalankan sistem hidup Islam benar-benar memberikan kepastian perlindungan dan keamanan, serta rasa tenang dan tentram dalam jiwa seluruh rakyat negara bersistem Islam. Ini karena seluruh umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.
Wallahu 'alam bisshawab.




Oleh: Siti Rini Susanti
Sahabat Tinta Media

Kamis, 24 Oktober 2024

Gaduh Sertifikasi Halal



Tinta Media - Keadaaan hari ini semakin tidak baik-baik saja. Setiap hari kita disuguhi beragam informasi yang tidak mengenakkan. Salah satunya, hal yang jelas-jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, justru dilegalkan, seperti miras atau minuman keras. Beragam nama minuman keras kini muncul lagi di permukaan.

Nama-nama minuman keras dalam video yang beredar belakangan ini seperti tuyul, tuak, “wine”, dan “beer” mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementrian Agama (Kemenag). Padahal, aturan yang ada menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak boleh mendaftarkan sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam. Akan tetapi, kenyataannya justru masih ada produk yang menggunakan nama-nama yang bertentangan dengan syariat dan mendapatkan sertifikasi halal. (Kumparannews.com, 03/10/2024).

Hal ini ternyata ditemukan juga oleh pihak investigasi bidang fatwa MUI. Mereka merasa kecolongan mengapa BPJPH mengeluarkan label halal pada produk-produk minuman keras tersebut. Disebutkan bahwa BPJPH melakukan proses sertifikasi tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dari bidang fatwa MUI. (wartabanjar.com 01/10/2024).

Jebolnya sistem urutan pemeriksaan produk-produk yang beredar di masyarakat ini membuktikan bahwa pengawasan dari pihak instansi terkait tidak ketat. Hal ini dipicu oleh kepentingan sebagian oknum yang ingin usahanya lancar dan mendapatkan keuntungan lebih dari hasil usahanya. Mereka tidak mempertimbangkan kerugian yang bisa berdampak luas di tengah-tengah masayarakat umumnya dan penikmat, terutama generasi muda khususnya. 

Gaduhnya masalah ini sangat berkaitan erat dengan sistem kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme sudah sangat mengakar sekarang dan penguasa sangat berperan di dalamnya. Mereka sengaja mengadu domba umat. 

Umat dibuat bingung dengan langkah penguasa ini, sedangkan penguasa hanya mementingkan pendapatan yang gampang diraih daripada efek negatif yang akan timbul.  

Labelisasi halal di sistem kapitalisme ini tidak menyertakan persyaratan penamaan produk, tetapi hanya dilihat bahan atau zat yang terkandung di dalamnya, apakah memenuhi bahan-bahan yang halal atau tidak. Hal ini justru memicu kerancuan yang membahayakan bagi masyarakat. Apalagi, karena kapitalisasi, labelisasi halal bisa saja diperjualbelikan.

Lain halnya jika aturan Islam diterapkan. Islam datang membawa aturan yang super lengkap. Walaupun sekadar penamaan produk, Islam juga mengaturnya. Ini karena penamaan sesuatu adalah hal yang baik. 

Sesuatu yang baik akan menghasilkan hal yang baik pula.  Bahan-bahan yang ada di dalam suatu produk pun juga diatur dalam Islam. Jadi, produk menjadi halalan thayyiban. Umat tidak bingung dan rancu dalam pemilihan produk. Islam jelas mengatur mana yang haram dan mana yang halal. 

Mengenai sertifikasi kehalalan sebuah produk, ini merupakan kewajiban dari sebuah institusi negara. Negara melakukan tugasnya melalu lembaga yang berwenang atau qadli yang ditunjuk untuk mengawasi peredaran produk-produk di pasar atau pusat perbelanjaan. 

Bahkan, qadli juga melakukan pengawasan sampai ke tempat produksi, yaitu ke pabrik pembuatannya untuk melakukan pengecekan sampai ke bahan-bahan pembuatnya. Qadli juga mengawasi distribusi produk agar sampai ke umat atau masyarakat luas tanpa adanya kecurangan dan penipuan. 

Itulah peran sebuah negara. Negara menjadikan aturan Islam sebagai landasan dalam mengatur rakyat. Sudah pasti umat akan tenteram, aman, dan tidak was-was dengan produk-produk yang akan dikonsumsi karena sudah pasti halal dan thayib. Wallahua’lam.




Oleh: Endang Marviani 
(Aktivis Muslimah)

Kamis, 17 Oktober 2024

Sertifikasi Halal dalam Tatanan Kapitalisme

Tinta Media - Masyarakat tengah digegerkan dengan adanya labelisasi kehalalan  minuman keras beralkohol, dan beragam jenis makanan yang di luar batas norma kewajaran. Tentu saja, fenomena ini membuat publik terkejut dan mencari kebenarannya.

Terkait hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia mengungkapkan nama-nama kontroversial yang mendapatkan label halal seperti tuak, wine, beer, dan tuyul mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (beritasatu.com, 1-10-2024). Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam membenarkan hal tersebut dan menyampaikan bahwa sertifikasi halal tersebut diperoleh dari BPJPH melalui jalur self declare.

Kebijakan Kapitalistik

Menanggapi ramainya tanggapan publik, Kemenag pun mengungkapkan bahwa produk-produk yang dimaksud, komposisi bahannya terjamin halal. Masyarakat tidak perlu khawatir terkait jaminan tersebut, karena hal ini hanya terkait penamaan (kumparan.com, 3-10-2024). Namun sayang, keputusan dan sertifikasi halal yang diputuskan Kemenag tidak sesuai dengan aturan sertifikasi kehalalan produk karena telah bertentangan dengan hukum syariat Islam dan nama-nama produknya bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku di masyarakat. Secara tidak langsung, fakta ini tentu meresahkan masyarakat.

 

Berbeda dengan yang dirasakan publik, justru fenomena ini mendapatkan sambutan positif bagi para pengusaha hotel, restoran dan pariwisata di Indonesia yang tergabung dalam PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) dan GIPI (Gabungan Industri dan Pariwisata Indonesia). Kedua lembaga ini mendukung labelisasi halal yang diterapkan Kemenag. Karena kebijakan ini secara langsung mampu mendongkrak penjualan minuman keras dengan mengandalkan pengawasan langsung dari pemerintah. Dengan strategi ini, menurut mereka, mampu mendukung dan menguatkan sektor pariwisata di dalam negeri.

Ramai perbincangan terkait sertifikasi halal pada produk-produk yang nama produknya mengarah pada ketidakhalalan produk. Parahnya lagi, negara justru mencoba menenangkan keresahan publik dengan meyakinkan bahwa kandungan tersebut dari bahan-bahan halal. Tentu saja, fenomena tersebut merupakan bentuk pembodohan publik. Kebijakan tersebut dianggap aman karena dikatakan zat komposisi produknya dinyatakan halal.  Konsep yang tidak jelas semakin dikuatkan dalam beragam kebijakan yang membahayakan.  Bisa jadi, kebijakan ini akhirnya akan memblurkan antara produk halal dan haram.

Miris. Di negeri yang penduduknya mayoritas muslim justru sertifikasi halal tidak memiliki kejelasan pasti. Nama produk yang jelas-jelas mengalahi kaidah, sama sekali tidak menjadi masalah asalkan zatnya halal. Kebijakan demikian pasti akan menimbulkan kesalahpahaman dan kerancuan yang membahayakan. Masalahnya halal haram suatu bahan makanan merupakan satu hal yang harus dipastikan secara jelas.

Inilah gaya sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Proses sertifikasi disalahgunakan demi mengantongi keuntungan. Sertifikasi dijadikan ladang bisnis yang menggiurkan. Syarat dan ketentuan halalnya suatu produk dilalaikan begitu saja karena iming-iming keuntungan yang tidak terhindarkan. Konsep ini menjadi suatu kewajaran saat suatu negara mengadopsi sekularisme dalam setiap kebijakannya. Konsep sekularisme memiliki paradigma yang memisahkan antara aturan agama dengan kehidupan. Aturan agama tidak dijadikan standar dalam menentukan aturan kehidupan. Justru sebaliknya, agama dijauhkan karena dianggap menjadi hambatan. Alhasil, kepentingan rakyat terus diabaikan. Dalam hal ini, kebijakan yang tidak jelas terkait sertifikasi halal melahirkan ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam benak rakyat. Cepat atau lambat, jika sistem rusak ini terus dibiarkan, tentu akan merusak akidah rakyat dan menginjak-injak norma di tengah umat.

Negara dalam kungkungan sistem sekularisme kapitalistik pun membiarkan segala bentuk bahan makanan tidak halal beredar bebas di pasaran. Negara hanya mencukupkan pada sertifikasi halal berbayar pada setiap produsen, tanpa mampu mengawasi dan menindak tegas peredaran bahan pangan haram dan tidak layak konsumsi di tengah masyarakat. Halal haram pun menjadi hal yang sulit dijamin oleh negara.

Islam, Menjamin Kehalalan dan Keamanan Pangan

Sertifikasi halal merupakan salah satu layanan yang diberikan oleh negara. Sistem Islam menetapkan bahwa negara adalah satu-satunya institusi yang mampu menyelenggarakan keamanan yang utuh bagi seluruh rakyat, mulai keamanan akidah, keamanan pemenuhan kebutuhan hidup, termasuk keamanan dan kehalalan sumber pangan hingga keamanan jiwa. Negara wajib memiliki kekuatan dan kemampuan menjaga kehalalan dan kethoyyiban.

Rasulullah SAW. bersabda,

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).

Negara sebagai pengurus urusan umat harus mampu menyediakan layanan sertifikasi kehalalan dengan murah bahkan gratis. Paradigma ini hanya mampu diterapkan dalam sistem Islam yang berwadahkan khilafah. Dalam khilafah, negara akan menugaskan qadhi hisbah, untuk melakukan rutinitas pengawasan produk yang beredar di pasaran, tempat pemotongan hewan, gudang pangan hingga pabrik. Produksi dan distribusi produk diawasi sepenuhnya oleh qadhi hisbah. Barang haram yang beredar di pasaran akan dikenakan sanksi tegas bagi pelaku, baik bagi produsen maupun pengedarnya. Sementara bagi rakyat non muslim, diberi hukum kebolehan mengonsumsi bahan pangan menurut akidah mereka. Namun peredarannya tidak boleh melibatkan kaum muslim. Sehingga akidah umat muslim tetap terjaga sempurna.

Betapa apiknya tatanan pengaturan kehalalan pangan dalam dekapan syariat Islam. Keamanan pangan terjaga, rakyat pun tenang dengan penjagaan akidah yang sempurna.

Wallahu'alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Minggu, 18 Agustus 2024

Sudahkah Makananmu Halal dan Tayib?


Tinta Media - Kalau dulu penyakit diabetes, obesitas, gagal ginjal menyerang orang dewasa, kini stigma itu berubah. Penyakit tersebut kini bisa menyerang anak muda, bahkan anak-anak, sekalipun dari keluarganya tidak ada riwayat penyakit tersebut.

Maraknya makanan cepat saji di pinggir jalan, menjamurnya minuman kemasan dengan kadar gula tinggi, belum lagi cemilan yang banyak mengandung MSG serta zat kimia berbahaya lainnya merupakan beberapa faktor yang menyebabkan penyakit orang tua bermunculan.

Mengapa bisa terjadi? Pertama, karena faktor ekonomi. Kebanyakan orang-orang yang berjualan hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan besar. Maka, untuk menyiasati harga produksi yang melambung tinggi, dipilihlah zat-zat berbahaya sebagai pengganti gula dan pewarna makanan.

Kedua, maraknya fenomena mukbang makanan yang viral. Ini membuat sebagian orang ingin mencoba makanan tersebut, tanpa mengetahui nilai gizi yang tersaji. 

Ketiga, faktor kemiskinan. Mahalnya kebutuhan pokok membuat sebagian orang tidak terlalu memperhatikan nilai gizi makanan yang dikonsumsi, yang penting kenyang dan bisa melanjutkan aktivitas.

Maraknya berbagai penyakit kronis tadi merupakan fenomena yang membuat miris dan sedih. Anak zaman sekarang digempur habis-habisan dengan berbagai makanan yang tidak tayib. Hanya menuruti keinginan lidah membuat sebagian orang melupakan ketayiban dari sebuah makanan.

Padahal, Allah Swt. telah memperingatkan dalam QS. Al Baqarah 168.

"Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata."

Mengapa Allah sampai memberi peringatan makanan yang baik? Karena dari makanan yang baik itu kita mampu melaksanakan ibadah dengan nyaman. Tubuh yang sehat mampu melakukan berbagai kebaikan. Namun sebaliknya, saat ini makanan enak berlimpah, tetapi ibadah terserah. 

Tubuh ini memiliki hak untuk mendapatkan makanan yang halal dan tayib. Sebagai muslim, kita tahu akan ada hari pembalasan. Jangan sampai tubuh ini mengadu kepada Allah karena diberi makanan yang tidak tayib, bahkan haram, nauzubillah.

Maraknya makanan kemasan ini tidak lepas dari paradigma saat ini, yakni sekularisme. Artinya, memisahkan agama dari kehidupan. Mereka beranggapan bahwa makanan hanya sekadar makanan. Padahal, dari makanan ini kita bisa menegakkan tulang untuk beribadah. Namun, sistem kapitalisme lebih mengedepankan keuntungan tanpa melihat aspek kesehatan.

Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim, kita wajib untuk mencari makanan yang halal dan tayib. Jangan sampai kita menzalimi tubuh kita yang berakibat pada lalainya ibadah kepada Allah.


Oleh: Alfia Purwanti 
Aktivis Muslimah 

Rabu, 21 Februari 2024

Kian Genting, Sertifikasi Halal Masif Dikomersialkan




Tinta Media - Dalam upaya meningkatkan keamanan dan kehalalan produk di sektor pangan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 yang mewajibkan Pedagang Kaki Lima (PKL), khususnya yang berjualan makanan, minuman, dan jasa penyembelihan memiliki sertifikasi halal sebelum 17 Oktober 2024. Sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, baik perusahaan, UMKM, pedagang kaki lima di pinggir jalan, bahkan pedagang keliling sekalipun. (Liputan6.com, Jakarta, 02/02 2024)

Adapun urgensi mengurus sertifikasi halal menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap produk kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. 

Adanya penyediaan kuota Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) pun dilakukan sebagai realisasi aturan yang telah disahkan terkait sertifikasi halal yang harus dimiliki semua pelaku usaha. Pendaftaran sertifikasi halal pun ini sudah bisa diakses secara online melalui aplikasi SIHALAL.

Namun, menjadi permasalahan bagi masyarakat ketika pemerintah membatasi sertifikasi halal gratis bagi pelaku usaha sampai bulan Oktober 2024.  Pasalnya, jika tidak bersertifikasi halal, akan ada sanksi bagi pelaku usaha berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. 

Sanksi akan diberikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Sehingga, beberapa masyarakat mengeluhkan adanya aturan ini karena ribet, membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit mengingat sertifikasi halal ini nantinya akan berkelanjutan. Belum lagi dalam praktiknya, pengurusan birokrasi seperti sertifikasi di Indonesia masih marak ditemui pungutan liar atau pungli.

Sebenarnya, apa sertifikasi halal itu?

Sertifikat halal adalah sebuah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tujuannya adalah menegaskan bahwa suatu produk telah memenuhi standar syari'at Islam, baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya. Selanjutnya, proses tersebut diakui sebagai produk yang aman untuk dikonsumsi dan terbebas dari bahan-bahan yang dianggap haram dalam ajaran Islam. 

Proses penerbitan sertifikat halal melibatkan penilaian ketat terhadap seluruh aspek produksi, mulai dari pemilihan bahan hingga produksi jadi. 

Pengurusan kehalalan suatu produk untuk dapat dikonsumsi memang merupakan kewajiban bagi setiap individu. Namun, ini juga merupakan tugas negara untuk memastikan kehalalan produk yang beredar di tengah masyarakat. Namun sayangnya, saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, bahwasanya segala aktivitas dipandang dari segi keuntungan bisnis.

Alhasil, yang terlihat hari ini adalah layanan negara terkait kehalalan produk dalam bentuk bisnis yang berorientasi keuntungan. Sehingga, dalam pengurusan sertifikasi ini berbiaya. Belum lagi terdapat masa berlaku sertifikasi halal.

Sesuai dengan ketetapan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-49/DHN-MUI/V/2021, masa berlaku sertifikat halal hanya empat tahun. Ini berarti, para pemilik sertifikat nantinya didorong untuk secara berkala melakukan perpanjangan, memastikan bahwa produk atau jasa yang mereka tawarkan terus mematuhi standar kehalalan dan tetap dapat dipercaya oleh konsumen. 

Negara memang menyediakan 1 juta layanan sertifikasi halal yang bisa didapatkan secara gratis sejak Januari 2023. Namun, jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan keberadaan pedagang kaki lima yang berkisar 22 juta dari 22 provinsi di seluruh Indonesia.

Sementara itu, ternyata biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal beragam. Usaha mikro dan kecil sekitar Rp300.000, usaha menengah Rp5.000.000, usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri Rp12.500.000. 

Karena sertifikasi ini berkala, maka dibutuhkan adanya perpanjangan yang memakan biaya lagi. Usaha mikro dan kecil sebesar Rp200.000, usaha menengah Rp2.400.000, usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri Rp5.000.000. 

Bukankah seharusnya jaminan sertifikasi halal menjadi salah satu bentuk layanan negara kepada rakyat?

Negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi regulator sehingga semua bisa dikomersialisasi melalui kebijakan undang-undang yang dibuat oleh negara. Hal ini karena peran negara hanya menjadi penyedia fasilitas bagi rakyat. Hal ini tentu berbeda jika urusan ini dinilai dari sudut pandang Islam. Dalam pandangan Islam, setiap muslim harus mematuhi syariat dalam agama Islam. 

Sebagaimana yang Allah inginkan dalam firman berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 208).

Adanya kehalalan produk berkaitan erat dengan kondisi seseorang, baik di dunia maupun akhirat, baik secara jasmani maupun psikologis. Di dalam Islam, makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi adalah yang halal dan toyib karena akan memengaruhi banyak hal, termasuk cepat lambatnya terkabulnya doa.

Kesadaran individu terkait kehalalan produk memang penting. Akan tetapi, seharusnya negara memberikan layanan ini secara gratis karena peran negara sebenarnya adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Diriwayatkan dari Al-Bukhari, Rasulullah saw. bersabda,

‘’Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurius rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” 

Imam atau khilafah adalah Perisai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Hal ini termasuk dalam perlindungan akidah/agama rakyatnya. Karena alasan inilah, maka negara harusnya hadir dalam berbagai kepentingan rakyat, termasuk memberikan jaminan halal terkait produk-produk yang akan dikonsumsi oleh masyarakat, mengedukasi para pedagang dan individu rakyat agar mengonsumi makanan yang halal dan toyib, serta menjamin pembiayaan sertifikasi halal gratis tanpa pungutan, termasuk dalam perpanjangannya, serta layanan yang cepat, mudah dan tepat.

Wallahualambisawaf



Oleh: Wilda Nusva Lilasari S. M
Sahabat Tinta Media

Rabu, 14 Februari 2024

Perlindungan Sertifikasi Halal Tugas Negara, Bukan Objek Dagang



Tinta Media - Pada era globalisasi saat ini, sertifikasi halal bukan hanya menjadi kebutuhan bagi umat Islam, tetapi juga telah menjadi standar dalam perdagangan internasional. Di Indonesia, kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan hingga kepada pedagang kaki lima (PKL). Kementerian Agama mulai mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan memiliki sertifikat halal.

Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan wajib untuk mengurus sertifikasi tersebut paling lambat 17 Oktober 2024. Aqil menegaskan bahwa semua pedagang, termasuk mereka yang beroperasi dalam skala usaha mikro dan kecil, harus memproses sertifikasi halal untuk produk mereka. Mereka yang terbukti tidak memiliki sertifikat halal akan menghadapi hukuman.

Menurut Aqil, hukuman yang dikenakan bisa beragam, mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, sampai penghentian distribusi produk di pasaran. Penerapan sanksi ini mengikuti aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 mengenai Pengaturan Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang diwajibkan memiliki sertifikat halal pada akhir tahapan pertama pada bulan Oktober.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan mentah, bahan tambahan pangan, dan bahan bantu untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. 

Kami mendorong para pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal melalui BPJPH, paling lambat 17 Oktober 2024.

Aqil juga menjelaskan dalam pernyataannya bahwa peraturan sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima. Artinya, produk makanan, baik yang diproduksi oleh usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro seperti pedagang kaki lima, semuanya sama-sama terikat kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan regulasi.(tirto.id, 3/2/2024)

Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalis

Terdapat dua jenis tarif dalam proses sertifikasi halal, yakni tarif pelayanan utama yang mencakup sejumlah aspek seperti sertifikasi halal untuk, barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, pelatihan auditor dan supervisor halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan supervisor halal dan tarif pelayanan penunjang yang melibatkan biaya terkait dengan penggunaan lahan, ruangan, gedung, bangunan, peralatan, mesin, bahkan kendaraan bermotor. 

Tarif yang berlaku berkisar antara Rp300.000 hingga Rp12.500.000, sedangkan tarif perpanjangan berkisar antara Rp200.000 hingga Rp5.000.000.  Besarnya tarif tergantung pada jenis usaha yang bersangkutan.(liputan6.com, 2/2/2024).

Untuk mendukung usaha mikro dan kecil (UMKM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah memulai program pendaftaran sertifikasi halal secara GRATIS sejak 2 Januari 2024. Para pemilik usaha dapat mendaftar melalui tautan khusus yang disediakan oleh Kemenkop UKM dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan.

Langkah ini, walaupun berniat baik dalam menjamin konsumsi yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi menimbulkan beberapa dilema. Proses pengurusan sertifikat halal yang berbiaya menjadi beban baru bagi pelaku usaha kecil seperti PKL. 

Meskipun pemerintah telah menyediakan layanan sertifikasi halal gratis sejak Januari 2023 untuk 1 juta layanan, jumlah tersebut terasa sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah PKL yang mencapai sekitar 22 juta di seluruh Indonesia. Selain itu, sertifikat ini memiliki masa berlaku, memaksa pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi ulang secara berkala.

Belum lagi komersialisasi dalam jaminan halal tercermin dari tarif layanan sertifikasi yang telah ditetapkan oleh BPJPH. Sebagai contoh, biaya permohonan sertifikat halal untuk produk barang dan jasa usaha mikro kecil (UMK) sebesar Rp300 ribu, dengan tambahan biaya pemeriksaan produk halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) hingga maksimal Rp350 ribu. Dengan demikian, total biaya yang diperlukan mencapai Rp650 ribu.

Sementara untuk usaha menengah yang memproduksi makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya mencapai Rp8 juta, terdiri dari biaya permohonan sertifikat sebesar Rp5 juta dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3 juta. Belum lagi jika sertifikat halal kedaluwarsa, pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi. Situasi ini menunjukkan bahwa negara sedang menjadikan jaminan halal sebagai objek komersialisasi untuk usaha rakyat.

Perspektif Islam

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: 168)

Di sinilah perlunya peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat untuk hadir. Sertifikasi halal seharusnya menjadi salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat, mengingat bahwa kehalalan merupakan kewajiban agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan komersialisasi, segala sesuatu sering kali dijadikan objek dagang, termasuk jaminan atas kehalalan produk.

Islam memberikan panduan bahwa negara harus bertindak sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya, termasuk dalam melindungi akidah atau agama. Oleh karena itu, negara harus hadir dalam memberikan jaminan halal secara gratis dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Produk yang halal tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik manusia di dunia, tetapi juga memiliki implikasi spiritual yang berdampak pada kehidupan akhirat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam atau Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”  (HR. Al-Bukhari)

Untuk mewujudkan perlindungan sertifikasi halal sebagai tugas negara, sistem pemerintahan Khilafah dapat menjadi contoh. Dalam sistem ini, negara akan mengedukasi para pedagang dan setiap individu rakyat agar sadar pentingnya halal dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran. Pendidikan tentang kehalalan produk tidak hanya akan meningkatkan pemahaman masyarakat, tetapi juga akan mendorong praktik bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

Lebih lanjut, Khilafah akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal untuk seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada lagi beban biaya yang harus ditanggung oleh para pedagang kaki lima atau pelaku usaha kecil lainnya. Layanan sertifikasi halal oleh pemerintah harus disertai dengan proses birokrasi yang cepat dan mudah agar dapat diakses oleh semua pelaku usaha tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi

Minggu, 11 Februari 2024

Jaminan Sertifikasi Halal: Perlukah Peran Negara Hadir?


Tinta Media - Mulai 18 Oktober 2024. Pemerintah akan mewajibkan seluruh produk makanan dan minuman, termasuk dari pedagang kaki lima dan usaha mikro, kecil, dan menengah pun diwajibkan untuk mendapatkan sertifikat halal sebagai syarat menjual kuliner halal. 

Beberapa pelaku usaha kecil, seperti Pak Ipin yang menjual es bubur sumsum di Jakarta, mengaku tidak masalah dengan aturan baru itu, asalkan biayanya tidak terlalu tinggi dan bisa digratiskan. Namun bagi sebagian lain, mengkhawatirkan pengurusan sertifikasi halal akan merepotkan pelaku usaha, apalagi pedagang keliling yang biasanya tidak pernah memakai sertifikat halal. 

Sementara itu, sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia, Edy Misero, mengatakan bahwa sertifikasi halal penting untuk menimbulkan rasa kepercayaan dan permintaan masyarakat akan produk halal semakin tinggi. Sayangnya, pemerintah membatasi sertifikasi halal untuk pelaku usaha sampai Oktober 2024. Beliau juga menyampaikan akan kekhawatirannya akan masalah biaya sertifikasi dan pungutan liar di Indonesia serta mengingatkan pemerintah untuk harus menjaga komitmen masalah sertifikasi ini dengan baik.
(tirto.id - 2/2/2024) 

Pada dasarnya sertifikasi halal ini penting dilakukan karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Dengan demikian  aturan sertifikasi sangat bagus diberlakukan untuk menjaga keterangan kehalalan suatu produk. Karena melalui sertifikasi ini dapat menimbulkan rasa kepercayaan serta menjaga kepercayaan konsumen terhadap produk makanan dan minuman yang dijual. 

Namun, harga dan pungutan liar juga memang harus dipertimbangkan, agar tidak membebani pedagang, khususnya pedagang kecil.  Mengingat PKL merupakan sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. maka wajar jika para pedagang kecil merasa khawatir bahwa sertifikasi halal akan menambah beban ekonomi mereka, terlebih bila harus mengganti ulang sertifikat secara berkala. 

Namun, dalam sistem kapitalisme seperti yang dianut saat ini, segala sesuatu dapat dikomersialisasikan. Membuka peluang lebar terjadinya pungli. Dan akibat peran negara yang  hanya sebatas regulator dan fasilitator bagi para kapital. Sehingga tidak mampu memberikan jaminan penuh kepada masyarakat maupun para pedagang kecil. 

Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah negara hadir untuk memberikan perlindungan kepada rakyat atau justru membiarkan kepentingan ekonomi yang mendasar mengatur segalanya, termasuk jaminan kehalalan produk? 

Di dalam Islam, negara harus hadir sebagai pengurus dan pelindung rakyat, termasuk juga dalam melindungi akidah dan agama. Kehalalan produk halal tidak hanya berkaitan dengan kesehatan jasmani, tetapi juga menyangkut kesehatan rohani. Oleh karena itu, negara harus hadir dan memberikan jaminan halal tanpa terbebani oleh kepentingan komersial. 

Di samping itu, pertanyaan lain yang perlu kita fokuskan adalah jumlah layanan sertifikasi halal gratis yang diberikan negara, yaitu 1 juta layanan sejak Januari 2023. Padahal, jumlah PKL yang menjual kuliner halal dapat mencapai 22 juta di seluruh Indonesia. Jumlah layanan sertifikasi gratis yang diberikan negara tampaknya jumlahnya masih dalam kisaran kecil. Oleh karena itu, peran negara dalam memberikan jaminan halal perlu diperluas. 

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, idealnya negara harus memberikan layanan sertifikasi halal secara gratis bagi seluruh masyarakat. Pemerintah seharusnya tidak hanya hadir sebagai regulator dan fasilitator, tetapi harus memastikan bahwa kebutuhan mendasar masyarakat, seperti halnya jaminan kehalalan produk, dapat terpenuhi dengan baik. Selain itu, pengedukasian bagi para pedagang pun harus kian ditingkatkan agar mereka semakin sadar akan pentingnya menerapkan konsep kesadaran halal dalam setiap langkah usaha mereka. 

Sebagaimana dalam negara Islam, yang  seluruhnya, baik itu fondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu bersandar pada akidah Islam, sehingga mewujudkan kesadaran para  pedagang dan masyarakat untuk menjaga kehalalan produk dan ajaran agama. Karena akidah adalah aspek penting dalam agama Islam dan melalui keyakinan-kepercayaan yang kuat tentang hubungan seseorang dengan Allah SWT.  Akan dapat membentuk karakter islami pada seseorang. 

Selain itu negara atau pemerintah yang terbentuk dalam sistem Islam akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal dan memberikan kemudahan birokrasi pada cara pengurusannya. Sehingga, selain memberikan jaminan kehalalan produk, negara juga akan menjadi pengawal kehidupan masyarakat dan kepercayaan mereka terhadap produk halal. Karena dalam Islam negara adalah raain (pengurus umat) sekaligus junnah (pelindung umat). 

Hal ini kian menegaskan pada kita, bahwa negara memang sudah seharusnya hadir, untuk memberikan jaminan sertifikasi halal sebagai salah satu bentuk perlindungan kepada masyarakat maupun konsumen. karena selain itu adalah tugas negara, juga merupakan kewajiban agama yang harus ditegakkan. Dalam memberikan perlindungan dan dukungan yang diperlukan oleh seluruh masyarakat Indonesia, khususnya pedagang kecil dan menengah. 

Wallahu 'alam


Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Kamis, 12 Januari 2023

Kapitalisasi Sertifikat Halal

Tinta Media - Sertifikat halal merupakan salah satu syarat wajib yang mutlak ada pada suatu produk. Namun, berbagai kendala ditemui saat produsen hendak melabeli halal produknya. Beberapa produk yang wajib ada label halal antara lain produk pangan (makanan dan minuman), bahan baku pangan (bahan tambahan pangan serta bahan penolong produksi pangan), produk sembelihan hewan dan jasa penyembelihan hewan. Masa penahapan pertama sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024 (detiknews.com, 8/1/2023). 

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH), Kementrian Agama, Muhammad Aqil Irham, menegaskan, nantinya akan ada sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan tersebut. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran (beritasatu.com, 8/1/2023). Sanksi ini sesuai dengan aturan yang telah ada yaitu PP No. 39 Tahun 2021. Aqil pun melanjutkan, berkenaan dengan kewajiban sertifikasi halal, maka diimbau bagi seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus segala proses sertifikasi halal produknya. 

Pemerintah menyediakan pelayanan sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, ada juga yang bertarif, sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 141 Tahun 2021, tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH No.1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH. 

Besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare (pernyataan pelaku usaha) yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00. Ini tergantung keadaan keuangan negara. Sementara, biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik Usaha Menengah dan Kecil (UMK) adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH (Lembaga Penjamin Halal) maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga, total biayanya adalah Rp650.000,00. Sedangkan untuk usaha menengah produk makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya Rp8.000.000,00, terdiri atas biaya permohonan sertifikat Rp5.000.000,00 dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3.000.000,00 (kemenag.go.id, Maret 2022). 

Sertifikasi halal semestinya merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya. Ini demi menjaga kehalalan suatu produk sesuai perintah syariat Islam. Namun, hal ini menjadi sulit mengingat sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme yang sekuleristik, yaitu sistem yang berlandaskan pada keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan. 

Hal ini diperparah dengan sifatnya yang sekuleristik, tak mempedulikan keberadaan aturan agama dalam penerapannya. Sehingga wajar saja, saat kebutuhan sertifikasi halal suatu produk pun dijadikan objek pemalakan terhadap masyarakat secara umum. Negara menganggap bahwa setiap proses sertifikasi berpotensi menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi negara dengan besaran yang telah ditentukan, sungguh memprihatinkan. 

Sistem Islam memberikan kemudahan dalam sertifikasi kehalalan produk. Hal ini karena tujuan utama sistem Islam saat mengurusi setiap urusan umat adalah untuk meraih rida Allah Swt. Karena itu, negara wajib menjaga kehalalan produk umat. 
Ada dorongan kuat dari dalam tubuh negara untuk menjaga setiap darah umatnya, yaitu iman dan takwa. 

Berbeda dengan sistem yang ada sekarang, pengadaan sertifikasi halal dilakukan karena adanya kepentingan materialistik, yaitu keuntungan ekonomi semata. Inilah keburukan sistem kapitalisme dalam mengurusi kebutuhan umat. Setiap prosesnya selalu berujung pada proses pemerasan terhadap masyarakat, tanpa pikir panjang, tentang segala akibat yang bakal terjadi. 

Sistem Islam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran. Hal ini karena dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) bagi seluruh umat, bukan malah menjadi pelaku bisnis atas segala kebutuhan masyarakat. Segala kehalalan produk yang dikonsumsi rakyat adalah tanggung jawab penuh bagi negara. Setiap jengkal pengurusan kebutuhan umat wajib diurusi berdasarkan akidah Islam. Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang senantiasa ditaati dengan sepasrah-pasrahnya ketaatan. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' : 59)

Negara wajib menjaga seluruh kebutuhan umat, termasuk kehalalan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Negara pun mutlak menjadi pengawas setiap makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tak hanya jadi pengawas, negara pun harus memfasilitasi dan mendanai segala kebutuhan produsen terkait proses sertifikasi halal produk. Dengan proses tersebut, berarti negara menjamin keamanan dan kehalalan produk yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat. 

Islam menjamin kehalalan produk sejak awal proses produksi, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pembuatan, distribusi, hingga berakhir pada tangan konsumen. Semua proses diawasi negara. Semua dikontrol oleh para ahli di bidangnya. Para ulama pun mengawasi segala proses demi keamanan dan kehalalannya. 

Keamanan dan kehalalan produk makanan akan mudah terselenggara dalam sistem Islam. Bahkan, negara senantiasa mengawasi bahan pangan secara periodik dan mengeliminir segala bahan haram dan berbahaya yang beredar di pasaran.

Lantas apa lagi yang diragukan dari sistem Islam yang begitu sempurna mengatur kehidupan?

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Kamis, 18 Agustus 2022

Kebolehan Poligami dengan Syarat Diizinkan Istri, Wiwing: Mengharamkan yang Halal

Tinta Media - Pasal 279 KUHP yang menyuratkan jika suami menikah lagi (poligami)  tanpa izin istri kena delik hukum,  ditanggapi oleh Aktivis Muslimah Wiwing Noeraini.
 
 “Ini artinya boleh  beristri lebih dari satu (poligami)  dengan syarat diizinkan istri. Bagaimana bisa poligami yang dihalalkan oleh Allah tanpa syarat, dibatasi oleh manusia dengan syarat? Bukankah ini berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT?” ungkapnya di Media Nasional Muslimah News,  Jumat  (5/8/2022).
 
Wiwing menilai ini sebuah tindakan yang sangat lancang. “Suami yang menikah lagi sekalipun tanpa izin isteri, sah dalam pandangan syariat, tidak melanggar hukum Allah, tidak melakukan sebuah keburukan,” jelas Wiwing.
 
Kalau suami memberitahu istrinya bahwa ia akan menikah lagi, tentu itu lebih baik, tambahnya,  tapi bukan berarti meminta izin, karena untuk menikah lagi, suami tak harus meminta izin kepada siapa pun. “Artinya suami tidak berdosa ketika menikah lagi tanpa memberitahu istrinya,” tegasnya.
 
“Tapi dalam hukum positif di negeri ini, perbuatan itu dianggap kriminal dan melanggar hukum sehingga harus dipenjara sebagaimana  pelaku kriminal lainnya seperti mencuri, merampok,” sesal Wiwing.
 
Sekuler

Menurut Wiwing, ini semua terjadi karena negeri ini hidup dalam sistem sekuler yang meniadakan peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga hukum negara diposisatas hukum agama.
 
“Hukum Allah (syariat Islam) harus mengalah,  harus tunduk pada hukum positif buatan manusia. Bagaimana mungkin kita berharap keberkahan akan melingkupi negeri ini sementara hukum-hukum Allah dicampakkan?” sesal Wiwing.
 
Zina Diam-Diam
 
Wiwing lalu mempertanyakan, bagaimana kalau suami melakukan zina secara diam-diam dengan selingkuhannya, atau dengan pelacur, apakah ada sanksi dari negara? “Apakah ada undang-undang atau aturan yang melarang zina dengan selingkuhan atau pelacur? Ternyata tidak,” ungkap Wiwing.
 
Aturan semacam ini, nilai Wiwing, hanya menyulitkan atau menghalangi  laki-laki menikah lagi, padahal itu sesuatu yang dihalalkan dalam Islam.
 
“Aturan tersebut bisa jadi mendorong laki-laki untuk menyalurkan hasratnya dengan cara yang haram yaitu berzina, dari pada menikah masuk penjara. Benarkah ini yang kita harapkan?” tanyanya retoris.
 
Menurut Wiwing, itu semua akibat manusia diberi wewenang untuk membuat aturan. “Akal manusia yang terbatas tak mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, apalagi untuk manusia lainnya,” kata Wiwing tegas.
 
Wiwing memastikan, hanya hukum Allah Sang Maha Pencipta manusia, juga alam semesta dan seluruh isinya yang paling layak dan terbaik bagi manusia. Ia merujuk Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Bukankah hanya hukum Allah yang paling baik bagi orang-orang yang meyakini?”
 
“Saatnya kembali kepada syariat Islam kafah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Sabtu, 26 Maret 2022

Halal adalah Akar Prasyarat Semua Kebaikan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1OIwxZi5n-1SCx-0KKdmZojf8FFGHe0rP

Tinta Media - Sobat. Halal adalah akar prasyarat semua kebaikan. Asupan Halal adalah penjamin mesra kita dengan Allah SWT.

Rasulullah SAW bercerita tentang seorang musafir. Dia berada di tengah padang pasir, dalam keadaan berpuasa dengan bekal yang terampas, dan tersesat jalan; lalu dia mengangkat tangan ke langit untuk berdoa “ Ya Rabb! Ya Rabb!

“ Namun Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.” Ujar Nabi memperingatkan, “ Sedangkan yang dimakannya haram, yang dikenakannya pun haram.”

Padahal orang yang disebut dalam riwayat ini, memiliki empat keutamaan yang menjamin doanya diijabah : Safar, berpuasa, dizhalimi, mengangkat tangannya kepada Ar-Rahman. Namun perkara haram yang melekati tubuh, telah menghalangi sampainya doa itu ke sisi Allah SWT.

Inilah hubungan antara kehalalan dengan mustajabnya doa. Bersihnya saluran pencernaan dari hal-hal yang haram, menjadi penghantar sampainya rintihan doa-doa kita kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 168 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ (١٦٨)

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakan-Nya dalam firman-Nya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, dan (hewan yang mati) tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah suatu kefasikan. (al-Ma'idah/5: 3).

Segala sesuatu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa di samping yang tersebut dalam ayat itu, ada lagi yang diharamkan memakannya berdasarkan hadis Rasulullah saw seperti makan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat.

Allah menyuruh manusia makan makanan yang baik yang terdapat di bumi, yaitu planet yang dikenal sebagai tempat tinggal makhluk hidup seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lainnya. Sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surah al-Ma'idah dan dalam ayat 173 surah al-Baqarah ini.

Selain dari yang diharamkan Allah dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum Muslimin mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Sobat. Asupan halal adalah pelembut hati yang paling awal. Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad ibn Hambal untuk mengadukan kekerasan hatinya. Imam Ahmad menasehatkan, “ Lembutkanlah hati kalian dengan hanya mengasup makanan yang halal.”

Asupan yang halal adalah pengokoh ketaatan bagi segenap anggota badan. Seluruh bagian tubuh yang tumbuh dari zat-zat yang bersih, baik dan suci akan ringan memenuhi panggilan pengabdian. Lembar-lembar mushaf Al-Quran jadi tampak indah dan tak membosankan. Adzan jadi terasa merdu dan terindu. Lapar puasa jadi terasa syahdu dan lezat. Mengeluarkan harta di jalan Allah, Infaq dan sedekah serta zakat jadi terasa ringan dan nikmat. Bahkan jihad serta syahid terasa agung dan kerinduan untuk menghadap Allah SWT.

Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada menantunya Saydina Ali yang diriwayatkan oleh Imam ahmad dalam musnadnya. “ Wahai Ali orang yang mengasup makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak ada penghalang.

Barangsiapa yang mengasup makanan yang syubhat, agamanya menjadi samar-samar dan hatinya menjadi kelam. Dan barangsiapa yang mengasup makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah, keyakinannya melemah, dan ibadahnya semakin berkurang.”

Salam Dahsyat dan Luar Biasa! Betapa indahnya hidup bersama Allah . Dengannya tumbuh keinsyafan, bahwa kehalalan adalah akar yang memasok gizi bagi semua keberkahan.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif M.Si.
CEO EDucoach dan Penulis Buku-buku Motivasi dan pengembangan diri, Dosen pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab