Tinta Media: Halal
Tampilkan postingan dengan label Halal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Halal. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Februari 2024

Kian Genting, Sertifikasi Halal Masif Dikomersialkan




Tinta Media - Dalam upaya meningkatkan keamanan dan kehalalan produk di sektor pangan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 yang mewajibkan Pedagang Kaki Lima (PKL), khususnya yang berjualan makanan, minuman, dan jasa penyembelihan memiliki sertifikasi halal sebelum 17 Oktober 2024. Sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, baik perusahaan, UMKM, pedagang kaki lima di pinggir jalan, bahkan pedagang keliling sekalipun. (Liputan6.com, Jakarta, 02/02 2024)

Adapun urgensi mengurus sertifikasi halal menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap produk kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. 

Adanya penyediaan kuota Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) pun dilakukan sebagai realisasi aturan yang telah disahkan terkait sertifikasi halal yang harus dimiliki semua pelaku usaha. Pendaftaran sertifikasi halal pun ini sudah bisa diakses secara online melalui aplikasi SIHALAL.

Namun, menjadi permasalahan bagi masyarakat ketika pemerintah membatasi sertifikasi halal gratis bagi pelaku usaha sampai bulan Oktober 2024.  Pasalnya, jika tidak bersertifikasi halal, akan ada sanksi bagi pelaku usaha berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. 

Sanksi akan diberikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Sehingga, beberapa masyarakat mengeluhkan adanya aturan ini karena ribet, membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit mengingat sertifikasi halal ini nantinya akan berkelanjutan. Belum lagi dalam praktiknya, pengurusan birokrasi seperti sertifikasi di Indonesia masih marak ditemui pungutan liar atau pungli.

Sebenarnya, apa sertifikasi halal itu?

Sertifikat halal adalah sebuah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tujuannya adalah menegaskan bahwa suatu produk telah memenuhi standar syari'at Islam, baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya. Selanjutnya, proses tersebut diakui sebagai produk yang aman untuk dikonsumsi dan terbebas dari bahan-bahan yang dianggap haram dalam ajaran Islam. 

Proses penerbitan sertifikat halal melibatkan penilaian ketat terhadap seluruh aspek produksi, mulai dari pemilihan bahan hingga produksi jadi. 

Pengurusan kehalalan suatu produk untuk dapat dikonsumsi memang merupakan kewajiban bagi setiap individu. Namun, ini juga merupakan tugas negara untuk memastikan kehalalan produk yang beredar di tengah masyarakat. Namun sayangnya, saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, bahwasanya segala aktivitas dipandang dari segi keuntungan bisnis.

Alhasil, yang terlihat hari ini adalah layanan negara terkait kehalalan produk dalam bentuk bisnis yang berorientasi keuntungan. Sehingga, dalam pengurusan sertifikasi ini berbiaya. Belum lagi terdapat masa berlaku sertifikasi halal.

Sesuai dengan ketetapan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-49/DHN-MUI/V/2021, masa berlaku sertifikat halal hanya empat tahun. Ini berarti, para pemilik sertifikat nantinya didorong untuk secara berkala melakukan perpanjangan, memastikan bahwa produk atau jasa yang mereka tawarkan terus mematuhi standar kehalalan dan tetap dapat dipercaya oleh konsumen. 

Negara memang menyediakan 1 juta layanan sertifikasi halal yang bisa didapatkan secara gratis sejak Januari 2023. Namun, jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan keberadaan pedagang kaki lima yang berkisar 22 juta dari 22 provinsi di seluruh Indonesia.

Sementara itu, ternyata biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal beragam. Usaha mikro dan kecil sekitar Rp300.000, usaha menengah Rp5.000.000, usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri Rp12.500.000. 

Karena sertifikasi ini berkala, maka dibutuhkan adanya perpanjangan yang memakan biaya lagi. Usaha mikro dan kecil sebesar Rp200.000, usaha menengah Rp2.400.000, usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri Rp5.000.000. 

Bukankah seharusnya jaminan sertifikasi halal menjadi salah satu bentuk layanan negara kepada rakyat?

Negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi regulator sehingga semua bisa dikomersialisasi melalui kebijakan undang-undang yang dibuat oleh negara. Hal ini karena peran negara hanya menjadi penyedia fasilitas bagi rakyat. Hal ini tentu berbeda jika urusan ini dinilai dari sudut pandang Islam. Dalam pandangan Islam, setiap muslim harus mematuhi syariat dalam agama Islam. 

Sebagaimana yang Allah inginkan dalam firman berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 208).

Adanya kehalalan produk berkaitan erat dengan kondisi seseorang, baik di dunia maupun akhirat, baik secara jasmani maupun psikologis. Di dalam Islam, makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi adalah yang halal dan toyib karena akan memengaruhi banyak hal, termasuk cepat lambatnya terkabulnya doa.

Kesadaran individu terkait kehalalan produk memang penting. Akan tetapi, seharusnya negara memberikan layanan ini secara gratis karena peran negara sebenarnya adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Diriwayatkan dari Al-Bukhari, Rasulullah saw. bersabda,

‘’Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurius rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” 

Imam atau khilafah adalah Perisai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Hal ini termasuk dalam perlindungan akidah/agama rakyatnya. Karena alasan inilah, maka negara harusnya hadir dalam berbagai kepentingan rakyat, termasuk memberikan jaminan halal terkait produk-produk yang akan dikonsumsi oleh masyarakat, mengedukasi para pedagang dan individu rakyat agar mengonsumi makanan yang halal dan toyib, serta menjamin pembiayaan sertifikasi halal gratis tanpa pungutan, termasuk dalam perpanjangannya, serta layanan yang cepat, mudah dan tepat.

Wallahualambisawaf



Oleh: Wilda Nusva Lilasari S. M
Sahabat Tinta Media

Rabu, 14 Februari 2024

Perlindungan Sertifikasi Halal Tugas Negara, Bukan Objek Dagang



Tinta Media - Pada era globalisasi saat ini, sertifikasi halal bukan hanya menjadi kebutuhan bagi umat Islam, tetapi juga telah menjadi standar dalam perdagangan internasional. Di Indonesia, kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan hingga kepada pedagang kaki lima (PKL). Kementerian Agama mulai mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan memiliki sertifikat halal.

Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan wajib untuk mengurus sertifikasi tersebut paling lambat 17 Oktober 2024. Aqil menegaskan bahwa semua pedagang, termasuk mereka yang beroperasi dalam skala usaha mikro dan kecil, harus memproses sertifikasi halal untuk produk mereka. Mereka yang terbukti tidak memiliki sertifikat halal akan menghadapi hukuman.

Menurut Aqil, hukuman yang dikenakan bisa beragam, mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, sampai penghentian distribusi produk di pasaran. Penerapan sanksi ini mengikuti aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 mengenai Pengaturan Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang diwajibkan memiliki sertifikat halal pada akhir tahapan pertama pada bulan Oktober.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan mentah, bahan tambahan pangan, dan bahan bantu untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. 

Kami mendorong para pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal melalui BPJPH, paling lambat 17 Oktober 2024.

Aqil juga menjelaskan dalam pernyataannya bahwa peraturan sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima. Artinya, produk makanan, baik yang diproduksi oleh usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro seperti pedagang kaki lima, semuanya sama-sama terikat kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan regulasi.(tirto.id, 3/2/2024)

Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalis

Terdapat dua jenis tarif dalam proses sertifikasi halal, yakni tarif pelayanan utama yang mencakup sejumlah aspek seperti sertifikasi halal untuk, barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, pelatihan auditor dan supervisor halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan supervisor halal dan tarif pelayanan penunjang yang melibatkan biaya terkait dengan penggunaan lahan, ruangan, gedung, bangunan, peralatan, mesin, bahkan kendaraan bermotor. 

Tarif yang berlaku berkisar antara Rp300.000 hingga Rp12.500.000, sedangkan tarif perpanjangan berkisar antara Rp200.000 hingga Rp5.000.000.  Besarnya tarif tergantung pada jenis usaha yang bersangkutan.(liputan6.com, 2/2/2024).

Untuk mendukung usaha mikro dan kecil (UMKM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah memulai program pendaftaran sertifikasi halal secara GRATIS sejak 2 Januari 2024. Para pemilik usaha dapat mendaftar melalui tautan khusus yang disediakan oleh Kemenkop UKM dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan.

Langkah ini, walaupun berniat baik dalam menjamin konsumsi yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi menimbulkan beberapa dilema. Proses pengurusan sertifikat halal yang berbiaya menjadi beban baru bagi pelaku usaha kecil seperti PKL. 

Meskipun pemerintah telah menyediakan layanan sertifikasi halal gratis sejak Januari 2023 untuk 1 juta layanan, jumlah tersebut terasa sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah PKL yang mencapai sekitar 22 juta di seluruh Indonesia. Selain itu, sertifikat ini memiliki masa berlaku, memaksa pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi ulang secara berkala.

Belum lagi komersialisasi dalam jaminan halal tercermin dari tarif layanan sertifikasi yang telah ditetapkan oleh BPJPH. Sebagai contoh, biaya permohonan sertifikat halal untuk produk barang dan jasa usaha mikro kecil (UMK) sebesar Rp300 ribu, dengan tambahan biaya pemeriksaan produk halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) hingga maksimal Rp350 ribu. Dengan demikian, total biaya yang diperlukan mencapai Rp650 ribu.

Sementara untuk usaha menengah yang memproduksi makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya mencapai Rp8 juta, terdiri dari biaya permohonan sertifikat sebesar Rp5 juta dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3 juta. Belum lagi jika sertifikat halal kedaluwarsa, pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi. Situasi ini menunjukkan bahwa negara sedang menjadikan jaminan halal sebagai objek komersialisasi untuk usaha rakyat.

Perspektif Islam

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: 168)

Di sinilah perlunya peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat untuk hadir. Sertifikasi halal seharusnya menjadi salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat, mengingat bahwa kehalalan merupakan kewajiban agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan komersialisasi, segala sesuatu sering kali dijadikan objek dagang, termasuk jaminan atas kehalalan produk.

Islam memberikan panduan bahwa negara harus bertindak sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya, termasuk dalam melindungi akidah atau agama. Oleh karena itu, negara harus hadir dalam memberikan jaminan halal secara gratis dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Produk yang halal tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik manusia di dunia, tetapi juga memiliki implikasi spiritual yang berdampak pada kehidupan akhirat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam atau Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”  (HR. Al-Bukhari)

Untuk mewujudkan perlindungan sertifikasi halal sebagai tugas negara, sistem pemerintahan Khilafah dapat menjadi contoh. Dalam sistem ini, negara akan mengedukasi para pedagang dan setiap individu rakyat agar sadar pentingnya halal dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran. Pendidikan tentang kehalalan produk tidak hanya akan meningkatkan pemahaman masyarakat, tetapi juga akan mendorong praktik bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

Lebih lanjut, Khilafah akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal untuk seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada lagi beban biaya yang harus ditanggung oleh para pedagang kaki lima atau pelaku usaha kecil lainnya. Layanan sertifikasi halal oleh pemerintah harus disertai dengan proses birokrasi yang cepat dan mudah agar dapat diakses oleh semua pelaku usaha tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi

Minggu, 11 Februari 2024

Jaminan Sertifikasi Halal: Perlukah Peran Negara Hadir?


Tinta Media - Mulai 18 Oktober 2024. Pemerintah akan mewajibkan seluruh produk makanan dan minuman, termasuk dari pedagang kaki lima dan usaha mikro, kecil, dan menengah pun diwajibkan untuk mendapatkan sertifikat halal sebagai syarat menjual kuliner halal. 

Beberapa pelaku usaha kecil, seperti Pak Ipin yang menjual es bubur sumsum di Jakarta, mengaku tidak masalah dengan aturan baru itu, asalkan biayanya tidak terlalu tinggi dan bisa digratiskan. Namun bagi sebagian lain, mengkhawatirkan pengurusan sertifikasi halal akan merepotkan pelaku usaha, apalagi pedagang keliling yang biasanya tidak pernah memakai sertifikat halal. 

Sementara itu, sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia, Edy Misero, mengatakan bahwa sertifikasi halal penting untuk menimbulkan rasa kepercayaan dan permintaan masyarakat akan produk halal semakin tinggi. Sayangnya, pemerintah membatasi sertifikasi halal untuk pelaku usaha sampai Oktober 2024. Beliau juga menyampaikan akan kekhawatirannya akan masalah biaya sertifikasi dan pungutan liar di Indonesia serta mengingatkan pemerintah untuk harus menjaga komitmen masalah sertifikasi ini dengan baik.
(tirto.id - 2/2/2024) 

Pada dasarnya sertifikasi halal ini penting dilakukan karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Dengan demikian  aturan sertifikasi sangat bagus diberlakukan untuk menjaga keterangan kehalalan suatu produk. Karena melalui sertifikasi ini dapat menimbulkan rasa kepercayaan serta menjaga kepercayaan konsumen terhadap produk makanan dan minuman yang dijual. 

Namun, harga dan pungutan liar juga memang harus dipertimbangkan, agar tidak membebani pedagang, khususnya pedagang kecil.  Mengingat PKL merupakan sumber penghasilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. maka wajar jika para pedagang kecil merasa khawatir bahwa sertifikasi halal akan menambah beban ekonomi mereka, terlebih bila harus mengganti ulang sertifikat secara berkala. 

Namun, dalam sistem kapitalisme seperti yang dianut saat ini, segala sesuatu dapat dikomersialisasikan. Membuka peluang lebar terjadinya pungli. Dan akibat peran negara yang  hanya sebatas regulator dan fasilitator bagi para kapital. Sehingga tidak mampu memberikan jaminan penuh kepada masyarakat maupun para pedagang kecil. 

Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah negara hadir untuk memberikan perlindungan kepada rakyat atau justru membiarkan kepentingan ekonomi yang mendasar mengatur segalanya, termasuk jaminan kehalalan produk? 

Di dalam Islam, negara harus hadir sebagai pengurus dan pelindung rakyat, termasuk juga dalam melindungi akidah dan agama. Kehalalan produk halal tidak hanya berkaitan dengan kesehatan jasmani, tetapi juga menyangkut kesehatan rohani. Oleh karena itu, negara harus hadir dan memberikan jaminan halal tanpa terbebani oleh kepentingan komersial. 

Di samping itu, pertanyaan lain yang perlu kita fokuskan adalah jumlah layanan sertifikasi halal gratis yang diberikan negara, yaitu 1 juta layanan sejak Januari 2023. Padahal, jumlah PKL yang menjual kuliner halal dapat mencapai 22 juta di seluruh Indonesia. Jumlah layanan sertifikasi gratis yang diberikan negara tampaknya jumlahnya masih dalam kisaran kecil. Oleh karena itu, peran negara dalam memberikan jaminan halal perlu diperluas. 

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, idealnya negara harus memberikan layanan sertifikasi halal secara gratis bagi seluruh masyarakat. Pemerintah seharusnya tidak hanya hadir sebagai regulator dan fasilitator, tetapi harus memastikan bahwa kebutuhan mendasar masyarakat, seperti halnya jaminan kehalalan produk, dapat terpenuhi dengan baik. Selain itu, pengedukasian bagi para pedagang pun harus kian ditingkatkan agar mereka semakin sadar akan pentingnya menerapkan konsep kesadaran halal dalam setiap langkah usaha mereka. 

Sebagaimana dalam negara Islam, yang  seluruhnya, baik itu fondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu bersandar pada akidah Islam, sehingga mewujudkan kesadaran para  pedagang dan masyarakat untuk menjaga kehalalan produk dan ajaran agama. Karena akidah adalah aspek penting dalam agama Islam dan melalui keyakinan-kepercayaan yang kuat tentang hubungan seseorang dengan Allah SWT.  Akan dapat membentuk karakter islami pada seseorang. 

Selain itu negara atau pemerintah yang terbentuk dalam sistem Islam akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal dan memberikan kemudahan birokrasi pada cara pengurusannya. Sehingga, selain memberikan jaminan kehalalan produk, negara juga akan menjadi pengawal kehidupan masyarakat dan kepercayaan mereka terhadap produk halal. Karena dalam Islam negara adalah raain (pengurus umat) sekaligus junnah (pelindung umat). 

Hal ini kian menegaskan pada kita, bahwa negara memang sudah seharusnya hadir, untuk memberikan jaminan sertifikasi halal sebagai salah satu bentuk perlindungan kepada masyarakat maupun konsumen. karena selain itu adalah tugas negara, juga merupakan kewajiban agama yang harus ditegakkan. Dalam memberikan perlindungan dan dukungan yang diperlukan oleh seluruh masyarakat Indonesia, khususnya pedagang kecil dan menengah. 

Wallahu 'alam


Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Kamis, 12 Januari 2023

Kapitalisasi Sertifikat Halal

Tinta Media - Sertifikat halal merupakan salah satu syarat wajib yang mutlak ada pada suatu produk. Namun, berbagai kendala ditemui saat produsen hendak melabeli halal produknya. Beberapa produk yang wajib ada label halal antara lain produk pangan (makanan dan minuman), bahan baku pangan (bahan tambahan pangan serta bahan penolong produksi pangan), produk sembelihan hewan dan jasa penyembelihan hewan. Masa penahapan pertama sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024 (detiknews.com, 8/1/2023). 

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH), Kementrian Agama, Muhammad Aqil Irham, menegaskan, nantinya akan ada sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan tersebut. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran (beritasatu.com, 8/1/2023). Sanksi ini sesuai dengan aturan yang telah ada yaitu PP No. 39 Tahun 2021. Aqil pun melanjutkan, berkenaan dengan kewajiban sertifikasi halal, maka diimbau bagi seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus segala proses sertifikasi halal produknya. 

Pemerintah menyediakan pelayanan sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, ada juga yang bertarif, sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 141 Tahun 2021, tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH No.1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH. 

Besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare (pernyataan pelaku usaha) yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00. Ini tergantung keadaan keuangan negara. Sementara, biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik Usaha Menengah dan Kecil (UMK) adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH (Lembaga Penjamin Halal) maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga, total biayanya adalah Rp650.000,00. Sedangkan untuk usaha menengah produk makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya Rp8.000.000,00, terdiri atas biaya permohonan sertifikat Rp5.000.000,00 dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3.000.000,00 (kemenag.go.id, Maret 2022). 

Sertifikasi halal semestinya merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya. Ini demi menjaga kehalalan suatu produk sesuai perintah syariat Islam. Namun, hal ini menjadi sulit mengingat sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme yang sekuleristik, yaitu sistem yang berlandaskan pada keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan. 

Hal ini diperparah dengan sifatnya yang sekuleristik, tak mempedulikan keberadaan aturan agama dalam penerapannya. Sehingga wajar saja, saat kebutuhan sertifikasi halal suatu produk pun dijadikan objek pemalakan terhadap masyarakat secara umum. Negara menganggap bahwa setiap proses sertifikasi berpotensi menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi negara dengan besaran yang telah ditentukan, sungguh memprihatinkan. 

Sistem Islam memberikan kemudahan dalam sertifikasi kehalalan produk. Hal ini karena tujuan utama sistem Islam saat mengurusi setiap urusan umat adalah untuk meraih rida Allah Swt. Karena itu, negara wajib menjaga kehalalan produk umat. 
Ada dorongan kuat dari dalam tubuh negara untuk menjaga setiap darah umatnya, yaitu iman dan takwa. 

Berbeda dengan sistem yang ada sekarang, pengadaan sertifikasi halal dilakukan karena adanya kepentingan materialistik, yaitu keuntungan ekonomi semata. Inilah keburukan sistem kapitalisme dalam mengurusi kebutuhan umat. Setiap prosesnya selalu berujung pada proses pemerasan terhadap masyarakat, tanpa pikir panjang, tentang segala akibat yang bakal terjadi. 

Sistem Islam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran. Hal ini karena dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) bagi seluruh umat, bukan malah menjadi pelaku bisnis atas segala kebutuhan masyarakat. Segala kehalalan produk yang dikonsumsi rakyat adalah tanggung jawab penuh bagi negara. Setiap jengkal pengurusan kebutuhan umat wajib diurusi berdasarkan akidah Islam. Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang senantiasa ditaati dengan sepasrah-pasrahnya ketaatan. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' : 59)

Negara wajib menjaga seluruh kebutuhan umat, termasuk kehalalan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Negara pun mutlak menjadi pengawas setiap makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tak hanya jadi pengawas, negara pun harus memfasilitasi dan mendanai segala kebutuhan produsen terkait proses sertifikasi halal produk. Dengan proses tersebut, berarti negara menjamin keamanan dan kehalalan produk yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat. 

Islam menjamin kehalalan produk sejak awal proses produksi, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pembuatan, distribusi, hingga berakhir pada tangan konsumen. Semua proses diawasi negara. Semua dikontrol oleh para ahli di bidangnya. Para ulama pun mengawasi segala proses demi keamanan dan kehalalannya. 

Keamanan dan kehalalan produk makanan akan mudah terselenggara dalam sistem Islam. Bahkan, negara senantiasa mengawasi bahan pangan secara periodik dan mengeliminir segala bahan haram dan berbahaya yang beredar di pasaran.

Lantas apa lagi yang diragukan dari sistem Islam yang begitu sempurna mengatur kehidupan?

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Kamis, 18 Agustus 2022

Kebolehan Poligami dengan Syarat Diizinkan Istri, Wiwing: Mengharamkan yang Halal

Tinta Media - Pasal 279 KUHP yang menyuratkan jika suami menikah lagi (poligami)  tanpa izin istri kena delik hukum,  ditanggapi oleh Aktivis Muslimah Wiwing Noeraini.
 
 “Ini artinya boleh  beristri lebih dari satu (poligami)  dengan syarat diizinkan istri. Bagaimana bisa poligami yang dihalalkan oleh Allah tanpa syarat, dibatasi oleh manusia dengan syarat? Bukankah ini berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT?” ungkapnya di Media Nasional Muslimah News,  Jumat  (5/8/2022).
 
Wiwing menilai ini sebuah tindakan yang sangat lancang. “Suami yang menikah lagi sekalipun tanpa izin isteri, sah dalam pandangan syariat, tidak melanggar hukum Allah, tidak melakukan sebuah keburukan,” jelas Wiwing.
 
Kalau suami memberitahu istrinya bahwa ia akan menikah lagi, tentu itu lebih baik, tambahnya,  tapi bukan berarti meminta izin, karena untuk menikah lagi, suami tak harus meminta izin kepada siapa pun. “Artinya suami tidak berdosa ketika menikah lagi tanpa memberitahu istrinya,” tegasnya.
 
“Tapi dalam hukum positif di negeri ini, perbuatan itu dianggap kriminal dan melanggar hukum sehingga harus dipenjara sebagaimana  pelaku kriminal lainnya seperti mencuri, merampok,” sesal Wiwing.
 
Sekuler

Menurut Wiwing, ini semua terjadi karena negeri ini hidup dalam sistem sekuler yang meniadakan peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga hukum negara diposisatas hukum agama.
 
“Hukum Allah (syariat Islam) harus mengalah,  harus tunduk pada hukum positif buatan manusia. Bagaimana mungkin kita berharap keberkahan akan melingkupi negeri ini sementara hukum-hukum Allah dicampakkan?” sesal Wiwing.
 
Zina Diam-Diam
 
Wiwing lalu mempertanyakan, bagaimana kalau suami melakukan zina secara diam-diam dengan selingkuhannya, atau dengan pelacur, apakah ada sanksi dari negara? “Apakah ada undang-undang atau aturan yang melarang zina dengan selingkuhan atau pelacur? Ternyata tidak,” ungkap Wiwing.
 
Aturan semacam ini, nilai Wiwing, hanya menyulitkan atau menghalangi  laki-laki menikah lagi, padahal itu sesuatu yang dihalalkan dalam Islam.
 
“Aturan tersebut bisa jadi mendorong laki-laki untuk menyalurkan hasratnya dengan cara yang haram yaitu berzina, dari pada menikah masuk penjara. Benarkah ini yang kita harapkan?” tanyanya retoris.
 
Menurut Wiwing, itu semua akibat manusia diberi wewenang untuk membuat aturan. “Akal manusia yang terbatas tak mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, apalagi untuk manusia lainnya,” kata Wiwing tegas.
 
Wiwing memastikan, hanya hukum Allah Sang Maha Pencipta manusia, juga alam semesta dan seluruh isinya yang paling layak dan terbaik bagi manusia. Ia merujuk Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Bukankah hanya hukum Allah yang paling baik bagi orang-orang yang meyakini?”
 
“Saatnya kembali kepada syariat Islam kafah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Sabtu, 26 Maret 2022

Halal adalah Akar Prasyarat Semua Kebaikan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1OIwxZi5n-1SCx-0KKdmZojf8FFGHe0rP

Tinta Media - Sobat. Halal adalah akar prasyarat semua kebaikan. Asupan Halal adalah penjamin mesra kita dengan Allah SWT.

Rasulullah SAW bercerita tentang seorang musafir. Dia berada di tengah padang pasir, dalam keadaan berpuasa dengan bekal yang terampas, dan tersesat jalan; lalu dia mengangkat tangan ke langit untuk berdoa “ Ya Rabb! Ya Rabb!

“ Namun Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.” Ujar Nabi memperingatkan, “ Sedangkan yang dimakannya haram, yang dikenakannya pun haram.”

Padahal orang yang disebut dalam riwayat ini, memiliki empat keutamaan yang menjamin doanya diijabah : Safar, berpuasa, dizhalimi, mengangkat tangannya kepada Ar-Rahman. Namun perkara haram yang melekati tubuh, telah menghalangi sampainya doa itu ke sisi Allah SWT.

Inilah hubungan antara kehalalan dengan mustajabnya doa. Bersihnya saluran pencernaan dari hal-hal yang haram, menjadi penghantar sampainya rintihan doa-doa kita kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 168 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ (١٦٨)

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakan-Nya dalam firman-Nya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, dan (hewan yang mati) tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah suatu kefasikan. (al-Ma'idah/5: 3).

Segala sesuatu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa di samping yang tersebut dalam ayat itu, ada lagi yang diharamkan memakannya berdasarkan hadis Rasulullah saw seperti makan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat.

Allah menyuruh manusia makan makanan yang baik yang terdapat di bumi, yaitu planet yang dikenal sebagai tempat tinggal makhluk hidup seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lainnya. Sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surah al-Ma'idah dan dalam ayat 173 surah al-Baqarah ini.

Selain dari yang diharamkan Allah dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum Muslimin mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Sobat. Asupan halal adalah pelembut hati yang paling awal. Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad ibn Hambal untuk mengadukan kekerasan hatinya. Imam Ahmad menasehatkan, “ Lembutkanlah hati kalian dengan hanya mengasup makanan yang halal.”

Asupan yang halal adalah pengokoh ketaatan bagi segenap anggota badan. Seluruh bagian tubuh yang tumbuh dari zat-zat yang bersih, baik dan suci akan ringan memenuhi panggilan pengabdian. Lembar-lembar mushaf Al-Quran jadi tampak indah dan tak membosankan. Adzan jadi terasa merdu dan terindu. Lapar puasa jadi terasa syahdu dan lezat. Mengeluarkan harta di jalan Allah, Infaq dan sedekah serta zakat jadi terasa ringan dan nikmat. Bahkan jihad serta syahid terasa agung dan kerinduan untuk menghadap Allah SWT.

Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada menantunya Saydina Ali yang diriwayatkan oleh Imam ahmad dalam musnadnya. “ Wahai Ali orang yang mengasup makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak ada penghalang.

Barangsiapa yang mengasup makanan yang syubhat, agamanya menjadi samar-samar dan hatinya menjadi kelam. Dan barangsiapa yang mengasup makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah, keyakinannya melemah, dan ibadahnya semakin berkurang.”

Salam Dahsyat dan Luar Biasa! Betapa indahnya hidup bersama Allah . Dengannya tumbuh keinsyafan, bahwa kehalalan adalah akar yang memasok gizi bagi semua keberkahan.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif M.Si.
CEO EDucoach dan Penulis Buku-buku Motivasi dan pengembangan diri, Dosen pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab