Tinta Media: Hakim
Tampilkan postingan dengan label Hakim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hakim. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Oktober 2024

Polemik Gaji Minim Hakim



Tinta Media - Ribuan hakim di Indonesia sepakat mengambil cuti bersama. Aksi para hakim mengambil cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 ini bukan tanpa alasan, melainkan bentuk protes terstruktur dalam menuntut kenaikan gaji yang dianggap minim. Para hakim menilai gaji dan tunjangan yang diterima sudah tidak sebanding dengan beban serta tanggung jawab yang amanahkan. Gaji minim para penegak hukum itu tak kunjung naik beberapa tahun terakhir.

Dilansir dari nasional.tempo.co pada 05-10-2024, hakim di Indonesia tidak mendapatkan kenaikan gaji beserta tunjangan sejak 12 tahun terakhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung. Padahal, pekerjaan seorang hakim bukanlah pekerjaan ringan. Setiap keputusan mereka memengaruhi kehidupan masyarakat secara umum dan bagi orang yang terlibat dalam masalah yang ditangani pada khususnya. Itulah posisi hakim yang sangat penting bagi penegakan hukum. 

Begitu pentingnya peran hakim, sehingga di dalam struktur birokrasi pemerintahan mereka dikategorikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pangkat yang berbeda-beda sesuai jenjang karier. Ironinya, meski posisi hakim penting dan strategis dalam sistem hukum, tetapi mereka tidak menikmati kesejahteraan finansial yang memadai. 

Hal tersebut dikuatkan dengan sebuah survei internal di kalangan hakim yang mengungkap sebagian besar dari para hakim merasa tunjangan dan gaji yang diterima tidak mencerminkan tanggung jawab moral dan profesional yang mereka jalankan. Terus, melambungnya harga-harga kebutuhan hidup semakin membuat mereka terhimpit.

Kesulitan para pemegang keputusan diketahui setelah terdapat laporan ada hakim yang terpaksa mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentu saja keadaan tersebut bisa menimbulkan kekhawatiran terhadap integritasnya dalam menegakkan hukum. Kemungkinan menerima suap untuk memenangkan perkara yang salah menjadi terbuka. Sungguh, ekonomi yang sulit bisa menambah beban berat dalam menjaga integritas tanpa adanya dukungan finansial yang layak dari negara.

Dampak Aksi Cuti Bersama Hakim

Aksi cuti bersama ribuan hakim pasti akan menimbulkan dampak terhadap pelayanan masyarakat, khususnya dalam hal peradilan. Selama masa cuti bersama tersebut, banyak kasus yang seharusnya segera diproses menjadi terhambat. Hal ini tentu mengecewakan mereka yang sedang mencari keadilan.

Sebagai contoh, terdakwa kasus pidana yang sesungguhnya tidak bersalah harus menjalani masa tahanan lebih lama karena sidangnya ditunda. Padahal, mereka bisa segera bebas setelah hakim memberikan keputusan tidak bersalah berdasarkan bukti dan saksi-saksi pendukung. 

Jadwal sidang juga pasti banyak yang tertunda sehingga berdampak pula pada kerja pengacara dan jaksa. Penjadwalan ulang sidang tentu juga memengaruhi banyak hal termasuk jadwal menghadirkan saksi-saksi dalam suatu kasus. 

Dilema Gaji Minim Hakim

Kondisi ekonomi secara umum yang mengalami kesulitan sesungguhnya menjadi dilema bagi para hakim dalam menjalankan aksi sebagai protes tuntutan kenaikan gaji. Dari satu sisi, hakim yang secara status sosial dianggap terhormat, sedang memperjuangkan kenaikan tunjangan, sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Bahkan, tuntutan kenaikan gaji para hakim mungkin dipandang sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi rakyat.

Di sisi lain, hakim juga bagian dari aparatur negara yang juga memiliki kebutuhan hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya. Tingginya biaya hidup tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh para hakim. Oleh karenanya, tuntutan para hakim sebenarnya wajar dan tidak boleh dipandang sebagai aksi egois, melainkan bentuk protes terhadap ketidakadilan yang juga mereka rasakan dalam struktur birokrasi negara.

Hakim dalam Negara Islam

Hakim (qadhi) dalam negara Islam juga memiliki peran yang sangat penting. Hakim bertugas menyelesaikan setiap perselisihan di masyarakat dengan hukum-hukum syara'. Amanah besar ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.  Di dalam Islam, prinsip keadilan merupakan salah satu nilai yang paling mendasar. Seorang hakim bertanggung jawab besar untuk menegakkannya.

Allah telah memerintahkan penetapan hukum yang adil sebagaimana terdapat dalam surah An-Nisa' ayat 58, yang artinya: 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat tersebut menekankan bahwa tugas hakim adalah menegakkan keadilan berdasarkan amanah yang diberikan Allah. Maka, seorang hakim harus bekerja karena perintah Allah dan tetap menjaga integritas dan keadilan, terlepas dari tantangan finansial yang sedang dihadapi.

Dalam sejarah Islam, para hakim mendapatkan gaji memadai dari baitul mal. Hal ini untuk memastikan mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa tergoda oleh materi. Ambil contoh, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathab, beliau memperhatikan serius kesejahteraan para hakim agar mereka bisa bekerja dengan adil dan bebas dari tekanan ekonomi.

Jadi, sesunggunya tuntutan para hakim dengan aksi cuti bersama tidaklah bertentangan dengan prinsip keadilan dalam negara Islam. Mereka juga layak hidup sejatera sebagaiman masyarakat pada umumnya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah tuntutan kenaikan gaji harus seiring dengan peningkatan kinerja hakim dalam menjalankan tugas. Negara wajib mengontrol kinerja dan kesejahteraan para hakim, jangan sampai gaji yang minim memengaruhi keputusan hakim pada suatu perkara. Wallahu'alam bishawab.


Oleh. R. Raraswati
(Sahabat Tintamedia)

Senin, 10 Oktober 2022

Saat Gaji Tinggi Koruptif Membentengi Korupsi

Tinta Media - Profesi hakim bukanlah main-main. Di tangannyalah segala vonis dan putusan peradilan ditegakan. Betapa tersayat hati masyarakat saat profesi yang dipercayakan ini rupanya bisa melukai hati mereka. Pasalnya, hakim yang tidak kompeten hanya akan berimbas pada cacat hukum yang jauh dari prinsip berkeadilan.

Padahal, pemerintah telah mengupayakan gaji tinggi disertai tunjangan, dengan harapan mencegah prilaku korup dan terpeliharanya integritas hakim. Pemberian remurenerasi itu rupanya tidak pernah cukup di tangan mereka yang rakus.

Mungkinkah seorang hakim rakus? Meski kelihatannya tidak mungkin, tetapi proses mempertahankan integritas itulah yang tidak mudah, bagi mereka yang sudah dipercaya dengan integritas yang baik. Godaan akan selalu ada menggoyahkan mereka, untuk menguji apakah integritas itu akan tetap bertahan, atau jangan-jangan dilanggar.

Persoalan integritas tak pernah usai disoroti. Betapa tragisnya pengkhianatan dari seorang aparat peradilan yang jatuh di kubangan korup. Hal ini sekaligus momentum bersih-bersih untuk negeri ini mengingat semakin luasnya lingkungan koruptif belakangan ini.

Asal Muasal Tamak

Proses dan sepak terjang seseorang hingga ia menjadi hakim tentu tidaklah mudah. Dapat dipastikan bahwa peluang menjadi hakim tersebut karena sudah adanya penilaian mengenai integritas yang baik. 

Kembali pada kaidah  manusia biasa, bahwa dalam masa perjalanan itu, seseorang sangat mungkin tersandung krikil, meski sosok berintegritas tinggi sekalipun. Mungkin karena gaya hidup yang tak lagi sesederhana sebelum menjadi hakim dengan kapasitas pendapatan yang jauh lebih tinggi, hingga pola hidup hedon inilah yang disinyalir kuat menjadi pemicunya. 

Atau mungkin lingkungan yang kurang support dan sistem yang buruk hingga tidak ada dorongan untuk bertahan sehingga berani melanggar integritasnya. Ditambah lagi, faktor minimnya pendidikan akidah yang sesungguhnya dapat menyelematkan seseorang dari sikap tamak karena rasa takut kepada Allah.

Pada prinsipnya, ini tidaklah tepat menjadi sangkalan kesia-siaan gaji yang besar. Pemerintah justru harus semakin meningkatkan kesejahteraan para pemangku peranan penting di negeri ini. Dan kasus ini tidak bisa digeneralisasi sebagai kegagalan gaji tinggi dalam membentengi korupsi.

Akan tetapi, bagaimana caranya mengedukasi agar terhindar dari sifat tamak? Ada semacam PR pendidikan karakter yang perlu dibenahi secara optimal. Karena bagaimanapun, asal-muasal tamak adalah indikasi gagalnya pendidikan karakter seseorang.

Penguatan Karakter

Sikap tamak adalah akhlak tercela dan harus dihindari. Keyakinan akan tercelanya sikap tamak perlu dikuatkan sedari kecil. Pendidikan akidah akan menguatkan seseorang untuk berlindung diri dari harta yang tidak hak. Kemudian, perlu adanya keteladanan gaya hidup yang baik dari orang terdekat sebagai percontohan anak. 

Mulai dari lingkungan keluarga, pemerintah perlu menyosialisasikan masyarakat dalam menghimbau pentingnya praktik ilmu parenting, serta memfasilitasi berbagai hal yang dapat membantu untuk keberlangsungan parenting yang menyeluruh. 

Sebab, lingkungan pertama ini akan meninggalkan atsar (pengaruh) yang sangat membekas dan mendarah daging menjadi sebuah watak dan kepribadian seseorang semasa hidupnya. Betapa krisis akhlak yang menghantui masyarakat perlu ditindak serius. Semua bisa dimulai dari pembenahan lingkungan keluarga yang harus berkesadaran memberikan hak pendidikan, bukan sekadar membesarkan anak. 

Belum lagi persoalan lembaga pendidikan. Kualitas para pendidik harus dilirik karena lembaga pendidikan pun sebagai momentum strategis pembentukan karakter seseorang. Para pendidiknya perlu disejahterakan, setidaknya untuk menjamin agar bisa tampil sebagai figur pendidik sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. 

Sedangkan saat ini, RUU Sisdiknas masih di ambang keambiguan. Banyak ahli yang mempertanyakan keberpihakannya pada kesejahteraan guru. Padahal, jaminan pendidikan terbaik pun harus bisa ditingkatkan. Pemerintah harus mengupayakannya dengan menjamin kesejahteraan para guru sebagai pegiat pendidikan. 

Tidak cukup hanya menyosialisasikan program-program pendidikan karakter, situasi zaman kita berada dalam paradigma bahwa pendidikan yang hanya mengandalkan kelembagaan saja tidaklah cukup. 
Saat ini, lembaga pendidikan tidak bisa lagi berdiri sendiri.

Zaman ini tantangannya sudah begitu berat. Peranan keluarga dapat secara signifikan membantu keberlangsungan lembaga pendidikan dalam melanjutkan penguatan karakter para anak didiknya. Sebab anak yang sudah diberi dasar, tak sama dengan anak yang tidak pernah diberi pendidikan sama sekali. 

Sentuhan parenting inilah yang dirasa dalam fase darurat untuk dioptimalkan. Wajah pendidikan kita yang suram itu, perlu penguatan karakter dari peranan keluarga. Sebab, dari mana lagi hak pendidikan mendasar itu jika bukan dari keluarga?

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru

Jumat, 07 Oktober 2022

INTERVENSI KEKUASAAN ATAS PEMBERHENTIAN HAKIM MK

Tinta Media - Mengutip informasi dari kantor berita yang memberitakan terkait Komisi III DPR mengungkapkan alasan Aswanto diberhentikan dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi meski masa pensiunnya masih panjang. Komisi III menjelaskan bahwa Aswanto merupakan hakim konstitusi usulan DPR. Tetapi, Dia menilai Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pilihan DPR kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa keputusan DPR memecat Hakim MK tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan UU Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim MK ditambah. Hakim MK Aswanto yang sedianya berakhir pada 2024 ditambah menjadi 2029 dengan UU MK masa tugasnya di Mahkamah Konstitusi itu sampai Maret 2029. Oleh karenanya, tambah lima tahun. Dengan tindakan dari DPR kemarin melanggar prosedur hukum. Maka itu tidak sah.

KEDUA, bahwa Keputusan DPR RI tersebut tidak sah kecuali Presiden mengeluarkan Surat Keputusan atau Keputusan Presiden pemberhentian tersebut. Sehingga "bola ini" selanjutnya berada ditangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan tanggapan atas keputusan DPR tersebut. Jika Presiden menyetujui tindakan DPR RI maka ini merupakan perbuatan melawan prinsip non-intervensi. terlalu vulgar menunjukkan intervensi kekuasaan kepada proses hukum. 

KETIGA, bahwa intervensi kekuasaan dalam berbagai kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa pengaruh kekuasaan terhadap kekuasaan kehakiman berpotensi melahirkan berbagai putusan yang tidak mempu memberi rasa keadilan. Tindakan intervensi tersebut dapat disebut ancaman kepada hakim MK. inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan : *_"power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."_* Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter. Olehkarena itu intervensi kekuasaan terhadap hukum, harus dihentikan.

Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT


Selasa, 04 Oktober 2022

LBH Pelita Umat: Keputusan DPR Pecat Hakim MK, Tidak Sah

Tinta Media - Menyorot pemecatan  Hakim Mahkamah Konstitusi  (MK) Aswanto oleh DPR dinilai oleh Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan SH MH sebagai pemecatan  tidak sah.
 
“Keputusan DPR memecat Hakim MK tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan UU Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim MK ditambah. Hakim MK Aswanto yang sedianya berakhir pada 2024 ditambah menjadi 2029 dengan UU MK masa tugasnya di Mahkamah Konstitusi itu sampai Maret 2029. Oleh karenanya, tambah lima tahun. Dengan tindakan dari DPR kemarin melanggar prosedur hukum. Maka itu tidak sah,” tuturnya kepada Tinta Media Sabtu (1/10/2022).
 
Menurut Chandra,  keputusan DPR RI tersebut tidak sah kecuali Presiden mengeluarkan Surat Keputusan atau Keputusan Presiden pemberhentian tersebut. Sehingga "bola ini" selanjutnya berada di tangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan tanggapan atas keputusan DPR tersebut.
 
“Jika Presiden menyetujui tindakan DPR RI maka ini merupakan perbuatan melawan prinsip non-intervensi. Terlalu vulgar menunjukkan intervensi kekuasaan kepada proses hukum,” ujarnya.  
 
Intervensi kekuasaan, sambung Chandra,  dalam berbagai kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa, pengaruh kekuasaan terhadap kekuasaan kehakiman berpotensi melahirkan berbagai putusan yang tidak mampu memberi rasa keadilan.
 
“Tindakan intervensi tersebut dapat disebut ancaman kepada hakim MK. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang  terkenal ia menyatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut),” paparnya.
 
Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif, ucap Chandra, tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter.
 
“Oleh karena itu intervensi kekuasaan terhadap hukum, harus dihentikan,” tandasnya.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab