Tinta Media: Hakim
Tampilkan postingan dengan label Hakim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hakim. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Oktober 2022

Saat Gaji Tinggi Koruptif Membentengi Korupsi

Tinta Media - Profesi hakim bukanlah main-main. Di tangannyalah segala vonis dan putusan peradilan ditegakan. Betapa tersayat hati masyarakat saat profesi yang dipercayakan ini rupanya bisa melukai hati mereka. Pasalnya, hakim yang tidak kompeten hanya akan berimbas pada cacat hukum yang jauh dari prinsip berkeadilan.

Padahal, pemerintah telah mengupayakan gaji tinggi disertai tunjangan, dengan harapan mencegah prilaku korup dan terpeliharanya integritas hakim. Pemberian remurenerasi itu rupanya tidak pernah cukup di tangan mereka yang rakus.

Mungkinkah seorang hakim rakus? Meski kelihatannya tidak mungkin, tetapi proses mempertahankan integritas itulah yang tidak mudah, bagi mereka yang sudah dipercaya dengan integritas yang baik. Godaan akan selalu ada menggoyahkan mereka, untuk menguji apakah integritas itu akan tetap bertahan, atau jangan-jangan dilanggar.

Persoalan integritas tak pernah usai disoroti. Betapa tragisnya pengkhianatan dari seorang aparat peradilan yang jatuh di kubangan korup. Hal ini sekaligus momentum bersih-bersih untuk negeri ini mengingat semakin luasnya lingkungan koruptif belakangan ini.

Asal Muasal Tamak

Proses dan sepak terjang seseorang hingga ia menjadi hakim tentu tidaklah mudah. Dapat dipastikan bahwa peluang menjadi hakim tersebut karena sudah adanya penilaian mengenai integritas yang baik. 

Kembali pada kaidah  manusia biasa, bahwa dalam masa perjalanan itu, seseorang sangat mungkin tersandung krikil, meski sosok berintegritas tinggi sekalipun. Mungkin karena gaya hidup yang tak lagi sesederhana sebelum menjadi hakim dengan kapasitas pendapatan yang jauh lebih tinggi, hingga pola hidup hedon inilah yang disinyalir kuat menjadi pemicunya. 

Atau mungkin lingkungan yang kurang support dan sistem yang buruk hingga tidak ada dorongan untuk bertahan sehingga berani melanggar integritasnya. Ditambah lagi, faktor minimnya pendidikan akidah yang sesungguhnya dapat menyelematkan seseorang dari sikap tamak karena rasa takut kepada Allah.

Pada prinsipnya, ini tidaklah tepat menjadi sangkalan kesia-siaan gaji yang besar. Pemerintah justru harus semakin meningkatkan kesejahteraan para pemangku peranan penting di negeri ini. Dan kasus ini tidak bisa digeneralisasi sebagai kegagalan gaji tinggi dalam membentengi korupsi.

Akan tetapi, bagaimana caranya mengedukasi agar terhindar dari sifat tamak? Ada semacam PR pendidikan karakter yang perlu dibenahi secara optimal. Karena bagaimanapun, asal-muasal tamak adalah indikasi gagalnya pendidikan karakter seseorang.

Penguatan Karakter

Sikap tamak adalah akhlak tercela dan harus dihindari. Keyakinan akan tercelanya sikap tamak perlu dikuatkan sedari kecil. Pendidikan akidah akan menguatkan seseorang untuk berlindung diri dari harta yang tidak hak. Kemudian, perlu adanya keteladanan gaya hidup yang baik dari orang terdekat sebagai percontohan anak. 

Mulai dari lingkungan keluarga, pemerintah perlu menyosialisasikan masyarakat dalam menghimbau pentingnya praktik ilmu parenting, serta memfasilitasi berbagai hal yang dapat membantu untuk keberlangsungan parenting yang menyeluruh. 

Sebab, lingkungan pertama ini akan meninggalkan atsar (pengaruh) yang sangat membekas dan mendarah daging menjadi sebuah watak dan kepribadian seseorang semasa hidupnya. Betapa krisis akhlak yang menghantui masyarakat perlu ditindak serius. Semua bisa dimulai dari pembenahan lingkungan keluarga yang harus berkesadaran memberikan hak pendidikan, bukan sekadar membesarkan anak. 

Belum lagi persoalan lembaga pendidikan. Kualitas para pendidik harus dilirik karena lembaga pendidikan pun sebagai momentum strategis pembentukan karakter seseorang. Para pendidiknya perlu disejahterakan, setidaknya untuk menjamin agar bisa tampil sebagai figur pendidik sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. 

Sedangkan saat ini, RUU Sisdiknas masih di ambang keambiguan. Banyak ahli yang mempertanyakan keberpihakannya pada kesejahteraan guru. Padahal, jaminan pendidikan terbaik pun harus bisa ditingkatkan. Pemerintah harus mengupayakannya dengan menjamin kesejahteraan para guru sebagai pegiat pendidikan. 

Tidak cukup hanya menyosialisasikan program-program pendidikan karakter, situasi zaman kita berada dalam paradigma bahwa pendidikan yang hanya mengandalkan kelembagaan saja tidaklah cukup. 
Saat ini, lembaga pendidikan tidak bisa lagi berdiri sendiri.

Zaman ini tantangannya sudah begitu berat. Peranan keluarga dapat secara signifikan membantu keberlangsungan lembaga pendidikan dalam melanjutkan penguatan karakter para anak didiknya. Sebab anak yang sudah diberi dasar, tak sama dengan anak yang tidak pernah diberi pendidikan sama sekali. 

Sentuhan parenting inilah yang dirasa dalam fase darurat untuk dioptimalkan. Wajah pendidikan kita yang suram itu, perlu penguatan karakter dari peranan keluarga. Sebab, dari mana lagi hak pendidikan mendasar itu jika bukan dari keluarga?

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru

Jumat, 07 Oktober 2022

INTERVENSI KEKUASAAN ATAS PEMBERHENTIAN HAKIM MK

Tinta Media - Mengutip informasi dari kantor berita yang memberitakan terkait Komisi III DPR mengungkapkan alasan Aswanto diberhentikan dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi meski masa pensiunnya masih panjang. Komisi III menjelaskan bahwa Aswanto merupakan hakim konstitusi usulan DPR. Tetapi, Dia menilai Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pilihan DPR kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa keputusan DPR memecat Hakim MK tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan UU Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim MK ditambah. Hakim MK Aswanto yang sedianya berakhir pada 2024 ditambah menjadi 2029 dengan UU MK masa tugasnya di Mahkamah Konstitusi itu sampai Maret 2029. Oleh karenanya, tambah lima tahun. Dengan tindakan dari DPR kemarin melanggar prosedur hukum. Maka itu tidak sah.

KEDUA, bahwa Keputusan DPR RI tersebut tidak sah kecuali Presiden mengeluarkan Surat Keputusan atau Keputusan Presiden pemberhentian tersebut. Sehingga "bola ini" selanjutnya berada ditangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan tanggapan atas keputusan DPR tersebut. Jika Presiden menyetujui tindakan DPR RI maka ini merupakan perbuatan melawan prinsip non-intervensi. terlalu vulgar menunjukkan intervensi kekuasaan kepada proses hukum. 

KETIGA, bahwa intervensi kekuasaan dalam berbagai kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa pengaruh kekuasaan terhadap kekuasaan kehakiman berpotensi melahirkan berbagai putusan yang tidak mempu memberi rasa keadilan. Tindakan intervensi tersebut dapat disebut ancaman kepada hakim MK. inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan : *_"power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."_* Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter. Olehkarena itu intervensi kekuasaan terhadap hukum, harus dihentikan.

Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT


Selasa, 04 Oktober 2022

LBH Pelita Umat: Keputusan DPR Pecat Hakim MK, Tidak Sah

Tinta Media - Menyorot pemecatan  Hakim Mahkamah Konstitusi  (MK) Aswanto oleh DPR dinilai oleh Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan SH MH sebagai pemecatan  tidak sah.
 
“Keputusan DPR memecat Hakim MK tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan UU Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim MK ditambah. Hakim MK Aswanto yang sedianya berakhir pada 2024 ditambah menjadi 2029 dengan UU MK masa tugasnya di Mahkamah Konstitusi itu sampai Maret 2029. Oleh karenanya, tambah lima tahun. Dengan tindakan dari DPR kemarin melanggar prosedur hukum. Maka itu tidak sah,” tuturnya kepada Tinta Media Sabtu (1/10/2022).
 
Menurut Chandra,  keputusan DPR RI tersebut tidak sah kecuali Presiden mengeluarkan Surat Keputusan atau Keputusan Presiden pemberhentian tersebut. Sehingga "bola ini" selanjutnya berada di tangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan tanggapan atas keputusan DPR tersebut.
 
“Jika Presiden menyetujui tindakan DPR RI maka ini merupakan perbuatan melawan prinsip non-intervensi. Terlalu vulgar menunjukkan intervensi kekuasaan kepada proses hukum,” ujarnya.  
 
Intervensi kekuasaan, sambung Chandra,  dalam berbagai kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa, pengaruh kekuasaan terhadap kekuasaan kehakiman berpotensi melahirkan berbagai putusan yang tidak mampu memberi rasa keadilan.
 
“Tindakan intervensi tersebut dapat disebut ancaman kepada hakim MK. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang  terkenal ia menyatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut),” paparnya.
 
Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif, ucap Chandra, tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter.
 
“Oleh karena itu intervensi kekuasaan terhadap hukum, harus dihentikan,” tandasnya.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab