Tinta Media: Hakim MK
Tampilkan postingan dengan label Hakim MK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hakim MK. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 April 2024

Jubah Arogansi Hakim MK: Hanya Mahkamah Kata-Kata, Hilang Substansi Keadilan yang Didambakan


Tinta Media - Allah Subhanahu Wa Taa'la berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦

"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."

[ QS: Al Isro (17): 36 ]

Saya tidak lagi berharap akan ada putusan yang berkeadilan dari lembaga MK, itu sudah clear. Karena mustahil, MK sebagai lembaga hukum di bawah otoritas politik, bisa mengadili kecurangan politik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Pada akhirnya, MK akan memutus menolak permohonan dan melegitimasi kecurangan.

Namun, dalam proses mengadili perkara, saya merasa lebih kecewa lagi. MK telah menunjukkan sikap jumawa/arogan, bukan sebagai lembaga pengadilan, tapi lembaga superior yang merasa lebih dan berada di atas kedudukan para pihak (pemohon, termohon, pihak terkait).

MK telah mendudukkan ruang sidang sengketa Pilpres sebagai ruang MK, bukan ruang para pihak untuk menggali dan menemukan keadilan. MK telah melawan hukum acara persidangan, dengan memberikan hak eksklusif pada hakim MK untuk mendalami fakta persidangan, dan menghalangi pihak lainnya untuk menggali dan menemukan fakta keadilan.

Contoh: saat MK akhirnya memanggil 4 orang Menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto). Empat orang menteri ini dihadirkan atas permintaan Pemohon dari kubu 01 dan 03. Kedudukan menteri ini sebagai saksi. Tapi mengapa hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para menteri? Kenapa kuasa hukum pemohon, baik dari 01 dan 03, tidak diperkenankan mendalami keterangan saksi dari para menteri tersebut?

Kepentingan dihadirkannya 4 menteri, adalah untuk membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang  Presiden . Yakni, penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Prabowo Gibran, sebanyak 560.360.000.000.000.

Fakta adanya hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo Gibran, itu harus digali. Suara Prabowo Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku Pemohon yang juga membuat posita dan petitumnya .

Bagaimana fakta bisa terungkap, kalo kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan, hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK ? Ini sudah melampaui hukum acara dalam persidangan .

Oleh karena itu terbukti, saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar-datar saja , normatif tidak substantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. Ini kan sama aja sandiwara MK hanya memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau DRAKOR = Drama Kotor  persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak Advokat 01 dan 03 jadi nothing , kalau pihak termohon dan terkait mah malah senanglah .

Belum lagi Hakim Arif Hidayat, membuat dikotomi kepala pemerintahan dan kepala Negara, sebagai dalih untuk tidak memanggil Jokowi. Lebih lucunya, berdalih Presiden simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan.

Sejak kapan Presiden adalah simbol negara? Apakah, sekelas hakim MK Arif Hidayat tidak pernah membaca Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan? Kalau pernah membaca, apa dasarnya Arif Hidayat mengklasifikasi Presiden sebagai simbol Negara?

Soal Jokowi tidak dihadirkan sebagai saksi juga aneh, seolah Jokowi hanya berstatus Presiden. Padahal, selain Presiden Jokowi juga berstatus warga negara, karena untuk menjadi Presiden haruslah WNI.

Dalam hal ini, konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan:

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Berdasarkan pasal ini, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi.

Kenapa MK memosisikan Jokowi spesial atau di kecualikan ? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana Kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi , untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkannya , tapi Aneh yang merasa jago/ pendekar hukum yang jadi Advokat nya 01 dan 03 tidak ada yang protes , malah dalam keterangan persnya merasa bahagia dan senang banget dengan kondisi obyektifnya sesungguh melecehkan jati diri mereka sebagai Advokat Jagoan . Sisi lain apakah cara seperti ini sudah di rancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga Sama , para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga ??? Apakah hal demikian sudah ada deal  agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres ? Jika ikuti pendapat Hakim Ketua MK , Suhartoyo bila ada publik / WNI yang bertanya tentang persidangan maka Hakimnya HARUS MENJAWAB UNTUK MENJELASKAN YANG DITANYAKAN ORANG ITU !

Sedih saya melihat Para Kuasa Hukum pemohon, baik 01 dan 03 juga mau tunduk pada kejumawan / Arogan Hakim MK. Bahkan, diam saja ketika Bambang Widjoyanto mau diusir oleh Arif Hidayat. Harusnya, tunjukan persamaan kedudukan sebagai penegak hukum di hadapan hakim MK. Tunjukan, advokat juga penegak hukum seperti hakim MK, sehingga hakim MK jangan sok paling hebat seenaknya mau usir advokat dari ruangan persidangan lihat pasal 5 Jo pasal 16 dari UU No 18 thn 2003 tentang Advokat .

Saya benar-benar kecewa, jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Karena proses sidang di MK, sudah dapat dijadikan dasar keyakinan, bahwa akhirnya putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan.

Proses di MK, mungkin saja hanya jadi sandiwara  untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan/ kriminal  pemilu dan Pilpres dan akhirnya saya  gondok banget , karena Rakyat pula yang kembali ditipu dan dikhianati, dengan suguhan dagelan sidang di MK ini, persis seperti yang di tuliskan dalam Wahyu ALLAAH SUBHAANNAHU WA TA ALA , yaitu : 

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَا ۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَ نْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ

"Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 123) . 

Namun demikian, dari sudut ajaran Islam kita diajarkan untuk tidak menentukan keadaan akan datang yang belum terjadi. Kita sadar hanya ALLAH lah yang tahu dan menentukan  dalam PHPU di MK sekarang ini hingga tgl 22 April 2024: ada putusan MK yang menyatakan pilpres harus diulang tanpa Gibran dan diskualifikasi terhadapnya. Untuk itu, kita perlu munajat dan Istighotsah Akbar mulai tgl 16 April 2024 depan MK. Idealnya AMIN dan Ganjar Mahfud mengajak pendukung masing2 dan membersamai para relawan masing-masing. Juga ormas-ormas Islam yang sejalan memilih 01. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha membolak-balik hati manusia menggerakkan hati nurani para Hakim MK untuk memutus perkara yang kita maksudkan itu, aamiin aamiin aamiin yaa Mujibas Saa'iliin...

Salam optimis, ES.

Oleh : Prof. Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
Ketua Umum TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis)

Jumat, 16 Juni 2023

PUTUSAN PROPORSIONAL TERBUKA: KONFIRMASI KEMENANGAN DENNY INDRAYANA DAN SIKAP KAMPUNGAN HAKIM MK

Tinta Media - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus gugatan sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi terkait sistem Pemilu tersebut, dan menyatakan  Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (15/6/2023).

Namun, setelah pembacaan putusan tersebut MK dikabarkan bakal melaporkan Advokat Denny Indrayana ke organisasi advokat yang menaunginya. Hal itu disampaikan salah satu Hakim MK Saldi Isra.

"Kami di rapat permusyawaratan hakim sudah mengambil sikap bersama bahwa kami Mahkamah Konstitusi agar ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua, akan melaporkan Denny Indrayana ke organisasi advokat yang Denny Indrayana berada," kata Saldi Isra (15/6/2023).

Putusan MK soal pemilu dengan sistem proporsional terbuka ini, tidak lepas dari manuver Deny Indrayana yang beberapa saat lalu mengaku mendapatkan informasi bahwa hakim MK akan memutus sistem pemilu dengan sistem proporsional tertutup, hingga informasi formasi 6 hakim menyetujui dan 3 hakim mengajukan disenting opinion. Andai saja tidak ada ribut-ribut soal isi putusan MK, boleh jadi putusan MK saat ini bukanlah dengan sistem proporsional terbuka.

Hari ini, Deny Indrayana menyatakan bersyukur informasi yang diterimanya keliru. Padahal, sejatinya Deny Indrayana sedang mensyukuri manufernya berhasil menggiring opini publik, bahkan membuat Hakim MK tak berdaya, hingga akhirnya harus memutus perkara dengan sistem proporsional terbuka dengan menolak permohonan pemohon dalam putusannya.

Namun sayangnya, hakim MK bersikap kolokan dan kampungan, akan melaporkan Deny Indrayana ke organisasi advokat tempatnya bernaung. Hakim yang mulia, yang semestinya berbicara dengan keagungan putusannya, tidak ngember, hari ini telah menjatuhkan marwah dan wibawanya dengan mengadakan konferensi pers yang isinya akan melaporkan Deny Indrayana.

Kalaulah benar akan ada tindakan melaporkan Deny Indrayana, hal itu tak perlu dilakukan oleh hakim MK. Apalagi, menurut Saldi Isra rencana pelaporan ini telah melalui rapat permusyawaratan hakim MK. Seperti mau membuat putusan saja.

Padahal, seorang hakim harus menjaga harkat dan kehormatan, serta menjunjung tinggi wibawanya sebagai manusia yang dipanggil 'yang mulia', yang memiliki predikat sebagai wakil Tuhan. Hakim dibatasi dalam berinteraksi, dan berbicara kepada publik hanya dengan putusannya.

Berbeda dengan advokat, yang memiliki predikat sebagai Officium Nobile, memang harus banyak bicara ditengah masyarakat. Advokat atau pengacara bekerja dengan berbicara dan menulis. Justru dipertanyakan jika ada orang yang berprofesi advokat tidak berbicara dan tidak menulis.

Risalah pembelaan disajikan dalam tulisan lalu dibacakan. Pendalaman fakta persidangan adalah dengan berbicara di persidangan. Pendek kata, seorang advokat memang dituntut untuk banyak berbicara dan menulis, untuk melaksanakan profesinya.

Sementara hakim justru harus ja'im, jaga wibawa, tidak ember, irit statemen dihadapan publik. Bahkan, saluran suaranya kepada publik adalah melalui produk putusannya.

Lalu, apa urusannya Saldi Isra bicara dihadapan publik untuk memperkarakan Deny Indrayana? Apa tidak ada lagi juru bicara MK? Apa tidak ada organ MK yang bisa melaporkan Deny Indrayana? Mengapa pula harus hakim MK yang melaporkan? Mengapa pula harus mengadakan rapat permusyawaratan, memangnya mau membuat putusan?

Lagipula, hakim MK semestinya menghormati profesi advokat. Tidak sependapat boleh, tapi tidak elok seorang hakim berkonflik di depan publik dan melaporkan penegak hukum lainnya (advokat) ke organisasi yang menaungi.

Ah, makin ga jelas saja Republik ini. MK yang diharapkan menjadi hakimnya hakim, mahkamahnya mahkamah, ternyata bersikap kolokan, kampungan. Kalau ingin eksis di publik, merespons persoalan lewat media, tanggalkan saja jubah hakim, jadi rakyat sipil biasa atau kalau mau bebas berbicara jadilah advokat seperti Denny Indrayana. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab