Tinta Media: Hakim Agung
Tampilkan postingan dengan label Hakim Agung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hakim Agung. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Oktober 2022

Hakim Agung Terseret OTT KPK, MMC: Akibat Penerapan Sistem Batil Sekuler Demokrasi Kapitalisme

Tinta Media - Menanggapi kasus Hakim Agung yang terseret OTT oleh KPK, Narator Muslimah Media Center (MMC) menilai fenomena korupsi para pejabat tersebut, bukan masalah moral individu tetapi penerapan sistem batil sekuler demokrasi kapitalisme.

"Fenomena korupsi yang menjadi kebiasaan di kalangan para pejabat bukan masalah moral individu rendah, integritas kerja yang kurang ataupun sistem struktural lembaga yang kurang pengawasan. Ada hal yang lebih fundamental dari itu, yakni penerapan sistem batil sekuler demokrasi kapitalisme," tuturnya dalam Serba Serbi MMC: Hakim 
Agung Terseret OTT, Pemberantasan Korupsi Mimpi dalam Sistem Demokrasi? Di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (2/10/2022).

Menurutnya, sistem kehidupan ini adalah sistem batil sehingga apapun aturan yang keluar dari sistem ini hanya akan membawa kerusakan. Sekularisme adalah akidah batil karena memisahkan agama dari kehidupan. Manusia yang terjangkiti sekularisme tidak menjadikan tolak ukur agama sebagai pemutus perkaranya. "Mereka tidak mengenal halal haram, baik buruk, boleh tidak boleh, sebagaimana yang diatur oleh syariat. Manusia bebas mengatur kehidupan mereka sesuai kehendaknya," ujarnya.

"Sistem politik yang mendukung eksistensi sekularisme adalah demokrasi," imbuhnya.

Ia menjelaskan bahwa demokrasi menjadikan manusia berdaulat atas hukum. Mereka bisa membuat, merevisi dan menghapus aturan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Seperti mekanisme meraih kekuasaan. Dalam demokrasi, suar mayoritas adalah syarat legal untuk berkuasa. "Maka para calon penguasa harus memiliki sokongan dana dari sponsor untuk memenangkan kontestasi pemilu," bebernya.

Ia menilai bahwa inilah penyebab korupsi akut di kalangan pejabat. Sementara mindset Kapitalisme yang menguasai kehidupan manusia saat ini, menjadikan materi sebagai orientasi kehidupan. Uang, jabatan, prestise adalah segalanya. "Maka tak ayal, yang seharusnya merupakan pemberi keadilan menjadi sarang para mafia peradilan," tuturnya.

Dengan demikian, lanjutnya, problem korupsi adalah program sistem dan cacat bawaan sistem yang tidak bisa diberantas tuntas, meski ada lembaga super anti korupsi. 

Solusi 

Narator mengatakan, umat membutuhkan sistem pengganti yang sudah terbukti mampu mewujudkan pemberantasan korupsi dari akar hingga daun. "Sistem ini adalah sistem Islam yang secara fiqih disebut sistem khilafah," terangnya.

Menurutnya, penerapan sistem khilafah akan membawa kebaikan untuk umat dan seluruh alam. Sebab sistem kehidupan yang menjadi dasar berdirinya Daulah khilafah adalah akidah Islam, sehingga ketika menyelesaikan sebuah perkara pun sesuai dengan syariat Islam. 

Ia mengutip penjelasan Syeikh Abdulrahman al Maliki dalam kitab Nidzamul Uqubat bahwa kasus Korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat dan tidak termasuk definisi mencuri atau sariqah karena perbuatan tersebut termasuk penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.

Ia melanjutkan bahwa sebuah hadist dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan termasuk koruptor yang merampas harta orang lain dan penjambret. Hadist riwayat Abu Daud," ucapnya.

Berdasarkan hadits di atas maka sanksi atau uqubat bagi pelaku korupsi adalah takzir, Qadhi atau Hakim akan memberi hukuman sesuai level kejahatan yang dilakukan. Sanksi ini bisa mulai dari yang paling ringan seperti nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda atau qharamah, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. 

"Ini adalah upaya kuratif dari Daulah khilafah yang akan menimbulkan efek jawabir yakni sebagai penebus dosa pelaku di akhirat dan efek zawajir sebagai pencegah di masyarakat," jelasnya.

Selain itu, ia melanjutkan bahwa untuk menciptakan suasana bebas korupsi, khilafah akan menerapkan paling tidak ada enam langkah sebagai langkah preventif

Pertama, Khilafah merekrut pegawai sesuai profesionalitas dan integritas bukan berasaskan konektivitas atau nepotisme. Untuk aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah yakni kapabilitas dan kepribadian Islam atau syakhsiyah Islamiyah. 

Kedua, Khilafah melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.

Ketiga, memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada seluruh aparatnya sehingga tidak ada alasan bagi pegawai melakukan korupsi.

Keempat, Khilafah melarang para pejabatnya menerima suap dan hadiah. "Syeikh Abdul Qodir Zallum dalam Al Amwal di Daulah Khilafah menjelaskan untuk memantau harta kekayaan pejabat, Khilafah membentuk badan pengawas atau pemeriksa keuangan seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu. Beliau mengangkat Muhammad bin maslamah sebagai pengawas keuangan, tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara," ungkapnya.

Kelima, adanya teladan dari pemimpin. Dan yang keenam, adanya pengawasan oleh negara dan masyarakat.

"Inilah mekanisme tuntas penanganan korupsi yang ditawarkan oleh Khilafah," pungkasnya.[] Ajira

Rabu, 05 Oktober 2022

Hakim Agung OTT KPK, Bukti Mimpi Pemberantasan Korupsi


Tinta Media - Jagad berita diramaikan dengan pemberitaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim dan staf Mahkamah Agung. KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang pada Rabu, (21/9/2022) malam dan berhasil menjaring 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. (Kompas.com)

Lima di antaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA, 4 orang) dan seorang hakim agung, Sudrajad Dimyati.

Pemberitaan ini menuai komentar beberapa pihak. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan,  Mahfudz MD mengatakan bahwa yang terlibat dalam OTT tersebut sebetulnya lebih dari satu orang. Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini "sudah menjadi rahasia umum".

Fakta di atas menjadi catatan kelam pemberantasan korupsi di negeri ini. Bagaimana tidak, lembaga hukum sekelas Mahkamah Agung mengalami nasib demikian, terlibat OTT karena kasus suap perkara. Apalagi, sampai melibatkan Hakim Agung dan para staffnya. Padahal, sejatinya lembaga hukum tinggi tersebut menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat saat keadilan di negeri ini kian mahal. Namun, lagi-lagi publik harus menelan pil pahit karena nyatanya kebenaran sudah sedemikian jungkir balik. Aib yang terbongkar, sudah sedemikian mengakar. Kasus OTT di atas tak ubahnya fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya, tetapi lebih besar di dasarnya.

Inilah yang terjadi saat sistem pemerintahan dikendalikan oleh materi. Siapa pun yang mempunyai materi, maka akan bertindak sesuai hawa nafsunya sendiri. Hukum dibeli, rakyat pun dizalimi.

Hal ini tak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, negeri ini membutuhkan jalan keluar. Gurita korupsi yang sudah menjalar ke semua lini kekuasaan tak bisa ditumpas, kecuali dengan menghadirkan hakim yang seadil-adilnya, yakni Allah Swt. 

Jauh jauh hari, Islam telah menjelaskan mengenai perkara korupsi ini. Dalam Islam, korupsi dihukumi sebagai sebuah pelanggaran yang dikenakan ta'zir bagi pelakunya. Maka, hukuman yang diberikan sesuai dengan kebijaksanaan hakim yang mengadili. 

Hal ini disebabkan karena perbuatan korupsi melibatkan dua macam pelanggaran, yaitu: 

Pertama, khianat terhadap amanat rakyat

Kedua, mengambil harta yang bukan menjadi haknya. 

Meski sanski korupsi tidak tercantum dalam aturan hudud berdasarkan Qur'an dan Sunnah, jika korupsi yang dilakukan menyebabkan kerugian yang sangat besar, maka bukan tidak mungkin pelakunya akan diberi hukuman mati.

Tindakan menghukumi pelaku korupsi dengan hukuman yang pantas semata untuk memberi efek jera bagi pelaku, sekaligus mencegah tindakan korupsi serupa bermunculan. Inilah solusi yang ditawarkan syariat dalam hal sanksi.

Sementara dari sisi pemerintahan, Islam melalui institusi daulah khilafah akan menghadirkan good goverment yang dipenuhi suasana keimanan bagi para pemangku kekuasaan. Ini karena jabatan yang disandang semata dalam rangka menjadi khadimul ummah yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Demikianlah kiranya solusi tuntas bagi gurita korupsi yang kini melingkari negeri, hingga pemerintahan yang bersih dan dapat dipercaya bukan lagi sekadar mimpi. Wallahu alam bis shawab.

Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media


Minggu, 02 Oktober 2022

Penegak Hukum MA Terkena OTT KPK, Gus Uwik: Mereka Layak Disebut Para 'Bedebah'!

Tinta Media - Merespon banyaknya para penegak hukum dari Mahkamah Agung (MA) yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik mengatakan mereka layak disebut para 'bedebah'.
 
“Sungguh miris! Para penegak hukum terkena OTT KPK karena terlibat suap menyuap untuk pengkondisian kasus. Enggak  tanggung-tanggung, yang terlibat ada hakim agung, panitera pengganti mahkamah agung, PNS di mahkamah agung  dan sejumlah pengacara. Mereka layak di sebut sebagai para ‘bedebah’,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (1/10/2022).
 
Menurutnya,  hal ini sangat sulit diterima oleh akal, yang ada justru sangat brutal. “Mereka-mereka yang seharusnya memberi keadilan hukum atas perkara yang melibatkan rakyat malah menjadi mafia,” geramnya.
 
"Mereka justru mempermainkan hukum. Hukum dikondisikan sesuai dengan keinginan yang punya uang. Sepertinya keadilan hukum dan persamaan di depan hukum itu omong kosong, manis di mulut tapi nol dalam implementasinya,” kritiknya.
 
Kasus di atas, kata Gus Uwik,  jadi tabir pembuka bahwa hukum buta, hukum itu sesuai keinginan yang punya uang dan adanya mafia hukum itu nyata, tidak bisa terbantahkan lagi, tidak bisa berkelit lagi. Fakta begitu jelas lagi kasat mata.
 
“Bisa dibayangkan, para penegak hukum justru yang menjadi mafianya. Hancur leburlah hukum ini. Belum lagi kondisi carut marut yang ada semakin runyam ketika dikaitkan dengan kasus Sambo. Dia begitu piawai merekayasa kasus. Ngeri sekali,” tuturnya miris.
 
Dari Sambo, lanjut Gus Uwik,  bisa dimengerti jika hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan kekuasaan atau yang punya uang, rakyat pasti akan selalu jadi korban.
 
“Jika dilihat rangkaian persitiwa yang ada, dari kasus Sambo dan OTT KPK ini akan tersibak kengerian penegakan hukum di negeri ini. Tiga  pilar penegak hukum; kepolisian, hakim dan pengacara ternyata ada para bedebahnya.  Apakah ini oknum? Kalau lihat kasus Sambo dan OTT KPK ini nampak ini ada mafia dan jaringannya, terbukti banyaknya orang yang terlibat. Jelas, bukan oknum. Bisa jadi sudah menjadi budaya,” ungkap Gus Uwik memberikan analisa.
 
Menyikapi kondisi ini, Gus Uwik tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya seraya  mengatakan jangan berharap hukum akan tegak lurus dan berkeadilan jika masih bercokol para bedebah tersebut. “Harus disikat habis sampai keakar-akarnya,” lugasnya.
 
Buah Sekularisasi
 
Banyaknya bedebah ini dinilai Gus Uwik sebagai  buah dari sekularisasi. “Para penegak hukum "diharamkan" untuk beriman dan bertaqwa. Diksi itu hanya ada dalam kalimat ceramah dan sambutan saja. Nol besar dalam pelaksanaan. Buktinya para penegak hukum enggak  takut lagi sama surga dan neraka, apalagi dosa. Mereka tahu, tapi enggak  peduli. Inilah racun sekularisasi. Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dianggap "ada" ketika di masjid saja. Di luar itu dianggap hilang, enggak  memantau apalagi hadir. Sekuler kafah,” urainya.
 
Wajar, lanjutnya, jika mereka alergi pada syariat Islam. Pahamnya bertentangan dengan sekuler kaffah. Syariat Islam mewajibkan selalu ingat kepada Allah Swt. dengan bukti selalu terikat dengan syariatNya, sekuler justru "mengharamkan" untuk ingat kepada Allah Swt. apalagi terikat dengan syariatNya. Haram total.
 
“Yakinlah, hukum akan senantiasa buta dan tidak berkeadilan jika para penegakknya sekuler kafah. Negara ini juga menerapkan hukum sekuler,” tandasnya.
 
Keadilan dalam hukum, menurutnya,  akan mudah terwujud jika para penegak hukumnya iman dan taqwa, negaranya menerapkan syariat Islam sebagai bukti iman dan taqwanya.
 
“Ini bukan terori, tapi sudah terbukti selama 14 abad dalam empirium Khilafah. Keadilan hukum buat semua kalangan rakyat dan agama terbukti terjamin. Sejarah pun mencatat dalam tinta emas. Tidak ada yang meragukan,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 

Senin, 26 September 2022

OTT Hakim Agung MA, IJM: Ada Persoalan Sistemik yang Harus Digeledah

Tinta Media - Mengomentari Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu oknum Hakim Agung atas dugaan kasus suap pengurusan perkara, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. mengatakan, ada masalah sistemik yang harus digeledah. 

"Sangat ironis. Tentu ada persoalan dasar sistemik yang harus digeledah mengapa lembaga peradilan sekelas MA, pada akhirnya terseret lingkaran mafia peradilan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022). 

"Padahal, MA didesain sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas paling top mengakomodir kepentingan para pencari keadilan," ujarnya.

Dr. Sjaiful menjelaskan terkait sejarah MA yang mana merupakan produk lembaga peradilan yang lahir dari rahim peradaban Eropa. Lembaga tersebut, menurutnya, diadopsi dari produk kolonial Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan berdasarkan asas konkordansi. 

"Sebagai produk sistem peradilan Eropa yang nyaris bertumpu kepada paradigma sekuleristik, maka saat bersamaan, rujukan hukum bagi para hakim agung memutus perkara adalah undang-undang tertulis hasil produk berpikir manusia yang kemudian menjadi pertimbangan hukum atau ratio decidendi dalam putusan kasasi MA. Pertimbangan hukum umumnya lahir dari subjektivitas nalar para hakim agung," paparnya.

Sementara itu, Dr. Sjaiful menambahkan, pada kasus tertentu, pertimbangan hukum dibuat berdasar arus kepentingan pragmatis oknum hakim, misalnya kepentingan ekonomi atau intervensi kekuasaan. "Ini salah satu problematika sistemik yang menghinggapi MA," tegasnya.

Masalah lain, menurutnya, MA masih terkoptasi dengan gagasan positivistik yang abai dengan nilai-nilai spiritual. Ia melanjutkan, meskipum di atas kertas termaktub kalimat Dengan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekedar kata-kata simbolik.

"Problematik sistemik tersebut hingga kini menjangkiti atau boleh dibilang merusak marwah MA," ungkapnya.

Kondisi-kondisi tersebut, menurutnya, menjadi alasan sulitnya MA keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Apalagi, semua pilar penegakan hukum yang menyangga sistem peradilan Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang lepas dari jeratan lingkaran mafia peradilan. 

"Tentunya, MA secara empiris sulit mengelak dari lingkaran setan mafia peradilan," katanya.

Hal tersebut menurut Dr. Sjaiful, menjadi bukti bahwa peradilan berbasis sekuleristik pragmatis tidak bisa diharapkan mampu mengakomodir kepentingan para pencari keadilan yang menginginkan penegakan hukum, semua orang sama di depan hukum.

Lain halnya dengan sistem peradilan Islam, yang menurutnya mampu memberikan cahaya keadilan bagi umat manusia. "Alasannya, sistem peradilan Islam berasal dari Sang Pencipta yang Maha Agung dan Maha Adil," tegasnya. 

Dr. Sjaiful kembali menegaskan, sistem peradilan manapun selain sistem peradilan Islam, tidak akan mampu memberikan jaminan keadilan atas dasar semua orang sama di depan hukum. 

"Sistem peradilan produk manusia, serba lemah dan terbatas. Produk akal manusia, betapapun jeniusnya, tak akan mampu menandingi produk wahyu yang maha sempurna," pungkasnya.[] Ikhty

Hakim Agung MA Ditangkap, Siyasah Institute: Potret Buram Lembaga Peradilan

Tinta Media - Menanggapi ditangkapnya Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar menyampaikan bahwa hal itu merupakan potret makin buramnya integritas lembaga peradilan.

"Ini potret makin buramnya integritas lembaga peradilan, mental pejabatnya, gambaran makin buramnya perang melawan budaya korupsi," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022).

Ia menilai adanya kecerobohan dalam seleksi hakim agung, sehingga bisa meloloskan seorang koruptor. "Termasuk kecerobohan seleksi hakim agung sampai-sampai seorang koruptor bisa lolos," sesalnya.

Menurutnya, perilaku korupsi itu tidak muncul tiba-tiba, tapi sudah jadi budaya dan habit seorang pejabat. "Berarti seleksinya bermasalah," tandasnya.

Selain itu, korupsi juga merupakan bagian dari budaya entitas tertentu dan pribadi seseorang. 

"Dalam suatu lembaga bisa jadi begitu toleran terhadap budaya korupsi seperti menerima gratifikasi, makan bersama pejabat atau pengusaha bermasalah," terangnya. 

Tidak kalah pentingnya, lanjutnya, adalah tindakan kuratif atau sanksi pidana terhadap koruptor juga makin ringan. 

"Bulan September ini ada 23 koruptor bebas bersyarat. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka juga rata-rata di bawah 4 tahun menurut ICW. Termasuk pada jaksa Pinangki," ujarnya.

Ia menyesalkan sanksi yang diberikan kepada para koruptor, karena tidak memberikan efek jera.

"Bagaimana sanksi macam ini membuat jera? Harusnya semakin keras terutama pada aparat penegak hukum. Bukannya makin ringan," sesalnya.

Menurutnya, yang menjadi akar masalah dari kasus ini adalah publik kita, khususnya di lingkungan pejabat, pengusaha termasuk aparat hukum terlalu toleran terhadap budaya korupsi dan para pelakunya. Budaya gratifikasi masih belum bisa dihilangkan. 

"Ada lingkaran setan korupsi, dimana para pengusaha, pejabat dan aparat yang bermasalah saling kenal dekat, saling membantu dan biasa dengan gratifikasi. Akhirnya sulit diberantas," terangnya.

Untuk menyelesaikan secara tuntas kasus ini, ia memandang harus ada perombakan akidah dan akhlak juga sistem. 

"Tidak cukup hanya akhlak, tapi yang paling mendasar akidah yang jadi falsafah kehidupan dan hukum harus diganti dengan Islam. Jadi muncul ketakwaan yang hakiki," tandasnya.

Kemudian hukum dibenahi dengan hukum Islam. Hukum buatan manusia bisa diubah suka-suka. "Tanamkan juga akhlak karimah termasuk tidak mentolerir budaya gratifikasi dan bergaul dengan pejabat dan pengusaha bermasalah," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Sabtu, 24 September 2022

Mahkamah Agung dalam Lingkaran Mafia Peradilan

Tinta Media - Geger Mahkamah Agung (MA) kembali menyeruak setelah ditenggarai oknum hakim agung menjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara. Ini semakin menambah daftar panjang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia setelah lembaga kepolisian juga tercemar dalam kasus Sambo sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat. 

Semua pihak mafhum MA merupakan benteng terakhir pencari keadilan, sehingga jika benteng ini saja sudah rapuh, kemana lagi rakyat bangsa Indonesia berharap keadilan. Sangat ironis. Tentu ada persoalan dasar sistemik yang harus digeledah mengapa lembaga peradilan sekelas MA, pada akhirnya terseret lingkaran mafia peradilan. Padahal MA didesain sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas paling top mengakomodir kepentingan para pencari keadilan.

MA sejatinya merupakan produk lembaga peradilan yang lahir dari rahim peradaban Eropa. Lembaga ini diadopsi dari produk kolonial Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan berdasarkan asas konkordansi. Sebagai produk sistem peradilan Eropa yang nyaris bertumpu kepada paradigma sekuleristik, maka saat bersamaan, rujukan hukum bagi para hakim agung memutus perkara, adalah undang-undang tertulis hasil produk berpikir manusia, yang kemudian menjadi pertimbangan hukum atau ratio decidendi dalam putusan kasasi MA. Pertimbangan hukum umumnya lahir dari subjektivitas nalar para hakim agung.

Subjektivitas nalar hakim, celakanya pada kasus-kasus tertentu, bersandar kepada arus kepentingan pragmatis oknum hakim, semisal kepentingan ekonomi atau intervensi kekuasaan. Ini salah satu problematika sistemik yang menghinggapi MA. Yang lain, MA masih terkoptasi dengan gagasan positivistik yang abai dengan nilai-nilai spiritual meski diatas kertas termaktub kalimat Dengan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekedar kata-kata simbolik.

Problematik sistemik tersebut, yang hingga kini menjangkiti atau boleh dibilang merusak marwah MA, merupakan alasan sulitnya MA keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Apalagi semua pilar penegakan hukum yang menyanggu sistem peradilan Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang lepas dari jeratan lingkaran mafia peradilan. Tentunya MA secara empiris sulit mengelak dari lingkaran setan mafia peradilan.

Ini bukti, peradilan berbasis sekuleristik pragmatis, tidak bisa diharap mengakomodir kepentingan para pencari keadilan yang menginginkan penegakan hukum semua orang sama didepan hukum (equality before the law). Sistem peradilan Islam, sejatinya mampu memberikan cahaya keadilan bagi umat manusia. Alasannya, sistem peradilan Islam datangnya dari Sang Pencipta yang Maha Agung dan Maha Adil. Sehingga, semua sistem peradilan manapun di luar sistem peradilan Islam, tidak akan mampu memberikan jaminan keadilan atas dasar semua orang sama di depan hukum. Sistem peradilan produk manusia, serba lemah dan terbatas. Produk akal manusia, betapapun jeniusnya, tak akan mampu menandingi produk wahyu yang maha sempurna.

Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, SH., M.H.
Indonesia Justice Monitor


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab