Tinta Media: HTI
Tampilkan postingan dengan label HTI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HTI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Juni 2023

HTI, KHILAFAH, MASA DEPAN INDONESIA DAN DUNIA


Tinta Media - Penulis merasa sedih sekaligus prihatin mendengar kabar ada aktivitas pengajian yang dibubarkan dengan dalih terkait HTI. Bahkan, kericuhan sempat terjadi dalam upaya pembubaran pengajian di Desa Sumbersuko, Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur. (Selasa, 21/6).

Kalau yang dibubarkan itu aktivitas perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau sejumlah aktivitas kejahatan lainnya, tentu kita semua bisa maklum. Kejahatan memang tak boleh didiamkan, aktivitas kejahatan memang harus dibubarkan karena melanggar hukum.

Tanpa perlu di embel-embeli terkait dengan HTI, terkait tokoh HTI, semua kejahatan layak dibubarkan. Perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya silahkan saja dibubarkan. Meskipun demikian, aktivitas pembubaran itu harus dilakukan atau setidaknya dibawah pengawasan aparat penegak hukum yang berwenang.

Hanya saja, begitu yang dibubarkan pengajian, kita semua tentu berfikir ada apa dengan bangsa ini? Apakah bangsa sebesar Indonesia ini sedang sakit? Sejak kapan pengajian dianggap kejahatan sehingga harus dibubarkan? Kenapa pula aparat penegak hukum tidak mencegah bahkan melakukan pembiaran terhadap tindakan main hakim sendiri ini?

Kalau pembubaran itu di nisbatkan pada HTI, apa salahnya HTI melakukan pengajian? Bukankah itu bukti bahwa HTI memang hanya berdakwah maka setelah BHP HTI dicabut mereka tetap berdakwah, tetap menjalankan pengajian?

Lain soal, kalau ternyata ada sejumlah aktivitas HTI terlibat dalam kejahatan Perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya, lalu dibubarkan. Kita semua tentu setuju, perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya dibubarkan meskipun tidak terkait dengan HTI.

Lalu muncul framing jahat, bahwa pengajian itu ada kaitannya dengan HTI yang dinyatakan terlarang. Sehingga, setiap aktivitas apapun bentuknya, meskipun bentuknya pengajian tetap harus dibubarkan karena terkait dengan HTI yang telah dinyatakan terlarang.

Mengenai hal ini, penulis ingin menyampaikan ulang fakta hukum kedudukan HTI yang tidak pernah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. HTI hanya dicabut badan hukumnya.

Sekali lagi, perlu penulis tegaskan bahwa HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. HTI hanya mendapat tindakan dari badan atau pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking) tentang pencabutan status BHP.

HTI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Komunisme yang diajarkan Karl Marx.

PKI jelas-jelas dinyatakan terlarang berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Dalam diktum keputusannya termaktub secara tegas pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang.

Adapun kronologis dan status hukum HTI sebagai berikut:

*Pertama,* pada tanggal 2 Juli 2014, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar secara resmi menjadi Ormas Islam yang berbadan hukum perkumpulan dengan nomor registrasi AHU-00282.60.10.2014. Pendaftaran ini dilakukan setahun sejak terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

*Kedua,* pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

*Ketiga,* pada hari Rabu tanggal 19 Agustus 2017, pemerintah melalui Kemenkum HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI.

*Keempat,* pada tanggal 13 Oktober 2017, HTI menggugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum ke PTUN Jakarta, dengan registerasi gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT.

Adapun Petitum (tututan) gugatan HTI sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat dengan segala akibat hukumnya;

3. Memerintahkan Tergugat Mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017;

4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara a quo.

*Kelima,* pada hari Senin, tanggal 7 Mei 2018, Majelis Hakim dengan susunan majelis :

1. Tri Cahya Indra Permana, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis;

2. Nelvy Chiristin, S.H., M.H. sebagai Hakim Anggota I;

3. Roni Erry Saputro, S.H., M.H.  sebagai Hakim Anggota II;

4. Kiswono, SH., MH selaku Panitera Pengganti;

Memutuskan perkara gugatan HTI Nomor bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT, dengan amar putusan:

M E N G A D I L I

DALAM PENUNDAAN

Menolak permohonan penundaan surat keputusan yang diajukan oleh Penggugat;

DALAM EKSEPSI

Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 455.000,- (empat ratus lima puluh lima ribu rupiah).

*Keenam,* pada tanggal 16 Mei 2018 HTI mengajukan Banding terhadap putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta (PTTUN Jakarta) dengan nomor perkara : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

*Ketujuh,* pada tanggal 13 September 2018, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, mengeluarkan putusan nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT, dengan susunan Majelis Hakim:

DR Kadar Slamet, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Djoko Dwi Hartono, SH, MH, sebagai Hakim Anggota.

DR Slamet Supartono, SH M
Hum, sebagai Hakim Anggota.

Jarwo Liyanto, SH MH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amar putusannya:

MENGADILI

1. Menerima permohonan banding dari penggugat/pembanding;

2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, yang dimohonkan banding,

3. Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada ke dua tingkat pengadilan yang untuk tingkat pengadilan banding ditetapkan sejumlah Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

*Kedelapan,* pada tanggal 19 Oktober 2018, HTI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

*Kesembilan,* pada tanggal 14 Februari 2019, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor: K/KTUN/2019, dengan susunan majelis hakim:

DR H. Supandi, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Is Sudaryono, SH MH, sebagai Hakim Anggota.

Dr H M Hary Djatmiko, SH MS, sebagai Hakim Anggota.

Michael Renaldy, SH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amat putusannya:

MENGADILI:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PERKUMPULAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI).

2. Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada tingkat Kasasi sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dari 9 (sembilan) kronologi terkait HTI diatas, dari sejak pendaftaran BHP, pencabutan, gugatan PTUN, banding hingga putusan Kasasi, dimana letak terlarangnya? seluruh putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi hanya menolak gugatan HTI, yang maknanya HTI resmi dicabut Badan Hukumnya.

Dalam SK Menkum HAM Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 isinya hanya memuat tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI. Tak ada satupun diktum SK yang menyatakan HTI terlarang.

Karena itu, aktivitas pembubaran pengajian berdalih terkait HTI yang diframing sebagai organisasi terlarang jelas-jelas merupakan tindakan yang ilegal dan inkonstitusional. Sebuah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan konstitusi.

Lalu, bagaimana dengan Khilafah? Apakah Khilafah terlarang? Khilafah memecahbelah? Khilafah merusak kesepakatan para pendiri bangsa? Khilafah ajaran sesat?

Mengenai hal ini, penulis kira tidak mengapa jika sekali lagi dan boleh juga ditegaskan secara berulang, bahwa Khilafah adalah ajaran Islam. Kerusakan negeri ini bukan disebabkan oleh Khilafah.

Korupsi yang menggila di negeri ini, bukan disebabkan oleh Khilafah, melainkan sistem demokrasi yang sekuler, politisi dan partai yang korup dan cawe-cawe oligarki dalam kekuasaan. Utang yang menggunung di negeri ini, bukan disebabkan oleh Khilafah, melainkan sistem demokrasi yang sekuler, politisi dan partai yang korup dan cawe-cawe oligarki dalam kekuasaan.

Perampokan kekayaan alam, dekadensi moral, ancaman disintegrasi Papua, lepasnya Timor Leste, kemiskinan, pengangguran, mafia tanah, dan seabreg masalah yang terjadi di negeri ini bukan karena negeri ini menerapkan Khilafah. Semua itu terjadi justru saat negeri ini menerapkan sistem demokrasi sekuler yang merusak, sebuah sistem pemerintahan warisan penjajah.

Yang berkhianat pada para pendiri bangsa adalah mereka para politisi khianat, partai korup, pemimpin penipu, oligarki yang mengangkangi kekayaan negeri ini. Merekalah yang harusnya dipermasalahkan, bukan para pejuang Khilafah.

Nah, penulis kira justru umat Islam di negeri ini harus Husnudz Dzan pada Khilafah yang merupakan ajaran Islam. Tidak mungkin, Allah SWT menurunkan ajaran Islam yang merusak.

Justru ditengah kebuntuan politik saat ini, diantara ketidakpastian masa depan Indonesia melalui Pemilu dan Pilpres, boleh jadi Khilafah justru akan menjadi solusinya. Bukan hanya solusi bagi Indonesia, bahkan akan menjadi solusi bagi dunia. [].

NB. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak dan bukan mewakili organisasi.

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Anggota HTI



Rabu, 08 Februari 2023

Pernyataan Nasdem Soal HT1 dan FP1 Dinilai Halusinasi dan Islamofobia Akut

Tinta Media - Analisis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai pernyataan Wakil Sekertaris Jendral Partai Nasdem Hermawi Taslim bahwa manuver Nasdem soal HTI dan FPI dibenci oleh Anies Baswedan sebagai pernyataan halusinasi dan islamfobia akut.

“Pernyataan dari Hermawi Taslim itu menunjukkan dua hal, yakni merupakan pernyataan halusinasi akut dan islamofobia akut,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: Nasdem dan Anies Benci HTI dan FPI? Sabtu (28/1/2023), dikanal Youtube Khilafah News.

Pertama, pernyataan tersebut mempresentasikan Partai Nasdem sedang mengalami halusinasi akut karena berandai-andai akan terjadi di tahun 2024. Menurutnya apabila Anies dan Nasdem terus menerus berbuat seperti ini akan menghilangkan simpati umat dan justru mungkin tidak mendapat dukungan dari partai politik lain sehingga gagal menjadi calon presiden.
“Karena ini masih sangat awal, Anies Baswedan itu masih bakal calon presiden bukan calon presiden, jadi belum tentu pula menjadi calon presiden apalagi menang menjadi presiden,” ujarnya.

Kedua, pernyataan ini menunjukkan sedang terjadi islamfobia akut, menyebabkan ketakutan dengan apa pun yang berbau Islam.
“Padahal mereka sebenarnya mengharapkan suara umat Islam tetapi takut dengan Islam itu sendiri. Ini aneh kan? Suaranya diharapkan tapi substansinya ditakuti,” kritiknya.
Ia berpendapat apabila wacana ini terus dilakukan secara terus menerus, sistematis oleh Partai Nasdem justru akan berpotensi sangat besar ke dalam jurang kebangkrutan. Menganggap HTI dan FPI sebagai ormas radikal telah mengklarifikasi dan membuktikan mereka telah masuk ke dalam skenario menstigmatisasi sebagai ormas yang anti Islam.

“Dan saya kira itu sebuah campaign yang memang bisa dilakukan oleh lawan-lawan politik, yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam terutama yang punya kesadaran politik sehingga mereka jualan radikalisme, ekstrimisme dan seterusnya,” bebernya.

Menurut perspektifnya, islamfobia akut tidak hanya menjangkiti orang-orang non muslim tetapi justru yang lebih jauh telah menjangkiti tokoh-tokoh umat Islam, para politisi dan para pengambil kebijakan di negeri ini.

“Padahal negeri ini adalah negeri muslim seharusnya Islam mendapat tempat yang layak, seluruh ajaran Islam mendapat apresiasi dan dukungan yang gelap gembira dari penguasa negeri ini. Tapi kan tidak seperti itu?” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Manuver Nasdem Terkait HT1 dan FP1 karena Kuatnya Tekanan Oligarki

Tinta Media - Pernyataan dari salah satu kader Partai Nasdem tentang manuver soal HTI dan FPI dibenci oleh Anies Baswedan dan Nasdem, menurut Analisis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, karena kuatnya tekanan oligarki.

“Saya menduga demikian, jadi pernyataan yang disampaikan itu menggambarkan betapa kuatnya tekanan dari orang-orang kafir termasuk para oligarki, baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi terhadap proses politik yang terjadi di negeri ini,” tuturnya dalam Kabar Petang: Nasdem dan Anies Benci HTI dan FPI? Sabtu (28/1/2023), di kanal Youtube Khilafah News.

Ia menyatakan Nasdem telah terjebak dalam wacana politik identitas yang justru telah digulirkan jauh hari dan wacana ini merupakan skenario yang dibuat oleh para negara kafir termasuk oligarki di dalamnya.
“Hal ini untuk meminggirkan peran umat Islam terutama umat Islam yang memiliki kesadaran politik agar tidak mengambil peran yang signifikan di dalam kontestasi tahun 2024,” ujarnya.

Para oligarki dan kapital global inilah yang mendesain siapa saja yang muncul di dalam kontestasi  2024. Dan mereka menyadari bahwa kunci dari berjalannya skenario tersebut ada di tangan umat Islam. Mereka membutuhkan suara umat Islam namun ia menilai di sisi lain justru mereka terus menerus memojokkan umat Islam.
“Ini kan aneh? Memojokkan umat Islam, memojokkan ajaran Islam bahkan melecehkan simbol-simbol Islam tapi mereka berharap di satu sisi terhadap suara umat Islam agar terlibat dalam kontestasi itu,” ucapnya.

Di sisi lain mereka (para oligarki dan kapital global) ini menyadari apabila umat Islam memiliki kesadaran politik yang benar akan menjadi lonceng kematian bagi mereka. Mereka akan menggunakan sejumlah instrumen, wacana-wacana politik untuk memastikan pemenang dalam kontestasi adalah orang yang sudah dalam genggaman mereka.

“Mereka sadar bahwa Islam politik adalah ancaman bagi mereka di masa depan sehingga berupaya betul agar Islam politik tidak bisa bangkit,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 01 Februari 2023

SINGGUNG HT1 DAN FP1 TERLARANG, NASDEM BUNUH DIRI POLITIK?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh  Wasekjen NasDem Hermawi Taslim,  bahwa organisasi terlarang seperti HTI dan FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim mengatakan hal itu katanya sudah menjadi komitmen bersama menujukkan setidaknya dua hal.

 

Pertama,  wasekjen Nasdem nampaknya tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013 bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang. Dalam putusan PTUN dan kasasi di mahkamah agung tidak pernah menyebut HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang. Produk hukum ini menguatkan keputusan menteri no 30 tahun 2017 yang mencabut SK Menteri hukum dan HAM 282 tahun 2014 tentang perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

 

Sementara di SK Menteri no 30 tahun 2017 yang diperkuat dengan tiga tingkat pengadilan memang mencabut BHP HTI, namun bukan berarti HTI jadi ormas terlarang. Di pasal 80 A UU No 16 tahun 2017 yang dulu perpu, telah memotong jalur proses peradilan yang menempatkan semua warga sama haknya di hadapan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan perpu, negara seolah menempatkan diri sebagai lembaga penilai tunggal atas kebenaran dan kesalahan hukum. Alhasil dengan perpu itu, HTI dinyatakan bubar, tapi tidak dinyatakan terlarang. Yang tidak boleh menurut nomenklatur hukum adalah melakukan berbagai kegiatan atas nama HTI, itu saja.

 

Kedua, wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu. Mungkin umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem diduga kuat anti ideologi Islam. Padahal HTI dan FPI hanyalah medakwahkan ajaran Islam, bukan mengjarkan paham komunis yang dilarang di negeri ini. 


Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT.  

 

FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB 6 menteri yang membubarkan FPI yang konskuensinya pelarangan kegiatan atas nama FPI, larangan penggunaan atribut, dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum. FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme.

 

Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitanya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini.

Begitupun dengan HTI setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z. Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik.

 

HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pehabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx. Jika ada orang menganggap HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang dan menyamakan dengan PKI, maka orang itu tengah melangalami virus kedunguan tingkat tinggi, jika ada orang yang seperti itu loh....

 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini.

 

HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara.

 

Mengapa islamopobia semakin marak di negeri ini ?. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang.

 

Secara genealogis, islamopobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.

Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Dari sini, kebijakan deradikalisasi bisa dipahami alurnya.

 

Tentu saja umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam.

 

Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.

 

Jadi ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini. Soal Nasdem dan Anies, maka umat harus semakin cerdas, apakah masih ingin mendukung partai ini ?.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

SINGGUNG HT1 DAN FP1 TERLARANG, NASDEM BUNUH DIRI POLITIK?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh  Wasekjen NasDem Hermawi Taslim,  bahwa organisasi terlarang seperti HTI dan FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim mengatakan hal itu katanya sudah menjadi komitmen bersama menujukkan setidaknya dua hal.

 

Pertama,  wasekjen Nasdem nampaknya tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013 bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang. Dalam putusan PTUN dan kasasi di mahkamah agung tidak pernah menyebut HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang. Produk hukum ini menguatkan keputusan menteri no 30 tahun 2017 yang mencabut SK Menteri hukum dan HAM 282 tahun 2014 tentang perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

 

Sementara di SK Menteri no 30 tahun 2017 yang diperkuat dengan tiga tingkat pengadilan memang mencabut BHP HTI, namun bukan berarti HTI jadi ormas terlarang. Di pasal 80 A UU No 16 tahun 2017 yang dulu perpu, telah memotong jalur proses peradilan yang menempatkan semua warga sama haknya di hadapan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan perpu, negara seolah menempatkan diri sebagai lembaga penilai tunggal atas kebenaran dan kesalahan hukum. Alhasil dengan perpu itu, HTI dinyatakan bubar, tapi tidak dinyatakan terlarang. Yang tidak boleh menurut nomenklatur hukum adalah melakukan berbagai kegiatan atas nama HTI, itu saja.

 

Kedua, wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu. Mungkin umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem diduga kuat anti ideologi Islam. Padahal HTI dan FPI hanyalah medakwahkan ajaran Islam, bukan mengjarkan paham komunis yang dilarang di negeri ini. 


Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT.  

 

FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB 6 menteri yang membubarkan FPI yang konskuensinya pelarangan kegiatan atas nama FPI, larangan penggunaan atribut, dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum. FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme.

 

Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitanya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini.

Begitupun dengan HTI setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z. Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik.

 

HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pehabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx. Jika ada orang menganggap HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang dan menyamakan dengan PKI, maka orang itu tengah melangalami virus kedunguan tingkat tinggi, jika ada orang yang seperti itu loh....

 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini.

 

HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara.

 

Mengapa islamopobia semakin marak di negeri ini ?. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang.

 

Secara genealogis, islamopobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.

Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Dari sini, kebijakan deradikalisasi bisa dipahami alurnya.

 

Tentu saja umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam.

 

Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.

 

Jadi ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini. Soal Nasdem dan Anies, maka umat harus semakin cerdas, apakah masih ingin mendukung partai ini ?.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum

Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.

"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.

Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.

Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.

Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.

"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.

Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua. 
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.

"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.

Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?. 

"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.

Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.

"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
 Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya

Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.

"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya. 
[] 'Aziimatul Azka

Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum

Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.

"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.

Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.

Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.

Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.

"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.

Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua. 
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.

"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.

Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?. 

"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.

Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.

"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
 Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya

Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.

"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya. 
[] 'Aziimatul Azka

Jumat, 20 Januari 2023

Singgung HT1 dan FP1, Ketua FDMPB: Nasdem Bunuh Diri Politik?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh Wasekjen NasDem Hermawi Taslim, bahwa organisasi terlarang seperti HT1 dan FP1 akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024 sudah menjadi komitmen bersama, menurut Ketua Forum Muslim Peduli Bangsa(FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. dinilai tengah melakukan bunuh diri politik.

“Wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (19/01/2023).

Hal ini, menurutnya, memungkinkan umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem anti Islam. “Sementara selama ini Anies dianggap mewakili suara umat Islam,” jelasnya. 

Selain itu, ia melihat bahwa Wasekjen Nasdem tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013. “Bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang,” paparnya.

Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. “Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT,” terangnya.  

Diungkapkannya FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB menteri yang membubarkan FPI. “Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum,” ungkapnya.
 
“FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme,” ungkapnya lebih lanjut. 

Menurutnya, Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitannya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. “Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini,” paparnya.
 
Begitupun dengan HTI, ia menjelaskan setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. “HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z,” jelasnya.

Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. “Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik,” tegasnya. 

Menurutnya, HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). “HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx,” jelasnya.

*Nasdem Mengidap Islamofobia?* 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Menurut Dr. Ahmad Sastra, ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. “Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini,” tuturnya.

Dijelaskannya bahwa HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. “HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara,” jelasnya. 

“Mengapa islamofobia semakin marak di negeri ini?” tanyanya kemudian.
 
Ia melihat di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. 
“Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian,” sesalnya. 

Paradoks kedua menurutnya adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. “Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang,” ungkapnya. 

Diterangkannya secara genealogis, islamofobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. “Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam,” terangnya. 

Faktanya, ia melihat dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. “Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi,” jelasnya.

Narasi islamofobia itu dikatakannya lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. “Itulah mengapa, kebijakan rezim jokowi periode kedua dengan tegas mengusung program utama deradikalisasi,” paparnya.

*Sikap Umat Islam*

Dr. Ahmad Sastra mengingatkan, umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. “Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam,” jelasnya. 

Bahkan menurutnya demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. “Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah,” terangnya.

Jadi ia katakan bahwa ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. “Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini," pungkasnya.[] Raras

Kamis, 19 Januari 2023

Advokat: Sikap Politik NasDem Cederai Umat Islam dan Khianati Komitmen Perubahan

Tinta Media - Pernyataan sikap politik Wasekjen NasDem, Hermawi Taslim yang menyebut bahwa FP1-HT1 tetap menjadi organisasi terlarang walaupun Anies menjadi Presiden, dinilai Advokat Ahmad Khozinudin telah mencederai umat Islam. "Sikap politik NasDem ini telah mencederai umat Islam sekaligus khianat pada komitmen akan perubahan," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (17/1/2023). 

Ia pun menyatakan bahwa NasDem telah merusak kohesi sosial dan ikatan kesatuan pandangan politik umat Islam. "Yang sebelumnya mendukung NasDem dan mengusung Anies Baswedan," imbuhnya.

Khozinudin pun menguraikan tiga hal penyebab kerusakan tersebut.

Pertama, HTI dan FPI adalah ormas Islam, bagian dari umat Islam. "HTI dan FPI selama ini telah ada, dan selalu membersamai umat Islam dalam setiap aktivitas dakwahnya, baik yang berkaitan dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, maupun aktivitas sosial ditengah-tengah umat," jelasnya.

Komitmen yang memastikan HTI dan FPI terlarang, lanjutnya, jelas sangat menyakiti hati umat Islam karena semua juga paham HTI dan FPI adalah korban kezaliman rezim Jokowi. "Tidak ada satu pun kesalahan HTI maupun FPI. Justru rezim lah yang telah bertindak zalim pada HTI dan FPI," tegasnya.

Kedua, menyebut HTI dan FPI terlarang adalah penyesatan politik yang sangat jahat. "Karena tidak ada satupun dasar hukum maupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang," tambahnya.

Ia menguraikan bahwa bisa juga hal ini mengkonfirmasi kebodohan Nasdem yang tidak paham nomenklatur hukum. "Kasihan, jika politisi bodoh terus memimpin negeri ini," sesalnya.

Khozinudin menjelaskan bahwa HTI hanya dicabut BHP-nya. FPI hanya tidak diterbitkan SKT-nya. "Tidak ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang," tandasnya.

Ketiga, bahwa semangat perubahan yang digaungkan Nasdem menjadi tidak bernilai, karena NasDem malah mempertahankan legacy kezaliman Jokowi. "Mencabut BHP HTI dan tidak menerbitkan SKT FPI tanpa kesalahan adalah kezaliman, dan malah akan terus dipertahankan," ungkapnya.

"Bahkan, lebih jauh NasDem memberikan garansi akan tetap mempertahankan keputusan zalim Jokowi. Dimana letak mau berubahnya?" tanyanya heran.

Khozinudin pun mengutip komentar Aziz Yanuar, yang mengatakan "Bagaimana mau merestorasi Indonesia jika mentalnya masih seperti inlander begitu sesama anak bangsa?". "Ya, jargon restorasi NasDem menjadi hanya basa-basi karena faktanya NasDem inlander, masih terus berada dibawah ketiak Jokowi," bebernya.

Ia menyayangkan bahwa sikap NasDem ini tentu saja membuat umat Islam khawatir, ketika mau memilih Anies Baswedan sebagai Capres. Alih-alih mau melakukan perubahan. "Umat Islam khawatir kelak Anies setelah menjadi Presiden akan dikendalikan NasDem yang mempertahankan kebijakan politik anti Islam, yang diwariskan oleh rezim Jokowi," pungkasnya.[] Nita Savitri

Rabu, 18 Januari 2023

DAMPAK PERNYATAAN NASDEM SOAL HT1 & FP1 AKAN SANGAT MERUGIKAN BAGI ANIES BASWEDAN

Tinta Media - HTI dan FPI, bukan organisasi kaleng-kaleng. Keduanya, memiliki simpul tokoh dan massa yang besar, bahkan dalam konstelasi aspirasi politk suara umat Islam sangat menentukan.

HTI dan FPI memiliki banyak kader intelek dan militan. HTI dan FPI punya reputasi untuk mengumpulkan massa, apalagi sekedar mengumpulkan suara. 

Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah, misalnya. Seolah telah menjadi kapling PKB dan PAN, belakangan suara NU digerogoti PDIP dan Muhammadiyah juga menjadi ceruk pasar Partai Umat. Sementara, HTI & FPI tidak terafiliasi dan bukan market politik dari partai tertentu.

Posisi 'floating mass' di HTI dan FPI ini sangat strategis untuk pemenangan Pilpres. Calon yang dapat mengkondisikan suara HTI dan FPI berpotensi mendapatkan kemenangan.

Yang harus dihitung bukan saja suara HTI dan FPI, tetapi juga kemampuan konsolidasi dan dakwah keduanya. Keduanya, tentu akan menyampaikan pada umat untuk tidak memilih Capres yang akan melanggengkan kebijakan zalim Jokowi terhadap ormas dan umat Islam.

Pernyataan Waketum NasDem Hermawi Taslim, yang akan komitmen meneruskan kebijakan rezim Jokowi yang mencabut BHP HTI dan tidak menerbitkan SKT FPI saat Anies Baswedan menjadi Presiden, mengecewakan dan membuat gelisah Umat Islam. HTI maupun FPI tentu saja tidak akan setuju dengan kebijakan NasDem ini.

NasDem tidak paham, bahwa HTI dan FPI masih memiliki hak politik, untuk memilih dalam Pilpres. NasDem tidak paham, HTI dan FPI bisa saja mengalihkan dukungan, karena khawatir Anies Baswedan kelak akan disetir oleh NasDem dan melanjutkan kebijakan zalim Jokowi.

NasDem tidak paham, dampak bagi anies bukan hanya kehilangan ceruk pasar pemilih dari HTI dan FPI, tetapi juga dari umat Islam yang tidak ridlo kebijakan zalim Jokowi terhadap FPI dan HTI dipertahankan oleh NasDem. Nasdem telah menjauhkan Anies Baswedan dari umat Islam.

Mungkin juga, ini adalah kehendak Allah SWT, agar umat Islam tidak tertipu oleh NasDem. Melalui Hermawi Taslim, Nasdem membongkar jatidirinya yang masih setia pada kebijakan zalim Jokowi.

Nampaknya, selain umat Islam harus mengevaluasi pernyataan NasDem maka Anies Baswedan juga perlu mempertimbangkan pilihan politik maju bersama NasDem. Suara NasDem saja belum tentu bisa jadi tiket nyapres, tapi sudah pasti menggerus elektabilitas Anies di kalangan suara umat Islam.

Anies harus memilih partai yang bukan sekedar mengantarkan tiket pencapresan, tapi juga mendongkrak elektabilitas Anies. Partai Islam atau setidaknya partai berbasis massa Islam lebih direkomendasikan ketimbang NasDem yang dulu pernah mendukung Ahok, narapidana penista agama. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://youtu.be/oCci1gVcLoQ


Sabtu, 31 Desember 2022

KLARIFIKASI DAN BANTAHAN TERHADAP PERNYATAAN NGAWUR SAID AQIL SHIRAJ YANG MENUDUH BOM BANDUNG TERKAIT DENGAN KHILAFAH DAN HTI. KHILAFAH ADALAH AJARAN ISLAM, BUKAN MAHZAB AKIDAH ATAU FIQH

"Saya ingin mohon kepada Bapak Boy BNPT, agar BNPT mengusulkan pada pemerintah, agar pemerintah secara resmi melarang aliran Wahabi, Salafi, Khilafah HTI. Walaupun HTI secara resmi telah dicabut izinnya, tapi rekrutmen simpatisan masih berjalan pak. Buktinya tahu tahu ada bom di Bandung yang kita tidak sangka-sangka meledak ada bom."

"Oleh karena itu mohon kemudian Pak, BNPT mohon kepada Jokowi agar melakukan Inpres sebagai payung FKPT FKPT yang ada di daerah, gugus tugas yang ada di daerah, bukan hanya di pusat, bukan hanya di elit, tapi bagaimana di Kabupaten, Kota bahkan hingga sampai ke daerah daerah, ini butuh payung apa namanya, Inpres dari Presiden ..."

[Kutipan Pernyataan Ketua LPOI, Said Aqil Shiraj, 27/12, yang potongan videonya beredar luas ]


Beberapa waktu lalu, BNPT RI mengadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme, Gugus Tugas Pemuka Agama, Duta Damai Dunia Maya dan Duta Damai Santri pada Selasa (27/12/2022) di Lapangan Biwara Kantor Pusat BNPT RI, Sentul, Bogor.

Salah satu rangkaian acara rakornas tersebut adalah talkshow bertajuk “Catatan Akhir Tahun “Kilas Balik Tahun 2022: Kiprah Mitra BNPT dalam Pencegahan Terorisme”.

Dalam talk show tersebut, juga hadir Said Aqil Shiraj yang merupakan ketua Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI). Sebagai salah satu nara sumber, Said Aqil mengedarkan fitnah dan tuduhan keji terhadap ajaran Islam Khilafah.

Potongan video pernyataan Said Aqil itu beredar luas. Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Said Aqil Shiraj, yaitu:

Pertama, Said Aqil Shiraj meminta agar BNPT meminta Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Inpres. Inpres itu dibutuhkan sebagai "payung besar" untuk memproteksi keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Said menyebut kelompok-kelompok pengusung ideologi anti-Pancasila telah nyata-nyata merongrong, melawan, dan berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

Kedua, Said Aqil Shiraj meminta agar pemerintah secara resmi melarang aliran Wahabi, Salafi, Khilafah HTI. 

Ketiga, HTI masih eksis. Meskipun HTI secara resmi telah dicabut izinnya, namun rekrutmen simpatisan masih berjalan dibuktikan dengan adanya bom yang meledak di Bandung.

Untuk masalah yang pertama, rasanya Said Aqil Shiraj sengaja jualan isu radikalisme, terorisme dan anti pancasila, hanya diarahkan kepada kelompok Islam. Said tidak pernah mengecam TPNPB - OPM yang berulangkali melakukan pembunuhan, teror, perusakan sarana umum, fasilitas strategis dan internasional untuk menjalankan misi terorisme dengan tujuan memisahkan diri dari NKRI, menuntut kemerdekaan dan mendirikan entitas negara yang terpisah dari NKRI.

Said juga tak pernah ikut menegur BNPT maupun Densus 88, yang mengedarkan tuduhan dan fitnah keji terlibat pendanaan terorisme pada kasus yang menjerat Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung al Hamat. Pada mulanya, para ustadz dinarasikan terlibat pendanaan terorisme, Densus 88 menerapkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pendanaan Terorisme dan menyita 791 kotak amal masjid milik LAZ ABA.

Faktanya, dalam persidangan Jaksa tidak pernah mendakwa para ustadz dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pendanaan Terorisme. 791 kotak amal yang disita densus 88 juga tak ada satupun yang dihadirkan di persidangan.

Pasal terorisme yang ancamannya pidana seumur hidup juga tidak terbukti. Terlibat korporasi terorisme juga tidak terbukti. Akhirnya, para ustadz dipaksa diterorisasi dengan pasal 13 C tentang menyembunyikan informasi terorisme.

Said Aqil tak pernah membahas ini, tak pernah membela saudara Muslim yang dizalimi Densus 88. Said malah sibuk menjilat ke penguasa, hanya untuk menambah teror dan perpecahan ditengah umat Islam.

Selanjutnya, apa kesalahan Wahabi dan Salafi hingga harus dilarang? Juga tidak ada istilah Khilafah HTI. Khilafah adalah ajaran Islam, bukan ajaran HTI. Khilafah sudah ada sejak era Khulafaur Rasyidin, jauh sebelum HTI eksis di negeri ini.

Said Aqil hanya mengedarkan narasi pecah belah melalui jualan isu Wahabi dan Salafi. Namun, Said bungkam pada ancaman dan kerusakan yang telah, sedang dan terus ditimbulkan oleh ideologi kapitalisme liberal dan Sosialisme Komunisme.

Said juga tidak paham, bahwa HTI adalah ormas Islam, bukan mahzab fiqh atau akidah seperti Salafi maupun Wahabi. HTI hanya dicabut BHP nya, bukan izinnya. Karena berorganisasi adalah hak komstitusional setiap warga negara yang tak memerlukan izin negara.

Dan terakhir, yang paling kejam dan jahat adalah Fitnah Said Aqil Shiraj yang mengaitkan eksistensi HTI dengan bom yang meledak di Bandung. Apa dasarnya?

Sejak sebelum dicabut BHP nya, HTI selalu konsisten dengan aktivitas dakwah yang murni pemikiran, politik, tanpa kekerasan dan senjata. HTI selalu mengecam aktivitas teror dan mengancam keselamatan publik, apapun alasannya.

Lagipula, belum ada putusan pengadilan terkait Bom Astanaanyar Bandung. Pelakunya disebut bunuh diri. Lalu, apa urusannya dikaitkan dengan HTI?

Kalau rekrutmen HTI disebut masih berjalan, semestinya dikaitkan dengan data jumlah anggota HTI, bukan dikaitkan dengan bom. Sekarang, mana data jumlah anggota HTI? Berapa juta jumlah anggota HTI yang berhasil direkrut?

Intinya, Said Aqil Shiraj terbiasa mengedarkan fitnah dan tuduhan keji terhadap sesama muslim. Menyandang gelar ketua LPOI, tapi amalnya bukan merajut persaudaraan sesama muslim, melainkan malah menebar permusuhan, pecahbelah, adu domba dan namimah. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Praktisi Hukum Dalam Penanganan Advokasi Ulama Korban Kriminalisasi Berdalih Terorisme 

Minggu, 30 Oktober 2022

Kaitkan Perempuan Bawa Pistol dengan HT1, Jurnalis: BNPT Fitnah Perjuangan Islam Kaffah

Tinta Media - Mengaitkan perempuan yang membawa pistol dengan HT1, Jurnalis Joko Prasetyo meyakini bahwa BNPT tengah berdusta untuk memfitnah perjuangan penegakkan Islam kaffah.

"Saya yakin 100 persen bahwa BNPT tengah berdusta untuk memfitnah perjuangan penegakkan syariat Islam secara kaffah," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (27/10/2022).

Menurutnya, BNPT tidak memiliki argumentasi yang dapat menyangkal kewajiban penerapan Islam kaffah. "BNPT tentu saja tidak punya argumentasi syar'i yang dapat mematahkan kewajiban penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan khilafah," ujarnya.

Tapi, kata Om Joy, BNPT punya cara lain agar kaum Muslim menjauhi dakwah yang mulia ini dan mengkriminalisasi kaum Muslim yang mendakwahkan khilafah. Salah satu caranya dibuatlah skenario jahat dengan mengaitkan seorang perempuan yang membawa pistol dengan HT1.

Ia yang kapasitasnya sebagai jurnalis menceritakan pengalamannya, pernah berwawancara dengan aktivis HT1 dan jubirnya sebelum BHP dicabut.

"Sebagai jurnalis, saya sudah mewawancarai banyak aktivis HT1 dan juru bicara HT1 sebelum BHP-nya dicabut, dan juga membaca berbagai literasi terkait HT1. Saya pahami dan saya simpulkan HT1 konsisten berdakwah tanpa kekerasan. Dakwahnya murni hanya membangkitkan kesadaran melalui pemikiran, sama sekali tanpa kekerasan apalagi membawa pistol seperti perempuan itu," jelasnya.

Justru kekerasan kerap muncul dari ormas tertentu, imbuhnya, yang disokong aparat kepolisian untuk membubarkan aktivitas dakwah HT1, padahal jelas-jelas saat itu BHP HT1 masih belum dicabut. Bahkan oknum ormas tertentu menonjok muka salah satu aktivis HT1, HT1 sama sekali tidak melawan. Padahal aktivis HT1 sangat mampu untuk melawannya. 

Selanjutnya, Ia menjelaskan tentang pernyataan langsung dari aktivis HT1 bahwa dakwahnya mengikuti metode Rasulullah yaitu mengubah pemikiran untuk menyadarkan umat.

"Kata para aktivis HT1, mereka sadar bahwa HT1 berdakwah meniru dakwah Rasululllah SAW di Mekah selama Daulah Islam belum tegak di Madinah. Yakni, dakwah dan perang pemikiran, sama sekali tidak melawan secara fisik, apalagi menyerang duluan," paparnya.

Ia juga menegaskan bahwa khilafah merupakan ajaran Islam, dan menegakkannya adalah fardhu kifayah. "Khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang hukumnya fardhu kifayah untuk ditegakkan," terangnya.

Maka, imbuhnya, kaum Muslim yang sadar akan kewajiban tersebut, kemudian mendakwahkannya, salah satunya oleh kaum Muslim yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia yang belakangan BHP-nya dicabut secara sepihak dan zalim oleh rezim negara Pancasila. 

Om Joy, sapaan akrabnya menilai, meskipun BHP HT1 dicabut tidak menyurutkan semangat kaum muslimin untuk tetap mendakwahkannya. "Namun, meski BHP HT1 dicabut, kesadaran kaum Muslim tidaklah surut, kaum Muslim terus mendakwahkan kewajiban tersebut," katanya.

Ia juga menceritakan pengalamannya bahwa pernah berinteraksi dengan aktivis HT1 dan menirukan pernyataannya. "Mendakwahkan kewajiban khilafah tanpa kekerasan itu fardhu kifayah, memperjuangkan tegaknya kembali khilafah dengan kekerasan itu salah. Begitu yang saya pahami dari berintaksi dengan para aktivis HT1," ujarnya kembali.

Kemudian ia memberikan kesimpulan bahwa tindakan perempuan yang membawa pistol itu tidak ada kaitannya dengan HT1. "Jadi, perbuatan perempuan dengan membawa pistol itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan HT1. Dan, tidak bisa dikait-kaitkan dengan HT1," tegasnya

Pengaitan yang dilakukan, kata Om Joy, tiada lain dan tiada bukan dari sikap tendensius yang lahir dari kebencian akan perjuangan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.

Terakhir sang jurnalis menyimpulkan bahwa BNPT jelas-jelas memfitnah HT1 dengan mengaitkan perjuangan penegakan khilafah melalui kekerasan. 

"Maka dari itu, saya bisa simpulkan BNPT telah memfitnah HT1. Tujuannya, untuk mengaitkan perjuangan menegakkan khilafah dengan tindakan kekerasan/teror/kriminal. Agar kaum Muslim yang mendakwahkan khilafah diidentikan dengan kekerasan/teror, sehingga dengan lebih seenaknya lagi diberangus. Sungguh keji sekali fitnah itu," pungkasnya.[] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab