Tinta Media: HT1
Tampilkan postingan dengan label HT1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HT1. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 November 2024

HT1 Recall, Kemaslahatan untuk Negeri

Tinta Media - Sebagaimana diketahui Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah organisasi dakwah politik yang berideologi Islam dengan tujuannya  untuk melanjutkan kehidupan Islam.  Namun, pada tahun 2017, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut legalitasnya HTI berdasarkan tuduhan bahwa organisasi ini dianggap bertentangan dengan Pancasila dan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap keutuhan negara. 

Tentunya, langkah yang diambil pemerintah tersebut dilatarbelakangi oleh isu kekalahan pasangan tertentu pada  Pilkada DKI Jakarta yang beraroma agama. Hal inilah yang menimbulkan polemik, HTI menilai keputusan tersebut berdasarkan kepentingan para oligarki dan pihak tertentu yang merasa terusik atas kiprah dakwahnya yang kritis agar kaum muslim tidak memilih pemimpinnya yang nonmuslim.

HTI  sendiri bukanlah partai politik pragmatis yang mengikuti kontestasi demokrasi, bahkan lebih dikenal sebagai organisasi dakwah pemikiran yang menentang ideologi sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme. Meskipun demikian,  penentangan tersebut tidak ditempuh dengan jalan arogan dan kekerasan, tetapi  melalui ide-ide Islam yang disampaikan dengan cara elegan, logis, dialogis, dan  apa adanya mengajak umat untuk menerapkannya secara kaffah.

Dengan latar belakang seperti itu, ada baiknya bagi pemerintahan yang baru Prabowo-Gibran harusnya  bisa melakukan recall atau peninjauan ulang atas keputusan pembubaran HTI.  Dengan kata lain,  mengembalikan legalitas HTI sebagai organisasi dakwah yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Apalagi sudah terbukti selama ini HTI begitu santun dan elegan dalam menyampaikan kritik terhadap penguasa.

Secara kronologis, HTI dibubarkan setelah pencabutan badan hukum perkumpulan (BHP)  pada Mei 2017 oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Keputusan  ini diambil tidak mengikuti prosedural hukum yang baku karena tanpa adanya surat peringatan dan evaluasi terhadap kegiatan HTI yang dinilai tidak sejalan dengan ideologi negara. Inilah yang menimbulkan tanda tanya besar adanya kepentingan politik pihak tertentu di balik keputusan yang terkesan buru-buru tersebut.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017, yang memungkinkan pembubaran organisasi kemasyarakatan tanpa proses pengadilan jika dianggap bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan adanya dasar  Perppu ini, pemerintah akhirnya  mencabut badan hukum HTI.

Setelah keputusan tersebut,  HTI mencoba menggugat keputusan pemerintah melalui jalur hukum, tetapi upaya mereka di pengadilan tidak membuahkan hasil. Pada Juli 2019, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi HTI dan memperkuat keputusan pemerintah.

Fakta Dakwah HT1

Meskipun sudah dicabut legalitasnya, bukan berarti HTI melemah, bahkan semakin kuat dakwahnya dalam menyeru kepada kebenaran dan menolak kebatilan. Pasalnya, kewajiban dakwah  adalah perintah Allah Swt. "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Ali ‘Imran: 104)

Oleh karena itu, ada beberapa alasan mengapa HTI perlu dikembalikan lagi status hukumnya sebagai gerakan dakwah dengan reputasi terbaik di negeri ini.  Salah satu alasan yang mendukung adanya upaya untuk peninjauan ulang terhadap keputusan pembubaran HTI adalah fakta bahwa selama beroperasi, HTI melakukan dakwahnya secara damai, intelektual, dan tidak anarkis. Misalnya saja, HTI dikenal melakukan diskusi, seminar, dan kampanye dengan pendekatan pemikiran.

Dalam hal ini, HTI  menyampaikan konsep-konsep keislaman berdasarkan dalil yang  sahih, konsep Khilafah yang ditawarkan HTI sejatinya adalah ajaran Islam yang diakui para ulama tanpa ada perbedaan pendapat,  pemikiran politik Islam yang menjadi bahan diskusi dilakukan HTI tanpa cara-cara kekerasan dan paksaan.

Selain itu, tidak ada riwayat kekerasan atau tindakan anarkis. Meskipun kerap menggelar aksi damai di jalanan dalam menanggapi isu-isu politik tertentu yang merugikan kepentingan umat Islam. HTI tidak tercatat pernah terlibat dalam kerusuhan atau bentrokan fisik dengan pihak lain. Aktivitas mereka berjalan secara tertib dan mereka selalu mengimbau anggotanya untuk menghindari tindakan yang dapat merusak keamanan.

Dalam aktivitas dakwahnya,  HTI berupaya menanamkan pemahaman Islam yang menyeluruh kepada masyarakat tanpa adanya dorongan untuk melakukan tindakan radikal atau melakukan makar terhadap penguasa yang sah. HTI secara terbuka menolak segala bentuk kekerasan, terorisme, dan ekstremisme. HTI menilai bahwa yang terjadi sebenarnya adalah  pemaksaan paham sekulerisme pada negeri-negeri kaum muslim oleh negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. 

Sekali pun aktivitas yang dilakukan oleh HTI bersifat politik, tetapi pemahaman politiknya bukanlah politik praktis-pragmatis.  Politik yang dijalankan HTI adalah politik yang didefinisikan sebagai pengaturan kehidupan masyarakat secara umum dengan aturan syariat Islam.

 Dakwah HTI di tengah masyarakat tidak lebih dari apa yang disebut sebagai perang pemikiran (shiraul fikr), yaitu melalukan diskusi secara terbuka tentang konsep  kehidupan bermasyarakat yang ideal berdasarkan ketaatan kepada hukum-hukum Allah Swt.  Sebabnya, perubahan yang diinginkan oleh HTI  adalah perubahan pemikiran, bukan perubahan yang temporal, apalagi dipaksakan dengan senjata atau kekerasan.

Oleh karena itu,  mengapa HTI perlu di recall karena keberadaannya menjadi penting untuk kemaslahatan  negeri ini. Setidaknya ada beberapa alasan:  Pertama, adanya jaminan hak berorganisasi dan kebebasan berekspresi.
Di negara yang konon menganut  demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi. Selama tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa HTI mengancam keamanan nasional atau menggunakan kekerasan, pembubaran organisasi ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak tersebut.

Kedua, revisi keputusan berdasarkan bukti empiris. Tidak ada bukti nyata bahwa HTI terlibat dalam kegiatan yang mengancam stabilitas negara atau keamanan masyarakat. Sebaliknya, data empiris menunjukkan bahwa HTI mengedepankan cara damai dan berdakwah tanpa kekerasan. Revisi keputusan berdasarkan bukti nyata akan menunjukkan komitmen pemerintah terhadap keadilan.

Ketiga,  menghindari stigmatisasi terhadap gerakan dakwah.  Pembubaran HTI tanpa bukti kekerasan dapat menciptakan preseden negatif bagi organisasi dakwah lainnya. Hal ini juga dapat menimbulkan stigmatisasi terhadap organisasi Islam yang bergerak dalam bidang dakwah. Dengan melakukan recall, pemerintah dapat menunjukkan bahwa mereka bersikap adil dan tidak gegabah dalam menilai organisasi dakwah.

Dan terakhir,  keempat, adanya HTI recall akan membuka ruang dialog yang dinamis. Pemerintah dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk membuka ruang dialog dengan HTI dan organisasi lainnya yang memiliki pandangan politik berbeda. Melalui dialog, pemerintah dan organisasi Islam seperti HTI dapat saling memahami serta membangun kebijakan yang berlandaskan prinsip perdamaian dan penghormatan terhadap ideologi negara.

Pada akhirnya, cukuplah kiranya kita diingatkan dengan apa yang Allah Swt. sampaikan pada  Surah Al-Ahqaf ayat 13, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah,' kemudian mereka tetap istikamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang konsisten berpegang teguh pada ajaran Allah, termasuk dalam dakwah, akan diberi ketenangan dan kebahagiaan oleh Allah. Istikamah dalam dakwah merupakan bukti dari komitmen seseorang kepada imannya.

Wallahu'alam bish shawwab.

Oleh: Maman El Hakiem
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 03 Februari 2024

IJM: Isu Normalisasi HT1 dan FP1 Menjadi Warning bagi Pemerintah



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menanggapi isu normalisasi status organisasi masyarakat atau ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HT1) maupun Front Pembela 1slam (FP1) sebagai warning bagi pemerintah untuk bersikap adil. 

“Ini harus menjadi warning bagi pemerintah agar berhati-hati dan bersikap adil dalam memperlakukan ormas Islam, karena bisa menimbulkan persepsi negatif di kalangan masyarakat bahwa ini upaya memberangus kelompok Islam yang berbeda dan kritis terhadap pemerintah,” tuturnya pada unggahan Normalisasi HT1 dan FP1? di kanal YouTube Justice Monitor, Rabu (31/01/2024). 

Ia mengingatkan bahwa sebagai negara hukum pemerintah tidak dapat melarang warganya untuk berserikat, berkumpul, dan juga berkegiatan dakwah. 

“Jika kita cermati, langkah pemerintah membubarkan kedua atau mencabut badan hukum dan tidak memperpanjang SKT dari kedua ormas itu yang sebelumnya menimbulkan polemik di dalam masyarakat, ada yang mendukung upaya pembubaran atau pencabutan BHP dan SKT, ada pula yang menolak dengan argumen kebebasan berserikat, termasuk rasa was-was kembalinya politik represi,” jelasnya. 

Menurutnya, bagi pihak yang kontra, langkah pemerintah menjadi tambahan alasan untuk makin waspada setelah melihat fenomena menyempitnya ruang kebebasan bersuara kritis belakangan ini. “Jangan lupa pemerintah juga punya tanggung jawab melakukan pembinaan, pengayoman, dan memberikan edukasi kepada seluruh ormas,” tuturnya mengingatkan. 

“Sehingga atas langkah pembubaran tersebut pemerintah dinilai sebagian pihak tidak benar-benar melakukan kajian yang komprehensif dan disinyalir memiliki sentimen tertentu dan bernuansa politik,” sambungnya menegaskan. 

Menurutnya topik HT1 dan FP1 merupakan ujian bagi negara ini. “Sebab banyak pihak yang menilai pembubaran kedua atau pencabutan badan hukum BHP HTI dan tidak dilanjutkannya SKT FPI ini indikasi dan benih-benih lahirnya otoritarianisme,” terangnya.

Hal ini dinilai Agung sekaligus bisa menjadi ujian dalam bernegara. “Penting pemerintah hendaknya memberikan keadilan bagi setiap masyarakat untuk berdakwah dan bersuara kritis,” pungkasnya.[] Raras

Rabu, 02 Agustus 2023

IDI SENASIB DENGAN HT1 DAN FP1?

Tinta Media - Mengutip informasi dari website kantor berita yang memberitakan bahwa DPR telah menyetujui RUU Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan) menjadi Undang-undang.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, Bahwa sebelum RUU Kesehatan tersebut disetujui menjadi UU, muncul berbagai macam tuduhan dan narasi yang sifatnya menyudutkan IDI. IDI dituduh melakukan monopoli serta berbagai narasi lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa narasi yang menyudutkan tersebut muncul secara massif?

Penulis menjadi teringat fakta dan peristiwa hukum terkait Pencabutan Badan Hukum Organisasi dakwah HTI dan FPI, sebelum terjadi pencabutan berbagai narasi yang menyudutkan HTI dan FPI muncul secara massif, terstruktur dan luas kemudian UU ormas nya diubah dan Organisasi nya dicabut. Sedangkan dalam kasus IDI yaitu UU nya diubah dan IDI diperlemah bahkan organisasi "dipecah belah" menjadi multi bar yang sebelum single bar.

Mungkinkah ada pihak-pihak yang menggunakan pasukan siber (cyber troops)? memakai media sosial untuk tujuan politis, termasuk menekan, menghilangkan kepercayaan hingga memecah belah warga.

Jika mengutip riset 'The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation' bahwa cyber troops paling banyak digunakan oleh aktor-aktor pihak pemerintah atau politik yang ditugaskan untuk memanipulasi opini publik secara daring dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi publik. Legitimasi publik sangat dibutuhkan oleh siapapun termasuk Pemerintah.

Setiap pemerintahan, termasuk yang otoriter sekalipun, memerlukan legitimasi dari masyarakat. Akibatnya, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan dan mempertahanakan legitimasi.

Kedua, Bahwa sepatutnya Pemerintah memperkuat dan bekerjasama dengan organisasi profesi IDI. Jika terdapat persoalan dengan IDI semestinya dibenahi individu nya bukan kemudian "melakukan pecah belah" organisasi profesi. Dengan UU Kesehatan yang baru IDI tidak lagi menjadi organisasi tunggal (single bar) bagi profesi dokter, siapapun akan dapat membuat organisasi profesi kedokteran (multi bar) seperti Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) bahkan tidak menutup kemungkinan akan kembali muncul organisasi lainnya.

Demikian.
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan,S.H., M.H.
(Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral)

Kamis, 10 November 2022

SEBAIKNYA BNPT BACA LAGI PUTUSAN PENGADILAN PTUN JAKARTA, JANGAN HANYA LATAH TEREAK RADIKAL RADIKUL TERKAIT HT1

Tinta Media - Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid dalam keterangan tertulisnya mengatakan wanita berhijab yang akan mencoba menerobos memasuki istana berinisial SE. Wanita itu diklaim memiliki pemahaman radikal serta diketahui merupakan pendukung salah satu ormas radikal, HT1.

Statement Nurwakhid ini sangat berbahaya, karena disampaikan secara prematur dan tidak sejalan dengan fakta hukum status Hizbut Tahrir Indonesia (HT1). Prematur, karena hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian yang menangkap, tentang motif dan tujuan pelaku memaksa menerobos istana.

Belum lagi, secara logika sangat tak logis seorang wanita berhijab, sendirian, mau menerobos istana, membawa senjata pistol jenis FN, hanya menodongkan kepada aparat, dan akhirnya dapat diringkus dengan standar pengamanan barang bukti yang sangat minim (terutama terkait identifikasi sidik jari pada senjata).

Hanya saja, biarlah fakta tentang keanehan itu diungkap oleh Netizen. Dan semoga, hasil pemeriksaan polisi tidak mengabarkan cerita yang tambah lucu.

Penulis melalui tulisan ini, hanya ingin fokus menjelaskan status hukum HT1. Walaupun tidak diminta, semoga penjelasan ini mampu memberikan pemahaman yang lurus kepada BNPT, sehingga tidak mudah menuduh radikal radikul, dan membuat cerita cerita yang mengait-ngaitkan kejadian di istana dengan HT1.

Bahaya sekali, karena statemen BNPT ini dapat mempengaruhi persepsi publik. HT1 dan anggotanya, yang telah dicabut BHP-nya, bisa diasingkan masyarakat bahkan dapat kena fitnah stigma sebagai musuh masyarakat, radikal dan teroris.

Penulis ingin menegaskan kembali untuk kesekian kalinya, bahwa Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HT1) bukanlah Ormas Terlarang, bukan Ormas radikal radikul. kesimpulan ini akan didapatkan bagi siapapun yang membaca dan menela'ah amar putusan PTUN Jakarta Timur, PT PTUN DKI Jakarta yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

Dalam amar putusan, nampak jelas bahwa isinya pengadilan hanya menolak gugatan HT1. Dengan demikian putusan hanya menguatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 *tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.*

Tak ada satupun amar putusan pengadilan, baik ditingkat PTUN Jakarta hingga Mahkamah Agung yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang, Ormas radikal, dan stigma negatif lainnya. Tak ada pula, konsideran dalam Beshicking berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 yang menyatakan HT1 sebagai Ormas terlarang atau radikal. Jadi, tak ada relevansinya mengaitkan HT1 dengan radikalisme, apalagi dengan terorisme.

HT1 dikenal luas dengan aktivitas dakwah yang anti kekerasan, murni pemikiran dan politik. Saat HT1 belum dicabut BHP-nya, HT1 selalu mengecam setiap tindakan terorisme, dari membunuh jiwa tanpa hak yang menimbulkan ketakutan, hingga penyerangan fasilitas publik yang dilarang oleh syariat Islam.

HT1 hanya dicabut badan hukumnya, sehingga tak lagi memiliki hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab sebagai Ormas yang berbadan hukum. Namun sebagai Ormas tak berbadan hukum, HT1 tetap sah, legal dan konstitusional sebagai Organisasi Masyarakat, mengingat berdasarkan ketentuan pasal 10 UU Nomor 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa Ormas dapat memilih opsi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Putusan PTUN Jakarta dan MA hanya mencabut BHP HT1. Putusan PTUN Jakarta dan MA tak pernah merampas hak konstitusional warga negara yang terhimpun dalam HT1, untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Adapun Organisasi yang secara hukum tegas dibubarkan, dinyatakan sebagai Organisasi terlarang, paham dan ideologinya yakni Marxisme, komunisme, leninisme juga dilarang, adalah Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ditetapkan berdasarkan TAP MPRS Nomor : XXV/TAP MPRS/1966.

*Kenapa BNPT tidak pernah sekalipun menyebut sejumlah tindakan teror di negeri ini terkait dengan PKI? Mengapa BNPT justru dengan tendensi jahat, menyudutkan HT1 dengan narasi Ormas Radikal?*

Jadi, narasi HT1 Ormas terlarang, radikal, menginspirasi terorisme adalah narasi politik yang dijajakan rezim Jokowi. Bukan status hukum yang memiliki dasar hukum yang jelas. Karena memang tak ada satupun status hukum atau produk hukum yang menyatakan HT1 sebagai organisasi terlarang atau radikal.

Hanya saja, penulis dapat memahami kenapa rezim ini selalu sibuk jualan radikal radikul. Menstabilisasi nilai rupiah yang hampir menyentuh Rp. 16.000 per dolar itu tidak mudah. Menyelesaikan kasus Sambo dan tragedi Kanjuruhan juga sulit. Apalagi, memastikan stabilitas politik akibat banyaknya protes rakyat akibat kenaikan BBM juga tak gampang. Mungkinkah, karena alasan itu BNPT harus teriak radikal radikul? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Rabu, 09 November 2022

PROPAGANDA JAHAT TERHADAP HT1


Tinta Media - Beberapa hari ini terdapat narasi yang menyudutkan organisasi dakwah Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
  
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:  
  
PERTAMA, Bahwa berdasarkan literatur yang pernah saya baca menyatakan bahwa HTI dalam menyampaikan dakwah dengan pendekatan pemikiran, dialegtika, adu gagasan, tanpa kekerasan, tanpa fisik dan tanpa melakukan pemaksaan. Begitu juga secara defacto dan dejure, tidak ada satu jiwa pun yang meninggal karena dakwah HTI atau fasilitas publik yang rusak akibat dakwah HTI;   

KEDUA, Bahwa segala fitnah dan tuduhan keji terhadap organisasi dakwah HTI adalah tidak adil dan melanggar hukum, karena tidak mengedepankan asas hukum ‘due process of law’ yaitu memberikan kesempatan kepada pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan. Serta Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil ...”. Lantas bagaimana HTI akan melakukan pembelaan diri, sedangkan BHP nya saja telah dicabut;    
  
KETIGA, bahwa segala tuduhan dan fitnah berupa narasi polarisasi yang bersifat _indelingsbelust_ (pengkotak-kotakan) yang mengarah kepada kebohongan publik adalah tindakan melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana; 
 
KEEMPAT, Bahwa jika “pelaku teror” dituduh terdapat keterkaitan medsos (misalnya like, share, nonton video, baca) dengan tulisan atau ceramah ustadz atau ulama HTI. Pertanyaannya bagaimana kalau seseorang yang dituduh teroris sering menonton pidato, pernyataan pejabat negara. Apakah bisa disebut juga terdapat keterkaitan antara pelaku teror dengan pejabat negara? Jika itu terjadi, maka menandakan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam keadaan darurat represif. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip hukum “cogitationis poenam nemo patitur” atau tidak ada seorang pun yang dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan.  
 
Demikian 
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

Selasa, 01 November 2022

Kaitkan Perempuan Bawa Pistol dengan HT1, Siyasah Institute: Kejadian Ini Ganjil

Tinta Media - Narasi mengaitkan perempuan bawa pistol yang mencoba menerobos istana dengan HT1 dinilai ganjil oleh Direktur Siyasah Institute Iwan Januar. "Ganjil kejadian ini," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (28/10/2022).

Melihat kronologis dan cara penanganan aparat terhadap pelaku, menurutnya, hal ini juga tidak wajar. "Tidak mencerminkan perempuan itu beri ancaman nyata," tegasnya. 

Ia mengatakan bahwa identitas pelaku juga sempat berbeda-beda. Dan kasus ini terjadi setelah ada pernyataan dari Moeldoko radikalisme akan naik jelang 2024. "Identitas pelaku juga sempat berbeda-beda. Lalu CCTV kejadian langsung beredar di medsos. Ganjil. Kenapa kejadian ini setelah ada pernyataan dari BNPT, Moeldoko, dll, kalau radikalisme naik jelang 2024," ujarnya.

Menurutnya, sudah banyak nitizen yang sudah mual dengan pola narasi terorisme. "Kalau kita lihat di medsos, banyak netizen sudah mual dan seperti hafal dengan pola-pola seperti ini," tandasnya.

Hal tersebut bisa terjadi, kata Iwan, karena menurut keterangan RT setempat, pelaku orang yang stress. Walaupun bisa jadi orang stress itu bisa diperalat oleh pihak tertentu untuk tujuan politis dan gangguan keamanan. Seperti dulu sempat rame para ustaz diserang orang gila. 

Terakhir, ia menegaskan bahwa masyarakat harus cerdas dan jangan mudah percaya tentang unsur radikalisme yang dikaitkan dengan ormas Islam tertentu.

"Harus kritis dan cerdas. Jangan mudah percaya ini unsur radikalisme, atau dikaitkan dengan ormas Islam tertentu. Ormas Islam seperti HT1 tidak pernah menggunakan dan menolerir tindak kekerasan apalagi pembunuhan," pungkasnya. [] Nur Salamah

Ada Apa dengan Dakwah Khilafah, HT1, Radikalisme, dan Terorisme?

Tinta Media - Menanggapi munculnya kembali upaya stigmatisasi dan kriminalisasi ajaran Islam Khilafah, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki mempertanyakan ada apa dengan dakwah khilafah, HT1, radikalisme, dan terorisme?

"Sebenarnya ada apa dengan dakwah khilafah, HT1, radikalisme, dan juga terorisme?" tulisnya di akun Facebooknya, Kamis (27/10/2022).

Menurutnya, belum selesai persoalan penistaan agama terkait dengan penggunaan istilah khila**** oleh Dede Budhyarto, kini sudah muncul lagi pendeskreditan ajaran Islam tentang sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah tersebut.

"Bertubi-tubi banyak orang dan golongan yang hendak memadamkan dakwah ajaran Islam khilafah dengan berbagai cara yang mengaitkan dengan radikalisme, ektremisme bahkan terorisme. Sungguh keji perbuatan mereka," ungkapnya dengan tegas.

Ia mengungkapkan, belum genap 6 bulan, kehebohan pemberitaan soal khilafah juga terjadi. Bahkan waktu itu Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, M. Syauqillah mengatakan, persoalan khilafah telah selesai sejak lama. Karena itu, ia melanjutkan kutipannya, menurutnya, tidak perlu lagi diperdebatkan implementasinya, apalagi mewacanakan sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia. 

"Sebagai umat yang meyakini Tuhan Alloh sebagai Sang Khaliq dan menyadari diri manusia sebagai mahluk ciptaannya, tentu kita harus kembali kepada fitrah manusia yakni, tunduk kepada penciptanya dengan cara mengakui keberadaannya (bertauhid); mewujudkan ketundukan kepada sang Khaliq dengan cara menyembahnya (beribadah); dan menjalankan hukum-hukum Alloh di muka bumi (bersyariat)," terangnya.

Di samping itu, sambungnya, manusia dilengkapi dengan kefitrahan yang lain yaitu akal sehat. 

"Maka, dengan kedua fitrah itu kita bersama dapat bertanya kepada diri kita, layakkah kita mengkriminalkan ajaran Islam khilafah yang nota bene datang dari petunjuk Alloh dan rasul-Nya serta kebebasan perpendapat yang mendasar dan hal itu merupakan HAM yang dijamin oleh Konstitusi UUD NRI 1945?" tanyanya retoris.

Menurutnya, untuk menentukan suatu ajaran itu terlarang atau tidak, perlu dilakukan pengujian oleh Lembaga keagamaan yang menaunginya (kalau tentang khilafah) maka MUI berwenang mengujinya, dan oleh 
Putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu. 

"Selama ini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa Khilafah itu sebagai ajaran Islam ( bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila," jelasnya.

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntutan Alloh, Rasul dan para sahabat, bukan ideologi yang disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme juga radikalisme.

"Karena itu sebagai bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan. Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "plonga-plongo" ketika suatu saat sistem ini tegak di muka bumi sebagaimana janji Rasulullah dalam hadist yang shahih. Jadi, tidak ada salahnya jika siapapun orang, lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah, selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Minggu, 16 Oktober 2022

HT1 BUKAN ORGANISASI TERLARANG, AYO DADI WONG APIK LAN OJO LEREN DADI WONG APIK

Tinta Media - Baru saja penulis mendapatkan video klarifikasi dari Ustadz Salim A. Fillah dan panitia event 'Ojo Leren Dadi Wong Apik', yang akan mengadakan safari dakwah para ustadz di Yogyakarta pada tanggal 30 September 2022 hingga tanggal 3 Oktober 2022. Penulis juga membaca Press Releasenya yang diedarkan dalam bentuk konten poster.

Sebenarnya isi Press Release dari komunitas 'Ojo Lali Dadi Wong Apik' biasa-biasa saja. Yakni, soal event bukanlah kelanjutan dari acara 'Muslim United' yang pernah hadir dan sukses digelar di Yogyakarta. Panitia dan para ustadz yang terlibat juga tidak ada hubungan atau terafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), baik secara struktural maupun material.

Namun, dalam penjelasan lisan yang ada pada video, Ustadz Salim A. Fillah menambahkan penjelasan 'HTI yang oleh pemerintah sudah dinyatakan terlarang'. Khusus terkait pernyataan inilah, penulis ingin sampaikan klarifikasi khususnya kepada Ustadz Salim A. Fillah dan kepada umat Islam pada umumnya.

Penulis ingin kembali menegaskan bahwa Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukanlah Ormas Terlarang. kesimpulan ini akan didapatkan bagi siapapun yang membaca dan menela'ah amar putusan PTUN Jakarta Timur, PT PTUN DKI Jakarta yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

Dalam amar putusan, nampak jelas bahwa isinya pengadilan hanya menolak gugatan HTI. Dengan demikian putusan hanya menguatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 *tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.*

Tak ada satupun amar putusan pengadilan, baik ditingkat PTUN Jakarta hingga Mahkamah Agung yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang. Tak ada pula, konsideran dalam Beshicking berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang.

HTI hanya dicabut badan hukumnya, sehingga tak lagi memiliki hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab sebagai Ormas yang berbadan hukum. Namun sebagai Ormas tak berbadan hukum, HTI tetap sah, legal dan konstitusional sebagai Organisasi Masyarakat, mengingat berdasarkan ketentuan pasal 10 UU Nomor 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa Ormas dapat memilih opsi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Putusan PTUN Jakarta dan MA hanya mencabut BHP HTI. Putusan PTUN Jakarta dan MA tak pernah merampas hak konstitusional warga negara yang terhimpun dalam HTI, untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Adapun Organisasi yang secara hukum tegas dibubarkan, dinyatakan sebagai Organisasi terlarang, paham dan ideologinya yakni Marxisme, komunisme, leninisme juga dilarang, adalah Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ditetapkan berdasarkan TAP MPRS Nomor : XXV/TAP MPRS/1966.

Jadi, narasi HTI Ormas terlarang adalah narasi politik yang dijajakan rezim Jokowi. Bukan status hukum yang memiliki dasar hukum yang jelas. Karena memang tak ada satupun status hukum atau produk hukum yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang.

Sangat disayangkan tokoh dan ustadz sekelas Ustadz Salim A. Fillah bisa 'termakan' narasi jahat rezim Jokowi yang jelas-jelas anti terhadap Islam bukan hanya terhadap HTI. Perlu untuk disampaikan bahwa HTI dicabut badan hukumnya karena konsisten mendakwahkan ajaran Islam Khilafah.

Ustadz Farid Okbah, Ustadz Anung al Hammat dan Ustadz Ahmad Zain an Najah belakangan ditangkap dan diterorisasi, juga hanya karena mendakwahkan syariat Islam dan Khilafah 'ala Minhahin Nubuwah. FPI dibubarkan juga karena AD ART nya mengandung misi untuk menegakkan syariat Islam dan Khilafah.

Jadi, yang dipersoalkan oleh rezim adalah ajaran Islamnya, bukan HTI atau FPI, bukan pula Ustadz Farid Okbah, Ustadz Anung al Hammat dan Ustadz Ahmad Zain an Najah. Andaikan para ustadz ini tidak memperjuangkan Syariat Islam dan Khilafah, sudah pasti tidak akan ditangkap dan dipenjara.

Penulis sampaikan rasa prihatin dan ikut sedih atas pembatalan lokasi acara dan panitia 'Ojo Leren dadi Wong Apik' terpaksa pindah lokasi ke Masjid Jogokariyan. Namun, pihak yang ada dibalik pembatalan itu adalah rezim, bukan saudara muslim yang ada di HTI.

Walaupun sudah menyatakan tidak ada hubungan atau terafiliasi dengan HTI, baik secara struktural maupun material, bahkan telah pula ikut latah menuduh HTI organisasi terlarang, penulis meyakini akan ada saja upaya penghalangan hingga pembatalan acara yang akan dialami panitia kedepan. Kenapa itu terjadi ? Karena dakwah dan ceramah para ustadz di acara 'Ojo Leren Dadi Wong Apik' membawa misi Islam, karena rezim ini sejatinya anti terhadap Islam, bukan hanya anti terhadap HTI.

Namun, insyaAllah Allah SWT menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya. Atas izin, pertolongan, perlindungan dan penjagaan Allah SWT, semoga acara 'Ojo Leren dadi Wong Apik' sukses.

Ayo dadi wong apik, dengan membersamai dan melindungi saudara muslim yang istiqomah mendakwahkan ajaran Islam. Ayo dadi wong apik, dengan tidak termakan narasi HTI organisasi terlarang.

Ayo dadi wong apik, dengan membudayakan sikap 'Saling Tabayyun', saling menjaga dan melindungi sesama Saudara Muslim, dan setelah itu ojo leren dadi wong apik. Terus gelorakan semangat dakwah, pantang menyerah, hingga Allah SWT menangkan agama ini, yang dengan kemenangan agama ini Allah SWT muliakan Islam dan kaum muslimin. [].

[Catatan Tabayun Untuk Ustadz Salim A. Fillah, semoga Allah SWT merahmati beliau]

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/





Jumat, 30 September 2022

AK Tegaskan HT1 Bukanlah Ormas Islam Terlarang

Tinta Media - Menanggapi pernyataan Ustaz Salim A Fillah, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin (AK) menegaskan bahwa HT1 bukanlah ormas terlarang.

"Penulis ingin kembali menegaskan bahwa Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HT1) bukanlah ormas terlarang," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (28/09/2022).

Menurutnya, kesimpulan ini akan didapatkan bagi siapapun yang membaca dan menela'ah amar putusan PTUN Jakarta Timur, PT PTUN DKI Jakarta yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

"Dalam amar putusan, nampak jelas bahwa isinya pengadilan hanya menolak gugatan HT1. Dengan demikian putusan hanya menguatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HT1," jelasnya.

AK menjelaskan tak ada satupun amar putusan pengadilan, baik ditingkat PTUN Jakarta hingga Mahkamah Agung yang menyatakan HT1 sebagai Ormas terlarang. Tak ada pula, konsideran dalam Beshicking berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 yang menyatakan HT1 sebagai Ormas terlarang.

"HT1 hanya dicabut badan hukumnya, sehingga tak lagi memiliki hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab sebagai ormas yang berbadan hukum. Namun sebagai ormas tak berbadan hukum, HT1 tetap sah, legal dan konstitusional sebagai Organisasi Masyarakat, mengingat berdasarkan ketentuan pasal 10 UU Nomor 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa Ormas dapat memilih opsi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum," terangnya.

Ia menjelaskan, Putusan PTUN Jakarta dan MA hanya mencabut BHP HT1. Putusan PTUN Jakarta dan MA tak pernah merampas hak konstitusional warga negara yang terhimpun dalam HT1, untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

"Adapun Organisasi yang secara hukum tegas dibubarkan, dinyatakan sebagai Organisasi terlarang, paham dan ideologinya yakni Marxisme, komunisme, leninisme juga dilarang, adalah Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ditetapkan berdasarkan TAP MPRS Nomor : XXV/TAP MPRS/1966," tandasnya.

Jadi, lanjutnya, "Narasi HT1 Ormas terlarang adalah narasi politik yang dijajakan rezim Jokowi. Bukan status hukum yang memiliki dasar hukum yang jelas. Karena memang tak ada satupun status hukum atau produk hukum yang menyatakan HT1 sebagai organisasi terlarang," tegasnya.

Ia menyesalkan, tokoh dan ustaz sekelas Ustaz Salim A. Fillah bisa 'termakan' narasi jahat rezim Jokowi yang jelas-jelas anti terhadap Islam bukan hanya terhadap HT1. "Perlu untuk disampaikan bahwa HT1 dicabut badan hukumnya karena konsisten mendakwahkan ajaran Islam Khilafah," tandasnya.

Ustaz Farid Okbah, Ustaz Anung al Hammat dan Ustaz Ahmad Zain an Najah belakangan ditangkap dan diterorisasi, juga hanya karena mendakwahkan syariat Islam dan Khilafah 'ala Minhahin Nubuwah. FP1 dibubarkan juga karena AD ART nya mengandung misi untuk menegakkan syariat Islam dan Khilafah.

"Jadi, yang dipersoalkan oleh rezim adalah ajaran Islamnya, bukan HT1 atau FP1, bukan pula Ustaz Farid Okbah, Ustaz Anung al Hammat dan Ustaz Ahmad Zain an Najah. Andaikan para ustaz ini tidak memperjuangkan Syariat Islam dan Khilafah, sudah pasti tidak akan ditangkap dan dipenjara," ungkapnya.

AK juga menyampaikan rasa prihatin dan ikut sedih atas pembatalan lokasi acara dan panitia 'Ojo Leren dadi Wong Apik' terpaksa pindah lokasi ke Masjid Jogokariyan. Namun, selanya, pihak yang ada dibalik pembatalan itu adalah rezim, bukan saudara muslim yang ada di HT1.

"Ayo dadi wong apik, dengan membudayakan sikap 'Saling Tabayyun', saling menjaga dan melindungi sesama Saudara Muslim, dan setelah itu ojo leren dadi wong apik. Terus gelorakan semangat dakwah, pantang menyerah, hingga Allah SWT menangkan agama ini, yang dengan kemenangan agama ini Allah SWT muliakan Islam dan kaum muslimin," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Jumat, 10 Juni 2022

HT1, PILPRES 2024 & KHILAFAH


Tinta Media - Aneh, lucu dan sangat menggelikan ketika ada narasi yang menyebut Eks HTI mendeklarasikan dukungan kepada Anies Baswedan untuk menjadi Capres 2024. Kalau kata orang, mainnya kurang jauh. Sejak awal hingga BHP HTI dicabut, HTI tidak pernah terlibat dalam politik praktis, terlibat dukung mendukung dalam Pemilu, Pilpres maupun Pilkada.

HTI sendiri sebagai bagian dari Hizbut Tahrir telah menyampaikan secara berulang bahwa problem yang dihadapi negeri ini bukan hanya soal krisis pemimpin. Melainkan, krisis kepemimpian. Bukan hanya soal rezim melainkan juga sistem.

Hizbut Tahrir melihat problem yang mendera negeri ini dan negeri kaum muslimin lainnya adalah karena tidak diterapkannya sistem Islam. Negeri-Negeri kaum muslimin dijajah dan dikuasai oleh sistem kapitalisme liberal.

Konklusinya menjadi jelas bagi Hizbut Tahrir, siapapun pemimpinnya jika sistem yang digunakan masih menggunakan sistem demokrasi sekuler maka tidak akan ada kebaikan bagi umat Islam. Tindakan memberikan dukungan, apalagi pembelaan dan pengorbanan pada tokoh atau individu tertentu tanpa mempersoalkan sistem yang mengatur, sama saja melanggengkan masalah yang merupakan bawaan dari sistem demokrasi.

Lantas, apa yang akan menyelamatkan negeri ini ?

Apa lagi kalau bukan Khilafah. Dan berulangkali, HTI menyampaikan Khilafah sejak mula eksis di negeri ini. Sebelum BHP HTI dicabut, HTI membuat banyak kegiatan diskusi, kajian, pawai, konferensi, muktamar, dan berbagai sarana dakwah lainnya untuk mendakwahkan ajaran Islam Khilafah.

Yang paling spektakuler adalah saat Konferensi Khilafah Internasional yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia di stadion Utama Gelora Bung Karno pada tahun 2007 yang lalu. Konferensi ini bertujuan untuk mengingatkan umat akan pentingnya menunaikan kewajiban menegakkan kembali khilafah.

Kala itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto mengatakan bahwa berbagai masalah yang dihadapi umat Islam berawal dari hilangnya kehidupan Islami yang berdasarkan Syariah Islam yang dipimpin seolah khalifah. Selanjutnya dia mengatakan Khilafah dan syariah Islam adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan berbagai masalah dunia Islam.

Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia mendapat respon dan antusiasme yang luar biasa dari berbagai komponen umat Islam, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri—seperti Malaysia, Australia, Jepang, India, Pakistan, Timur Tengah, Inggris, Denmark, Amerika, dll.

Saat itu, banyak tokoh yang hadir dan memberikan komentarnya.

"Khilafah adalah ajaran Islam yang baik dan mulia. Khilafah ada dalam al-Quran ada dalam sejarah walaupun itu terjadi setelah Rasulullah saw. Wafat. Namun, harus saya katakan, ada perbedaan juga dalam pandangan ulama tentang watak Khilafah yang ada di dalam sejarah." Begitu, ungkap Prof. Dr. Din Syamsudin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, seksligus Wakil Ketua Umum MUI Pusat.

Sejumlah tokoh lain juga memberikan komentar dan apresiasi. Ada KH Thahlon Abdul Rauf (MUI Palembang), KH Amrullah Ahmad (Sekretaris MUI Pusat/Ketua Umum Syarikat Islam) hingga DR. H. Adhyaksa Dault, Menpora kala itu.

"Acara Konferensi Khilafah Internasional merupakan momen yang bagus untuk mempersatukan umat. Khilafah itu, saya kira, hadisnya jelas. “Tsuma takûnu Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.” Yang perlu kita bangun sekarang adalah komunikasi antar gerakan Islam. Jangan ada su’uzhann satu sama lain." tegasnya.

Jadi, trademark HTI itu Khilafah. Tidak pernah ada catatan atau preseden politik HTI ikut terlibat dukung mendukung Capres Wapares, apalagi baru wacana (balon) Capres Cawapres. Makanya, hanya orang tak berakal saja yang membuat opini sesat atau percaya eks HTI mendukung capres tertentu, entah itu Ganjar Pranowo, Puan Maharani, termasuk Anies Baswedan.

Sayangnya, kemuliaan bendera tauhid menjadi direndahkan hanya karena gawe Pilpres. Pada acara deklarasi dukungan untuk Anies Baswedan, bendera tauhid diturunkan.

Aneh juga, masih ada yang mengulangi narasi sesat bendera bertuliskan lafadz tauhid sebagai bendera HTI. Padahal, masalah ini telah berulangkali dijelaskan bahwa bendera dengan lafadzt tauhid adalah bendera Rasul, Bendera Islam, benderanya kaum muslimin.

Memang benar, Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2016 menunjukan betapa kuatnya gerakan politik keumatan. Para politisi tentu tidak ingin mereka mengulangi kekalahan karena adanya peran kelompok politik yang berbasis gerakan umat, bukan gerakan partai.

Kalau memperhatikan hal ini, tentu kita dapat mudah membaca, siapa aktor dibalik operasi klaim dukungan HTI untuk Anies Baswedan. Lagipula, urusannya sebenarnya bukan pada siapa mendukung siapa. Melainkan, siapa yang diuntungkan dari operasi sesat menjual nama eks HTI ?

Disisi lain, meskipun telah dicabut BHP nya, HTI masih menjadi sentral opini politik. Sebuah konfirmasi, betapa besarnya pengaruh HTI. Apakah hal ini juga mengkonfirmasi Capres manapun yang berlaga dalam Pilpres 2024 tidak akan menang tanpa restu dan dukungan HTI ? [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab