Tinta Media: HAM
Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2024

Sebagai Solusi Masalah Kehidupan, HAM Tak Berdaya


Tinta Media - Widya Adiwena selaku Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia menyatakan bahwa hukum di Indonesia makin lemah karena kriminalisasi yang sering terjadi, terutama terhadap peserta aksi unjuk rasa. 

Laporan tahunan HAM Global Amnesty mencatat empat isu di Indonesia yang melemahkan nilai-nilai hukum, seperti pelanggaran hak warga sipil dalam konflik bersenjata, penolakan terhadap keadilan berbasis gender, dampak ekonomi perubahan iklim terhadap kelompok masyarakat tertentu (termasuk masyarakat adat), dan ancaman teknologi baru terhadap hak-hak rakyat Indonesia. (idntimes.com, 26/04/2024)

Jika di teliti lebih dalam tentang isu di Indonesia yang melemahkan nilai-nilai hukum, maka dapat dilihat bahwa akar masalahnya adalah penyelesaian yang hanya bersifat sementara sehingga tidak selesai secara tuntas. Hal tersebut jelas menimbulkan masalah baru.

Contoh-contoh, prinsip HAM adalah untuk melindungi dan menghormati hak-hak dasar setiap individu tanpa diskriminasi apa pun berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan, martabat, dan kesetaraan. Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pada hakikatnya HAM muncul karena keinsafan manusia terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan, sebagai akibat tindakan sewenang-wenang dari penguasa, penjajahan, perbudakan, ketidakadilan, dan kezaliman (tirani) yang hampir melanda seluruh umat manusia. 

Namun faktanya, adanya HAM banyak dilanggar oleh manusia itu sendiri dengan faktor yang mendorong terjadinya pelanggaran HAM, yakni sikap tidak tanggung jawab, rendah toleransi, kurangnya kesadaran HAM, minimnya empati, kondisi psikologis, sikap egois, dan sebagainya. 

Apabila ditelusuri mengapa adanya HAM tetap saja tidak bisa melindungi manusia dari diskriminasi dan penindasan, ternyata hal itu terjadi karena prinsip HAM didasarkan pada liberalisme—atau kebebasan—sehingga ada dua standar yang digunakan di dalamnya.

Misalnya, jika yang melakukan kekerasan adalah Amerika Serikat dan sekutunya, tindakan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM. Sebaliknya, jika yang melakukan kekerasan adalah musuh AS, seperti kelompok Islam, tindakan tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran HAM. 

Wajarlah ide HAM menjadi absurd dan bermuka dua karena berasal dari sekularisme yang mendewakan kebebasan berperilaku.

Oleh karena itu, konsep ini sejak awal bertentangan dengan Islam. HAM adalah hasil dari sekularisme yang bertentangan dengan akidah Islam. Bagi seorang muslim, hak asasi manusia adalah prinsip yang salah karena memberi orang kebebasan untuk berbuat apa pun tanpa aturan agama.

Sementara itu, manusia memiliki sifat yang lemah, yakni tidak tahu hakikat benar dan salah sehingga tidak bisa membuat aturan yang sahih untuk mengatur interaksi manusia. Sehingga, saat manusia memiliki kesempatan untuk membuat aturan, mereka akan membuat aturan yang bermanfaat bagi mereka sendiri dan kelompoknya.

Dengan demikian, penerapan HAM dalam kehidupan sehari-hari akan bertentangan dengan kepentingan orang lain. Semua orang mengutamakan hak mereka daripada hak orang lain. Oleh karena itu, masalah tidak kunjung selesai, bahkan tetap menimbulkan ancaman untuk masa depan. 

Baik individu maupun kelompok akan saling dendam, yang dapat menyebabkan serangan. Ini karena setiap pihak terus menuntut hak-haknya, dan terjadi konflik yang berkelanjutan. 

Selain itu, terbukti bahwa HAM berfungsi sebagai alat penghinaan Barat terhadap negara muslim yang dianggap menentangnya. Oleh karena itu, hak asasi manusia (HAM) digunakan ketika dianggap menguntungkan Barat, dan diabaikan ketika dianggap merugikan Barat. 

Selain itu, telah terbukti bahwa hak asasi manusia membantu melakukan hal-hal yang salah atas nama kebebasan. Contohnya adalah kelompok orang yang menyukai sesama jenis. 

Berbeda dengan Islam, hukum dasar semua perbuatan terikat dengan hukum syara', sehingga segala sesuatu memiliki standar yang sama, yaitu syariat. Syariat akan menentukan hukum dalam kasus kekerasan, bukan berdasarkan nafsu manusia. 

Hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, mendapatkan makanan dan pakaian, menjalankan ibadah, keamanan, pendidikan, dan kesehatan, akan dipenuhi dengan penerapan Islam kafah. 

Dengan demikian, maqasid syariah akan terwujud, sehingga manusia dapat hidup dengan aman dan terpenuhinya semua kebutuhan. 

Sejarah peradaban Islam telah menunjukkan bahwa hidup tenang hanya di bawah sistem Islam. Bahkan, menurut sejarawan Barat terkenal Will Durrant (1885–1981),

"Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir hingga Maroko dan Spanyol. Betapa indahnya sistem Islam dengan balutan khilafah Islamiyah apabila diaplikasikan sekarang di dalam kehidupan umat manusia. Karena hanya sistem Islam yang sesuai dengan fitrah manusia dan bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. 

Maka, sudah saatnya kita sadar bahwasannya setiap problematika manusia tidak selesai dikarenakan HAM. Namun, sudah saatnya untuk kita kembali kepada sistem Islam kafah. Wallahu A'lam



Oleh: Naura Azla Gunawan 
(Aktivis Muslimah dan Mahasiswi)

Selasa, 26 Desember 2023

Pamong Institute: Negara Barat Gagal Menyelesaikan Masalah Pengungsi Rohingya dan Palestina



Tinta Media - Meskipun sering mengatakan sebagai pembela HAM, negara-negara Barat dinilai Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky telah gagal menyelesaikan persoalan Pengungsi Rohingya dan masalah Palestina.

"Negara-negara Barat tidak punya rasa kemanusiaan dan walaupun mereka suka mengatakan sebagai pembela HAM tapi faktanya tidak terjadi. Tidak mampu menyelesaikan persoalan di Palestina dan tidak mampu menyelesaikan persoalan pengungsi Rohingya," tuturnya dalam video "Menolong Pengungsi Rohingya Dan Palestina Kewajiban Konstitusi VS Kitab Suci", Rabu (20/12/2023) di kanal Youtube Bincang Bersama Sahabat Wahyu.

Menurutnya, ini sekaligus juga menunjukkan kegagalan PBB dalam mengurusi persoalan pengungsian sekian lama tidak selesai-selesai.

 "Sampai hari ini tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan pengungsian, ini bukti kegagalan keberadaan PBB maupun negara-negara bangsa yang ada di dunia ini," tegasnya.

Ia melihat persoalan pengungsi Rohingya ini serius dan sebagian besarnya yang mengungsi dan di pengungsian juga dalam kesulitan. Menurutnya, ini sebenarnya menunjukkan kegagalan konsep nasionalisme.

"Ini menunjukkan kegagalan konsep nasionalisme itu sendiri," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Kamis, 10 Agustus 2023

Apakah HAM Bisa Menjadi Pelindung dalam Kehidupan Bebas Saat Ini?

Tinta Media - Masalah pelanggaran HAM senantiasa terjadi. Mesk menjunjung tinggi kebebasan, tetapi nyatanya kebebasan yang dijanjikan malah bersifat diskriminatif kepada sebagian pihak. Bahkan, efeknya bisa sampai menghilangkan nyawa.

Apakah hal ini yang diharapkan dalam pengagungan terhadap HAM? Atau malah hal ini yang berupaya dilindungi HAM di bawah paham kapitalisme sekuler saat ini?

Adanya kasus penembakan remaja di Perancis menggambarkan hal yang paradoks. Juga terkait slogan menjunjung tinggi kebebasan dengan jaminan HAM yang nyatanya tidak berpengaruh untuk orang-orang yang berkulit hitam dan muslim. Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa adanya kesenjangan makna yang diadopsi, menjadikan  beberapa pengguna HAM tidak  bisa mendapatkan perlakuan yang setara dalam merasakan jaminan HAM yang dimaksud dalam sistem kehidupan saat ini.

Fenomena ini tak lepas dari bagaimana kepemimpinan berpikir dalam hidup manusia tersebut, apakah menjadikan hidup dengan bermartabat atau hidup mengikuti tabiat lingkungan?

Faktanya, yang menjadikan kehidupan runyam dengan berbagai problem diskriminasi dengan jalan kekerasan adalah HAM itu sendiri. Itu merupakan bentuk realitas kebebasan yang diusung oleh ide demokrasi, tanpa memiliki standar kebebasan yang jelas sehingga mampu membuat hal-hal yang membawa kekerasan sampai terjadinya pembunuhan.

Sebagaimana dikabarkan melalui laman media detiknews, dikatakan bahwa "Terjadinya insiden penembakan pada remaja oleh polisi di Prancis, pada Selasa (27/6/2023) malam, menimbulkan kerusuhan yang merupakan buntut dari persoalan penembakan oleh oknum berwajib. 

Aksi unjuk rasa di Nanterre diwarnai dengan menyalakan api, membakar mobil, dan menghancurkan halte bus saat ketegangan meningkat antara polisi dan penduduk setempat.

Peristiwa ini sejatinya memunculkan pertanyaan tentang keburukan HAM yang digadang-gadang oleh negara Barat kepada wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh negaranya. Salah satunya adalah Indonesia, yaitu wilayah yang mengopinikan HAM sebagai salah satu penjamin tindak kebebasan bagi setiap masyarakatnya.

Efeknya bukanlah hal yang ringan karena ada yang sampai berujung nyawa. Apakah hal ini mampu menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan dengan maksud ada yang menyinggung atau dengan alasan menjaga diri. Tentu saja hal yang harus dipertanyakan di tengah munculnya kekhawatiran ini adalah bagaimana jaminan keamanan dalam negeri tersebut yang harusnya bisa menjadi penenang masyarakat ketika beraktivitas, bukan malah sebaliknya.

Inilah lemahnya penjagaan dalam sistem kapitalisme sekuler yang hanya berpacu pada materi, sehingga kelayakan keamanan itu sendiri masih harus dipertanyakan. Kapitalisme sekuler bukan hanya berperan sebagai salah satu bagian dari sekian kosa kata. Namun, sistem kapitalisme sekuler tersebutlah yang menjadi pembimbing dan pengarah yang memicu terjadinya berbagai problem dalam kehidupan ini. 

Bagaimana tidak, karena asas yang dijunjung oleh sistem ini menjadikan hidup penuh dengan aturan yang datang dari egoisme manusia belaka tanpa memikirkan dampaknya bagi pihak yang menjadi target penyebaran pahamnya. 

Akibat sekularisme dijadikan asas dalam hidup, maka manusia yang harusnya bisa memahami bahwa mereka adalah makhluk yang diciptakan akhirnya membuat sendiri sistem atau aturan untuk menjalankan kehidupannya 

Padahal, manusia memiliki keterbatasan, lemah, dan bergantung. Sebagai makhluk yang diciptakan, harusnya manusia menggantungkan diri kepada yang menciptakannya dalam mengarahkan kehidupan. Sehingga, manusia bukan lagi menjunjung ego dan kesombongan, melainkan ketaatan kepada sesuatu yang menciptakannya. 

Hal tersebut baru menyentuh ranah individu. Bagaimana ketika kesadaran ini mampu diletakkan kepada masayarakat dan negara? Tentulah rahmat dan kedamaian hidup bisa kita rasakan. 

Orang tidak lagi memandang orang lain karena harta dan kuasanya. Hal ini karena orientasi hidupnya adalah meraih pahala yang diserukan Pencipta padanya.

Islam mewajibkan negara untuk menghormati agama lain dan mewujudkan toleransi sesuai tuntunan Islam. Sehingga, tidak akan kita dapati manusia yang bertindak semena-mena terhadap manusia lain yang berbeda suku, bangsa, bahasa, warna kulit, juga agamanya. 

Maka dari itu, akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dengan segala keberagaman yang ada.

Hal ini hanya bisa diwujudkan dengan Islam saja karena Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga seluruh aspek kehidupan, tanpa mengedepankan egoisme individu

Seluruhnya dikembalikan pada bagaimana Pencipta memberikan aturan kepada manusia agar mereka mampu mewujudkan Islam rahmatan lil'alami yang tidak hanya berlaku kepada muslim saja, tetapi juga mampu dirasakan oleh orang-orang yang berbeda agama. Wallahua'lam.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd. (Aktivis) 

Sabtu, 08 Juli 2023

Pengamat: HAM Tidak Layak Dijadikan Standar

Tinta Media - Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana menyampaikan bahwa hak asasi manusia (HAM) tidak layak dijadikan standar oleh negara-negara seluruh dunia.

"Memang HAM ini standarnya nggak jelas, makanya kemudian tidak layak dijadikan sebagai standar bersama oleh negara-negara seluruh dunia," ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tema Label Diktator Untuk Xi Jinping di kanal Youtube Khilafah News, Kamis (29/6/2023).

Menurutnya, standar HAM ini masih menjadi tanda tanya. Karena memang HAM ini sampai sekarang masih menjadi sebuah perdebatan. "Apakah ini layak untuk dijadikan standar dunia internasional karena masing-masing bangsa, masing-masing negara itu kan mereka punya visi misi latar belakang historis yang beragam," ungkapnya.

Dia mencontohkan tentang LGBT yang bulan Juni ditetapkan sebagai bulannya LGBT.  Ketika disebarluaskan masih banyak juga bertentangan, terlebih lagi di Amerika dan negeri-negeri lain yang punya value, bukan hanya negeri muslim yang berbasiskan agama.

"Ketika ini dijadikan sebagai standar HAM negara yang menolak LGBT sebagai melanggar HAM. Nah ini kan belum tentu dan pasti tidak bisa diterima, makanya kemudian isu HAM seringkali digunakan oleh Amerika Serikat dengan standar ganda," jelasnya.

Dia membeberkan bahwa Amerika bisa menilai negara lain dengan standar HAM. "Tapi Amerika sendiri melakukan pelanggaran-pelanggaran dan dia tutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya dianggap oleh Amerika pelanggaran HAM terhadap suatu negara itu," bebernya. 

Dia mencontohkan dalam konteks Myanmar ketika kediktatoran Myanmar penindasan Myanmar terhadap orang-orang yang ada di Rohingya. Seharusnya Amerika mengecam karena ini termasuk pelanggaran HAM. 

"Namun Amerika kan tutup mata. Inilah standar ganda terkait dengan nilai-nilai yang kemudian diusung oleh Amerika Serikat," pungkasnya.[] Setiawan Dwi

Rabu, 28 Juni 2023

Ustadz Ismail Yusanto: HAM Itu Absurd


Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menilai bahwa jika perspektif HAM digunakan untuk membela penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam, termasuk Al Zaytun, maka itu adalah hal yang absurd. 

"Umpamanya kita menggunakan perspektif HAM. Anda itu, HAM-nya itu mau duduk di mana? Anda duduk di yang menyimpangkan atau di tidak disimpangkan. Bukankah mereka yang ingin agama tidak disimpangkan itu juga punya hak asasi? Kalau anda duduk di yang menyimpangkan, dianggap itu hak dia, kenapa anda tidak membela hak orang yang agamanya tidak ingin disimpangkan? Ini kan jadi absurd," tegasnya dalam rubrik Fokus to The Point dengan judul "Al Zaytun Diduga Sesat, Kok Seperti Dibiarkan?" dalam kanal Youtube UIY Official, Kamis (22/6/2023). 

UIY menyatakan HAM tidak bisa menyelesaikan mana yang sebenarnya mempunyai hak asasi. "Yang menyimpangkan atau yang tidak ingin disimpangkan. Nggak selesai kan?" sindirnya. Dia menegaskan bahwa karena HAM tersebut menjadi absurd maka hal tersebut tidak boleh dipakai.

UIY juga menegaskan bahwa HAM ini sifatnya tidak bisa universal karena pada akhirnya HAM akan memihak pada sesuatu yang dianggap secara subyektif. 

"Sebagaimana seperti sekarang yang sedang ramai, L68T. L68T anggap sebagai HAM. Orang yang menolak juga kan sebagai bagian dari HAM, Hak Asasi Manusia dia. Kenapa kemudian dia membela yang L68T. Pada faktanya, dia subyektif juga," terangnya.


Cendekiawan muslim ini mengingatkan bahwa manusia akan selalu dalam kekacauan mana kala tidak ada ketentuan yang fixed. " Tidak ada ketentuan yang maton, kalau orang Jawa bilang, yang mantap, yang fixed. Dan ketentuan itu harus tidak berasal dari manusia," tambahnya.


"Sebab jika berasal dari manusia, pasti, kembali yang tadi, berdasar pada subyektivitas manusia. Dan subyektif itu tergantung kepada kepentingan. Dan kepentingan itu pasti berbeda-beda sehingga terjadi kekacauan. Sebagaimana yang kita saksikan ini hari," jelasnya.

 

UIY juga menilai bahwa ketika seseorang sudah menjadi muslim maka kewajibannya adalah untuk mengikuti aturan Islam. "Saya kira tidak layak ketika kita berbicara dalam konteks Islam masih menggunakan Hak Asasi Manusia. Bukankah ketika dia masuk Islam, dia terikat dengan keislamannya? Dia terikat pada agamanya, dia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam agama itu, sebagaimana juga agama yang lain," terangnya.

 

Pedoman

 

Menanggapi pertanyaan terkait apa pedoman mendasar untuk menilai sesuatu itu sesat atau tidak, UIY menjelaskan bahwa keluarga, lembaga dakwah, dan pemerintah seharusnya bersinergi untuk melindungi umat dengan berpedoman pada Kitabullah dan Sunah Rasulullah. "Karena di situ pula Nabi SAW mengatakan, "Aku tinggalkan dua perkara, dijamin tidak akan sesat selama-lamanya," kalau kita berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunah Rasulullah SAW," terangnya. 

 

UIY mengingatkan terkait peran pemerintah khususnya bahwa pemerintah punya kewajiban untuk menjaga agama. 

"Karena itulah Imam Ghazali menyebutkan "ad-dinu was sulthonu tau amaani". Jadi agama dan penguasa itu seperti saudara kembar. Agama itu asas, pemimpin itu penjaga. Imam Ghazali mengatakan apa yang tidak ada pondasi akan hancur. Dan apa yang tidak ada penjaga, dia akan hilang. Jadi jelas bahwa memang agama itu harus dijaga. Dan siapa yang menjaga agama? Pemimpin," tegasnya.

 

"Jadi, HAM itu mustinya sudah tidak dipakai," simpulnya. [] Hanafi 

Selasa, 30 Mei 2023

FDMPB: HAM Itu Ajaran Barat, Bukan Ajaran Islam

Tinta Media - Beredarnya berita terkait pembelaan intelektual muda NU terhadap Al Zaitun, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Dr. Ahmad Sastra menyatakan bahwa HAM itu ajaran dari Barat, bukan ajaran Islam.

"Perlu diketahui, bahwa HAM itu ajaran dari Barat, bukan ajaran Islam," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (25/5/2023).

Menurutnya, suatu kewajaran praktik HAM yang ada di negeri ini justru membela kesesatan dan memusuhi jalan yang lurus atau benar, karena bukan berasal dari Islam. "Jadi wajarlah kalo praktek HAM di negeri ini cenderung membela kesesatan dan justru memusuhi yang telah berjalan lurus," ujarnya.

Secara esensi, katanya, HAM ini bertentangan Islam dan cenderung anti Islam, terlebih Islam politik. Padahal Islam adalah agama sempurna yang juga memiliki ajaran politik yang khas. Maka, sangat disayangkan jika ada seorang muslim malah percaya kepada ajaran HAM dari Barat ini.  

Terkait Al Zaitun, sesat atau tidaknya, ia menyerahkan urusan itu kepada lembaga yang punya otoritas tentang hal itu (MUI).

"Sebenarnya di negeri ini sudah ada lembaga otoritatif, yaitu MUI, yang bisa melakukan penelitian yang secara obyektif atas praktek beragama di negeri ini. Khususnya jika mengatasnamakan Islam namun mempraktikkan ajaran yang berasal dari bukan Islam," terangnya.

Selanjutnya ia menjelaskan keberadaan MUI karena diterapkannya sistem sekuler. Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pun tidak mengikat. "Mengapa ada MUI, sebab Indonesai adalah negara sekuler. Fatwanya pun tidak mengikat," tegasnya.

Dalam negara dengan sistem Islam, sambungnya, khalifahlah yang langsung bisa memberikan penilaian atas praktik beragama yang mungkin menyimpang. Namun demikian, setidaknya MUI punya peran besar dalam melakukan perbaikan, pelurusan dan pembinaan atas ajaran-ajaran Islam yang telah disimpangkan sebagaimana yang terjadi di Al Zaitun.

Pesan 

Dr. Ahmad Sastra juga menyampaikan beberapa pesan untuk umat Islam antara lain:

Pertama, ia mengatakan agar umat Islam tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu yang ada di Al Zaitun. "Umat Islam tidak boleh terpancing dengan isu-isu yang ada di Al Zaitun sehingga melakukan tindakan-tindakan yang tidak diajarkan oleh agama Islam," jelasnya.

Kedua, ia mengatakan agar umat Islam menyerahkan berbagai persoalan termasuk Al Zaitun kepada MUI. "Umat Islam hendaknya menyerahkan masalah menyimpang atau tidak menyimpang pesantren Az Zaytun kepada otoritas, yakni MUI," tukasnya.

Ketiga, ia berharap agar umat Islam tetap menjaga akidah dengan benar dan terus mempelajari Islam. "Baiknya umat Islam tetap menjaga akidah dengan benar dengan terus mempelajari Islam secara kaffah," pintanya.

Keempat, ia mengatakan umat Islam harus terus berdakwah menyadarkan umat bahwa Islam agama yang paling sempurna. "Umat Islam harus terus menggencarkan dakwah di tengah-tengah umat dan pemerintah pada khususnya bahwa islam adalah agama sempurna dan tidak boleh ada penyimpangan sekecil apapun," tegasnya.

Kelima, ia mengatakan selama ideologi sekuler yang diterapkan maka akan senantiasa meniscayakan adanya penyimpangan. Umat islam hendaknya mulai sadar bahwa selama Indonesia menerapkan sistem ideologi demokrasi sekuler, maka segala macam penyimpangan justru akan mendapatkan perlindungan atas nama HAM. Sementara ajaran yang benar justru akan dipersoalkan dan bahkan mungkin akan dibubarkan karena tidak sejalan dengan misi sekulerisme," bebernya.

Terakhir, ia berharap agar umat Islam terus berjuang untuk tegaknya Islam kaffah agar penyimpangan bisa dihilangkan.
"Umat Islam harus terus memperjuangkan Islam kaffah, sehingga tidak akan terjadi lagi berbagai bentuk penyampangan, karena menjadikan Islam sebagai tolok ukurnya, bukan kebebasan ala HAM," pungkasnya.[] Nur Salamah

Jumat, 26 Mei 2023

Ustadz Iwan: Hampir 90 Persen Musisi Dunia Supporter L68T

Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Ustadz Iwan Januar mengungkapkan bahwa tidak hanya musisi Coldplay, tapi hampir 90 persen musisi dunia mendukung L68T.

“Sebetulnya bukan cuma Coldplay dan beberapa artis yang mereka sudah manggung di Indonesia itu banyak memberikan dukungan atau supporting kepada L68T, misalnya artis Katy Perry dan malah mungkin hampir 90 persen musisi dunia itu mereka memberikan support kepada L68T,” ujar Ustadz Iwan januar dalam Fokus Live Streaming: Coldplay dan Fenomena Hedonisme, Ahad (21/5/2023) di kanal youtube UIY Official.

Menurutnya, tidak hanya konser musik yang mendukung L68T, bahkan perusahaan-perusahaan besar seperti Starbucks, Facebook dan Google juga mengusung kampanye yang sama yakni dukungan kepada L68T. 

Ia juga berharap kaum muslimin harus melihat secara holistik dan tegas mencegah serbuan budaya kapitalisme ini. “Mestinya kaum muslimin itu punya satu sikap yang tegas dan holistik atau  menyeluruh , bukan hanya masalah konser musik tapi semua hal yang kemudian memberikan support kepada lgbt, liberalisme, atheisme itu memang harus dicegah,” kata Ustadz Iwan Januar.

Ia memandang bahwa pencegahan terhadap serbuan peradaban kapitalisme ini tidak akan mampu diperankan oleh lembaga atau ormas Islam saja. "Tapi negara harus punya kepedulian untuk melindungi masyarakat.  Bukan sekedar tergantung besar kecilnya penolakan dari masyarakat," pungkasnya. [] Sofian

Selasa, 28 Maret 2023

Pelanggaran HAM Berat Langgeng dalam Sistem Sekuler

Tinta Media - Manusia pada dasarnya memiliki peran dalam menjalankan kehidupan, termasuk dalam menjalankan kewajibannya sebagai individu dan masyarakat, serta tuntutan hak asasinya sebagai manusia. Apalagi ketika manusia tersebut hidup dalam kondisi bernegara, tentulah ada jaminan dari negara yang memiliki pemimpin untuk melakukan riayah kepada rakyat untuk memastikan kewajiban dan hak mereka terpenuhi secara baik dan benar. 

Namun, kondisi bernegara di bawah kendali ideologi kapitalis sekuler menjadikan kehidupan masyarakat menjadi berantakan dan rusak. Hak-hak yang harusnya terpenuhi kadangkala terdiskriminasi oleh kepentingan-kepentingan orang tertentu. Walau negara memberikan solusi melalui kebijakan yang dikeluarkan, nyatanya kebijakan tersebut mampu dipelintir semaunya dengan alasan wewenang dan juga sogokan. Sehingga, hidup dengan dipimpin oleh kepala negara atau tidak dipimpin sama sekali serasa tak memiliki perbedaan yang besar.

Munculnya masalah-masalah pelanggaran HAM berat yang tak usai, kemudian penanganan masalah sampai pemenuhan hak dari pihak korban menjadi salah satu alasan ragunya masyarakat untuk menggantungkan harapan pada negara. Hal ini karena banyak dari mereka yang bahkan tak mendapatkan keadilan.

Seperti inikah negara yang adil itu? Rakyat sendiri tidak boleh memiliki harapan dalam pemenuhan hak. Mereka harus berdiri di atas telapak kaki sendiri, seakan perkara hidup dan mati itu hanya urusan individu belaka, tanpa dipikirkan dan diusut penyebab terjadinya masalah.

Sungguh miris kehidupan bernegara ketika masyarakatnya hidup hanya semaunya sendiri. Wajar jika kita mendapati bahwa perbuatan-perbuatan yang melanggar HAM merajalela di negeri ini karena asas kebebasan dan semaunya menjadi salah satu pegangan dalam bernegara.

Dikutip dari katadata.co.id, Presiden Joko Widodo memberikan janji, pada masa jabatannya akan melakukan penuntasan masalah HAM.

Wahyu Djafar, sebagai salah satu penggiat hak asasi manusia menilai bahwa  Inpres ini seakan menempatkan korban sebagai penerima bantuan sosial, bukan korban pelanggaran HAM berat yang patut diberikan pemulihan (BBC news Indonesia)

Hal di atas menunjukkan bahwa masalah pelanggaran HAM bukan hanya sekadar bentuk dari masalah individu saja. Ada faktor eksternal yang memengaruhi kehidupan, sehingga terbentuk masyarakat yang tak kenal takut ketika melakukan pelanggaran HAM, bahkan negara sekalipun. 

Hal ini dipicu oleh kesalahan cara pandang hidup yang digunakan sebagai landasan, yaitu sekuler. Selain itu, terciptanya perasaan individualis yang tidak mementingkan hak orang lain serta peraturan yang cenderung mengikuti kepentingan sebagian pihak, menjadikan terbentuknya kondisi masyarakat yang rusak dengan berbagai masalah yang include di dalamnya.

Lebih miris lagi, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dilakukan pada akhir masa jabatan presiden lebih banyak menunjukkan adanya pencitraan. Seharusnya sejak awal bisa diselesaikan, apalagi menjadi janji saat pencalonan.  Ini lebih seperti menutup kebobrokan di berbagai bidang. 

Lebih dari itu, hal tersebut juga menunjukkan jahatnya sistem demokrasi yang membiarkan pelanggaran HAM terjadi tanpa segera penyelidikan dan penyelesaian agar korban mendapatkan keadilan.

Sungguh berbeda dengan Islam yang sangat menghormati dan menghargai nyawa manusia. Islam memiliki sistem sanksi yang adil, yang ditegakkan oleh penguasa, dengan mengusut segala kasus pelanggaran tanpa terpengaruh oleh kepentingan, sehingga keadilan yang diharapkn akan tercapai.

Selain itu, penghormatan Islam atas nyawa manusia juga nampak pada hukum qishas. Pelaku yang menghilangkan nyawa atau membuat kerusakan pada tubuh individu tersebut akan dihukum sama dengan yang diderita oleh korbannya. Jika keluarga korban memaafkan, maka pelaku wajib membayar diyat kepada pihak keluarga korban, yakni setara dengan 100 ekor unta dan 40 di antaranya sedang hamil.

Penerapan sanksi dalam Islam akan menghasilkan dua efek, yakni sebagai jawabir (pengampun dosa) dan sebagai zawajir (yang menjerakan) sehingga menimbulkan ketakutan kepada pihak pelaku dan setiap orang yang melihat sanksi tersebut.

Hal ini akan kita rasakan ketika hukum Islam secara kaffah diterapkan oleh negara dengan sistem pemerintahan yang bernama khilafah.  Di dalamnya akan diterapkan seluruh aturan Islam dalam berkehidupan, sedang para pelaksananya merupakan orang yang betul-betul mampu menerima amanah tanpa pamrih dan tidak berada di bawah tekanan seorang pun. Sehingga, penerapan aturannya murni berasal dari Islam, tanpa adanya intervensi atau bahkan manipulasi. Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Sahabat Tinta Media

Selasa, 18 Oktober 2022

KEPRES NO 17/2022 BERPOTENSI MENJADI SARANA 'CUCI DOSA' BAGI PELAKU PELANGGARAN HAM BERAT DIMASA LALU


Tinta Media - Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD), pada Rabu (28/9) penulis telah menyampaikan sejumlah pandangan sebagai berikut :

*Pertama,* Kepres ini memiliki substansi dan materi muatan yang dapat dimanfaatkan untuk alat pencitraan rezim, mengubur kejahatan HAM berat dimasa lalu melalui proses non yudisial, dan mengubah sejarah PKI sebagai pemberontak menjadi korban pelanggaran HAM berat yang berhak mendapatkan rehabilitasi dari negara.

*Kedua,* kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seperti kasus Munir, tragedi Semanggi, Tanjung priok hingga kejahatan kemanusiaan pada kasus pembantaian di Talangsari, yang tidak pernah selesai di masa lalu, dapat diselesaikan di era Jokowi, meskipun dengan pendekatan non yudisial. Penyelesaian ini, yang akan dijadikan alat pencitraan rezim Jokowi, bahwa Jokowi telah menyelesaikan kejahatan HAM berat di masa lalu, yang tidak bisa diselesaikan oleh rezim sebelumnya.

*Ketiga,* Kepres ini bisa dimanfaatkan sebagai stempel politik untuk membersihkan dosa (dijadikan alat cuci dosa), bagi pihak-pihak yang disebut terlibat pelanggaran HAM berat dimasa lalu, seperti pada kasus kasus Munir, tragedi Semanggi, Tanjung priok hingga kejahatan kemanusiaan pada kasus pembantaian di Talangsari, lampung.

Dengan penyelesaian non yudisial ini, Hendro Priyono misalnya bisa memanfaatkan tim ini untuk membersihkan namanya dari kasus Talangsari Lampung, dengan dalih telah diselesaikan dengan penyelesaian non yudisial dan telah dilegitimasi secara resmi oleh negara.

Mungkin ini juga yang menjadi alasan Usman Hamid dari TII yang enggan dilibatkan dalam tim, karena khawatir namanya akan digunakan untuk menutup kasus Munir dengan pendekatan non yudisial. Usman jelas tak mau berkhianat kepada Munir, pejuang HAM, sahabatnya yang mati karena menjadi korban pelanggaran HAM berat, dengan terlibat dalam Tim ini.

*Keempat,* orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965-1966, akan diubah statusnya menjadi korban pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966. Mereka yang selama ini sudah mendapatkan SKKPH (Surat Keterangan korban Pelanggaran HAM) dari Komnas HAM, telah mendapatkan sejumlah santunan dan fasilitas dari LPSK, akan meminta status resmi sebagai korban HAM melalui proses non yudisial ini, dan akan meminta sejumlah tuntutan rehabilitasi dari negara, baik fisik, sosial, psikologi, ekonomi dan bentuk rehabilitasi lainnya.

*Kelima,* Kepres ini sampai kiamat pun tidak akan pernah digunakan untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50. Kepres ini hanya berlaku bagi pelanggaran HAM berat masa lalu dan yang telah diberikan rekomendasi komnas HAM sampai tahun 2020.

Apalagi, rekomendasi komnas HAM terhadap kasus KM 50 hanya dianggap pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran HAM berat.

Kepres yang berlaku sejak 26 Agustus 2022 hingga 31 Desember 2022. Dalam waktu sesingkat itu, apa yang bisa dilakukan oleh Tim ?

Jelas, sebenarnya berkas sudah lengkap di Komnas HAM. Tim ini cuma diminta tanda tangan dan diminta stempelnya, untuk memuluskan rencana jahat menutup kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu.

Kepres ini bertentangan dengan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Amanat UU kejahatan HAM berat wajib diproses hukum ke pengadilan HAM berdasarkan UU No 26/2000. Kok ini malah mau diselesaikan secara politik dengan pendekatan non yudisial ? Ini negara mau membela korban pelanggaran HAM berat atau mau melindungi pelaku kejahatan HAM berat?

Di titik itulah, Kepres ini alih-alih akan mengungkap dan memberikan kepastian hukum atas sejumlah pelanggaran HAM berat dimasa lalu, Kepres justru akan mengubur kasus dan mencuci dosa para pelaku pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui mekanisme non yudisial yang hanya bertumpu pada unsur pemberian kompesasi & rehabilitasi. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Islam

Rabu, 12 Oktober 2022

PERISTIWA KM 50 BELUM PERNAH DIADILI, PENJAHAT YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAM BERAT MASIH BEBAS BERKELIARAN

Tinta Media - Saat berdiskusi dengan Mbak Rahma Sarita dalam program 'Dark Justice' Realita TV (22/9), penulis tegaskan bahwa pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50 belum pernah diadili. Sementara putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan putusan onslag (lepas), yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung hanyalah dagelan saja.

Kalau ada yang bertanya, apakah penulis puas dengan putusan KM 50 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi MA? Jawabnya, penulis tidak peduli. Bagaimana mungkin penulis peduli pada sidang dagelan yang tidak mengadili peristiwa sesungguhnya?

Putusan PN Jakarta Selatan tidak pernah mengadili peristiwa yang sesungguhnya. Peristiwa KM 50 adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang harus diadili dalam Pengadilan HAM berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Fakta-fakta hukumnya sangat gamblang, sebagaimana ditulis dalam Buku Putih Pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 pengawal HRS yang diterbitkan oleh TP3.

Putusan PN Jalarta selatan hanya mengadili perkara pembunuhan biasa, berdasarkan pasal 338 KUHP. Putusannya juga memberikan pembenaran dan permaafan kepada pelakunya, sehingga divonis onslag (lepas).

Lalu peristiwa sesungguhnya apa?

Peristiwa yang sesungguhnya adalah pelanggaran HAM berat, sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) jo pasal 104 ayat (1) UU No 39/1999 tentang HAM. Adanya unsur penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing), yang dilakukan oleh state actor adalah bukti nyata telah terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum pernah mengadili perkara penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing) dalam kasus KM 50. Jadi, *bagaimana mungkin kita bisa percaya pada pengadilan yang tidak mengadili perkaranya ? karena itu, sidang KM 50 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanyalah sidang dagelan yang punya visi hanya untuk menutup kasus KM 50 dengan putusan Onslag.*

Lalu apa tujuan penulis bersama sejumlah Advokat mendatangi Mabes Polri?

Menagih janji. Ya, menagih janji Kapolri untuk membuka kasus KM 50 dengan novum yang telah kami serahkan. Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut tuntas peristiwa KM 50 berdasarkan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, dengan menggandeng Komnas HAM yang belum pernah melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50.

Kami juga meminta Kapolri membentuk Timsus dah Itsus untuk menyelidiki soal adanya dugaan Obstruction Of Justice pada kasus KM 50. Mengingat, dalam kasus yang menyebabkan hilangnya 6 nyawa 6 pengawal HRS, tidak ada satupun anggota polisi yang dipecat. Tidak ada pula yang diproses hukum. 

Padahal, pada kasus Brigadir Josua yang hanya satu nyawa, ada 93 polisi diperiksa, sebagian ada yang dipecat, ada juga yang disanksi, hingga proses hukum karena melakukan Obstruction of Justice.

Kapolri juga harus mengaudit Satgasus Merah Putih yang diduga terlibat dalam peristiwa KM 50. Kata kunci keterlibatannya adalah Sambo. 

Semoga novum yang kami serahkan diproses, bukan dalam rangka mengajukan PK untuk perkara Yusmin Ohorella dan Fiqri Ramadhan berdasarkan pasal 263 KUHAP. Melainkan, untuk membuka kembali kasus KM 50 dengan perspektif telah terjadi pelanggaran HAM berat, sebagaimana diuraikan secara gamblang dalam buku putih. Pelaku kejahatannya hingga hari ini masih bebas berkeliaran.[].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50

https://heylink.me/AK_Channel/

Senin, 28 Maret 2022

Jadikan HAM Sebagai Argumen Bolehnya Nikah Beda Agama, UIY: Ini Harus Dilawan!

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1v80wckzOEp4B4QEsMSAtcdNHl6-8hbTY

Argumen yang membolehkan nikah beda agama dengan alasan HAM harus dilawan dengan keras. “Ini argumen harus dilawan dengan keras,” tutur Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) dalam acara Fokus Live Streaming: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal Youtube UIY Official.

UIY mengatakan bahwa melawan argumen itu harus berdasar pada agama. “Karena  memang  ini enggak bisa dirujukkan. Satu  berangkat dari prinsip  agama, satu berangkat dari prinsip hak asasi manusia. Bagaimana bisa dirujukkan? Enggak bisa,” ujarnya.

Meskipun argumen ini  tampak rasional, tapi menurut UIY, sebenarnya itu sedang membawa kepada titik permainan yang  tanpa batas. “Sebagaimana yang terjadi di Barat yang mempertanyakan hal-hal konyol, semisal apakah pernikahan itu harus beda kelamin? Apakah pernikahan itu harus punya anak dan seterusnya?” ungkapnya.

UIY mengatakan, kebolehan nikah beda agama karena dilandasi Hak Asasi Manusia (HAM) ini memang argumen standar. “Mereka selalu berangkat dari prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sekali argumen itu diterima maka argumen itu akan selalu menjadi dasar untuk liberalisasi berikutnya,” ungkapnya.

“Sekarang mereka mempersoalkan beda agama.  Pernikahan beda agama harus boleh.  Nanti suatu ketika (dan itu sudah terjadi di Barat), mereka mempersoalkan juga pernikahan beda kelamin, dengan alasan yang sama,” tandasnya.

Absurd

Terkait anggapan bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam masalah pernikahan, UIY menegaskan bahwa itu argumen absurd.

“Saya kira argumennya juga absurd bahwa negara itu tidak boleh turut campur terhadap relasi  individual. Lah kalau relasi individual  itu pada akhirnya berpengaruh kepada masyarakat dan negara maka negara wajib turut  campur dari awal,” tegasnya.

Dalam konteks ini, kata UIY, Islam punya  kedudukan yang sangat kokoh  bahwa tidak ada urusan individu kecuali bahwa itu memang harus terkait dengan kebaikan. “Sebagaimana digambarkan oleh Baginda Rasul SAW bahwa perumpamaan  masyarakat itu seperti orang yang naik kapal. Ada yang di atas ada di bawah. Yang di bawah  kalau mau ngambil air harus naik ke atas. Lalu ada orang yang ambil jalan pintas. Dia lubangi tempat duduknya.

“Kalau pakai argumen tadi itu sah. Ini kan tempat duduk gue. Tapi Nabi mengingatkan bahwa kalau  orang itu tidak dicegah maka orang itu akan celaka dan orang lain juga celaka. Karena air yang masuk dari lubang yang dibuat di tempat duduknya itu, tidak hanya menggenangi tempat duduknya saja tapi juga menggenangi seluruh isi kapal,” jelasnya mencontohkan.

Menurut UIY, Itu terjadi sekarang. Penyakit AIDS itu kan penyakit yang berawal dari tindakan-tindakan menyimpang personal. Kemudian sekarang ini menjadi penyakit bukan hanya personal tapi mundial (mendunia). Siapa yang rugi?

“Jadi saya kira itu absurd kalau negara tidak boleh ikut campur,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab