Tinta Media: Guru
Tampilkan postingan dengan label Guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Guru. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 November 2024

Perlindungan Hakiki bagi Guru dalam Perspektif Islam


Tinta Media - Maraknya kasus guru yang dipidana hanya karena memberi pendidikan kepada siswa kini sedang hangat diperbincangkan oleh publik. Salah satunya adalah kasus guru honorer Supriyani yang dilaporkan seorang polisi karena menghukum anak didiknya di Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa masih banyak guru yang mengalami diskriminasi dan penghakiman yang tidak adil dalam menjalankan tugas mendidik mereka.

Sebelumnya, beberapa kasus serupa telah terjadi, seperti kasus Maya guru di SMPN 1 Bantaeng, Mubazir di SMAN 2 Sinjai Selatan, Darmawati di SMAN 3 Parepare, dan bahkan kasus guru Zaharman yang mengalami kebutaan permanen, karena kekerasan yang dilakukan oleh orang tua siswa setelah guru tersebut menegur siswa yang merokok di lingkungan sekolah.

Dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, guru menghadapi tantangan yang kompleks dalam membimbing generasi. Selain kurangnya kesejahteraan yang diberikan negara kepada para guru, ada tambahan beban administratif serta sistem pendidikan yang memberi tekanan pada prestasi dan angka. Ini menjadikan proses mendidik semakin rumit, terlebih ketika upaya mendidik mereka diinterpretasikan negatif oleh pihak-pihak lain, membuat mereka rentan terhadap tuntutan hukum, terutama setelah undang-undang perlindungan anak diadopsi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan kriminalisasi terhadap guru, selain interpretasi yang salah terhadap tindakan pendidikan sebagai kekerasan, perbedaan dalam pemahaman tujuan pendidikan antara berbagai pihak seperti orang tua, guru, masyarakat bahkan negara memberikan kontribusi besar dalam masalah ini. Misalnya, orientasi pendidikan saat ini lebih tertuju pada angka-angka prestasi atau kesiapan kerja karena adanya tekanan dari masyarakat dan dunia kerja. 

Banyak orang percaya bahwa tingkat kesuksesan seseorang dapat diukur dari prestasi akademik atau kesiapan kerja mereka. Oleh karena itu, pendidikan saat ini cenderung fokus pada hal-hal tersebut untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi persaingan di dunia kerja yang semakin ketat. Namun, pemerintah melupakan pentingnya penekanan pada moral dan agama untuk pengembangan karakter, dan kecerdasan emosional dalam pendidikan.

Bermacam-macam masalah ini muncul di dalam era kapitalisme sekuler sebagai akibat dari pemisahan individu dan negara dari agama, sehingga negara sekuler sering kali memiliki undang-undang yang kurang kuat, karena semata-mata didasarkan pada pemikiran manusia yang terbatas. Contohnya, UU Perlindungan Anak dan UU Guru menjadi terlihat bertentangan.

Sistem kapitalisme juga telah mendorong materialisme yang berdampak pada pendidikan dan tujuannya. Dalam sistem ini, negara hanya fokus pada perubahan kurikulum tanpa memberikan dampak positif yang signifikan pada hasil pendidikan karena tujuannya hanyalah menghasilkan generasi yang siap bekerja. 

Orang tua juga berharap perubahan ekonomi keluarga melalui pendidikan. Sebagai akibatnya, guru semakin terpinggirkan dalam masyarakat yang lebih memprioritaskan hasil akhir dan keuntungan materi, sementara kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi guru semakin menurun tanpa diperhatikan.

Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, maka wajar jika guru enggan menegakkan kedisiplinan terhadap murid, yang sejatinya juga akan berdampak negatif pada hasil pembelajaran. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana guru dapat tetap fokus untuk melaksanakan tugas mulia mereka di tengah kriminalisasi profesi yang semakin meningkat?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami perbedaan antara tugas mengajar dan mendidik. Seorang guru bertanggung jawab tidak hanya untuk memberikan pengetahuan, tetapi juga membimbing siswa dalam memahami nilai-nilai kehidupan. Pendidikan bukan hanya tentang memberikan informasi, tetapi juga membentuk karakter siswa secara etis dan moral. Sebab, pendidikan tidak hanya berfokus pada peningkatan kecerdasan kognitif, yang mana informasi dapat dengan mudah diakses melalui teknologi dan internet saat ini. Namun, nilai-nilai yang disampaikan oleh guru dalam proses pendidikan tidak dapat tergantikan oleh teknologi. Oleh karenanya, pendidikan mencakup aspek moral dan karakter yang tidak bisa digantikan oleh mesin atau kecerdasan buatan.

Di dalam paradigma Islam, profesi guru sangatlah mulia, karena ilmu adalah sumber kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah mementingkan pendidikan dan pengajaran, serta menghargai guru sebagai penyebar ilmu dan nilai-nilai agama. Oleh karenanya, Islam mendorong umatnya untuk terus belajar dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Kehadiran guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembentuk karakter generasi mendatang.

Oleh karenanya, penghormatan terhadap guru ditekankan dalam Islam, misalnya, para orang tua siswa dianjurkan untuk menjaga adab terhadap guru. Salah satu adab yang perlu diterapkan oleh murid dan orang tua terhadap guru adalah tidak mencari-cari kesalahan guru tersebut. Bukankah Allah Swt. dalam ayatnya menegaskan bahwa tidak baik mencari-cari keburukan orang lain dan menggunjing? Sehingga, para guru merasa aman dan terlindungi dalam proses belajar mengajar dalam sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam.

Demikian sebaliknya, motivasi utama guru dalam mengajar adalah untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Bukankah Rasulullah saw. mengatakan bahwa amal seseorang akan terus berlanjut setelah kematiannya melalui tiga hal, yang salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. 

Untuk menjadi guru berkualitas dalam Islam, maka fokus utama harus diberikan melalui pengajaran terbaik kepada siswa karena Allah.


Sementara, selain bertanggung jawab dalam menyediakan pendidikan yang merata dan berkualitas untuk seluruh rakyatnya, negara juga sebagai penanggung urusan umat yang wajib menjaga implementasi tujuan pendidikan Islam dengan menetapkan kurikulum yang sesuai dengan akidah Islam. Ini harus dilaksanakan agar mata pelajaran dan pendekatan pengajaran selalu berlandaskan pada nilai-nilai Islam. 

Negara juga harus memuliakan profesi guru dengan memberikan kesejahteraan melalui sistem penggajian yang adil. Berbagai kebijakan tersebut didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunah, sehingga memiliki kekuatan hukum yang valid untuk menyelesaikan masalah.

Dengan berkolaborasi antara guru, siswa, orang tua, dan negara, niscaya akan tercapai tujuan pendidikan Islam. Maka, perlindungan hak guru dan murid juga terjamin oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, sehingga dapat menciptakan generasi yang berkarakter dan membangun masa depan yang gemilang.
Wallahu'alam.



Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Kriminalisasi Guru, Bukti Perlindungan Negara Lemah



Tinta Media - Menjelang peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di akhir bulan November tahun ini, para guru di Indonesia banyak yang mendapatkan kado berupa kasus kriminalisasi. Padahal, sebagai salah satu profesi yang sangat mulia, menjadi seorang guru adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Namun, pahlawan tanpa tanda jasa ini pun kini banyak yang tersandung kasus kriminal akibat pelaporan oleh orang tua dari siswanya masing-masing.

Maraknya Kriminalisasi Guru

Tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya akhir-akhir ini semakin banyak terjadi. Sementara di lain sisi, guru juga dihadapkan pada ketidakpastian nasib dan ketidakjelasan kesejahteraannya. Sehingga, ketika guru bertindak disiplin kepada siswa atau mengajarkan kedisiplinan yang masih dalam batas wajar, mereka malah dituduh melakukan tindakan kriminal. Padahal, tugas dan tanggung jawab utama seorang guru adalah mendidik siswa.

Sebagaimana dialami guru honorer Supriyani yang dituduh memukul paha anak polisi di sebuah SD di Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Bahkan, beliau sempat ditahan di kantor kepolisian. (www.bbc.com, 01/11/2024)

Begitu juga yang terjadi di SMPN 1 Bantaeng. Di sekolah tersebut, ada seorang guru yang juga dijebloskan ke penjara akibat menertibkan murid yang baku siram air bekas pel dengan temannya. 

Ada juga di SMAN 2 Sinjai Selatan, guru honorer Bapak Mubazir yang dipenjara akibat dilaporkan oleh wali muridnya karena memotong paksa rambut murid yang sudah gondrong. Padahal, sebelumnya juga sudah diberikan peringatan berkali-kali. 

Guru di SMAN 3 Parepare juga harus mendekam di penjara dan menghadapi panjangnya proses persidangan karena dituduh memukul siswa yang tidak mengikuti salat Zuhur berjamaah. (www.kompas.com, 30/10/2024). 

Masih banyak kasus serupa yang tidak terpublikasikan. Semuanya menunjukkan bahwa profesi sebagai guru dipertaruhkan dan semakin tidak bernilai di tengah-tengah masyarakat.

Dilema Guru dalam Mendidik Siswa

Di dalam sistem yang ada saat ini, seorang guru cenderung bersifat dilematis dalam menghadapi dan mendidik siswa. Pasalnya, berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak. Keadaan semacam ini hanya terjadi dalam kurun waktu terakhir ini saja, sementara zaman dulu tidak pernah ada hal semacam itu. Hal ini bisa terjadi karena adanya Undang-Undang Perlindungan Anak yang terus digaungkan oleh pemerintah, sehingga menjadikan guru rentan untuk dikriminalisasi.

Sementara di sisi yang lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, dan masyarakat serta negara. Masing-masing pihak memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap pendidikan anak. Akibatnya, muncul gesekan antara berbagai pihak yang terlibat, termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. Pada akhirnya, yang terjadi saat ini, guru mulai ragu dalam menjalankan perannya sebagai pendidik, khususnya dalam menasihati siswa.

Pendidikan dalam Islam

Islam sangat memuliakan dan memberikan perlakuan yang sangat baik terhadap guru. Selain itu, negara juga memberikan jaminan yang baik terhadap profesi guru, dengan cara memberikan sistem penggajian yang terbaik. Oleh negara, guru diharapkan dapat menjalankan amanah dengan baik pula. 

Negara juga berkewajiban untuk memahamkan kepada semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan terkait dengan sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki tujuan yang sangat jelas dan meniscayakan adanya sinergi dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hal itu akan semakin menguatkan tercapainya tujuan pendidikan di dalam Islam. Kondisi tersebut pastinya dapat menjadikan guru semakin optimal dalam menjalankan perannya dengan tenang, karena merasa terlindungi dalam mendidik murid-muridnya. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh: Iin Rohmatin Abidah, S.Pd
Sahabat Tinta Media

Kapitalisme Mematikan Peran Guru, Bagaimana dalam Islam?

Tinta Media - Viral, beredar sebuah video hasil rekaman seorang guru asal Lamongan di Media Sosial. Video tersebut menceritakan keengganan seorang guru menegur siswanya karena takut dilaporkan ke polisi. Di dalam video tersebut tampak seorang guru merekam aktivitas siswa di dalam kelas. Ada yang mengobrol, tertidur berbaring di atas kursi. Kasus ini diketahui terjadi di SMP Negeri 1, Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur.

Kepala Bagian Dinas Pendidkan SMP Lamongan, Nunggal Isbandi, mengatakan bahwa video itu sebenarnya diambil saat jam istirahat oleh salah seorang guru. Beliau juga menyebutkan bahwa video tersebut direkam dan diunggah dengan tujuan menyampaikan kegelisahan atas banyaknya guru yang dilaporkan wali murid ke polisi. Penyebabnya karena wali murid tidak menerima anaknya kena tegur atau hukuman oleh guru. (detiksumut.com, 01/11/2024)

Setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Dalam perayaan hari guru tahun ini, Kemendikdasmen (Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah) mengusung tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat.”

Tema ini diangkat sebagai wujud dukungan dan penghargaan terhadap semangat belajar, berbagi ilmu, dan berkolaborasi dari guru-guru hebat Indonesia. Ditambah lagi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti juga menetapkan bahwa bulan November sebagai Bulan Guru Nasional yang  diharapkan dapat meneguhkan kembali komitmen negara dalam men-support dan mengapresiasi profesi guru. (detik.com, 05/11/2024)

Guru adalah sosok mulia yang disebut sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Julukan tersebut diberikan karena begitu besarnya jasa guru dalam memberikan kontribusi bagi nusa bangsa, tetapi tidak pernah mendapatkan penghargaan seperti pahlawan-pahlawan negara. Walaupun begitu, guru merupakan sosok hebat yang akan selalu dikenang sepanjang masa. Guru ibarat sebuah lentera penerangan yang memberikan cahaya di tengah kegelapan bagi manusia yang bernama murid.

Tanpa kehadirannya yang setia  mendidik dan mengajarkan amal kebaikan, seorang murid tidak akan pernah tahu arti kehidupan. Kehadirannya selalu dihargai dan dihormati. Kata-kata nasihatnya selalu diharapkan dan didengar. Akan tetapi, apa jadinya jika seorang guru ragu, bahkan enggan memberikan nasihat atau menegur murid yang salah? Apa yang membuat guru sampai menolak untuk mengingatkan muridnya?

Kapitalisme Mematikan Peran Guru

Kasus di atas merupakan gambaran bagaimana guru tidak mau menegur kesalahan murid. Guru khawatir menasihati, bahkan memberikan sanksi kepada murid. Kondisi ini sungguh miris. Guru kehilangan identitasnya sebagai pendidik. Guru merasa tidak nyaman dalam mengajar.

Kebanyakan remaja saat ini juga memprihatinkan. Ketiadaan adab kepada guru di dalam diri remaja membuat mereka berlaku tidak sopan, bahkan ada yang semena-mena dan melawan gurunya. Kondisi generasi muda semakin ke sini  semakin jauh dari Islam.

Banyak faktor penyebab murid kurang berempati kepada guru, setidaknya ada enam faktor pendukung.

Pertama, mulai dari psikologis murid. Hal ini lebih ke sifat emosional yang belum stabil. Apalagi masa usia muda, naluri eksistensi dirinya sedang bergelora, merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain sehingga wajar baginya meremehkan dan tidak segan pada orang lain. Ditambah lagi faktor psikologis, serta lingkungan yang terbiasa dengan kekerasan.

Kedua, kebanyakan program pembelajaran di Indonesia lebih mengutamakan akademis daripada penanaman adab dan akhlak. Jika pun ada pembelajaran tentang tata krama (adab), hanya sekadar teoritis saja. Selain itu, program pembelajaran seharusnya lebih menyenangkan, bukan sebaliknya memberatkan sehingga murid merasa jenuh dan bosan dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Ketiga, kemajuan teknologi dan informasi juga bisa membawa pengaruh buruk kepada murid. Murid banyak mendapatkan informasi negatif, edukasi yang tidak baik dari penyalahgunaan media sosial. Murid zaman now cenderung meniru tanpa menyaring apa yang dilihat dan didengar, lalu dipraktikkan ke kehidupannya sehari-hari, termasuk ke gurunya.

Keempat, hubungan guru dan murid yang terlalu dekat sampai-sampai menganggap guru sebagai teman sehingga hilanglah rasa hormat kepada sang guru.

Kelima, keluarga yang sudah terbiasa melakukan kekerasan kepada anak, sehingga anak juga melakukan hal yang sama di lingkungan sekolah, bahkan kepada gurunya.

Bisa juga faktor keluarga yang suka membela anak walaupun anaknya bersalah, bahkan bersikeras menyalahkan guru saat terjadi masalah di sekolah. Hal tersebut semakin membuat anak melawan atau menyepelekan guru.

Keenam, ketakutan guru seperti kasus yang viral belakangan ini. Berapa banyak guru yang dipenjarakan oleh muridnya?

Selain itu, guru menjadi berkurang perhatiannya dalam mendidik muridnya. Yang penting pembelajaran telah disampaikan, mau muridnya serius atau bermain saat belajar, mengerti atau tidak dengan bahan ajar guru tidak peduli. Guru terkesan abai tapi itulah faktanya. Belum lagi masalah gaji yang rendah, masalah kebijakan administrasi guru kurikulum merdeka yang rumit, sertifikasi, juga kurikulum yang sering berganti.

Ini adalah potret buram penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini tidak mampu menyejahterakan guru dan menjadikannya tidak optimal dalam mendidik generasi penerus bangsa. Para guru juga tidak fokus untuk mengajar karena kebutuhan hidup yang tinggi sementara gajinya rendah.

Islam Memuliakan Guru

Islam memandang guru sebagai orang yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia. Guru merupakan sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah. Ilmu itu bisa menjadi jembatan bagi orang-orang untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Selain itu, tugas guru tidak hanya mendidik murid secara akademik. Guru juga mendidik murid agar cerdas dalam spiritual, yakni membentuk kepribadian Islam.

Jika kita perhatikan ayat Al-Qur’an, kita akan menemukan tingginya posisi para guru dan mulianya profesi mereka.

Sebagaimana perkataan Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11,

“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.”

Selain itu, guru dimuliakan murid-muridnya melalui adab-adab Islam.

Seperti, murid-murid mendoakan kebaikan untuk gurunya sebagai wujud balasan dari kebaikan guru yang telah mendidik dan memberikan ilmu bermanfaat dalam hidup para murid. Tidak ribut di hadapan guru. Ketika guru menjelaskan pembelajaran. Murid sebaiknya diam mendengarkan dengan saksama, tidak membuat gaduh.

Menghormati hak guru dengan menghargai guru, tidak melawan atau menyanggah perkataan guru.

Merendahkan diri di hadapan guru berarti murid tidak boleh sombong atau meremehkan guru, berjalan menunduk atau malu jika berada di depan guru.

Minta izinlah dengan sopan jika ingin bertanya atau keluar kelas.

Tidak menyela saat guru berbicara.

Bersabarlah terhadap kesalahan guru, ketika kita sudah niatkan belajar karena Allah. Maka, sudah seharusnya murid bersabar dalam berjuang menuntut ilmu sekaligus bersabar terhadap gurunya. Jangan malah marah atau tidak mau belajar jika mendapati guru yang tidak sesuai dengan harapan. Jadi, tidak ada istilah guru takut menegur murid atau takut dilaporkan ke polisi.

Islam juga mempunyai sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam untuk  menghasilkan orang-orang yang high quality. Melalui kurikulum tersebut, Islam mampu mencetak generasi yang berkepribadian Islam, sekaligus memiliki keilmuan yang berkualitas, baik dalam tsaqafah Islam maupun sains teknologi.

Betapa indahnya hidup dalam naungan sistem Islam. Para guru dijamin kehidupannya. Profesinya sebagai guru dihargai tinggi, bahkan melebihi dari kebutuhannya.

Para guru tentu akan fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban cemerlang karena sudah terpenuhi kebutuhannya melalui gaji yang tinggi tadi.

Tidak hanya itu, negara dalam Islam juga menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan guru dalam menjalankan tugas mulianya. Sehingga, para guru akan berlomba-lomba mengupgrade dan terus meningkatkan kualitas mengajarnya.

Namun sayangnya, semua itu tidak bisa terwujud di dalam sistem sekarang. Ini karena masalah tersebut tidak sekadar masalah personil, tetapi lebih sistemis. Jadi, butuh solusi sistemis juga untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh bobroknya aturan negara saat ini, yakni aturan yang berasal dari Allah.

Tidak ada yang menyangkal bahwa aturan Sang Pencipta sempurna. Syariat Islam hanya mampu diterapkan secara keseluruhan melalui sebuah institusi Islam, bukan yang lain. Wallahu a’lam bissawab.

Oleh: Nur Aini Putri Tanjung, Pemerhati Sosial dan Pendidikan

 


Jumat, 15 November 2024

Marak Kriminalisasi Guru, Bukti Lemahnya Perlindungan Negara



Tinta Media - Dunia pendidikan sedang gempar setelah salah seorang wali murid yang melaporkan seorang guru honorer (Supriyani) ke polisi. Guru SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan tersebut dituduh melakukan penganiayaan terhadap anak didiknya. Namun, Supriyani membantah dengan alasan pada hari itu dia tidak sedang mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi dengan anak tersebut. 

Kejadian pelaporan orang tua murid terhadap guru tidaklah terjadi kali ini saja. Melansir dari viva.co.id (1/11/2024), setidaknya ada beberapa kasus kriminalisasi guru yang pernah terjadi di Indonesia. 

Pertama, pada tahun 2016, Samsudi, guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, dilaporkan karena telah mencubit muridnya akibat tidak mengikuti salat berjamaah di sekolah. Efek dari cubitan tersebut, si murid mengalami memar. Itulah yang membuat orang tuanya tidak terima. Akibatnya, pengadilan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun karena Samsudi dinilai telah melanggar pasal 8 ayat 1 UU Perlindungan Anak. 

Kedua, pada Mei 2016, Nurmayani Salam, guru Biologi SMPN 1 Bantaeng, dilaporkan karena tindakan penganiayaan, yaitu cubitan yang mendarat ke tubuh anak didiknya. Kejadian tersebut berawal saat dua siswanya sedang bermain kejar-kejaran dan baku siram air bekas pel dan Nurmayani terkena siraman itu. Untuk menertibkannya, dua siswa dipanggil ke ruang BK dan dicubit.

Ketiga, pada tahun 2023, Zaharman, Guru SMAN 7 Rejang Lebong, harus bisa menerima dirinya buta pada mata sebelah kanan akibat diketapel orang tua murid karena tidak terima anaknya ditegur dan diberi hukuman setelah kepergok merokok di kantin sekolah.
 
Keempat, pada Februari 2024, Khusnul Khotimah, guru SD Plus Darul Ulum, Jombang, dilaporkan karena kelalaiannya mengawasi para siswa saat jam kosong sehingga ada salah satu murid yang terluka di bagian mata kanannya hingga menyebabkan pendarahan akibat dari lemparan kayu saat bermain dengan temannya di kelas. Posisi Khusnul sedang tidak di kelas sehingga hal tersebut dinilai sebagai sebuah kelalaian. 

Adapun yang menjerat Khusnul adalah Pasal 360 ayat 1 KUHP atau ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat ayat 1 ke 2 KUHP. 

Kelima, kisah Supriyani. Sebenarya, kasus ini sudah dilaporkan sejak April 2024, tetapi baru ada titik terang pada 16 Oktober 2024. 

Dengan maraknya tindakan buruk yang dialami para guru saat melakukan tugas keprofesiannya, maka Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi,  melalui akun Instagram PBPGRI pada 1 November 2024 mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru agar kasus ini tidak terulang kembali. 

UU tersebut tidak hanya melindungi guru, tetapi juga para siswa. Di dalam UU pun diusulkan agar tidak ada lagi kekerasan atau tindak aniaya terhadap guru sebagai tenaga pendidk dan murid sebagai peserta didik. 

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa dalam sistem hari ini, guru mengalami dilema dalam mendidik siswa. Pasalnya, beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terjadi karena ada UU Perlindungan Anak, sehingga guru rentan dikriminalisasi. 

Di sisi lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara karena masing-masing memiliki persepsi terhadap pendidikan anak. Perbedaan persepsi ini disebabkan karena jenjang generasi, pengalaman dan cara pandang masing-masing berbeda. Akibatnya, muncul gesekan atau bahkan menjadi sumber ketegangan dan kesalahpahaman antara berbagai pihak, termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. 

Guru akhirnya ragu dalam menjalankan perannya, khususnya dalam menasihati siswa. Sikap tegas terhadap murid haruslah ada pada sistem didik seorang guru. Dengan sikap tegas tersebut terciptalah kedisiplinan murid. Jika itu tidak ada, maka tidak ada pula nilai-nilai etika atau moral antara guru dan murid. Akibatnya, guru sering disepelekan. 

Pola asuh yang diterapkan orang tua pun juga berpengaruh. Jika dalam keluarga terdapat kultur yang membela dan mempercayai semua yang dikatakan anak tanpa melakukan konfirmasi, maka peran guru pun akan hilang karena dianggap tidak sesuai dengan cara didik orang tua.

Dalam Islam, guru dimuliakan dan diberi perlakukan baik. Selain itu, negara juga menjamin guru dengan sistem penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanah dengan baik pula. Negara yang menggunakan sistem Islam akan memahamkan semua pihak tentang sistem pendidikan Islam. 

Pendidikan Islam memiliki tujuan jelas dan meniscayakan adanya sinergi semua pihak, sehingga menguatkan tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kondisi ini menjadikan guru dapat optimal menjalankan perannya dengan tenang, karena akan terlindungi dalam mendidik siswanya. Ia juga akan mendapatkan kepercayaan dari orang tua murid bahwa gurulah yang akan mengantarkan anaknya menjadi generasi gemilang.
Wallahu a’alam.





Oleh: Dwi R Djohan
Sahabat Tinta Media 

Senin, 11 November 2024

Kriminalisasi Guru, Buah Pahit Kapitalisme Demokrasi


Tinta Media - Guru adalah sosok mulia yang wajib untuk dihormati dan dimuliakan, baik oleh murid maupun orang tua murid. Namun, akhir-akhir ini guru malah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tua murid disebabkan pengaduan anaknya, meskipun pengaduan itu terkadang tidak benar,  bahkan cenderung fitnah. 

Ibu Supriyani, S.Pd, guru SDN  Baito, Konawe Selatan ditahan polisi karena menegur siswa yang nakal. Orang tua siswa tersebut adalah anggota polisi. Pihak orang tua siswa meminta Bu Supriyani dikeluarkan dari sekolah dan juga dimintai uang sebesar 50 juta dengan dalih sebagai uang damai. Belakangan, kasusnya diselesaikan dengan damai kekeluargaan. Namun, persidangan akan tetap dilakukan pada Ibu Supriyani. 

Kasus kriminalisasi terhadap guru tidak hanya menimpa Ibu Supriyani saja. Kriminalisasi guru ibarat gunung es, yang tampak hanya sedikit, tetapi yang tak nampak lebih besar lagi. Sebelumnya, di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua siswa karena menegur siswanya yang tidak mau salat. Realitasnya, masih banyak lagi kasus-kasus serupa. 

Akar Masalah

Kasus kriminalisasi guru menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan. Hal ini merupakan malapetaka peradaban. Artinya, adab kepada guru sudah hilang. Bagaimana ketika guru ingin menegakkan keadilan, bagaimana guru sedang menegakkan disiplin jika dia harus dibenturkan dengan aturan dalam perundang-undangan di negeri ini? Sungguh, dunia pendidikan dibuat tumpul tak berdaya. 

Anak-anak didik saat ini telah banyak terpengaruh oleh berbagai informasi negatif yang beredar di media sosial. Dari pornografi, video kekerasan,  pembulyan, dan berbagai tayangan-tayangan yang nir-adab semakin merusak mental dan karakter generasi. Adanya filter yang ketat seharusnya dilakukan oleh penguasa. Akan tetapi, penguasa seolah tak berdaya. 

Revolusi mental yang digadang-gadang bisa memperbaiki generasi malah semakin merusak. Hal ini membuktikan bahwa revolusi mental yang dibangun oleh rezim ini berlandaskan kapitalisme, hanya berpandangan soal untung dan rugi, bukan untuk tindakan atau menegakkan kedisplinan sebagaimana yang ibu guru tersebut lakukan terhadap anak didiknya. 

Ditambah lagi ketidakadilan yang tampak semakin nyata. Hukum bisa diutak-atik oleh yang berkuasa sesuai kepentingan mereka, seolah keadilan hanya bagi pemilik modal atau yang ber-uang saja. Rakyat kecil mudah dijadikan tersangka hanya dengan perkara yang belum terbukti nyata.

Jelaslah bahwa semua masalah tersebut bersifat sistematis. Pangkal persoalan ini adalah akibat sistem pendidikan yang menganut paham kapitalis-sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Orientasinya hanya untuk keuntungan/kepuasan  materi, bukan untuk menghasilkan anak didik yang bertakwa. 

Penerapan sistem kapitalisme sekuler menjadikan lembaga pendidikan hanya mengajarkan agama sebagai ilmu, bukan sebagai tsaqafah yang berpengaruh dalam kehidupan. Wajar jika jam pelajaran agama semakin terkikis, ditambah dengan arus moderasi beragama yang semakin membutakan generasi dari hakikat Islam yang merupakan sistem kehidupan. 

Kapitalisme telah menghilangkan rasa hormat dan takdzim kepada guru, padahal rasa takdzim kepada guru adalah bagian syariat yang harus dijalani di dunia yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Justru perasaan egoisme pribadi yang semakin menguat. 

Sistem kapitalisme juga membuat ketidakpercayaan antara orang tua dan guru. Adanya undang-undang perlindungan anak rentan dijadikan senjata untuk mengkriminalisasikan guru demi kepentingan pribadi. 

Solusi Teknis dan Sistemik

Kriminalisasi terhadap guru sekolah yang tengah marak belakangan ini membutuhkan solusi yang paripurna, baik teknis dan sistematis. Demi terciptanya perlindungan hukum untuk guru, maka sekolah perlu membuat peraturan yang disepakati oleh guru, siswa, dan orang tua siswa. Oleh karena itu, sekolah sepatutnya membuat peraturan sekolah, tata tertib, dan kode etik sekolah yang diketahui dan disepakati oleh guru, siswa, dan orang tua.

Di dalam peraturan tersebut, terdapat klasifikasi dalam bentuk tindakan pendisiplinan. Untuk mengurangi kriminalisasi terhadap guru, sebaiknya sekolah membuat komisi atau divisi yang menegakkan peraturan sekolah. Sehingga, jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa, guru cukup melaporkan kepada divisi atau komisi yang bertugas menegakkan disiplin. Sehingga, bukan guru yang melakukan tindakan pendisiplinan, melainkan komisi atau divisi tersebut.

Untuk menghindari kriminalisasi terhadap divisi atau komisi pendisiplinan, maka perlu dibuat mekanisme. Tindakan apa yang akan dilakukan untuk pendisiplina, di mana tempatnya. Pendisiplinan itu harus disaksikan oleh minimal dua orang guru dan dua orang siswa. Untuk memperkuat alat bukti, sebaiknya dipasang CCTV. Perlu juga adanya saksi dan alat bukti ketika proses pendisiplinan tersebut berlangsung.

Selain itu, guru tidak dapat dipidana saat menjalankan profesinya, tidak terlepas dalam hal pendisiplinan. Karena pendisiplinan tidak termasuk kategori tindakan diskriminasi atau penganiayaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak sekolah untuk membuat ketentuan yang jelas, bersih, dan berlaku bagi seluruh siswa agar tidak dapat dikategorikan tindakan diskriminasi.

Ada dua pasal untuk memperkuat posisi guru sebagai tenaga pendidik di sekolah. Pasal tersebut yakni Pasal 39 Ayat (1) PP No.74 Tahun 2008 yang diubah menjadi PP No.19 Tahun 2017 dan Pasal 39 ayat (2) PP No.74 Tahun 2008 yang diubah menjadi PP No.19 Tahun 2017 tentang Guru. Pasal 39 Ayat 1 dan 2 mengatur tentang gurun untuk memiliki kebebasan dalam memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar. Sanksi tersebut dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah mengganti sistem kapitalisme sekuler demokrasi dengan sistem yang sahih yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sistem pendidikan Islam akan membentuk pemahaman agama yang menjadikan mental dan iman yang kuat, baik guru, orang tua maupun murid. 

Strategi pendidikan harus dirancang untuk mewujudkan identitas keislaman yang kuat. Metode pengajarannya harus talaqqiyan fikriyan. Sehingga hubungan antara guru dengan murid, guru dengan orang tua akan memiliki kesadaran yang saling menghargai. Terdapat ajaran yang menekankan pentingnya adab (etika) dalam berinteraksi dengan guru. Murid diharapkan untuk menghormati, mendengarkan dengan baik, dan belajar dengan tekun dari guru mereka.

Sistem informasi dan komunikasi juga harus difilter dengan ketat agar semua tayangan yang beredar adalah tayangan yang memberikan edukasi dan dakwah ilal Islam. Penguasa harus benar-serius saat melakukan ini tanpa memihak kepada kepentingan -kepentingan sekelompok orang maupun pemodal. Tak boleh berlaku asas manfaat dalam hal ini.

Sistem sanksi juga akan diberlakukan dengan tegas agar kasus tidak berulang. Keadilan akan benar-benar ditegakkan supaya tidak ada yang terzalimi dan menzalimi. Semua itu membutuhkan sebuah institusi negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, yaitu khilafah ala minhajin nubuwwah. Tanpa khilafah, mustahil keadilan akan terwujud.


Oleh: Sri Syahidah 
(Aktivis Muslimah) 

Kamis, 24 Oktober 2024

Guru Mulia dalam Naungan Sistem Islam


Tinta Media - Dalam rangka memperingati penandatanganan Rekomendasi UNESCO/ILO 1966 tentang Status Guru, hari guru sedunia diperingati setiap tanggal 5 Oktober sejak tahun 1994. Rekomendasinya adalah menetapkan standar internasional untuk persiapan awal dan pendidikan lanjutan mereka sebagai pengajar serta menetapkan hak tanggung jawab guru. Ada 76 perwakilan negara dan 35 organisasi internasional yang terlibat dalam konferensi tersebut. (KOMPAS.com)

Sejarah ditetapkannya hari guru sedunia adalah sejak adanya konferensi UNESCO di Paris tanggal 5 Oktober. Akhirnya, UNESCO menetapkan tanggal 5 Oktober sebagai hari guru sedunia. Seorang pengajar harus bertanggung jawab atas pendidikan murid, itulah makna kata "guru" dalam konferensi tersebut. Sedangkan penghargaan dan kedudukan yang diberikan pada guru atas kompetensinya sebagai guru, itulah makna "status".

Tidak dimungkiri bahwa peran guru sangatlah penting bagi generasi penerus bangsa. Untuk bisa menghasilkan generasi penerus bangsa yang tangguh memang butuh pengajar/guru yang kompeten agar pembinaan terhadap murid bisa menghasilkan anak didik yang cerdas dan bertakwa. Akan tetapi sayang, berbagai persoalan di dunia pendidikan, seperti murahnya gaji guru di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, kurikulum yang berubah-ubah yang membuat pusing guru dan murid masih terus menjadi polemik hingga saat ini. Belum lagi masalah sarana prasarana pendidikan, hingga ada sekolah yang tidak mempunyai gedung. 

Di sisi lain, fakta terang benderang terkait guru pendidik yang sering terbukti melakukan tindak kekerasan seksual kepada murid juga menambah pelik persoalan di dunia pendidikan. 

Mungkin kita berpikir, kenapa bisa seperti itu?  Guru yang seharusnya menjadi panutan justru sering berbuat hal-hal di luar nalar. Namun setelah ditelaah, ternyata kerusakan moral guru dan murid saat ini juga disebabkan karena faktor sistemik, yaitu imbas dari penerapan sistem yang rusak dan merusak, yaitu kapitalisme sekuler liberal. Sistem ini menjauhkan peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Agama hanya ada di ranah pribadi dalam hal ibadah ritual saja, tidak punya tempat untuk mengatur kehidupan bernegara. Ditambah tidak adanya kontrol masyarakat yaitu amar maruf nahi mungkar di tengah masyarakat, wajar kalau jati diri guru sebagai pendidik generasi pun hilang. Terbukti dengan banyaknya kasus guru yang melakukan pelecehan seksual, hingga menimbulkan kematian. Sungguh itu sangat disayangkan.  

Islam mempunyai konsep yang mampu mencetak guru berkualitas dan berkepribadian Islam sehingga mampu mendidik siswa menjadi generasi muda tangguh yang beriman dan bertakwa. Tentu ini diwujudkan dengan sistem pendidikan Islam, yaitu sistem yang berlandaskan akidah Islam. 

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk individu yang bersyaksiyah Islamiyyah (berkepribadian Islami). Itulah tugas dan kewajiban seorang Khalifah dalam mengatur negara. Seorang Khalifah adalah pengurus urusan rakyat, dan bertanggung jawab penuh agar rakyat bisa sejahtera. Seorang Khalifah menyadari betul bahwa apa yang diperbuatnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt.

Negara Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan, mulai dari gaji guru/pendidik, fasilitas sekolah yang bagus, serta biaya yang murah bahkan gratis. Profesi guru sangat dimuliakan dalam sistem Islam dengan diberi gaji yang besar. Hal itu sesuai dengan perannya sebagai pencetak generasi emas. Dengan begitu seorang guru/ pendidik akan mampu mencukupi kebutuhan dasar hidup dan fokus pada pekerjaan, tidak perlu mencari kerja sampingan lagi. 

Negara Islam adalah negara independen yang mengalokasikan semua anggaran yang berasal dari baitul maal, bukan dari pajak yang ditarik dari rakyat seperti halnya dalam sistem demokrasi kapitalis.

Sejarah pernah membuktikan bahwa Islam sangat memuliakan guru, seperti pada masa Shalahuddin al-Ayyubi. Pada masa itu, gaji guru sangat besar, yaitu sekitar 11—40 dinar, sangat fantastis. Jika di rupiahkan, itu senilai Rp42—153 juta. Oleh karena itu, kehidupan guru sangat terjamin kesejahteraannya. 

Tidak ada istilah guru honorer dalam Islam. Semua sama, tidak ada perbedaan. Dengan begitu, akan lahir  guru-guru yang kompeten dan profesional yang mampu melahirkan generasi penerus yang tangguh, beriman dan bertakwa. Begitulah kesejahteraan guru di dalam Islam yang pernah terjadi pada masa khilafah.

Jadi, pada dasarnya perayaan hari guru sedunia atau nasional tidak memberikan pengaruh kecuali hanya sekadar seremonial belaka. Hanya dengan adanya institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah itulah satu-satunya jalan menuju perubahan yang hakiki. Dengan cara inilah problematika dunia pendidikan termasuk kesejahteraan guru akan terselesaikan dengan baik. Wallahu a'lam bishawab.



Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Senin, 22 Januari 2024

Digitalisasi Pendidikan Meniadakan Peran Guru




Tinta Media - Di era digitalisasi ini, kemajuan sains dan pengetahuan sangat pesat. Perkembangan teknologi dan inovasi yang luar biasa telah dicapai oleh negara-negara kapitalis, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Perkembangan teknologi yang begitu pesat memudahkan manusia dalam melakukan pekerjaan. Bahkan, dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, hampir semua sektor digitalisasi. Contohnya di bidang kesehatan dan pendidikan. 

Pendidikan di era digital ini, harus mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi ke dalam seluruh mata pelajaran, sehingga memungkinkan bagi siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang melimpah ruah, serta cepat dan mudah. 

Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPRD RI Hetifah Sjaifudin, beliau mendukung digitalisasi sekolah demi menyambut generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045, untuk mengakselerasi implementasi agenda pendidikan nasional. 

Beliau menilai bahwa perlu untuk melibatkan kecerdasan artifisial dalam sistem pendidikan nasional yang modern. Untuk menciptakan efektivitas kerja stake holder pendidikan, kecerdasan artifisial perlu dimanfaatkan. Beliau juga mengingatkan untuk mempersiapkan perangkat pendukung yang mumpuni kepada segenap elemen pemerintah. Beliau mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah strategis, dengan menyediakan akses gratis, pengembangan platform pembelajaran daring, dan pemantapan konektivitas digital. 

Menurut politisi Fraksi Partai Golkar itu,  kecerdasan artifisial berpotensi membawa sejumlah manfaat, karena kebijakan ini didukung oleh teknologi berbasis digital. Manfaat kecerdasan artifisial ini mulai dari penghematan biaya operasional, peningkatan layanan dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Beliau juga menekankan bahwa upaya tersebut harus diselaraskan dengan pengawasan dan penegakan hukum yang adil. Perlu diketahui bahwa untuk membantu mempercepat proses analisa data terkait administrasi pendidikan diperlukan machine learning dan deep learning karena dukungan kecerdasan artifisial.

Di era peradaban kapitalisme ini, adanya digitalisasi dalam dunia pendidikan tentunya pendidikan akan semakin dikomersialkan. Otomatis, biayanya pun akan mahal, dan tentu saja tidak akan terjangkau oleh masyarakat kecil. 

Digitalisasi dalam pendidikan tentunya akan menjadi lahan profit bagi swasta. Ini karena pemerintah akan menggandeng swasta dalam, meskipun dengan digitalisasi dalam pendidikan akan memotivasi anak bangsa yang memiliki potensi inovasi.  

Memang tidak ada yang salah karena akan membawa kepada kemajuan. Akan tetapi, di sisi lain akan menimbulkan efek negatif bagi pendidikan karena adanya pengabaian program guru dan meminimalkan peran guru. 

Seharusnya, pemerintah menjamin pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh warga negara. Ini adalah kewajiban negara untuk meriayah atau mengurusi rakyat sepenuhnya. Negara tidak boleh berlepas tangan sehingga memberi kebebasan pada swasta untuk mengambil pendidikan sebagai lahan profit. 

Negara juga bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas agar mendapatkan sistem pendidikan cemerlang, kurikulum terbaik, dan pendidikan yang hebat, sehingga semua aspek pendidikan menunjang. 

Di sisi lain, siswa juga membutuhkan peran guru secara langsung, karena mereka harus mendapatkan penjelasan yang terperinci tentang pelajaran yang dipelajari. Siswa juga harus mempunyai figur seorang guru yang langsung memberi contoh kepada siswa didik, juga adanya sentuhan dari seorang guru kepada murid yang akan  memberikan kenyamanan dalam belajar. 

Di dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan rakyat yang dijamin oleh negara. Negara akan memberikan pendidikan yang berkualitas, tidak dipungut biaya, dan dirasakan oleh seluruh warga negara. 

Di dalam Islam, pendidikan tidak berorientasi pada keuntungan, karena pendidikan adalah hak bagi seluruh warga. Negara pun akan meningkatkan kualitas pendidikan, guru, materi pengajaran yang menguatkan akidah, memahami tsaqafah Islam, dan sains teknologi. Ini karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah melahirkan generasi yang berkepribadian Islam dan menguasai sains teknologi, juga menguasai tsaqafah Islam. 

Negara juga berkewajiban menjamin kesejahteraan para pendidik dan meng-upgrade para guru supaya terus berkembang dan berkualitas. Adapun inovasi di bidang pendidikan, ini dilakukan hanya sebagai sarana penunjang untuk memudahkan proses belajar mengajar tanpa meniadakan peran guru. Inilah urgensi penerapan sistem Islam. Hanya dengan Islam, semua persoalan dalam kehidupan akan terpecahkan. Wallahu'alam bishawaab.


Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media

Selasa, 12 Desember 2023

Mampukah Kurikulum Baru Mengatasi Stres Guru?


Tinta Media - Keterkejutan Presiden Jokowi terhadap tingkat stres guru disampaikan pada acara peringatan ulang tahun ke-78 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (25/11/2023). Presiden mengungkap hasil penelitian lembaga riset internasional, RAND Corporation bahwa stres para guru disebabkan perilaku siswa, perubahan kurikulum, dan perkembangan teknologi. Jika memang karena perilaku siswa, bukankah memang tugas guru mendidik siswa agar berperilaku baik? Mestinya pemerintah membuat kurikulum yang membantu guru agar terwujud siswa berkepribadian Islam dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Alih-alih membantu, kurikulum yang sering berubah justru menjadi beban guru. Ketika para guru memahami dan menerapkan satu kurikulum, sudah diganti dengan yang baru seiring pergantian menteri pendidikan. Jadi, wajar jika guru stres dengan seringnya perubahan kurikulum.

Untuk mengatasi masalah ini, Mendikbudristek Nadiem membuat kurikulum merdeka yang dianggapnya lebih sederhana dibanding kurikulum sebelumnya. Namun, apakah penyederhanaan semacam ini yang dibutuhkan? Faktanya, banyak guru mengeluh beratnya pembelajaran yang berpusat pada siswa, namun tidak didukung oleh sistem yang baik. Ini membuktikan ketidakmampuan negara menyelesaikan masalah guru.

Perubahan Kurikulum

Menurut Jokowi, kurikulum pendidikan harus berubah seiring perkembangan teknologi, agar guru bisa terus beradaptasi. Harusnya bukan sekadar perubahan kurikulum, tapi peran negara dalam memfasilitasi guru, memanfaatkan perkembangan teknologi dengan pelatihan yang maksimal. Untuk itu, dibutuhkan kurikulum dengan tujuan yang jelas.

Tidak cukup tujuan kurikulum, tapi juga metode pembelajaran yang tegas guna mewujudkan siswa berkepribadian Islam. Butuh dorongan konsistensi pendidik untuk membekali siswa dengan ilmu tsaqafah Islam dan pengetahuan umum maupun keahlian, hingga menghasilkan kecakapan hidup. Jadi, sesering apa pun perubahan kurikulum yang salah, maka tidak akan ada hasilnya.

Penyebab Stres

Jika ditelisik, stres para guru tidak hanya pada sering berubahnya kurikulum, tapi juga berbagai tuntutan. Guru dituntut kreatif dalam mendidik siswa. Di sisi lain, siswa disuguhi berbagai pemikiran sekuler kapitalis yang liberal. Ini berakibat maraknya kasus bullying, kriminalitas siswa, pergaulan bebas, hingga narkoba. Belum lagi wali murid yang menuntut guru yang berusaha mendidik dan mengarahkan siswanya ternyata justru dianggap melanggar HAM. Kondisi ini membuat posisi guru serba sulit hingga stres. Beratnya upaya guru di sekolah dalam mendidik siswa, justru dipudarkan keluarga dan masyarakat. Tenaga dan pikiran guru terkuras untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis yang menjadikan pendidikan sebagai penghasil cuan. Maka, guru tidak butuh kurikulum baru yang biasa.

Kurikulum Pendidikan Sahih

Berbagai kurikulum pendidikan dijalankan di Indonesia, namun belum memberi hasil nyata. Guru dan siswa butuh kurikulum sahih yang mampu menjawab berbagai persoalan dengan masifnya perkembangan teknologi. Guru dan siswa akan mampu mengendalikan teknologi untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai budaknya.

Inilah urgensi diterapkannya kurikulum pendidikan yang sahih. Kurikulum yang memiliki tujuan, metode pembelajaran, hingga peran negara sahih yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan baik, menjadikan teknologi untuk meringankan guru. Sejatinya Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 125. Dalam ayat tersebut, Allah minta manusia menuju jalan yang benar dengan cara yang baik sesuai tuntunan Islam. Meraih pendidikan dengan benar, bijak, dan pengajaran yang baik untuk mendapat ilmu. Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.

Kurikulum ini hanya kompatibel dengan sistem pemerintahan Islam yang akan mendorong guru berbuat yang terbaik, tanpa keluhan apalagi stres. Guru paham yang dikerjakan adalah tugas mulia membawa kebaikan akhirat. Allahu a’lam bish showab.

 Oleh: R. Raraswati
Aktivis Muslimah Peduli Generasi

Jumat, 08 Desember 2023

KEMULIAAN DAN KESEJAHTERAAN GURU DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM



Tinta Media - Dalam Islam, adalah perkara penting untuk mencari ilmu dan menghormati para guru. Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW menggarisbawahi pentingnya peran guru dan keberkahan dalam menuntut ilmu. "Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim). "Seorang mukmin yang menuntut ilmu adalah lebih mulia dari seorang yang berpuasa dan sedang melakukan shalat malam." (HR. Ibnu Majah)
 
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya." (HR. Muslim). "Tidaklah diberikan ilmu pengetahuan sebagai hadiah yang lebih baik dan lebih luas daripada kekayaan." (HR. Ibnu Majah)

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat, penduduk langit dan bumi, bahkan semut-semut di dalam sarangnya, dan ikan di laut, mengucapkan salam kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia." (HR. At-Tirmidzi). "Peliharalah dirimu dari api neraka, meskipun hanya dengan setengah biji kurma. Dan bila tidak ada, maka dengan ucapan yang baik." (HR. Bukhari dan Muslim). "Orang yang tidak mensyukuri jasa manusia, dia tidak mensyukuri jasa Allah." (HR. At-Tirmidzi)

Guru atau pendidik memiliki peran penting dalam sejarah peradaban Islam. Mereka dihargai dan diakui atas kontribusi mereka dalam menyebarkan pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai Islam kepada generasi-generasi berikutnya.

Dalam pandangan Islam, guru dianggap sebagai pemimpin rohani yang membimbing murid-muridnya dalam pemahaman agama dan kehidupan spiritual. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan ajaran Islam, etika, dan moralitas kepada murid-murid mereka.

Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat tradisi ilmiah yang kuat yang diteruskan melalui sistem pendidikan, terutama melalui institusi-institusi seperti madrasah. Guru-guru di madrasah diberikan penghargaan karena kontribusi mereka dalam melestarikan dan mengembangkan pengetahuan ilmiah.

Hubungan antara guru dan murid dihargai tinggi dalam Islam. Terdapat ajaran yang menekankan pentingnya adab (etika) dalam berinteraksi dengan guru. Murid diharapkan untuk menghormati, mendengarkan dengan baik, dan belajar dengan tekun dari guru mereka. Beberapa karya sastra dalam peradaban Islam menggambarkan penghargaan terhadap peran guru. Puisi, prosa, dan karya sastra lainnya sering menghormati kebijaksanaan dan pengetahuan guru.

Dalam sejarah Islam, para penguasa dan komunitas masyarakat memberikan gelar dan penghargaan formal kepada ulama dan cendekiawan sebagai pengakuan terhadap kontribusi mereka dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Didirikannya universitas dan pusat-pusat pembelajaran tinggi di dunia Islam merupakan bentuk penghargaan terhadap peran guru dan ilmuwan. Contohnya, Universitas Al-Qarawiyyin di Fes, Maroko, diakui sebagai universitas tertua yang masih beroperasi, didirikan pada tahun 859 M.

Kesejahteraan guru dalam sejarah peradaban Islam sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya pendidikan, pengetahuan, dan penghargaan terhadap para pendidik. Para guru dan ulama dihargai dan diberikan upah yang layak atas kontribusi mereka dalam menyebarkan pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan. Masyarakat Islam pada umumnya memberikan penghargaan yang tinggi terhadap pekerjaan guru dan memberikan dukungan finansial untuk memastikan keberlanjutan pengajaran.

Islam mendorong memberikan gaji dan kesejahteraan yang baik kepada guru sebagai bentuk penghargaan terhadap pekerjaan mereka. Konsep zakat dan sedekah dapat digunakan untuk memberikan dukungan finansial kepada para guru yang mungkin membutuhkan bantuan.

Gaji guru dalam sejarah peradaban Islam bervariasi tergantung pada konteks waktu, tempat, dan kondisi ekonomi masyarakat pada masa itu. Dalam tradisi Islam, memberikan upah yang layak kepada guru dan ilmuwan dianggap sebagai tindakan mulia dan berpahala, sesuai dengan ajaran Islam tentang keadilan, solidaritas sosial, dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan.

Sistem wakaf (donasi atau sumbangan untuk kepentingan umum) sering kali digunakan untuk mendukung pendidikan dan institusi-institusi pendidikan, termasuk gaji guru. Pemerintah dan individu kaya juga sering mendonasikan harta mereka untuk memastikan keberlanjutan lembaga pendidikan. Masyarakat Islam cenderung memiliki sistem perlindungan sosial yang melibatkan pemberian zakat dan sedekah kepada fakir miskin, termasuk guru yang mungkin membutuhkan dukungan finansial. Konsep solidaritas sosial sangat ditekankan dalam Islam.

Dalam sejarah peradaban Islam, diberikan penekanan pada pendidikan dan kesempatan karir bagi para guru. Terdapat institusi-institusi pendidikan tinggi, seperti madrasah dan universitas, yang mendukung pengembangan kesejahteraan guru dan ulama. Guru dan ulama dihormati dan diakui sebagai pemimpin intelektual dan rohani masyarakat. Mereka mendapatkan pengakuan atas kontribusi mereka dalam melestarikan dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

Dalam sejarah Islam, guru sering dianggap sebagai penjaga warisan budaya dan intelektual. Pencapaian-pencapaian dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra seringkali dihubungkan dengan guru dan ulama, dan ini memberi mereka kehormatan dan tempat yang istimewa dalam masyarakat.

Dalam Islam, profesi guru dianggap sebagai salah satu pekerjaan yang mulia dan penting. Islam mendorong pemberian penghargaan kepada guru atas peran mereka dalam menyebarkan pengetahuan, membimbing masyarakat, dan mendidik generasi penerus. Beberapa aspek penghargaan terhadap profesi guru dalam Islam melibatkan nilai-nilai adab, sosial, dan spiritual.

Masyarakat Muslim tradisional memberikan penghargaan sosial yang tinggi kepada guru. Guru sering dianggap sebagai figur otoritatif dan dihormati dalam masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk membimbing dan memberikan teladan kepada murid-murid mereka. Dalam Islam, doa merupakan bentuk penghargaan dan dukungan. Murid-murid dianjurkan untuk mendoakan kebaikan bagi guru-guru mereka. Begitu pula, guru-guru sering diminta untuk mendoakan murid-murid mereka agar sukses dalam dunia dan akhirat.

Pada umumnya, para guru dan ilmuwan pada masa peradaban Islam mendapatkan penghasilan dari beberapa sumber, diantaranya adalah : pertama, sistem wakaf (donasi atau sumbangan untuk kepentingan umum) sering digunakan untuk mendukung pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan. Guru-guru dapat menerima gaji atau tunjangan dari dana wakaf yang diperuntukkan bagi lembaga pendidikan.

Kedua, zakat, yaitu salah satu pilar utama dalam Islam, adalah kewajiban memberikan sebagian harta kepada fakir miskin dan golongan yang membutuhkan. Para guru dan ilmuwan yang membutuhkan dukungan finansial dapat menerima zakat atau sedekah dari masyarakat.

Ketiga, beberapa pemerintahan di masa peradaban Islam memberikan dukungan finansial kepada ilmuwan dan guru melalui tunjangan atau dana pendidikan. Penguasa atau pemerintah sering menyadari pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam pembangunan masyarakat.

Keempat, sebagian besar guru pada masa itu menerima honorarium atau bayaran dari murid-murid mereka atau keluarga murid sebagai bentuk penghargaan atas pengajaran dan bimbingan yang diberikan.

Kelima, beberapa ilmuwan dan guru diundang ke istana atau diberikan hadiah dan penghargaan sebagai bentuk penghormatan atas kontribusi mereka dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Pada masa kepemimpinan khalifah Umar dikenal dengan kebijakannya yang adil dan transparan. Beliau memastikan bahwa hak-hak masyarakat, termasuk guru dan para pekerja intelektual, dihormati dan dilindungi. Gaji dan imbalan bagi pekerjaan dan jasa yang bermanfaat untuk masyarakat diberikan dengan adil.

Pendekatan Umar bin Khattab terhadap gaji dan keadilan sosial tercermin dalam prinsip-prinsip ekonomi Islam, yang melibatkan distribusi kekayaan dengan cara yang adil dan merata. Masyarakat pada masa itu cenderung menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan mendukung para ilmuwan dan guru.

Tentu saja semua ini sangat berbeda dengan kondisi guru pada masa sekarang, yakni masa dimana Islam tidak diterapkan lagi. Nasib guru sekarang ini tak seindah namanya. Menjadi guru yang senantiasa menerima dan ikhlas itu penting, namun membangun sistem agar guru-guru betul-betul sejahtera juga sangat penting, sebab guru juga manusia biasa. Sementara tuganya sungguh sangat berat, yakni menentukan hitam putih suatu peradaban bangsa. Selamat Hari Guru, Semoga Islam kembali jaya, sehingga guru tambah sejahtera.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 25/11/23 : 08.00 WIB)

Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
 

Kamis, 07 Desember 2023

Kurikulum Merdeka dan Dilema Guru di Hari Jadinya



Tinta Media - Maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Jika kualitas pendidikannya rendah, maka suatu bangsa akan tertinggal, begitu pun sebaliknya, jika kualitas pendidikannya tinggi maka bangsa pun akan maju. Hal tersebut tampak pada sosok generasinya, yang  memiliki ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi yang tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas beberapa faktor utama, yakni dari peran pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, guru sebagai pengajar dan pendidik, serta  kurikulum yang mendukung teraihnya tujuan pendidikan.

Berdasarkan SE Mendikbudristek Nomor 36927, pada 25 November 2023 yang diperingati sebagai Hari Guru Nasional yang mengusung tema Bergerak Bersama Merdeka Belajar, maka  seluruh guru harus melaksanakan upacara. Tema yang diusung pada peringatan Hari Guru kali ini selaras dengan tema kurikulum yang dibuat oleh kementerian pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menerapkan kurikulum merdeka.  

Sayangnya, kurikulum yang silih berganti justru menjadikan kualitas generasi semakin tidak jelas bahkan lemah, sehingga melahirkan berbagai masalah serius. Generasi penerus bangsa kita sebagai output pendidikan di negeri ini, tampak sedang sakit dan penuh problematika. Lihat saja betapa maraknya aksi kriminal yang dilakukan oleh para pelajar, mulai dari tawuran, begal, perzinaan, fenomena klitih, narkoba, hingga pembunuhan. Belum lagi aksi bullying yang semakin hari semakin mengerikan. Bahkan kesehatan mental pelajar yang semakin rusak dengan alasan keluarga, percintaan bahkan terlilit utang yang menjadikan generasi kita bermental tempe sehingga marak kasus bunuh diri.  

Fenomena rusaknya generasi kita saat ini seyogyanya dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi pemerintah sebagai penguasa dalam menentukan kurikulum pendidikan. Namun, alih-alih mencari akar penyebab kerusakan, penguasa malah fokus memperingati Hari Guru untuk memuluskan Program Merdeka Belajar yang notabene bertujuan untuk mencetak lulusan yang sekadar siap bekerja dan menjadi  ”kupu-kupu industri”. Padahal berbagai kerusakan ini jelas menunjukkan bahwa kurikulum yang diterapkan tidak tepat dan bermasalah, karena  berasaskan pada sekularisme yang mencampakkan peran  agama dari kehidupan, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, keimanan dan ketakwaan tidak perlu diajarkan di sekolah karena dianggap sebagai masalah pribadi manusia. Maka lahirlah generasi yang tidak berakhlak, bahkan tidak beradab, selalu mengedepankan egonya, tanpa peduli terhadap apakah perilakunya benar atau salah, bahkan tidak peduli terhadap berdosa atau kah tidak.

Sekularisme yang menjadi asas kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, menjadikan materi dan manfaat sebagai orientasi dalam kehidupannya, termasuk dalam proses pendidikan.

Generasi terus didorong menjadi pekerja yang mencetak uang tanpa mempedulikan kemaslahatan umat. Jelas hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan penerapan kurikulumnya gagal mencetak dan melahirkan generasi mulia. Inilah akibatnya jika konsep pendidikan hanya berdasarkan akal manusia yang terbatas dan mencampakkan aturan Allah. Alhasil sesering apa pun mengganti kurikulum, selama sistem yang digunakan masih kapitalisme- sekularisme sebagai landasan dalam berbuat, generasi akan sulit untuk diperbaiki. 

Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh penduduk di negeri ini, memandang generasi  sebagai aset besar dan tonggak peradaban. Merekalah calon pemimpin masa depan yang akan menegakkan peradaban Islam yang mulia. 

 Tak heran jika sejarah umat manusia menunjukkan bagaimana peradaban Islam telah melahirkan sosok-sosok hebat dan mengagumkan yang berkepribadian Islam seperti, para pemimpin besar semisal Salahuddin Al-Ayubi, Muhammad Al-Fatih, juga lahir para imam mahzab seperti Imam Syafi’i, juga para cendekiawan dan ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Jabar, dan masih banyak lagi, yang mampu memajukan kehidupan manusia, bukan hanya kaum muslimin. Hal ini tak lepas dari kurikulum pendidikan yang diajarkan berdasarkan akidah Islam, yang mampu menjadikan pribadi-pribadi manusia memiliki pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga mereka menjadi sosok mulia.

 Terlebih pembelajaran Islam merupakan proyek  amal, sehingga setiap yang dipelajari harus diamalkan dan bermanfaat bagi diri maupun orang lain. Alhasil generasi akan selalu melakukan inovasi-inovasi baru untuk menghasilkan karya yang memberikan kemaslahatan bagi umat. Rasulullah pernah bersabda : "Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridhaan Allah SWT, (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti," (HR Abu Daud).

Para guru pun merupakan sosok mulia yang wajib untuk dihormati dan dihargai.  Penghargaan Islam kepada para guru bukan hanya sebatas seremonial dan gelar saja, melainkan memberikan penghargaan dengan memberikan upah yang fantastis. Saat masa Khalifah Umar bin Khaththab  sekitar 1300 tahun yang lalu gaji guru jika dikonversikan rupiah sekitar 60 juta setiap bulannya. Bahkan saat kekhalifahan Abbasiyah guru digaji sebesar 320 juta/per bulan. Penghargaan seperti ini tentu menjadikan seorang guru akan maksimal untuk memberikan pengajaran kepada para murid. Hanya dengan menerapkan kembali sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka kerusakan generasi akan bisa diselesaikan secara tuntas, dan menjadi generasi cemerlang,  dan kemuliaan guru pun akan tetap ditinggikan. Wallahu’alam bishawwab

Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media

Jumat, 06 Oktober 2023

IJM: Sekolah dan Orang Tua Memiliki Peran Menghentikan Bullying

Tinta Media - Menyoroti kasus bullying anak yang semakin marak akhir-akhir ini, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan, sekolah dan orang tua memiliki peranan yang penting untuk menghentikan bullying itu.

"Sekolah dan orang tua memiliki peranan yang penting untuk menghentikan bullying itu," tuturnya dalam video: Selamatkan Putra-Putri Anda Dari Bullying, Selasa (3/10/2023) di kanal Youtube Justice Monitor.

Agung menambahkan, orang tua yang membayar sekolahnya, orang tua juga yang bertanggung jawab karena itu adalah anak mereka. Guru bertanggung jawab karena itu murid dari orang tua yang dititipkan ke sekolah.

 "Jadi perlunya kerja sama dua pihak ini orang tua dan guru termasuk dalamnya sekolah," tandasnya.

Menurut Agung, edukasi soal perundungan juga perlu untuk menekankan bedanya bercanda yang bikin senang atau sebaliknya justru membuat korban tertekan.

 Negara, ucapnya, harus mendukung penuh atas kondisi ketakwaan masyarakat. Media apapun jika menjadi sarana terbentuknya karakter perundung harus cepat dihilangkan, sekaligus dipandang menguntungkan secara ekonomi.

"Pelakunya harus diberi sanksi baik penyebar konten kekerasan ataupun pelaku perundungan sebab keduanya telah melanggar syariah Islam," tutupnya.[] Muhammad Nur

Minggu, 24 September 2023

Rasulullah Muhammad adalah Guru bagi Seluruh Umat Manusia

Tinta Media - Sobat. Al-Qur'an telah menetapkan bahwa Rasul Muhammad SAW adalah guru bagi seluruh umat manusia. Silahkan lihat dan baca QS. al-Jumu'ah (62) : 2 ) , QS. An-Nisa' (4) : 79 dan QS. Saba' (34) : 28 . Maka sudah selayaknya kita umatnya menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan dalam segala aspek hidup dan perikehidupan manusia.

Allah SWT berfirman :

هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ 

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” ( QS. Al-Jumuáh (62) : 2)

Sobat. Allah menerangkan bahwa Dialah yang mengutus kepada bangsa Arab yang masih buta huruf, yang pada saat itu belum tahu membaca dan menulis, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yaitu Nabi Muhammad saw dengan tugas sebagai berikut:

1. Membacakan ayat suci Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.

2. Membersihkan mereka dari akidah yang menyesatkan, kemusyrikan, sifat-sifat jahiliah yang biadab sehingga mereka itu berakidah tauhid mengesakan Allah, tidak tunduk kepada pemimpin-pemimpin yang menyesatkan dan tidak percaya lagi kepada sesembahan mereka seperti batu, berhala, pohon kayu, dan sebagainya.

3. Mengajarkan kepada mereka al-Kitab yang berisi syariat agama beserta hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.

Sobat. Disebutkan secara khusus bangsa Arab yang buta huruf tidaklah berarti bahwa kerasulan Nabi Muhammad saw itu ditujukan terbatas hanya kepada bangsa Arab saja. Akan tetapi, kerasulan Nabi Muhammad saw itu diperuntukkan bagi semua makhluk terutama jin dan manusia, sebagaimana firman Allah:
 
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya'/21: 107)

Dan firman-Nya:
Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua," (al-A'raf/7: 158) 

Sobat. Ayat kedua Surah al-Jumu'ah ini diakhiri dengan ungkapan bahwa orang Arab itu sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Mereka itu pada umumnya menganut dan berpegang teguh kepada agama samawi yaitu agama Nabi Ibrahim. Mereka lalu mengubah dan menukar akidah tauhid dengan syirik, keyakinan mereka dengan keraguan, dan mengadakan sesembahan selain dari Allah.

Allah SWT berfirman :

مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا  

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” ( QS. An-Nisa’ (4) : 79 )

Sobat. Dari segi kesopanan bahwa sesuatu yang baik yang diperoleh seseorang hendaklah dikatakan datangnya dari Allah. Malapetaka yang menimpa seseorang itu hendaklah dikatakan datangnya dari dirinya sendiri, mungkin pula karena disebabkan kelalaiannya atau kelalaian orang lain apakah dia saudara, sahabat atau tetangga.

Allah SWT berfirman :

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ  

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” ( QS. Saba’(34) : 28 )

Sobat. Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia. Ia bertugas sebagai pembawa berita gembira bagi orang yang mempercayai dan mengamalkan risalah yang dibawanya dan sekaligus pembawa peringatan kepada orang yang mengingkari atau menolak ajaran-ajarannya. Nabi Muhammad adalah nabi penutup, tidak ada lagi nabi dan rasul diutus Allah sesudahnya. Dengan demikian, pastilah risalah yang dibawanya itu berlaku untuk seluruh manusia sampai kiamat. 

Sebagai risalah yang terakhir, maka di dalamnya tercantum peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum yang layak dan baik untuk dijalankan di setiap tempat dan masa. 

Sobat. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad bersumber dari Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada pada keduanya. Dialah yang mengatur segala apa yang ada pada keduanya. Dialah yang mengatur semuanya itu dengan peraturan yang amat teliti sehingga semuanya berjalan dengan baik dan harmonis. Allah yang demikian besar kekuasaan-Nya tidak mungkin akan menurunkan suatu risalah yang mencakup seluruh umat manusia kalau peraturan dan syariat itu tidak mencakup seluruh kepentingan manusia pada setiap masa. Dengan demikian, pastilah risalahnya itu risalah yang baik untuk diterapkan kepada siapa dan umat yang mana pun di dunia ini. Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Muhammad diutus kepada manusia seluruhnya.

Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia). (al-Furqan/25: 1) 

Dan firman-Nya:

Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk."(al-A 'raf/7: 158) 

Hal ini tidak diketahui oleh semua orang bahkan kebanyakan manusia menolak dan menantangnya. Di antara penantang-penantang itu adalah kaum Muhammad sendiri yaitu orang-orang kafir Mekah. 
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)

Sobat. Renungkanlah bermacam nikmat yang Allah curahkan pada Anda dari segala penjuru, baik dari atas maupun dari bawah. 

وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلۡتُمُوهُۚ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٞ كَفَّارٞ  

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” ( QS. Ibrahim (14) : 34 )

Sobat. Sebagai nikmat Allah juga ialah Dia telah menyediakan bagi manusia segala yang diperlukannya, baik diminta atau tidak, karena Allah telah menciptakan langit dan bumi ini untuk manusia. Dia menyediakan bagi manusia segala sesuatu yang ada, sehingga dapat digunakan dan dimanfaatkan kapan dikehendaki. Kadang-kadang manusia sendiri tidak mengetahui apa yang menjadi keperluan pokoknya, dimana tanpa keperluan itu, ia tidak akan hidup atau dapat mencapai cita-citanya. Keperluan seperti itu tetap dianugerahkan Allah kepadanya sekalipun tanpa diminta. Ada pula bentuk keperluan manusia yang lain yang tidak mungkin didapat kecuali dengan berusaha dan berdoa, karena itu diperlukan usaha manusia untuk memperolehnya.

Sobat. Sangat banyak nikmat Allah swt yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia, sehingga jika ada yang ingin menghitungnya tentu tidak akan sanggup. 

Oleh karena itu, hendaknya setiap manusia mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah swt dengan jalan menaati segala perintah-Nya dan tidak melakukan hal-hal yang menjadi larangan-Nya. 

Mensyukuri nikmat Allah yang wajib dilakukan oleh manusia itu bukanlah sesuatu yang diperlukan oleh Allah Swt. Allah Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu pun dari manusia, tetapi kebanyakan manusia sangat zalim dan mengingkari nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku BIGWIN. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab