Gurita Korupsi di Indonesia, Cukupkah dengan Reformasi Hukum?
Tinta Media - Korupsi semakin menjadi ancaman nyata di negeri ini. Bahkan, korupsi terjadi di lembaga peradilan serta pejabat yang diharapkan menjadi pengayom keadilan di tengah masyarakat. Contohnya saja kasus korupsi yang dilakukan Hakim Agung Sudrajat Dimyati dan dugaan suap pengurusan perizinan apartemen kepada Pengadilan Negeri Yogyakarta. Kasus ini menyeret tiga terdakwa, yaitu mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Yogyakarta Nurwidhihartana, dan Triyanto Budi Yuwono sebagai Sekertaris pribadi yang juga ajudan Haryadi (Nasional Tempo, 14/ 10/ 2022).
Fenomena ini memantik Presiden untuk melaksanakan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menjelaskan bahwa dirinya diberi tugas untuk mempersiapkan segala hal yang paling mungkin dilakukan untuk melakukan reformasi hukum. Mahfud menambahkan bahwa saat ini pemerintah berniat membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia yang rencananya akan mulai disusun setelah pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di akhir tahun 2022 (Nasional Kompas, 4/ 10/ 2022).
Pertanyaan besar mengusik rasa keadilan masyarakat. Benarkah sistem demokrasi dapat menuntaskan masalah korupsi? Untuk menjawabnya, tentu saja perlu ada pemahaman yang jelas mengenai asas demokrasi.
Kedaulatan negeri yang selama ini menjadi asas dari prinsip demokrasi sering kali tergadaikan oleh kepentingan segelintir orang. Dengan kata lain, uang mampu membeli kedaulatan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa kedaulatan yang bersandar kepada manusia tidak pernah meniscayakan tuntasnya pemberantasan korupsi. Alih-alih membersihkan korupsi atau membuat berlangsungnya reformasi hukum, yang terjadi malah menguatkan politik transaksional.
Hal ini sangat berbeda secara signifikan dengan sistem Islam. Islam menyandarkan kedaulatan kepada syara’. Syara’ sendiri mengandung muatan hukum yang berasal dari Pencipta manusia yang pasti menghasilkan hukum terbaik untuk manusia.
Islam meletakan kekuasaan pada tangan umat. Namun, asas dari kekuasaan ini merujuk pada akidah Islam dan keridlaan Allah Swt. sebagai tujuan yang hendak diraih. Dengan demikian, pemimpin-pemimpin umat yang terpilih merupakan individu dengan karakter kekuasaan ini.
Jika mereka berkuasa dan memiliki harta, maka harta mereka akan dihitung sebelum dan sesudah berkuasa, sehingga bisa ditelusuri kenaikan yang tidak wajar. Pejabat yang korup di dalam Islam akan mendapatkan sanksi, yaitu melalui pemberlakuan _ta’zir_ (diserahkan kepada penguasa) baik berupa penjara ataupun hukuman mati. Selain itu, negara akan memberlakukan pemiskinan diri bagi pelaku korupsi. Negara akan menyita harta _ghulul_ (tidak sah) dan memasukannya ke Baitul Mal.
Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw. _“Siapa saja yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul)”_ (HR. Abu Dawud).
Negara juga akan memublikasikan nama dan rupa pejabat yang korupsi untuk memberikan sanksi sosial terhadap kejahatan yang dilakukan. Upaya-upaya ini tidak lain merupakan cara untuk memberikan proteksi terhadap harta negara yang seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat. Pada saat yang bersamaan, negara juga dapat meminimalisir risiko politik uang.
Demikianlah Islam mengentaskan korupsi dengan bertindak adil karena bersandar pada hukum buatan Allah Swt. Siapa pun yang menjalankan hukum ini sesungguhnya akan menempatkan dirinya pada level terbaik pada setiap aspek kehidupan. Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Hurul Aini
Sahabat Tinta Media