Tinta Media: Gula
Tampilkan postingan dengan label Gula. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gula. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Mei 2024

Ekonomi Rakyat Kian Sulit Harga Gula Melangit

Tinta Media - Dikutip dari cnbcindonesia.com, harga gula hari Jumat (19/4/2024) terpantau melanjutkan kenaikan, bahkan pecah rekor. Harga rata-rata harian  nasional di tingkat eceran naik Rp20 ke Rp18.090 per kg sepekan lalu, 12 April 2024, harga gula masih di Rp17.950 per kg. Secara rata-rata bulanan harga gula saat ini melampaui harga tertinggi tahun 2023 yang tercatat mencapai Rp 17.270 per kg di bulan Desember. Pada April 2024 harga rata-rata bulanan nasional tercatat di Rp17.950 per kg, naik dari sebelumnya di Rp 17.820 per kg. 

Kata Soemitro Samadikoen Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia    (APTRI), "kenaikan gula karena ketersediaannya yang kurang, terus pemerintah tidak memiliki stok atau gula nasional. Sehingga saat harga gula bergejolak, pemerintah tidak bisa  melakukan intervensi harga". Pemerintah melalui badan pangan nasional (Bapanas) memberlakukan relaksasi Harga Acuan Penjualan (HAP) gula di tingkat konsumen sejak 5 April sampai 32 Mei 2024 mendatang. Karena adanya kenaikan gula di tingkat konsumen yang jauh di atas HAP  sebelumnya Rp 16.000 per kg. 

Keputusan itu juga menindaklanjuti rapat Koordinasi Stabilitasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) gula konsumsi lintas kementerian/lembaga dari stakeholder terkait pada Kamis, 4 April 2024 serta Surat Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilitasi Pangan nomor 1105/TS.02.02/B/11/2023 tanggal 03 November 2023 tentang Penyesuaian Harga Gula Konsumsi di tingkat konsumen. Maka di putuskan harga gula konsumen dari tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp 17.500/ kg. Sementara untuk daerah/wilayah Maluku harga gula konsumsi di tingkat ritel atau konsumsi Rp 18.500 per kg. Kedua kalinya  pemerintah menaikkan HAP gula dalam rentang kurang dari satu tahun. Pada 3 November 2023  pemerintah menaikkan  HAP gula Rp 1.500 pet kg menjadi Rp 16.000 dari Rp 17.00 per kg. 

"Kenaikan HAP yang di berlakukan pemerintah bukan solusi yang tepat untuk mengatasi  permasalahan kenaikan harga gula. Kalau sekarang direlaksasi, itu bukan keinginan petani dan sebetulnya itu pemerintah tidak pegang komitmen," kata Soemitro. 

"Jika merujuk pada makna HAP yaitu harga acuan bukan harga eceran tertinggi (HET) yang mana itu harga tetap atau fix rate, jadi HAP itu bukan harga mati, harga acuan itu harga kurang lebih", lanjut Soemitro. Persoalan gula bukan lagi sekedar stok dan mahalnya harga. Lebih dari itu, ada persoalan sistemis yang turut mempengaruhi, yakni kacaunya tataniaga gula di pasaran yang ternyata tersebab intervensi pemodal di tingkat kebijaksanaan politik gula. Tidak heran solusi yang di ambil pemerintah juga pada akhirnya memihak pengusaha bukan malah rakyat luas. 

Gula adalah salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan termasuk kebutuhan pokok masyarakat khususnya sebagai sumber kalori. 

Peran penting negara juga dapat dilihat dari sisi ketahanan dan keamanan pangan, penyerapan investasi, serta luasnya keterkaitan dalam industri hilir, seperti industri makanan, minuman, gula rafinasi, farmasi, particle board, dan bio energy. Permintaan gula terus meningkat, jika di bandingkan dengan negara produsen gula dunia lainnya. Tingkat efisiensi industri gula Indonesia pada saat ini menempuh urutan ke 15 dari 60 negara produsen gula dunia. Potensi ini tentu menarik bagi dunia bisnis di dalam negeri. 

Industri gula sejatinya adalah industri yang efektif dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga di wilayah pedesaan. Industri ini juga sangat terkait dengan sumber daya lokal, jadi dapat di kembangkan sebagai high value commodity bagi pemberdayaan ekonomi rakyat. 

Keberadaan industri gula adalah aset ekonomi dan sebagai aset yang penting. Realitas ini semestinya membawa  konsekuensi bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik dengan tingkat harga yang terjangkau bagi seluruh kelompok masyarakat. Selain sebagai komoditas strategis, juga komoditas yang sarat kepentingan politis. Tingkat kepentingan terhadap peranan gula tercermin dalam upaya setiap negara di dunia untuk melindungi produksi gula domestiknya dengan pengaruh internasional. 

Semestinya pemerintah mempunyai andil lebih besar dibandingkan saat ini. Namun, besarnya kemaslahatan umat dibalik sektor pergulaan malah membuat pemerintah lebih memihak para kapitalis. 

Dalam sistem ekonomi  kapitalis potensi keuntungan yang dapat dikeruk dari komoditas gula memang sangat tinggi. Belum lagi seputar impor gula juga menjadi  lahan subur bagi kalangan kapitalis yang berperan sebagai importir yang tentu memperoleh rente impor ketika kebutuhan gula nasional mengendalikan impor. Ini jelas berbeda dengan tataniaga gula berdasarkan ideologi Islam yang diterapkan oleh negara Khilafah Islamiyyah. Khalifah sebagai pemimpinnya memahami bahwa gula adalah salah satu bahan pangan pokok yang menjadikan komoditas strategis. Khalifah akan mengurus gula sebagai bagian dari pengurusan masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya memastikan kecukupan stok dalam negeri. Dan pada saat yang sama mengerem arus ekspor untuk sementara. Jika harga gula mahal, khalifah berperan mengawasi rantai pasokan, jangan sampai ada pedagang-pedagang nakal yang memainkan harga, melakukan penimbunan, bahkan memonopoli yang bisa menyebabkan mahalnya harga gula. 

Khalifah juga bisa mengambil langkah berupa subsidi kepada industri maupun rumah tangga rakyat, agar mereka mampu  membeli gula sesuai kebutuhan dan tidak memerlukan impor gula. Tentu Khalifah harus memastikan sifatnya sementara, hingga impor tidak menjadi basis kebutuhan gula di dalam negeri. Begitu detail Islam mengatur ketersediaan pangan bagi rakyatnya khususnya gula. Maka masalah seputar gula dan masalah kehidupan lainnya akan tuntas dengan hukum-hukum Islam yang lengkap dan sempurna yang berasal dari Pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Ummu Affaf 
Sahabat Tinta Media 

Harga Gula Melangit, Rakyat pun Menjerit

Tinta Media - Kenaikan bahan makanan pokok merupakan kabar yang sangat menyedihkan bagi masyarakat, terlebih lagi masyarakat menengah ke bawah. Pasalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja mereka harus jungkir balik, ditambah lagi beban mereka dengan kenaikan bahan makanan pokok saat ini berupa gula.

Harga gula mulai hari Jumat (19/4/2024) mengalami kenaikan bahkan pecah rekor. Harga rata-rata harian nasional di tingkat eceran naik Rp 20 ke Rp 18.090/kg. Sepekan lalu, 12 April 2024, harga gula masih Rp 17.950/kg. 

Bila dilihat dari rata-rata bulanan, harga gula saat ini justru melampaui harga tertinggi di tahun 2023, yang tercatat pada tahun tersebut mencapai Rp 17.270/kg di bulan Desember. Pada bulan April 2024 harga rata-rata bulanan nasional tercatat di Rp 17.975/kg, melonjak naik dari sebulan sebelumnya di Rp 17.820/kg. Harga gula ini melonjak sejak bulan Agustus 2023 lalu, yang tercatat masih di Rp 14.700/kg. Dengan kata lain, harga rata-rata bulanan sudah mengalami kenaikan sekitar 22,10%.

Menurut ketua umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyatakan, kenaikan harga gula terjadi sebab ketersediaannya yang kurang, ditambah pemerintah tidak memiliki stok atau Cadangan gula nasional. Akibatnya saat harga gula melonjak perintah tidak dapat melakukan intervensi harga. Dilansir dari CNBC Indonesia, Jumat (19/4/2024).

Sejatinya gula mahal sebab tata kelola pangan yang kini berbasis pada kapitalisme global. Mulai dari produksi hingga pendistribusiannya telah dimonopoli oleh para kapitalis. Bahkan praktik permainan harga dan penimbunan bahan makanan pokok pun tak luput dilakukan oleh para oligarki. Sebab dalam sistem kapitalis keuntunganlah tujuan utama mereka. Sehingga berbagai cara akan dilakukan oleh mereka asalkan mereka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. 

Mirisnya solusi yang pemerintah kerahkan dalam menuntaskan problem kenaikan gula saat ini tidaklah efisien. Pasalnya Solusi yang diberikan ialah hanya dengan melakukan pematokan harga gula konsumsi di tingkat ritel/ konsumen yang kurang lebih sebesar Rp 17.500/kg. Sedangkan untuk wilayah Maluku, Papua, dan wilayah 3TP (Tertinggi, Terluas, Terpencil, dan Perbatasan). Harga gula konsumsi di Tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp 18.500/kg.

Bodohnya negara, justru membuka pintu impor gula tanpa memiliki simpanan stok atau Cadangan gula dalam negeri. Akibatnya ketika permintaan gula meningkat dan stok gula mulai menipis kenaikan harga gulalah yang dijadikan sebagai Langkah para pedagang.

Inilah gambaran jika Negara bukan sebagai pelayan rakyat, melainkan keberadaannya yang lebih sebagai Reinventoing Government. Negara hanya bertindak sebagai regulator yang tunduk kepada kepentingan kapitalis semata.

Sebaliknya, kenaikan harga gula tidak akan terjadi, bila negara menjadikan Sistem Islam sebagai pedoman hidup. Lantaran penguasa(negara) akan bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyat. Hal ini dipertegas juga dengan hadits yang berisi ancaman berat bagi penguasa yang tidak mampu meriayah rakyatnya dengan baik, sebagaimana sabda Rosul

”Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya) kecuali Allah akan mengharamkan dia langsung masuk surga” (HR Muslim).

Negara Islam juga memiliki berbagai mekanisme untuk mengatasi kenaikan harga gula, seperti:

Dengan negara memastikan ketersediaan bahan pangan bagi rakyatnya, dengan begitu Masyarakat tidak akan mengalami kekurangan stok bahan pangan yang akhirnya mengakibatkan harga bahan pangan meningkat.

Negara melalui qodhi nisbah melakukan penetapan harga sesuai dengan mekanisme pasar, dengan begitu tidak akan nada pedagang yang menjual bahan pangan melebihi harga yang telah ditetapkan oleh qodhi tersebut.

Negara juga harus mendorong masyarakat agar mereka memiliki kemandirian untuk memproduksi gula sendiri, ditambah negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk mempraktikkan produksi gula dalam negeri ini.

Ketika negara sudah mampu memproduksi gula sendiri, negara tidak perlu melakukan impor gula, lantaran hal tersebut mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.

Beginilah bila sistem Islam dijadikan pedoman, tidak akan ada Masyarakat yang mengalami kenaikan harga bahan pangan, jadi hanya dengan Khilafah semua problematika umat akan terselesaikan. Wawlahua’lam bissowab.

Oleh: Syifa Rafida
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab