Tinta Media: Gizi
Tampilkan postingan dengan label Gizi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gizi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Maret 2023

Mencegah Stunting, Tidak Cukup dengan Gemarikan

Tinta Media - Stunting masih menjadi salah satu masalah yang belum tuntas di negeri ini. Pemerintah mempunyai berbagai ide untuk mengatasi masalah stunting. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau PMK, Muhadjir Effendy mengatakan, pemerintah daerah harus terus melakukan kampanye terarah untuk mengajak masyarakat makan ikan guna mencegah dan mengurangi terjadinya stunting. 

Menurut Muhadjir, ikan memiliki kandungan protein hewani yang sangat tinggi, yang sangat penting untuk mendukung perkembangan otak anak. Oleh karena itu, kampanye, sosialisasi, dan edukasi yang intensif tentang manfaat mengonsumsi ikan dan protein hewani lainnya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan seimbang dalam mencegah stunting. Ia juga mengingatkan bahwa fokus pencegahan stunting adalah penerapan gizi seimbang bagi balita dan ibu hamil.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia, di Indonesia prevalensi angka stunting mencapai 21,6%. Saat ini, beberapa daerah setingkat provinsi sudah mulai meningkatkan sosialisasi gemar makan ikan (Gemarikan) bagi warganya. Seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Serang melalui Dinas Keamanan Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Serang telah melakukan safari Gemarikan pada Kamis 9 Maret 2023 yang lalu. 

Kegiatan safari Gemarikan di masyarakat sebenarnya bukan hal yang baru. Kegiatan sosialisasi gerakan memasyarakatkan makan ikan sudah lama dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan dinas-dinas perikanan terkait di tingkat provinsi dan daerah. Bahkan, para mahasiswa juga menjadikan Gemarikan sebagai salah satu bahan sosialisasi melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di masyarakat, seperti yang dilakukan mahasiswa IPB, UB, UNDIP, dan beberapa kampus lainnya.

Stunting merupakan masalah gizi kronis akibat kekurangan zat gizi dalam jangka waktu yang panjang sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada anak. Stunting juga menjadi salah satu penyebab mengapa tinggi badan anak melambat menjadi lebih kecil dari usianya. 

Sebenarnya kejadian stunting semata-mata bukan karena permasalahan gizi saja. Masalah stunting erat kaitannya dengan kesejahteraan. Stunting umumnya menimpa masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Bukannya mereka tidak mau makan ikan, masalahnya akses untuk mendapatkan ikan yang terbatas. Jangankan untuk membeli ikan, bahkan untuk membeli bahan makanan pokok seperti beras saja sulit dilakukan karena kemiskinan. Kalaupun bisa mengonsumsi ikan, hanya ikan-ikan yang secara mutu kandungan proteinnya rendah yang bisa mereka akses, misalnya ikan asin yang menjadi teman makan nasi yang mengenyangkan bagi mereka. Sementara, ikan-ikan segar dan bermutu baik juga sulit untuk dibeli. Mereka lebih memilih makan nasi, meski dengan lauk secuil ikan asin asalkan masih bisa kenyang. 

Mencegah stunting bukan perkara mudah. Mencegah stunting memerlukan waktu yang cukup lama dan perbaikan yang sistematis, karena memberikan asupan gizi melalui Gemarikan itu juga menuntut kemudahan dalam mengakses makanan tersebut. Padahal, pada saat yang sama kondisi masyarakat yang mengalami stunting masih jauh dari kesejahteraan. Bagaimana bisa terpenuhi gizi seimbang, bahkan untuk makan setiap hari saja mereka mungkin belum mampu? 

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2022 sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari 535.547 per kapita per bulan. Sehingga, seruan perbaikan gizi masyarakat dalam bentuk apa pun tidak akan mampu menyelesaikan persoalan stunting selama problem kesejahteraan tidak diselesaikan. 

Sementara, kemiskinan struktural adalah perkara yang mutlak terjadi dalam penerapan sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi sebagaimana yang berlaku di negeri ini. Sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi pada materi, yakni untung rugi sangat diskriminatif karena pro pada kepentingan modal, sedangkan rakyat hanya dianggap beban. Rakyat hanya dipandang sebagai faktor produksi dan menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sapi perah. Penerapan sistem demokrasi membuat pemerintah bertindak sebagai regulator untuk memenuhi semua kepentingan pemilik modal, yang membantu mereka naik ke tampuk kekuasaan.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, negara melakukan berbagai upaya untuk menciptakan generasi yang berkualitas, termasuk melalui pencegahan stunting. Negara Islam atau Khilafah tentu saja menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingga dapat mencegah stunting pada balita. 

Kesejahteraan yaitu terpenuhinya kebutuhan manusia akan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi rakyatnya. Ini karena Islam mendefinisikan khalifah atau kepala negara sebagai orang yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya dengan menerapkan aturan Islam kaffah.  

Beberapa bentuk kebijakan dalam Khilafah yang menjamin kesejahteraan setiap rakyat individu per individu antara lain : 

Pertama, Islam memerintahkan setiap laki-laki bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Dalam hal ini, negara wajib mempekerjakan orang secara langsung maupun tidak langsung. Penyediaan lapangan kerja skala besar dengan segera tentu akan dilaksanakan oleh pihak negara. Hal ini karena dalam Islam, sumber daya alam, yaitu air, padang rumput, dan api adalah milik umum rakyat yang dikelola oleh negara, bukan swasta. 

Pengelolaan sumber daya alam membuka berbagai industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak kesulitan mencari pekerjaan. Secara tidak langsung, pemerintah harus menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan kondusif, termasuk sistem administrasi dan birokrasi yang sederhana, cepat, dan bebas.

Kedua, jika laki-laki tersebut tetap tidak mampu bekerja, maka beban tersebut dilimpahkan kepada ahli warisnya.

Ketiga, ketika sanak saudara tidak ada atau tidak mampu, maka beban bergeser ke Baitul Mal, yaitu negara.

Keempat, Islam juga mengatur kebutuhan dasar berupa pelayanan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keselamatan yang mutlak dijamin oleh negara. Penyediaan ketiga pelayanan tersebut kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali menjadi tanggung jawab negara agar pendapatan per kapita benar-benar dialokasikan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pokok, termasuk kebutuhan gizi keluarga.  

Maka, jelaslah bahwa tidak ada cara lain untuk mengatasi masalah stunting di negeri ini selain dengan menerapkan syariat Islam kaffah yang mampu mengembalikan kehidupan Islam sebagaimana yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad saw. Bulan suci Ramadan identik dengan meningkatnya suasana keimanan. Semoga spirit Ramadan tahun ini menginspirasi pemerintah untuk mengambil jalan Islam sebagai solusi kehidupan termasuk mengatasi masalah stunting di negeri ini. 

Wallahua’lam bishshawab.

Oleh: Imaz Ummu Farras
Sahabat Tinta Media

Selasa, 21 Maret 2023

ATASI STUNTING CUKUPKAH DENGAN SAFARI GEMAR MAKAN IKAN?

Tinta Media - Problem stunting pada anak masih terjadi di negeri ini. Harusnya anak anak balita itu sehat dan  bisa menikmati masanya untuk bermain dengan penuh kecerian. Tetapi kita akan jumpai anak-anak balita itu mengalami gizi buruk dan stunting sehingga tidak bisa lagi ceria untuk bermain . 

Hal ini tentunya paradoks, dimana negeri ini adalah negara agraris dan maritim. Yaitu negeri yang kaya akan hasil lautnya maupun kaya akan bahan makanan. Bahkan negeri ini pernah swasembada pangan seperti beras.  Anehnya, di negeri ini masih kita jumpai anak anak balita yang stunting dan kurang gizi. 

Makanya, Menteri  Koordinator Bidang Pembangunan Manusia ( Menko PMK)  Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah daerah perlu terus mengencarkan kampanye untuk mengajak masyarakat genar makan ikan guna mencegah dan menurunkan prevalensi stunting. Karena itu, kata dia, kampanye, sosialisasi dan edukasi yang gencar mengenai manfaat makan ikan dan protein hewani lainnya diharapkan akan meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan bergizi seimbang untuk mencegah stunting. (www.liputan6.com/12/03/2023) . 

Apakah kampanye dan sosialisasi gemar makan ikan cukup  untuk mengatasi anak stunting dan kurang gizi? Soalnya keluarga saat ini perlu uang belanja yang cukup untuk memenuhi gizi seimbang pada anak anak balita seperti ikan, susu maupun buah. Kalau kita lihat, kondisi ekonomi saat ini banyak para ibu yang kesulitan ekonomi untuk bisa memberikan gizi seimbang anak balitanya seperti makan ikan. Hal ini terjadi, karena banyak pengangguran, PHK juga kenaikan harga bahan pokok. Makanya, saat ini masih kita jumpai anak balita yang kurang gizi dan stunting. 

Fenomena anak anak balita mengalami stunting dan gizi buruk ini terjadi dalam kapitalis sekuler. Dimana, kapitalis sekuler itu memisahkan agama dari kehidupan. Selain itu adanya kesenjangan sosial masyarakat dalam kapitalis sekuler itu yang kaya makin kaya dan yang miskin makin tersisih. Hal ini terjadi dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial maupun kesehatan . Makanya dalam kapitalis sekuler ini cukupkah kampanye dan sosialisasi gemar makan ikan bisa mencegah dan menurunkan prevalensi stunting? 

Kalau kita mau melihat bagaimana Islam mengatasi problem anak stunting dan kurang gizi itu bisa sebagai sarana untuk solusinya. Dimana, Islam mendorong para ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada anaknya yang masih balita sampai usia dua tahun. 

Selain itu, Islam mendorong untuk pemenuhan kebutuhan pokok dengan cara menyediakan lapangan kerja dengan gaji layak dan kestabilan harga pangan. Sehingga masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pokok dengan gizi yang baik bagi keluarganya yaitu ibu maupun anak balitanya. Dengan ini harapannya bisa mengatasi problem anak stunting dan kurang gizi.

Oleh: Puji Yuli
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 26 Oktober 2022

MMC Kritik Seruan Narasi Pemenuhan Gizi Tanpa Empati

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) mengkritik seruan untuk memenuhi kebutuhan gizi di saat ini (di tengah kesulitan hidup) sebagai narasi tanpa empati.

“Tak ayal seruan untuk memenuhi kebutuhan gizi di saat ini (di tengah kesulitan hidup) sebagai narasi tanpa empati,” kritiknya pada Program Serba Serbi MMC: Seruan Pemenuhan Gizi Di Tengah Ancaman Kemiskinan Sekedar Narasi? Jumat (21/10/2022) dikanal Youtube Muslimah Media Center. 

Hal ini disebabkan masyarakat tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan gizinya di tengah kesulitan yang melanda.

“Hingga kini kemiskinan masih menjadi problem utama di Indonesia yang belum terselesaikan terlebih di tengah naiknya berbagai bahan pokok seperti kenaikan harga beras, telur, tarif listrik hingga yang terbaru kenaikan harga BBM yang pasti mendongkrak kenaikan harga-harga lainnya,” ungkapnya. 

Ia mengatakan kesulitan hidup tersebut ditambah lagi dengan problem ekonomi yang dihadapi masyarakat pasca pandemi. 
“Di antaranya lapangan pekerjaan yang makin sangat sempit, hal ini membuat kepala rumah tangga merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan perut dan gizi keluarganya,” katanya. 

Ia mengemukakan di sisi lain seruan ini menunjukkan ketidakpahaman pemerintah akan realitas yang sedang dihadapi rakyat. 
“Angka stunting masih sangat tinggi. Negara seharusnya peduli dan memberi solusi atas problem ini,” ucapnya. 

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menekankan pentingnya pemenuhan gizi keluarga dengan tujuan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Kemudian ia menuturkan pernyataan dari Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto.

“Agus Suprapto mengatakan perilaku hidup bersih dan sehat perlu ditunjang dengan pemenuhan gizi seimbang dengan nutrisi yang optimal. Menurutnya pemenuhan gizi keluarga perlu memperhatikan kandungan makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak, juga mikronutrien seperti vitamin dan mineral serta air,” ujarnya. 

Pernyataan ini membuat miris karena menurut narator masih banyak penduduk negeri ini yang tercatat masuk dalam data kemiskinan ekstrem seperti Kota Surabaya dan di Daerah Istimewa Yogyakarta  (DIY). 
“Dinas Sosial Surabaya mencatat sedikitnya 25.532 warga di wilayah setempat masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem. Demikian pula, Kepala Dinas Sosial DIY Endang Patmintarsih menyatakan persentase penduduk miskin per Maret 2022 sebesar 11,34 %, yakni sebanyak 454,76 ribu penduduk miskin,” bebernya. 
Angka tersebut memang menunjukkan penurunan 0,57 % tetapi angka tersebut masih jauh di atas angka nasional yaitu 9,54 %.

Sejatinya menurut narator tidak terpenuhinya gizi keluarga dan anak adalah efek penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah menyerahkan pengelolaan distribusi kebutuhan rakyat pada swasta atau korporasi.

“Sistem ini gagal menjamin masyarakat individu per individu,” kritiknya. 

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme salah kaprah dalam memandang distribusi kebutuhan pokok rakyat. 

“Sistem ini memandang bahwa distribusi adalah tersedianya pasokan kebutuhan pokok rakyat sesuai dengan jumlah masyarakat, terlepas kebutuhan tersebut mampu terbeli atau terserap oleh seluruh rakyat atau tidak,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab