Tinta Media: Ginjal
Tampilkan postingan dengan label Ginjal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ginjal. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Maret 2024

Sistem Neoliberal Kapitalistik Bikin Korban Gagal Ginjal Berjuang Sendiri



Tinta Media - Ironis, orang tua berjuang sendirian untuk menghadapi kondisi buah hatinya yang bertahan untuk hidup melawan penyakit mematikan. 

Kembali memanas rangkaian panjang yang ditempuh korban gagal ginjal akut akibat kelalaian pemerintah kini menyeret aktor baru yang diduga terlibat dalam penderitaan sistemik ini. (Bbc.newsindonesia, 8/2/24) 

Bahwasanya KOMNAS HAM menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM kepada 204 anak meninggal dan 326 korban dalam perawatan. (5/2/23) 

Hal ini disebabkan karena meminum obat sirup yang diproduksi oleh Pt. Afi Firma yang mengandung propilen glikol (PG) zat kimia berbahaya dan beracun, dalam bahan baku ini terdapat kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). 

Bencana ini tidak lepas dari kelalaian BPOM karena obat yang mengandung zat berbahaya bisa lolos sensor sehingga didistribusikan dan sampai dikonsumsi oleh konsumen. 

Perkembangan terbaru, Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Nunung Syaifuddin menyatakan bahwa status BPOM naik menjadi tahap penyidikan, BPOM dianggap sebagai regulator kejahatan, dan lalainya sebagai pihak pengawas atas pemberian surat izin edar obat sirop yang menyebabkan gagal ginjal pada anak bahkan kematian. (27/12/23) 

Orang tua korban murka mengenai lepas tangannya pemerintah terhadap malapetaka ini. Salah satunya Desi Permatasari, ibu dari Sheena, anak berusia enam tahun yang menderita gangguan gainjal akut progresif atipikal mengatakan terkait adanya santunan hanya pembodohan publik semata. 

Hal ini disebabkan dirinya menghabiskan ratusan juta untuk pengobatan Sheena murni tanpa campur tangan pihak lain, bahkan sampai menjual rumah nya dan terlilit hutang untuk berobat putrinya yang sampai detik ini setahun berlalu belum ada perkembangan signifikan, masih terbaring di rumah sakit. 

Proses panjang yang di tempuh menunjukkan kerusakan sistemik. Dalang dari kejahatan ini yaitu negara menganut paradigma neoliberal kapitalistik. Cara pandang negara beranggapan pemilik modal ialah pengambil kebijakan dengan asas laba rugi dalam artian standarisasi suatu kebijakan tidak memperhatikan kemanfaatan untuk umat. 

Sehingga menjadi lumrah ketika BPOM menggadaikan etos kerja untuk keuntungan tidak mempertimbangkan dampak setelahnya, sehingga nyawa melayang tiada berharga. Ironisnya penanganan terhadap kasus gagal ginjal akut anak ini sangat lambat, setahun berlalu belum ada keadilan untuk korban bahkan dipaksa mandiri. 

Pasalnya kesehatan di bawah pengelolaan sistem kapitalisme merupakan objek komersialisasi yang bisa diperdagangkan karena dianggap bisnis semata. Dapat disimpulkan poin pentingnya adalah negara abai terhadap kesehatan rakyatnya. 

Bertolak belakang ketika sebuah negara memakai sistem dengan corak Islam. Artinya, seperangkat aturan kehidupan seluruhnya memakai politik Islam (khilafah). Berdasarkan rekam jejak sejarah Islam, khilafah telah diterapkan selama kurang lebih 14 abad menguasai 3/4 benua. Bisa ke gambar bagaimana paripurnanya sistem politik Islam. 

Realitas hari ini, segala problem kehidupan di kembalikan kepada aturan yang sudah berlaku, baik adat istiadat, standar baik condong pada suara mayoritas, bahkan kebijakan yang di buat oleh negara. 

Misalnya pada kasus dijual bebas obat sirop untuk anak-anak dengan label SNI realitasnya beracun bahkan mematikan. Kelalaian seperti ini di dalam politik Islam tidak akan di temukan, karena memang standar kebijakan yang diambil adalah kesejahteraan umat yang berasas manfaat. 

Suatu kebijakan tidak akan di ambil jika mendatangkan murka Allah karena di dalamnya ada aktivitas kriminal, dsb. Di dalam Islam tidak ada label halal maupun haram karena memang hidup dengan aturan Islam dan mayoritas Islam. Jika ada orang kafir yang mau hidup di dalam naungan khilafah (kafir dzimmi) tentu harus tunduk pada syariat Islam. 

Misalnya tidak boleh menjual produk haram di pasar kaum muslimin. Orang kafir dzimmi di sediakan pasar sendiri oleh negara untuk melakukan transaksi jual beli khusus sesama orang kafir. 

Negara hadir di tengah-tengah umat sebagai pengurus urusan rakyat bukan menjadi regulator yang memuluskan bisnis para korporasi termasuk dalam bidang kesehatan. Wajar jika kasus ini penanganannya lamban karena tidak fokus pada akar masalah.


Belajar dari rekam jejak sejarah, tinta emas menulis kan di bidang kesehatan telah mencatat kegemilangan kesehatan di era Khilafah karena memang di dalam Islam kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik untuk semua orang mendapatkan layanan dengan kualitas yang sama.


Terbukti dari banyaknya institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa kekhilafahan agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis dan bermutu bisa terpenuhi di antaranya Rumah Sakit Al-nuri, yaity Rumah Sakit pertama kali dibangun umat Islam. Didirikan pada tahun 706 Masehi oleh kekhilafahan Umayyah. Rumah sakit ini dilengkapi dengan peralatan paling modern dan tenaga dokter serta perawatnya profesional. 

Rumah Sakit ini yang pertama kali menerapkan rekam medis atau medical record. Tidak cukup dengan itu Khilafah juga membuka sekolah kedokteran di rumah sakit tersebut untuk memajukan sekolah, khalifah menghibahkan perpustakaan pribadinya salah satu lulusannya adalah Ibnu al-nafis yang dikenal sebagai sirkulasi paru-paru bandingkan dengan Eropa saat itu yang masih dalam abad kegelapan karena pada abad itu dalam hal buang kotoran saja mereka masih belum punya ketentuan tempat tersendiri untuk buang air besar.


Khilafah juga melayani orang yang mempunyai kondisi sosial khusus seperti yang tinggal di tempat-tempat yang jauh, para tahanan, orang cacat, dan para musafir untuk itu Khilafah mengadakan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi. 

Kedokteran dengan sejumlah dokter di rumah sakit ini menelusuri pelosok - pelosok negeri, sedemikian bagusnya pelayanan kesehatan di masa Khilafah. Sejarah sampai menuliskan betapa orang-orang barat bahkan ada yang pura-pura sakit agar bisa dirawat dalam rumah sakit Khilafah. 

Khilafah tidak akan memungut biaya kesehatan kepada rakyatnya karena itu adalah tanggung jawabnya. Biaya kesehatan yang cukup besar akan dipenuhi Khilafah dari sumber-sumber pemasukan negara dengan penerapan sistem ekonomi Islam di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum. Termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak, gas, dan sebagainya. 

Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat. Pembiayaan kesehatan dalam khilafah diperuntukkan bagi terwujudnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas, unggul bagi semua individu, masyarakat mulai dari penyelenggaraan, pendidikan, kesehatan, dan kedokteran untuk menghasilkan tenaga kesehatan berkualitas dalam jumlah memadai. 

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dengan segala kelengkapannya industri, peralatan kedokteran, dan obat-obatan. Penyelenggaraan resep geomedik kedokteran hingga seluruh sarana prasarana yang terkait dengan penyelenggaraan, pelayanan kesehatan seperti listrik, air bersih, dan transportasi. 

Demikianlah sebagian kecil saja sejarah indah yang tersimpan dalam peradaban Islam. Tidak ada alasan tetap melanggengkan penerapan sistem kapitalis yang mengomersialkan setiap layanan publik. 

Wallahu'alam Bisowab


Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak 
(Sahabat Tinta Media) 

Rabu, 16 November 2022

Langkah Lamban yang Menyebabkan Kematian

Tinta Media - Kasus gangguan ginjal akut progesif atipikal (GGAPA) yang menyerang anak-anak usia 6 bulan hingga 18 tahun baru-baru ini mengalami peningkatan di 22 provinsi di Indonesia, hingga sebagian telah berujung pada kematian anak. 

Dikutip dari Tempo.co (29/10/2022), Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengungkap per-kamis 27 Oktober 2022, tercatat total ada 269 kasus gagal ginjal akut anak. Sebanyak 157 di antaranya meninggal, 73 masih dirawat, dan 39 dinyatakan sembuh. Tingkat kematian atau fatality-nya telah mencapai 58%. Mirisnya, kasus gagal ginjal ini paling banyak didominasi oleh anak usia 1 hingga 5 tahun. 
 
Seiring dengan peningkatan kasus tersebut, Kemenkes mengimbau pada seluruh orang tua untuk tidak panik, tetap tenang, tetapi selalu waspada, terutama apabila anak didapati mengalami gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut. 

Gejala gagal ginjal pada anak di antaranya diare, mual, muntah, demam selama 3 hingga 5 hari, batuk pilek, sering mengantuk, serta gejala yang lebih spesifik adalah jumlah air seni atau air kecil semakin sedikit, bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.
 
Hingga saat ini, kasus gagal ginjal akut pada anak belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun, ada banyak faktor yang memungkinkan menjadi penyebabnya. Kemenkes memperkirakan, gagal ginjal akut tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh cemaran dari bahan tambahan yang terdapat pada obat sediaan sirup untuk anak. 

Menurut paparan informasi resmi keempat yang disampaikan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, dalam konfrensi press BPOM yang diselenggarakan 20 oktober 2022, Penny K Lukito, bahwa memungkinkan adanya cemaran senyawa kimia yang terdapat dalam sirup obat anak, yang merupakan reaksi samping dari bahan tambahan sirup yang menggunakan salah satu bahan pelarut dengan kandungan polietilen glikol, propilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol. 

Bahan pelarut obat tersebut bisa menghasilkan produk sampingan berupa senyawa etilen glikol (EG) atau  dietilen glikol (DEG). EG dan DEG sangat mungkin ditemukan dalam produk sirup yang menggunakan jenis pelarut tersebut. Hanya saja, jika kadarnya masih di ambang batas, itu masih aman untuk dikonsumsi. Akan tetapi, jika kadarnya sudah melebihi ambang batas yang dipersyaratkan, maka akan sangat berbahaya bagi tubuh.  Senyawa EG dan DEG itu diduga dapat masuk ke tubuh anak melalui obat sirup yang mereka konsumsi.
 
Sejauh ini, BPOM telah melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 sirup obat anak yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG. Hasil uji menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk sirup anak dan berencana untuk memperluas pemeriksaan dan pengujian lebih lanjut. 

Selain senyawa EG dan DEG, sejumlah faktor yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut anak lainnya adalah daya tahan tubuh anak yang rentan hingga lingkungan yang tidak terlalu bersih. Pasalnya, tidak semua pasien anak yang mengidap penyakit tersebut sedang mengonsumsi obat sirup.
 
Persoalan kesehatan yang menimpa anak bukanlah permasalahan baru di negeri ini. Persoalan kesehatan anak seperti stunting dan kurang gizi hingga hari ini belum juga mendapatkan solusi tuntas. 

Kematian anak yang tinggi melalui fenomena gagal ginjal akut dalam dua bulan terakhir ini seharusnya menyadarkan penguasa dan masyarakat bahwa ada kesalahan dalam tata kelola kesehatan di negeri ini, sebab kesehatan sangat erat kaitannya dengan lingkungan yang bersih, makanan yang bergizi, edukasi tentang pola hidup sehat, hingga perlindungan ketat oleh negara dari penyakit menular. 

Namun, penanganan terhadap kasus gagal ginjal akut anak ini seperti tidak ditangani dengan cepat dan sigap. Kasus ini sebenarnya sudah ditemui sejak bulan Januari. Namun, baru mendapatkan perhatian setelah terjadi lonjakan kasus pada bulan September sampai sekarang. Selayaknya sudah lebih banyak yang dapat dilakukan pemerintah untuk menemukan penyebab dan penanggulangannya sejak dini, sehingga jatuh korban tidak menjadi sebanyak ini. 

Pasalnya, kesehatan di bawah pengelolaan sistem kapitalisme adalah objek komersialisasi yang menggiurkan untuk diperdagangkan. Sistem kapitalisme telah melahirkan kebijakan yang hanya berputar pada persoalan uang, bisnis, dan keuntungan. 

Setiap tahun, subsidi kesehatan terus dikurangi. Negara hadir di tengah-tengah umat bukan sebagai pengurus urusan rakyat, tetapi sebagai regulator yang berperan dalam memuluskan bisnis para korporasi, termasuk dalam bidang kesehatan. Tidak heran jika kasus gagal ginjal ini sangat lamban ditangani hingga menelan ratusan nyawa anak. Oleh karena itu, perwujudan kesehatan anak tidak akan pernah terwujud dalam kapitalisme karena cara pandang negara terhadap kesehatan akan memengaruhi prioritas dan kualitas negara dalam memenuhinya.
 
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, anak bukan sekadar aset masa depan, tetapi mereka adalah bagian dari masyarakat yang wajib dipenuhi kebutuhannya. Dengan pemahaman itu, negara akan berusaha sekuat tenaga memenuhinya, mulai dari penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai atau gratis, pemenuhan gizi yang tercukupi, baik untuk orang yang kaya ataupun miskin, hingga pemberian pendidikan yang merata di kota maupun di desa. Semua itu dibiayai oleh Baitul Mal yang ada dalam sistem ekonomi negara Islam atau yang disebut Khilafah.
 
Khilafah akan memberikan anggaran untuk mencukupi segala kebutuhan rakyat, termasuk anak-anak. Kekayaan negara di Baitul Mal diperoleh dari jizyah, kharaj, ghonimah, Fai, harta tak bertuan, pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain. Semua pendapatan itu bersifat tetap dan besar sehingga memampukan negara memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyat. 

Semua bentuk pelayanan yang dilakukan negara bukan untuk mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk mengurusi kebutuhan seluruh masyarakat. Hal ini dilakukan atas dasar keimanan dan tanggung jawab karena pemimpin negara (khalifah) akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, 

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Hadis Riwayat Bukhari).
 
Atas dasar inilah, seorang khalifah wajib dan butuh menerapkan syariat secara menyeluruh atau kaffah, termasuk dalam bidang kesehatan. Sebab, salah satu fungsi syariat adalah hifdzun nafs atau menjaga jiwa manusia.

Jika terjadi wabah atau penyakit menular atau fenomena kematian yang misterius, maka
khilafah akan segera bertindak. Bahkan, pada satu kasus penyakit saja yang belum diketahui penyebabnya, negara akan segera melakukan riset terkini agar cepat dalam menangani penyakit tersebut.

Masyarakat tidak akan dibiarkan menghadapi sendiri penyakit tersebut hingga mendapatkan efek yang lebih buruk. Negara akan segera melakukan riset tentang standar pengobatan instrumen dan obat-obatan terbaik bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien. Setelah ditemukan, negara akan memproduksinya dan memberikan secara cuma-cuma kepada pasien tanpa memungut biaya sepeser pun. Inilah sistem terbaik yang menjamin terpeliharanya jiwa manusia dan terjaminnya seluruh kebutuhan masyarakat. 
Allahu a’alam bish shawab.

Oleh: Falihah Dzakiyah
Praktisi Kesehatan dan Aktivis Muslimah Peduli Generasi

Senin, 07 November 2022

Kematian Gagal Ginjal Akut Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Tinta Media - Kasus gagal ginjal pada anak yang terjadi beberapa waktu lalu, menjadi momok yang menakutkan di tengah masyarakat. Sejak Agustus 2022 lalu hingga saat tulisan ini dibuat, telah ditemukan 206 kasus gagal ginjal yang terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 18 tahun yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia. Hanya dalam rentang waktu 2 bulan sejak kasus ini mencuat ke permukaan, tercatat 99 anak telah meninggal akibat menderita gagal ginjal akut. 

Sontak hal ini menimbulkan kepanikan, terlebih pada para orang tua. Anak yang mengalami gagal ginjal akut rata-rata mengalami gejala yang sama seperti mual, diare, batuk, pilek hingga demam 3-5 hari, dan sering mengantuk. Jumlah air seni semakin sedikit, bahkan tidak bisa buang air seni sama sekali. Walaupun Kemenkes mengatakan agar masyarakat tenang jika mengalami hal tersebut, tetapi hingga saat ini kasus gagal ginjal pada anak belum pasti diketahui penyebabnya.

Hasil temuan labolatorium yang dilakukan oleh Kemenkes menyatakan bahwa faktor penyebab kasus gagal ginjal akut 75% disebabkan oleh senyawa kimia kandungan poletelin glikol yang menimbulkan senyawa berbahaya, seperti etilen glikoll (EG) dan dietilen glikol (DEG). Kandungan tersebut diduga masuk ke tubuh anak melalui berbagai obat sirup yang dikonsumsi oleh anak-anak. Bahkan, Kemenkes hingga saat ini telah mengidentifikasi 91 obat sirup yang memiliki kandungan EG dan DEG.

Adapun faktor pemicu gagal ginjal akut lainnya adalah daya tahan tubuh anak yang rentan, hingga lingkungan sekitar yang kurang bersih, karena disinyalir bahwa tidak semua anak yang mengalami sakit gagal ginjal akut sedang mengonsumsi obat sirup. Namun, melihat kasus gagal ginjal akut yang menimpa anak mengalami jumlah yang fantastis dalam kurun waktu yang hampir bersamaan dan dalam kondisi banyaknya anak yang mengkonsumsi obat demam atau batuk akibat banyaknya anak-anak yang menderita sakit tersebut, menjadikan kemungkinan faktor penyebab gagal ginjal akut adalah karena mengkonsumsi obat sirup yang mengandung EG dan DEG, lebih besar. Apalagi, kasus serupa juga terjadi di Gambia. Hingga saat, ini tercatat 70 anak meninggal akibat gagal ginjal akut.

Persoalan kesehatan pada anak bukan hal baru di negeri ini ataupun di dunia. Kasus stunting hingga gizi buruk, masih belum ada solusi tuntas. Angka kematian anak yang tinggi melalui fenomena gagal ginja akut dalam dua bulan terakhir, seharusnya menyadarkan penguasa serta masyarakat, bahwa ada kesalahan dalam tata kelola masalah kesehatan di negeri ini. Kesehatan yang erat hubungannya dengan lingkungan bersih, makanan yang bergizi, edukasi tentang pola hidup sehat serta perlindungan ketat negara dari penyakit menular atau bahkan wabah, menjadikan negara harus serius dalam memenuhi faktor-faktor yang dapat menjamin kesehatan masyarakat, termasuk menjamin keamanan suatu produk baik makanan maupun obat dengan penerapan standarisasi produk yang halal dan aman.

Namun, melihat penanganan kasus gagal ginjal akut yang terkesan lambat ditangani dan bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab, menunjukkan bahwa pengelolaan kesehatan dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memang jauh dari aspek pelayanan yang sesungguhnya. Bahkan, masalah kesehatan dijadikan objek komersialisasi yang bisa diperdagangkan, termasuk dalam masalah produksi dan konsumsi obat. Hal ini karena sistem kapitalisme diterapkan dengan asas manfaat dan untuk mencapai keuntungan materi.

Selain itu, setiap tahunnya pemerintah terus mengurangi subsidi kesehatan, karena menganggap bahwa pemberian subsidi kepada rakyat merupakan beban. Padahal, seharusnya mengurusi segala pemenuhan kebutuhan rakyat mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan bahkan keamanan merupakan kewajiban negara. 

Namun, faktanya negara dalam kapitalisme hanya menjadi regulator yang memuluskan bisnis para korporasi dalam berbagai sektor, termasuk kesehatan. Oleh karena itu, berharap bahwa kesehatan masyarakat, termasuk pada anak, akan terjamin dalam sistem ini, selamanya tidak akan pernah terwujud.

Padahal, anak bagi sebuah bangsa, merupakan generasi penerus yang akan menentukan kualitas suatu bangsa. Jika kualitas kesehatan anaknya buruk, maka masa depan generasi bangsa pun akan lemah. 

Oleh karena itu, Islam sangat menjaga kualitas anak-anak, bahkan dari sejak mereka dalam kandungan ibu, dengan memastikan terpenuhinya asupan gizi bagi para ibu hamil.

Ketika anak ini sudah terlahir, Islam akan memastikan juga bahwa anak tersebut terpenuhi segala kebutuhan primer dan asasinya, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Selain sebagai aset umat atau bangsa di masa depan, di dalam Islam anak pun merupakan aset akhirat bagi orang tuanya. 

Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an, surat An-Nisaa;9, yang artinya :
" Dan takutlah kalian jika meninggalkan di belakang kalian generasi yang lemah..."

Dalam menjaga potensi anak-anak umat ini, negara menerapkan Islam kaffah yang salah satu fungsinya adalah menjaga jiwa manusia, salah satunya dalam memastikan pemenuhan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh rakyat, termasuk anak.

Rasulullah saw bersabda : "Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. An-Nasa'i dan Tirmidzi)

Negara atau khilafah menjamin kesehatan rakyat dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan gratis, memenuhi kebutuhan gizi rakyat tanpa membedakan rakyat yang kaya dan yang miskin. Ditopang oleh edukasi melalui pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negara secara merata, baik di kota maupun di pelosok daerah. Semua itu bisa terwujud dengan didukung oleh penerapan sistem ekonomi Islam yang mapan dan kokoh, sehingga dapat memenuhi pembiayaan seluruh pelayanan umum bagi rakyat, melalui pos pengeluaran di Baitul mal.

Penjagaan yang begitu kuat terhadap kualitas generasi dan nyawa rakyat, termasuk anak-anak, menjadikan penerapan syariat Islam kaffah dapat mengantisipasi terjadinya masalah kesehatan anak di tengah masyarakat. Jikapun terjadi wabah atau penyebaran penyakit secara serentak di berbagai daerah, khilafah akan bertindak sangat cepat dalam melakukan riset untuk mengetahui penyebabnya. Jika ditemukan ada kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia, maka akan terkena sanksi ta'zir dari negara. Namun jika penyebaran penyakit tersebut disebabkan oleh faktor cuaca atau wabah, negara akan bersegera menemukan obat-obatan terbaik melalui para ilmuwan yang ada di laboratorium terbaik, sehingga ditemukan cara atau obat untuk menyembuhkan penyakit tersebut atau menghentikan penyebaran wabah, dan tentunya hal tersebut dilakukan secara gratis kepada masyarakat. 

Wallahua'lam bishawwab.

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab