Tinta Media: Gibran
Tampilkan postingan dengan label Gibran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gibran. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 April 2024

Terpilihnya Prabowo-Gibran, Sejalan dengan Politik Internasional


Tinta Media - Ucapan selamat dari Amerika Serikat (AS) melalui menteri luar negeri (Menlu) Anthony Blinken atas terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden yang terpilih berdasarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), menunjukkan arah politiknya sejalan.

"Dari hasil pemilunya itu, sebagian besar negara-negara barat terlebih AS menunjukkan pengakuannya. Jadi itu sekali lagi menunjukkan bahwa memang terpilihnya Prabowo itu sejalan dengan politik internasional yang saat ini berlaku," ujar Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana dalam acara Kabar Petang dengan tema Cina-AS Berebut Prabowo? di kanal Youtube Khilafah News Rabu (27/3/2024).

Karena lanjutnya, dalam perspektif barat dan AS, bahkan rivalnya AS seperti Rusia dan Cina merasa senang dengan terpilihnya Prabowo. Alasannya kepentingan-kepentingannya pasti bisa dilanjutkan.

"Secara normatif kemenangan Prabowo itu diterima oleh semua pihak, karena dalam konstelasi internasional atau bicara secara berkelanjutan saja sudah berjalan," bebernya.

*Pengakuan*

Budi juga menuturkan terkait ucapan selamat dari AS lewat menlunya menunjukkan adanya implikasi politik, seperti menunjukkan dukung atau tidak mendukung suatu negara kepada negara lain, atau negara kepada pemerintahan yang baru.

"Kan secara diplomatik situasi yang sama tidak hanya di Indonesia, di Rusia juga baru selesai pemilu juga yang terpilih kan Putin, tapi respons dari negara-negara barat terhadap Putin itu kan beda, mereka (negara-negara barat) menuntut adanya kecurangan, bagaimana kemudian terpilihnya Putin itu butuh manipulasi, kepalsuan, nah responsnya kan seperti itu," ujarnya.

Tapi di Indonesia bebernya, terpilihnya Prabowo-Gibran yang secara keputusan KPU menang, namun responsnya tidak ada yang menuduh.

"Padahal situasi dalam negeri ini kan terjadi gejolak," ungkapnya.

Meskipun gugatan kecurangan terekspos di berbagai dunia ungkapnya, namun dalam respons internasional tidak ada negara-negara yang merespons kecurangan tersebut.

"Padahal pemilu di Indonesia itu ada kecurangan, bahkan presiden Jokowi sendiri telah melakukan intervensi dan cawe-cawe," pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Kamis, 08 Februari 2024

KPU Langgar Kode Etik: Pencalonan Gibran Cacat Moral, Etika dan Hukum, Mengakibatkan Ketidakpastian Politik



Tinta Media - Pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden 2024-2029 diwarnai pelanggaran etika lagi. Untuk yang kedua kalinya. Pencalonan ini sangat dipaksakan, dengan menentang demokrasi.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan, Ketua Mahkamah konstitusi Anwar Usman, yang juga paman Gibran, atau adik ipar Joko Widodo, melanggar kode etik berat, terkait uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Kali ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan, seluruh anggota komisioner KPU melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, terkait pendaftaran Gibran sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Untuk itu, DKPP menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada seluruh anggota komisioner KPU. Khusus kepada Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, DKPP memberi sanksi Peringatan Keras Terakhir.

Peringatan Keras Terakhir? Sungguh aneh. Memang ada berapa banyak Peringatan Keras?

Sanksi dari DKPP ini terkesan main-main. Tidak serius. DKPP seharusnya memberhentikan, setidak-tidaknya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari.

Karena, pelanggaran kode etik komisioner KPU kali ini bukan masalah kode etik semata, yang hanya menyangkut persoalan pribadi, seperti pelanggaran moral dan etika Ketua KPU dengan “wanita emas” Hasnaeni, yang tidak mempunyai dampak langsung terhadap suksesi kepemimpinan nasional.

Tetapi, pelanggaran Kode Etik para komisioner KPU kali ini sangat serius, karena menyangkut pelanggaran peraturan dan undang-undang, dengan dampak sangat serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan persidangan DKPP, KPU terbukti melanggar Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, Pasal 13 ayat (1) huruf q, tentang Persyaratan Calon yang berbunyi, calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 tahun. Pada saat pendaftaran bakal calon Wakil Presiden, Gibran tidak memenuhi Persyaratan Calon, sehingga KPU seharusnya tidak menerima pendaftaran Gibran. Dengan kata lain, pendaftaran Gibran menjadi cacat hukum, alias tidak sah.

Pelanggaran terhadap Peraturan KPU secara otomatis juga melanggar UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena, Peraturan KPU merupakan pelaksanaan Undang-Undang Pemilu, seperti diatur di Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2):

(1) Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU.

(2) Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Semua alasan KPU untuk membenarkan pendaftaran pencalonan Gibran, terbantahkan dalam persidangan DKPP. Alasan, Putusan MK “bersifat final”, juga tidak bisa menjadi alasan untuk melanggar Peraturan KPU dan Undang-Undang Pemilu.

Karena, Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023, yang meloloskan Gibran menjadi calon Wakil Presiden, masih bermasalah hukum. Putusan tersebut digugat masyarakat ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) karena juga (terindikasi) melanggar moral, etika dan hukum.

Majelis Kehormatan MK mulai memeriksa para hakim Konstitusi pada 31 Oktober 2023, dan membacakan hasil pemeriksaan atau putusan Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023.

Selama periode pemeriksaan (31 Oktober – 7 November 2023), nasib Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak pasti. Karena, menurut Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, Putusan MK tersebut bisa (masuk akal) dibatalkan. Hal ini disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada 2 November 2023, seperti dimuat di berbagai media, antara lain cnnindonesia dot com di bawah ini.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231102064044-12-1018912/jimly-anggap-masuk-akal-jika-putusan-mk-syarat-cawapres-dibatalkan

Berdasarkan fakta ini, tindakan KPU menerima pendaftaran bakal calon Presiden dan Wakil Presiden pada 25 Oktober 2023, dan mengubah Peraturan KPU pada 3 November 2023 jelas melanggar peraturan perundang-undangan.

Termasuk melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum No 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, yang bersumber dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dan juga Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Putusan KPU menerima pencalonan Gibran dengan menggunakan Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, dan kemudian diubah dengan Peraturan KPU No 23 Tahun 2023, sebelum ada Putusan sidang Majelis Kehormatan MK (pada 7 November 2023), merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius, karena mengakibatkan ketidakpastian hukum terkait Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Karena, tidak tertutup kemungkinan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tersebut bisa dibatalkan, seperti diucapkan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK pada 2 November 2023.

Karena itu, sanksi Peringatan Keras yang diberikan kepada para komisioner KPU sangat tidak adil. Mereka seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat, karena tidak mempunyai legitimasi lagi sebagai Penyelenggara Pemilu.

Selain itu, pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden menjadi cacat moral, cacat etika, dan juga cacat hukum. Cacat di Mahkamah Konstitusi, dan cacat di KPU.

Semua ini akan memicu ketidakpastian politik. Legitimasi pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden akan selalu dipertanyakan dan dipertentangkan.

—- 000 —-


Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Sabtu, 04 November 2023

Putusan MK Terkait Syarat Cawapres, Om Joy: Jelas Sekali, Upaya Sang Paman Memuluskan Gibran



Tinta Media - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ditanggapi Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy).

"Jelas sekali, terang benderang sudah dipastikan itu merupakan upaya sang Paman memuluskan Gibran agar dapat menjadi calon wakil presiden," tutur Om Joy kepada Tinta Media, Jum'at (27/10/2023).

Menurutnya, putusan ini tidak bisa ditafsirkan lain. "Mumpung sang Ayah berkuasa. Tidak bisa ditafsirkan lain. Memang ada indikasi lain? Memang Sang Paman akan membuat putusan seperti itu bila sebelumnya Gibran tidak berencana jadi cawapres?" ujarnya.

Om Joy menilai politik dinasti merupakan salah satu cara agar penguasa status quo bisa terus berkuasa. "Bila dirinya tidak memungkinkan berkuasa secara langsung, maka keluarganya yang diusung untuk menggantikan dirinya berkuasa," ungkapnya.

Menurutnya, bahaya putusan ini yang langsung terjadi, yakni penguasa menghalalkan segara cara untuk memuluskan keinginannya. Bila ada keinginan yang tidak sesuai dengan regulasi, regulasinya yang diubah. "Jadi, mengubah negara hukum menjadi negara kekuasaan," simpulnya.

Padahal, ujar Om Joy, hukum dibuat untuk mengatur penguasa agar tidak berbuat sewenang-wenang. Agar penguasa tetap berada di jalur hukum untuk mengurus dan membela kepentingan rakyat banyak. 

Lantas Om Joy mengungkapkan kalau penguasa dengan seenaknya mengubah hukum seperti itu, tentu kesewenang-wenanganlah yang terjadi. "Alih-alih mengurus dan membela kepentingan rakyat banyak, yang terjadi justru sebaliknya," tandasnya.

Politik Dinasti

Dalam pandangan Islam, beber Om Joy, politik dinasti jelas haram hukumnya. Dalam Islam seseorang diangkat menjadi kepala negara maupun pejabat pemerintahan itu karena kapabilitasnya, bukan karena ada ikatan keluarga dengan penguasa yang sedang berkuasa. 

Jadi menurutnya, sebenarnya boleh-boleh saja anak, saudara ataupun kerabat penguasa itu mencalonkan atau diangkat atau dicalonkan jadi calon pejabat, bahkan dicalonkan jadi penguasa berikutnya. "Asalkan kapabel dan tidak mengubah hukum. Sehingga baik anak maupun orang lain memiliki kesempatan yang sama dan tidak ada yang diistimewakan," ulasnya. 

Om Joy mengingatkan, meskipun penguasa saat ini tidak melakukan politik dinasti, sesungguhnya sistem politik yang diterapkan saat ini yakni demokrasi, juga haram diterapkan. "Karena demokrasi menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan dalam Islam, kedaulatan di tangan as-Syar’i (Allah Sang Pembuat Hukum)," ulasnya.
 
Jadi, negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, Om Joy menekankan wajib meninggalkan sistem kufur demokrasi seraya menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah. 

"Khilafah berfungsi menerapkan syariat Islam secara kaffah di dalam negeri dan melancarkan politik luar negerinya berbasis dakwah dan jihad. Kepala negaranya disebut Khalifah," terangnya. 

Om Joy menyebutkan syarat pengangangkatan (in’iqad) Khalifah tidak dibatasi usia di bawah atau di atas 40 tahun, tidak pula dibatasi harus keluarga Khalifah sebelumnya atau bukan. 

"Setiap orang berhak dicalonkan ataupun mencalonkan diri jadi khalifah selama memenuhi tujuh syarat in’iqad yakni lelaki, Muslim, berakal, baligh, merdeka, adil, dan mampu melaksanakan amanat khalifah," tutupnya. [] Muhammad Nur

Selasa, 31 Oktober 2023

Analis: Putusan MK by Design dan Jalan Khusus Gibran Jadi Cawapres

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah by design dan jalan khusus menjadi Cawapres. 

“Putusan MK itu memang putusan yang by design? By design seperti apa? Putusan untuk memberikan jalan khusus kepada Gibran untuk bisa menjadi Cawapres,” ujarnya kepada Tinta Media, Ahad (29/10/2023). 

Menurutnya, ada tiga alasan kenapa putusan MK tersebut adalah by design. 

Pertama, yang menarik disini katanya, adalah MK mengabulkan gugatan bahwa usia Cawapres itu minimal 40 tahun. Tetapi dia ternyata juga mengabulkan gugatan bahwa seorang kepala daerah yang berusia kurang dari 40 tahun boleh juga diajukan menjadi Cawapres. “Jadi saya kira ini by design yang pertama,” ungkapnya. 

Kedua, adalah kebetulan ketua MK-nya yaitu pamannya Gibran. Sehingga muncul berita yang santer menyatakan bahwa desakan mencalonkan Gibran menjadi cawapres itu berasal dari lingkaran relawan-relawan Jokowi. 

Rupanya, singgung Fajar, desakan-desakan itu dalam enam bulan terakhir ini semakin menguat. Dari situlah kemudian disampaikan aspirasi itu kepada adiknya presiden yang kemudian menyampaikan kepada suaminya yang ketua umum MK itu.

Walaupun mungkin, ungkap Fajar, pada awalnya tidak dianggap tetapi karena desakan-desakan itu terus bergulir maka akhirnya dipertimbangkan dan diputuskan. 

“Hal ini tentu karena Jokowi sangat ingin akan legacy yang dibagun selama ini bisa dilanjutkan oleh orang-orang yang diyakini bisa dipercaya begitu,” bebernya. 

“Terlebih mungkin dalam rangka untuk melindungi kepentingan keluarga Jokowi pasca lengser begitu,“ imbuhnya. 

Ketiga, adalah dari sisi Gibran sendiri. Menurutnya, sejak awal anak ini bersikap ambigu. Bolak-balik ditanya tentang pengusungan menjadi cawapres begitu saja gak jelas. Kalau dia punya sikap, punya ketegasan dan tidak mau atau tidak punya ambisi ke arah sana, ya dia bisa menolak dengan tegas bahwa saya tidak berniat atau punya niat mencalonkan atau dicalonkan menjadi bakal calon presiden. 

Tapi dari awal anak ini kan selalu menghindar, selalu mengulur dan seterusnya. “Ini sebenarnya menggambarkan dalam enam bulan ini dikondisikan agar memang pada waktunya nanti Gibran yang eligible (memenuhi syarat) untuk menjadi bakal Cawapres gitu,” ungkapnya. 

Carut Marut

Dari sini, papar Fajar, menggambarkan betapa carut marutnya aspek hukum pada MK ini. Khususnya yang seharusnya tidak masuk dalam ranah substansi atau menambahkan substansi perundang-undangan tetapi malah menambahkan. 

“Jadi yang bermasalah di sini adalah penambahan kalimat oleh MK, “Atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung” kan gitu,” singgungnya. 

Padahal menurutnya, persyaratan itu yang harusnya masuk dalam open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. 

“Nah, kebijakan hukum terbuka itu adalah kewenangannya si pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah gitu,” terangnya. 

“MK sebenarnya tidak punya hak untuk menambahkan substansi perundang-undangan, tetapi dia hanya mengkaji apakah UU itu sah atau tidak,” tandasnya. [] Langgeng Hidayat

Gus Uwik: Politik Dinasti Tidak Diperbolehkan dalam Islam

Tinta Media - Terkait putusan MK yang dinilai memuluskan putra Presiden Jokowi untuk bisa ikut dalam kontestasi pilpres 2024, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik menegaskan bahwa politik dinasti tidak diperbolehkan dalam Islam.

"Politik dinasti tidak diperbolehkan dalam Islam," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (28/10/2023).

Adanya politik dinasti dengan kasus Gibran, katanya, walau berbeda namun ada kemiripan. Proses peralihan kekuasaan dengan adanya putra mahkota, atau kekuasaan diwariskan pada anggota keluarganya. Ini melanggar kaidah rida dan ikhtiyar dalam bai'at itu sendiri. 

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam Islam memilih pemimpin itu bebas, tidak ada paksaan.

"Islam mensyaratkan dalam memilih pemimpin harus bebas, tidak ada paksaan pemilihan calon, apalagi saat memilihnya," ujarnya.

Adanya putra mahkota, imbuhnya, menunjukkan rakyat 'di paksa' menerima pilihan raja sebelum atas siapa yang nanti akan meneruskannya, rakyat wajib menaatinya. Ini bertentangan dengan Islam.

Rezim Brutal

Gus Uwik, sapaan akrabnya juga menilai bahwa putusan MK mengindikasikan rezim saat ini telah merusak tatanan perpolitikan yang ada.

"Rezim dengan sadar 'merusak' tatanan perpolitikan yang ada. Jika ada aturan yang menghalangi nafsu politiknya maka aturan itu akan diubah melalui perangkat kekuasaannya. Termasuk keluarga yang menduduki posisi jabatan strategis. Tidak peduli lagi kepentingan rakyatnya. Semua dikorbankan untuk kepentingan nafsu politik diri dan keluarganya," cecarnya.

Jelas, tegasnya, ini membahayakan kehidupan berpolitik dan menjadi legasi buruk bagi rezim yang ada. Ternyata brutal dalam berpolitiknya, menghalalkan segala macam cara untuk meraih kepentingannya. 

Terakhir, ia mengatakan ketika rezim brutal dalam perpolitikan, maka ketika berkuasa akan semakin brutal dan rakyat akan kembali menjadi korban.

"Untuk kepentingan nafsu politiknya saja berani dan brutal mengutak-atik peraturan, apalagi nanti saat berkuasa. Maka akan lebih brutal lagi. Karena punya kuasa dan power. Ujungnya rakyat yang menjadi korban," pungkasnya.[] Nur Salamah

PKAD: Putusan MK Terkait Batas Usia Minimal Capres Cawapres di Luar Kepantasan dan Kepatutan Etika Politik

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Data Analisis (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa putusan MK mengenai batas usia minimal capres cawapres sudah di luar kepantasan dan kepatutan etika politik.

“Saya kira ini sudah diluar kepantasan dan kepatutan etika politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Ahad (29/10/2023). 

Hal tersebut, menurutnya, karena proses pengkondisian memang sengaja dilakukan sedemikian rupa, meskipun awalnya itu usulan dari relawan. Namun Jokowi melihat ini adalah sesuatu yang masuk akal. Maka selebihnya tinggal diatur-atur karena kewenangan ada di tangan presiden.

“Ini menunjukkan bagi kita bagaimana kekuasaan itu bisa memuluskan proses pencalonan dari Gibran walaupun dengan cara yang sangat kasar,” bebernya.

Ketakutan

Fajar melihat, sikap Jokowi yang mempengaruhi proses keputusan MK di atas, itu didorong oleh dua hal, apakah dia benar-benar ingin memastikan bahwa apa yang dia rintis itu betul bisa diwujudkan atau bisa juga perspektif ketakutan. 

“Ketakutan apa? Karena banyak kebijakan-kebijakan yang problematik selama Jokowi menjabat. Maka siapapun penggantinya bisa jadi kemudian akan memperkarakan Jokowi,” tegasnya. 

Fajar kemudian mencontohkan kebijakan yang problematik itu dari masa pemerintahan Jokowi ini. Seperti proyek IKN yang menginvestasikan ratusan triliun dan menyeret keuangan negara. Belum lagi kereta cepat Jakarta-Bandung yang jebol juga. Kemudian UU Omnibuslaw, pulau Rempang, dan masih banyak lagi. Yang bisa jadi ketika dia lengser akan diperkarakan dan diangkat kembali di depan pengadilan. “Nah ini yang menurut saya lebih dominan motifnya Jokowi,” terangnya. 

Oleh karena itu, simpul Fajar, masuk akal kalau kemudian menyerahkan itu kepada darah dagingnya sendiri yaitu Gibran. Apalagi hanya Prabowo yang bisa dipercaya oleh Jokowi untuk menggaransi bahwa dia bisa smooth landing, dia bisa berhenti dengan nyaman, bisa tidur dengan nyenyak setelah dia tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI.

“Dan itu bisa dilihat dari sosok Prabowo yang dikawal dengan Gibran yang bisa menguatkan Prabowo,” tandasnya. [] Langgeng Hidayat

Putusan MK tentang Batas Usia Capres Cawapres, Siyasah Institute: Mestinya Berkeadilan dan Tidak Mengakal-akali

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengatakan, semua orang punya hak yang sama berkarir politik, akan tetapi mekanisme yang dipakai mestinya berkeadilan dan tidak mengakal-akali aturan.

"Sebenarnya siapa saja punya hak yang sama berkarir politik, akan tetapi mekanisme yang dipakai mestinya berkeadilan dan tidak mengakal-akali aturan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (28/10/2023).

Iwan mengutip komentar mantan ketua MK, Prof Jimmly Asshiddiqie berjalan dengan akal bulus dan akal fulus. Banyak pihak menduga kuat ada rekayasa terhadap konstitusi dalam hal ini.

"Tapi begitulah demokrasi, hukum dibuat manusia. Jadi manusia juga merasa berhak untuk mengubah aturan sesuai kepentingan politik mereka," cetusnya.

Putusan MK menurut Iwan, itu sudah dugaan kuat demikian. Bukankah hakim Mahkamah Konstitusi saja sudah ada yang begitu kecewa dengan keputusan MK kemarin. Baru kali ini secara terang-terangan ada rezim yang sibuk mempertahankan kekuasaannya dengan mengokohkan dinastinya. 

Ini tandanya, tegasnya, bahwa demokrasi itu memang tidak membutuhkan rakyat. Rakyat hanya dibutuhkan untuk memilih penguasa dan wakil rakyat yang sudah ditentukan oleh parpol dan penguasa. "Setelah mereka berkuasa, rakyat dicampakkan. Aturan mereka buat sekehendak penguasa," simpulnya.

Direktur Siyasah Ini mengungkapkan akan bahaya politik dinasti akan membuka peluang besar abuse power, penyelewengan kekuasaan. "Kata Lord Acton; power attend to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sulit bagi rakyat mengontrol kekuasaan. Ini sudah terjadi di daerah-daerah, berbagai jabatan diduduki orang terdekat, berbagai proyek dikuasai sanak famili. Bahaya," katanya sambil mengingatkan.

Iwan mengulas bahwa dalam Islam siapa saja punya hak untuk berkompetisi dalam kekuasaan. Tapi Islam mengingatkan bahwa bila penunjukkan kekuasaan itu karena kedekatan, bukan karena kelayakan, "Maka itu pengkhianatan terhadap amanah. Tunggu saja kehancurannya," tandasnya.

"Para sahabat dan orang-orang salih menolak kerabat mereka menduduki jabatan dan menikmati harta kekayaan negara. Khalifah Umar menolak pencalonan anaknya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menolak tawaran harta Baitul Mal untuk anak-anaknya," pungkasnya. [] Muhammad Nur

Sabtu, 28 Oktober 2023

Putusan MK Tentang Batas Usia Minimum Capres-Cawapres, IJM : Ini Semua by Design

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait usia minimum pencalonan Capres Cawapres, Direktur IJM (Indonesia Justice Monitor), Agung Wisnuwardana menilai bahwa ini semua by design.

"Ya, jadi saya melihat ini semua by design dan diduga kuat ada peran Jokowi di balik ini semua," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).

Dan tentu ada peran oligarki, lanjutnya, yang menginginkan ada keberlanjutan program-program Jokowi ke depan, yang tentu banyak menguntungkan kalangan oligarki dan para kapitalis .

Ia beranggapan bahwa previllege Jokowi itu sangat kuat sekali. Tentu yang diharapkan dari previllige itu apa, organ-organ atau alat kekuasaan bisa digunakan sebagai sarana untuk memenangkan pemilihan umum. 

"Inikan yang saya katakan sangat berbahaya. Ujungnya proses-proses politik yang demikian ini akan berujung pada otoriatanisme," jelasnya.

Agung menegaskan otoriatanisme itu semakin nyata hari ini, sampai konstitusi dan pengawal konstitusi pun tunduk kepada pihak yang punya otoritas, dalam hal ini Pak Jokowi beserta semua pihak yang menginginkan Gibran maju Cawapres.

"Bagaimana putusan MK yang dikatakan mahkamah garda terdepan penjaga konstitusi pun bisa diobok-obok sedemikian rupa?" tanyanya kesal.

Ini yang sangat disayangkan, dan ujung politik yang demikian, nanti akan membangun sebuah fenomena, kata Lord Acton itu dengan adagium "power tends to corrupt and the absolutely power tends corrupt to absolutely", kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. 

Agung membeberkan di balik ini semua ada isu tentang ekspor ilegal nikel. Ada informasi yang menjerat Luhut Binsar terlibat di dalamnya, dan menantu Presiden terlibat di dalamnya. Ada informasi juga, ekspor ilegal ini masuk ke tangan Jokowi. 

"Nah, ini kan rumit dan proses ini ujungnya nanti kekuasaan itu yang dominan dan cenderung absolut gitu. Dan ini menimbulkan kekuasaan yang otoriter," pungkasnya.[] Nita Savitri

Kamis, 26 Oktober 2023

PAKTA: Putusan MK Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres Bukti Bobroknya Demokrasi

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan bahwa itu bukti bobroknya demokrasi.
 
“Keputusan MK ini menurut saya itu menunjukkan bukti bobroknya demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (25/10/2023).
 
Erwin beralasan, kalaulah MK itu berfungsi untuk meluruskan semua regulasi yang tak sejalan dengan konstitusi, ini justru MK itu sendiri telah merontokkan konstitusi.
 
“Jadi bukan lagi Mahkamah Kontitusi di tengah-tengah masyarakat malah berkembang menjadi mahkamah keluarga. Kenapa mahkamah keluarga? Karena dengan sendirinya klausul ini, ini menjadi karpet merah untuk Gibran,” ulasnya.
 
Erwin menerangkan, yang memutuskan itu adalah paman Gibran, presiden Indonesia itu adalah Jokowi, bapaknya Gibran. “Jadi apapun yang terkait dengan pasal ini senantiasa ini pasti terhubung dengan Gibran. Jadi, ini merupakan karpet merah untuk Gibran,” imbuhnya.
 
Terus Berkuasa
 
Dalam penilaian Erwin, putusan MK ini merupakan bagian dari ambisi Jokowi untuk senantiasa terus berkuasa.
 
“Setelah upaya-upaya yang dia lakukan untuk bertahan tiga periode itu gagal karena banyak hal, akhirnya dia berusaha untuk diteruskan oleh keluarganya. Siapa yang paling mungkin? Yang paling mungkin adalah Gibran. Nah, jadi ini merupakan upaya untuk melanggengkan ambisi Jokowi untuk terus berkuasa,” bebernya.
 
Menurutnya, dinasti politik semacam ini sangat berbahaya bagi rakyat dan negara, karena akan menutup celah bagi orang lain yang jauh lebih kapabel, yang jauh lebih mampu, yang jauh lebih memiliki kapasitas untuk berkuasa.
 
 “Yang berkuasa itu pada akhirnya adalah anaknya penguasa sekarang. Apakah mampu atau tidak itu menjadi nomor sekian. Dia enggak cakap, itu nomor sekian, dia tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki integritas, itu nomer sekian. Akhirnya kondisi negara yang memang sudah amburadul tidak kunjung bisa diperbaiki,” sesalnya.
 
Islam
 
Erwin lalu membandingkannya dengan Islam. “Dalam Islam isu politik dinasti itu sama sekali tidak ada, karena Islam itu paradigma politiknya adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan masyarakat),” ujarnya.
 
Maka dengan sendirinya, ia melanjutkan,siapa di antara orang-orang terbaik dalam Islam yang mampu untuk mengurus urusan masyarakat dengan cara yang baik akan diserahi amanah kepemimpinan.
 
“Apakah bapaknya sudah menjadi khalifah, kemudian anaknya ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan bapaknya bahkan mungkin lebih baik dibanding bapaknya tidak masalah,” tambahnya.
 
Ini, ucapnya, berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi politik itu bukan pengurusan terhadap urusan rakyat tetapi politik bermakna kepentingan.
 
“Kepentingan yang dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan bahkan dengan sendirinya perundang-undangan itu dibuat akan berpihak kepada yang membuat dan juga keluarga yang membuat. Pada akhirnya negeri ini bukan menjadi milik rakyat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab