Tinta Media: Generasi
Tampilkan postingan dengan label Generasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Generasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2024

Makan Bergizi Gratis, untuk Generasi atau Proyek Oligarki?


Tinta Media - Sepintas program MBG (Makan Bergizi Gratis) terlihat sangat membantu generasi, terutama para pelajar yang sedang dalam masa pertumbuhan. Program ini diharapkan dapat mencegah stunting pada anak, meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia, serta meningkatkan ketahanan pangan. Meskipun pada awal kemunculannya program ini memicu polemik, apalagi anggaran awal fantastis sekitar 450 Triliun, tetapi saat ini sudah ditetapkan menjadi 71 Triliun.

Dalam laman Tirto.id (21/10/2024), Ekonom Senior Indef (Institute for Development Economics and Finance) Didik J Rachbini, menyarankan pemerintah agar memberikan pelaksanaan program makan siang gratis ini untuk para usaha mikro, kecil, dan menengah di daerah tersebut. Keterlibatan pemerintah daerah ini akan meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan para 'bandit' atau pihak yang mengambil untung.

Menurut Didik, anggaran jumbo ini memiliki banyak peluang kecurangan mulai dari pengadaan bahan baku hingga pendistribusian. Didik juga mengatakan bahwa program ini dimaksimalkan agar jangan diberikan kepada pengusaha luar (impor). Jika di Indonesia tidak ada bahan yang diperlukan, maka sebaiknya mencari bahan pangan lokal yang bisa dijadikan alternatif.

Kepentingan Abadi dalam Sistem Demokrasi

Bukan berprasangka buruk, hanya saja sudah bukan rahasia umum lagi bahwa sistem sekuler kapitalis ini begitu mengagungkan materi. Setiap tindakan atau kebijakan yang dilakukan pasti memberikan keuntungan bagi pihak terkait. Seperti dalam program MBG ini, yang paling diuntungkan adalah perusahaan besar, sebagai pemasok bahan baku utama. Seperti yang dikatakan Pak Didik di atas, proyek bernilai triliunan ini sangat mungkin ada kecurangan.

Jika memandang permasalahan stunting dan gizi buruk, akan dapat kita temui fakta bahwa persoalan ini muncul dari tingginya angka kemiskinan yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak. Mengapa bisa terjadi? Karena angka pendapatan lebih rendah daripada pengeluaran. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu hal yang paling memengaruhi kesehatan masyarakat.

Jadi, makanan bergizi gratis ini bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan stunting dan gizi buruk. Seharusnya, yang diberantas paling awal adalah kemiskinan. Kemiskinan ini terbentuk dari sulitnya lapangan pekerjaan, mahalnya harga bahan-bahan pokok, kenaikan harga BBM dan Listrik, mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak anak putus sekolah, yang akhirnya menjadi pengangguran atau pengusaha serabutan. Mereka akan kesulitan mencari pekerjaan sebab salah satu syarat utama pekerja adalah memiliki ijazah minimal SMA sederajat.

Bahkan, di awal percobaannya saja sudah banyak kejanggalan yang terlihat, mulai dari anggaran awal sebesar Rp15.000 menjadi Rp7000. Lalu, susu sapi diganti menjadi susu ikan, padahal pakar gizi menyatakan bahwa proses yang panjang dan lama akan mengurangi kadar gizi pada ikan, bahkan lebih baik jika ikan dimasak langsung saja. 

Belum lagi proses produksi ini tentu harus menggunakan alat yang canggih dan modal yang besar, yang pada akhirnya hanya bisa dilakukan perusahaan, bukan oleh para petani, sehingga sudah sangat jelas siapa yang akan diuntungkan nanti.

Kemiskinan ini terjadi akibat kelalaian pemerintah dalam mengurusi rakyat, karena dalam sistem demokrasi, negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, bukan pengurus rakyat. Program MBG ini sudah terlihat ada kepentingan bisnis di baliknya. Program ini seperti industrialisasi dan investasi di bidang pangan, mulai dari rencana impor, penyediaan bahan baku, proses produksi, hingga distribusi sudah terlihat akan dilaksanakan oleh perusahaan raksasa, bukan petani kecil dengan keterbatasan alat.

Islam Menjamin Kemaslahatan Generasi

Dalam Islam pemerintah bertugas sebagai ra'in (pengurus) umat, bukan penguasa. Sehingga, pemerintah tidak akan membuat kebijakan yang menekan atau merugikan rakyat. Negara wajib memenuhi segala kebutuhan dasar masyarakat, baik kebutuhan pokok, ataupun fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Juga memberikan jaminan keamanan dan perlindungan untuk setiap rakyat. Ini semua dilakukan negara tanpa menyulitkan dan memberatkan rakyat.

Dalam kasus pendidikan dan kesehatan, negara memberikannya secara gratis, dan menjamin pelayanan terbaik, memberikan pendidikan yang berbasis akidah Islam agar terbentuk generasi yang gemilang dan mulia. Negara memudahkan rakyat mengakses kebutuhan pokok, seperti harga-harga yang standar dan tidak mahal, juga memberikan sanksi terhadap siapa pun yang berbuat kecurangan.

Makanan bergizi adalah hak setiap warga negara, bukan hanya untuk orang tidak mampu saja. Negara harus mengatur akses makanan bergizi agar harganya tetap terjangkau, serta pendistribusian bisa merata ke seluruh penjuru daerah, dan berupaya agar tidak terjadi kelangkaan. Negara juga harus mengalokasikan anggaran negara dengan tepat dan jujur. Dalam Islam, setiap pemerintah memiliki kesadaran bahwa perbuatan mereka kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat, sehingga mereka takut untuk berbuat sewenang-wenang.

Khatimah

Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur setiap aspek kehidupan, mulai dari kehidupan individu hingga urusan bernegara. Dengan menerapkan aturan yang berasal langsung dari Allah Swt., manusia akan merasakan kemaslahatan, kedamaian, dan kesejahteraan yang tidak akan pernah tercapai dalam sistem lainnya selain Islam. Wallahu 'alam bishawab.



Oleh: Audina Putri 
(Aktivis Dakwah Muslimah)

Rabu, 25 September 2024

Makan Siang Gratis, Benarkah demi Meningkatkan Kualitas Generasi?



Tinta Media - Kemungkinan besar kekisruhan tentang ketahan pangan serta stunting beberapa waktu lalu yang menjadikan pasangan terpilih Prabowo Gibran terinspirasi untuk membuat janji kampanye, apabila terpilih nanti akan membuat progam makan siang dan susu gratis guna memenuhi kebutuhan gizi generasi. 

Dilansir oleh Kompas com 12 September 2024, topik susu ikan ramai dibicarakan bermula saat komoditas tersebut disebut-sebut bisa dijadikan sebagai pengganti atau alternatif susu sapi untuk progam makan siang bergizi gratis untuk generasi.

Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran, Baharuddin Abdullah mengatakan bahwa susu sapi dalam progam makan siang gratis sangat memungkinkan untuk diganti susu ikan. Opsi lainnya yakni menganti susu sapi dengan telur.

Epi Taufik, Ahli ilmu dan teknologi susu dosen Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor menuturkan bahwa susu ikan seharusnya dihasilkan atau berasal dari jenis ikan mamalia (mamae). 

"Saya pikir, susu ikan ini beneran susu ikan lumba-lumba atau susu ikan paus karena mereka jenis ikan mamalia. Akan tetapi, kita tidak mungkin berternak dan memerahnya. Sedangkan susu yang dikenal dalam progam makan siang dan susu ikan gratis ini bukan hasil perahan susu ikan melainkan produk ekstraksi protein ikan yang ditambah bahan bahan lainnya. Mengapa disebut susu ikan? Ya, mungkin karena setelah dicairkan mirip susu," tutur Epi saat dihubungi kompas.com, Selasa, 10/09/2024.

Gembar-gembornya program makan siang yang katanya bergizi ini mengundang sorotan media, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini disebabkan adanya pergantian susu sapi dengan susu ikan.

Dilansir oleh CNN Indonesia, sejumlah media asing menyoroti rencana pemerintah RI terpilih yang mengganti susu sapi dengan susu ikan untuk program makan siang. Media-media tersebut di antaranya koran asal Singapura, The Straits Times, yang melaporkan bahwa susu ikan sudah lama menjadi inovasi pemerintah Indonesia. RI memainkan peran kunci yang meluncurkan susu ikan sebagai upaya melakukan hilirisasi produk perikanan pada Jumat, 13/09/2024.

Bukan hanya koran asal Singapura, tetapi koran asal Australia juga ikut menyoroti menu susu ikan ini. The Sydney lebih parah, bahkan menertawakan ide susu ikan ini sebagai upaya menekan biaya yang membengkak. Media-media asing tersebut juga mempertanyakan soal dampak kesehatan dari susu ikan. Mereka juga mempertanyakan, apakah susu ikan mampu atau tetap bisa mempertahankan kandungan nutrisi seperti yang terkandung dalam susu sapi.

Dilihat dari tabiat pemerintah atau rezim kufur yang selalu mengedepankan kepentingan hawa nafsu, bukan berdasarkan pemikiran sebagai muslim, tentunya setiap program ataupun kebijakan yang diambil tidaklah sepenuh hati untuk kepentingan umat.

Negara dengan sistem demokrasi kapitalisme ini telah berlepas tangan akan tangung jawab. Kalaupun negara ini paling depan membantu menyelesaikan problematika kehidupan rakyat, solusi yang mereka hadirkan sama sekali tidak menyentuh akar masalah, justru keuntungan pribadi yang menjadi target utama. Sekali ada kebijakan, alih-alih memberikan solusi tuntas, yang ada justru menjadikan peluang hadirnya masalah baru.

Umat tidak butuh bantuan tunai dari pemerintah kalau bantuan itu justru menjadikan mereka males berkerja. Umat, khususnya generasi muda bangsa tidak butuh makan siang gratis dari pemerintah, kalau pada akhirnya orang-orang tua mereka juga semakin menderita. 

Generasi muda butuh ilmu, baik pengetahuan umum ataupun agama agar menjadikan ia mampu berpikir secara mendalam, cerdas sesuai syariat agama. Generasi butuh bimbingan yang baik dan benar sesuai tata cara belajar yang dicontohkan oleh Rasulullah, bukan hanya mendapatkan ilmu dunia yang memfokuskan kesenangan diri dan mencari materi-materi dunia semata.
Generasi butuh pemahaman islami agar dapat mengetahui dan memahami dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup di dunia ini,vdan akan ke mana ia setelah kehidupan dunia berakhir.

Generasi butuh asupan ilmu agama yang kaffah agar keimanan dan ketakwaan mereka terpelihara. Dengan ilmu itulah, ia akan selamat dari siksa api neraka.

Hanya negara yang menerapkan syariat Islam sebagai dasar hukum kepengurusan negaranya yang mampu menghadirkan solusi tuntas untuk semua problematika manusia di segala aspek kehidupan. Kesejahteraan, kemakmuran, kesehatan, jaminan sosial, keamanan, kenyamanan, perlindungan serta pelayanan negara terhadap warganya menjadi tangung jawabnya. Bukan hanya umat Islam saja yang menikmati keuntungan apabila syariat Islam ditegakkan, tetapi umat manusia di luar Islam pun akan mendapatkan perlindungan pelayanan yang sama. Mereka pun tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam.

Kepemimpinan negara Islam kaffah telah terbukti berhasil berabad-abad lamanya. Tidakkah umat saat ini rindu kepemimpinan itu kembali?
Tidakkah umat Islam saat ini sadar dengan penerapan sistem buatan manusia menjadikan mereka tak ubahnya seperti hewan, hilangkan rasa malu, rusaknya perilaku?
Tidakkah semua ini menjadikan ia berpikir secara mendalam? 

Umat butuh junna (perisai) sebagi pelindung dari segala pengaruh buruk perusak akidah. Umat butuh penguasa yang taat syariat agar mereka amanah. Umat butuh negara yang mengembalikan suasana kekehidupan yang islami agar tidak melanggar aturan Allah Swt. Wallahu alam bishawaab.






Oleh: Yeni Aryani
Sahabat Tinta Media

Jumat, 06 September 2024

Legalisasi Alat Kontrasepsi, Bukti Gagalnya Negara Mencetak Generasi Cemerlang


Tinta Media - Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Presiden Joko Widodo resmi mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Menurut Pasal 103 PP yang ditandatangani pada Jumat, 26 Juli 2024 tersebut, upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit mencakup pelayanan kesehatan reproduksi, komunikasi, dan informasi. 

Sementara itu, layanan kesehatan reproduksi siswa dan remaja, paling sedikit mencakup deteksi atau skrining penyakit, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi. (bisnis.tempo.co, 01/08/2024) 

Kewajiban penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang salah satunya dilakukan dengan menyediakan alat kontrasepsi untuk anak sekolah dan remaja atas nama seks aman sesungguhnya semakin menjerumuskan generasi pada jurang kehancuran. Kebijakan ini menunjukkan bahwa negara mengizinkan seks bebas. Kebijakan ini juga menunjukkan liberalisasi tingkah laku yang kuat di negara ini. 

Kebijakan ini menggambarkan rusaknya masyarakat serta abainya negara terhadap masa depan generasi, meski katanya aman dari sisi kesehatan. Namun, penggunaan alat kontrasepsi akan menyebabkan generasi berikutnya melakukan perzinaan yang haram menurut Islam. 

Masyarakat seharusnya tidak diam dengan aturan yang memandang remeh dosa besar kepada Allah, sebab ini adalah bentuk kemaksiatan yang terorganisir oleh negara atau kemaksiatan yang sistemis. 

Kebijakan ini seharusnya menunjukkan kepada kita bahwa meskipun mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, undang-undang yang diberlakukan adalah undang-undang sekuler yang mengabaikan undang-undang agama (Islam). Negeri ini sudah terlalu bergantung pada Barat dalam mengatur masyarakatnya, padahal Barat mengemban ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Ideologi ini akan menjauhkan generasi dari jati dirinya sebagai muslim. 

Kerusakan perilaku remaja akan makin dirasakan selama negara menerapkan sistem pendidikan sekuler yang meletakkan kepuasan jasadiyah dan materi sebagai tujuan hidup. Belum lagi masyarakat yang makin kapitalis, tidak memahami standar benar salah atau halal haram di tengah-tengah mereka .

Selain itu, masyarakat cenderung membiarkan perilaku bebas pada generasi karena dianggap sebagai privasi atau masalah pribadi. Akibatnya, masyarakat mengabaikan amar makruf dan nahi mungkar, serta tidak peduli lagi dengan merajalelanya seks bebas di antara generasi. 

Oleh karena itu, selama negara menerapkan sistem kapitalisme, kebijakan berbuat maksiat atas nama liberalisasi akan terus bermunculan. Sebenarnya, sistem kapitalisme adalah masalah utama yang merusak generasi saat ini. 

Akan sangat berbeda ketika remaja atau generasi diatur dengan aturan Islam. Seorang pemimpin dalam negara Islam berperan sebagai ra'in atau pengurus umat dan junnah atau pelindung. Ia bertanggung jawab atas rakyatnya sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud.

"Sesungguhnya Imam atau Khalifah itu perisai, orang-orang akan berperang di belakangnya, mendukung, dan berlindung dari musuh dengan kekuasaannya." 

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim, bahwa Imam itu perisai, yakni seperti pelindung, karena Imam atau Khalifah menghalangi atau mencegah musuh dari mencelakai kaum muslimin dan mencegah antarmanusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam dan manusia di belakangnya.

Kemudian, pemimpin negara harus menggunakan kekuasaannya untuk menjaga rakyat agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam secara kafah. Oleh karena itu, negara harus menghindari penerapan kebijakan yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti melegalkan perzinaan. 

Negara harus memupuk kepribadian Islam dalam diri setiap warga. Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam dengan tujuan menumbuhkan kepribadian Islam. Pengajaran yang diberikan kepada rakyat benar-benar dijauhkan dari paham-paham yang hanya merusak akidah umat, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan lain-lain.

Rakyat akan diberi pandangan yang sahih tentang hidup, bahwasanya kebahagiaan hakiki adalah meraih rida Allah Swt, sehingga generasi hanya akan beramal jika dia memahami amal tersebut tidak bertentangan dengan syariat. 

Lebih dari itu, ia akan menyibukkan diri dengan menjalankan kewajiban dari Allah, menuntut ilmu berupa tsaqafah Islam, dan saintek lainnya. Selain itu, negara akan melakukan edukasi melalui berbagai sarana khusus seperti media. 

Media akan tetap berada di bawah kendali negara. Tayangan yang diizinkan hanyalah yang menanamkan keimanan di masyarakat.

Selain itu, negara menerapkan sistem sanksi Islam yang tegas dan keras untuk mencegah masyarakat melakukan kemaksiatan dan perilaku liberal. Demikianlah penjagaan generasi dan masa depannya yang cemerlang. Generasi cemerlang hanya terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu'alam bishawwab.



Oleh: Amellia Putri
Sahabat Tinta Media

Senin, 01 Juli 2024

Rusaknya Generasi Muda,Hanya Islam Solusinya


Tinta Media - Makin ke sini, generasi muda makin mengerikan. Kehidupan remaja begitu dekat dengan tindak kriminal, seperti tawuran, pemerkosaan, pembunuhan, dan kekerasan. Sedih? Iya. Miris? Jelas. Was-was? Pasti. 

Usia muda yang seharusnya menjadi usia cemerlang dalam prestasi, kebaikan, karakter dan akhlak, justru sangat kontradiktif dengan fakta hari ini.

Seorang siswi tingkat SMP telah menjadi korban pemerkosaan bergilir yang dilakukan oleh 10 orang. Tiga di antaranya adalah pria dewasa, tiga orang masih berstatus pelajar, dan empat pelaku lainnya masih buron. 

Di tempat berbeda, tepatnya di Bekasi, puluhan remaja terlibat tawuran “perang sarung”. Perang sarung tersebut memakan satu korban jiwa. Seorang pelajar berusia 17 tahun meregang nyawa setelah tawuran antarkelompok geng remaja tersebut. 

Terbaru, di Pangkalpinang, Kep. Bangka Belitung, “perang sarung” terjadi di tiga lokasi berbeda dalam semalam. (Muslimah News, 19/03/2024) 
Mengapa generasi kita menjadi seperti ini?

 Pengaruh Sekularisme

Tindak kriminal dan aksi brutal di kalangan remaja bukan hanya sekali, tetapi sudah berulang kali dan setiap tahun terjadi hal yang serupa. Artinya, solusi preventif dan kuratif tidak efektif, apalagi sistem sekularisme masih mendominasi kehidupan. Inilah yang menjadi akar masalah kerusakan generasi. 

Sistem sekularisme telah melahirkan pola hidup liberal, hedonistik, dan permisif. Standar hidup tidak lagi berpegang teguh pada agama, melainkan berorientasi pada pencapaian atau keberhasilan yang bersifat materi. Alhasil, generasi semakin jauh dari ketaatan kepada Penciptanya, yaitu Allah Taala.

Di sisi lain, sistem sekularisme juga memengaruhi pola penyusunan kurikulum. Seperti halnya dalam sistem pendidikan hari ini, output dan tujuan pendidikan tidak sinkron. Dalam salah satu poin Undang-Undang (UU) Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berilmu.

Pertanyaannya, apakah dengan menggunakan model kurikulum sekuler yang diterapkan saat ini, tujuan itu dapat tercapai? Sementara, porsi Islam dalam struktur kurikulum pendidikan sekuler begitu minim. Meski sudah banyak lembaga pendidikan Islam sebagai solusi alternatif, bukan suatu jaminan tidak akan terjadi perilaku negatif generasi. Arus sekularisasi inilah yang tengah dihadapi orang tua, guru, dan lembaga di semua lini kehidupan. 

Pada era keterbukaan informasi saat ini, mereka bisa mengakses apa saja yang ada di dunia digital. Generasi pun semakin tidak terkontrol dan terkendali. Belum lagi adanya tontonan berbalut maksiat atau game bergenre kekerasan. 

Ditambah budaya yang merajalela serta pemikiran asing yang sering menjadi tren dan kiblat di kalangan remaja, jadilah generasi pengikut tanpa bisa menyaring mana yang benar dan mana yang salah sesuai pandangan Islam. Artinya, yang perlu dirombak dan dievaluasi bukan hanya guru, orang tua, atau lembaga, melainkan sistem yang diterapkan, yakni sistem sekuler kapitalisme.

Betul, keluarga merupakan fondasi awal pembentukan karakter dan pendidikan anak, juga benteng pertahanan bagi anak-anak di dalamnya. Namun, keluarga juga adalah benteng yang rapuh. 

Keluarga dalam sistem kapitalisme sulit untuk bisa menjadi keluarga ideal. Ini karena semakin tingginya biaya hidup, semakin memaksa banyak orang tua bekerja keras untuk bertahan. Tidak hanya ayah yang harus mencari nafkah, bahkan para ibu pun harus rela bekerja keras menambal keuangan keluarga. 

Mahalnya kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, juga tuntutan materialisme, sering membuat mereka harus mengedepankan pekerjaan dan mengabaikan anak-anak. Pada akhirnya, terkadang anak lantas diasuh oleh lingkungan yang belum tentu steril dari kerusakan. Oleh karena itu keluarga membutuhkan kekuatan yang mampu menjadi perisai anak-anak di mana pun ia berada, di rumah, sekolah, atau lingkungan masyarakat. Kekuatan besar itu adalah negara.

Dalam sistem kapitalisme, fungsi perlindungan negara ini hampir tidak ada karena negara berfungsi sebagai regulator saja. Negara tidak boleh mengekang kebebasan rakyat. Akibatnya, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan perzinaan mendapat tempat yang lapang di tengah masyarakat. 

Negara tidak boleh melanggar hak asasi, membungkam media perusak moral, menghukum para pelaku hubungan sejenis, merajam para pelaku pemerkosaan anak, dan seterusnya. Negara menjadi mandul, tidak memiliki kekuatan untuk bergerak menghentikan kerusakan masif terhadap generasi.

Upaya-upaya perlindungan anak diserahkan pada masyarakat dan LSM. Sama seperti berbagai aspek kehidupan lain. Ada Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya. 

Upaya yang dilakukan ini tentu tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Pasalnya, peran lembaga-lembaga tersebut hanya “menyapu halaman”, tidak mampu untuk menghilangkan sumber kotoran. Dengan kata lain, mereka hanya melakukan pendampingan korban, melakukan mediasi, rehabilitasi mental, dan sejenisnya, bukan menjauhkan anak dari ancaman dan bahaya yang mengintai mereka.

 Negara Islam Perisai Generasi 

Islam memiliki paradigma berbeda dalam penyelamatan generasi. Dalam negara Islam, yakni Daulah Khilafah. Islam menerapkan seperangkat hukum yang  menyelesaikan semua permasalahan mulai dari akar sampai ke cabang-cabangnya. Hukum ini diterapkan oleh penguasa yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyat, tetapi juga kepada Allah Taala secara langsung.

Pemimpin dalam Islam memiliki dua fungsi. 

Pertama, fungsi pemeliharaan urusan rakyat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى 
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه

Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang kalian pimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Imam Al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna “ar-râ’in” dalam hadis ini, yakni pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada pada dirinya. 

Ar-ri’âyah adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan. Di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas mereka. (Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, 10/61)

Kedua, fungsi  sebagai junnah (perisai). Hal itu sebagaimana pujian yang dituturkan Rasulullah saw. Kepada figur dari seorang penguasa yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta kehormatan dan darah kaum muslim. Nabi Muhammad saw. Bersabda,

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
BBC
“Sungguh, imam (khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Muttafaqun ’alayh)

Negara adalah benteng, yang pada hakikatnya akan melindungi generasi dari kerusakan apa pun. Mekanismenya  dilakukan secara sistemis, meliputi berbagai aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung, antara lain sebagai berikut:

Pertama, pengaturan sistem ekonomi. Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan merata agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya.  

Semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Negara wajib mendistribusikan seluruh hasil kekayaan milik umat untuk kesejahteraan warga negara, baik untuk kebutuhan pokok individu (pangan, papan, dan sandang) maupun kebutuhan dasar kolektif (kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan). Maka, beban keluarga menjadi lebih ringan dan pendidikan anak bisa berlangsung sebagaimana mestinya.

Kedua, pengaturan sistem pendidikan. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam bagi seluruh anak. Dengan itu, terbentuk kepribadian Islam pada anak yang standar berpikir dan bersikapnya adalah Islam. Pembentukan standar Islam inilah yang akan menyelamatkan para pemuda dari gempuran ide-ide Barat yang menyesatkan.

Ketiga, pengaturan sistem sosial. Sistem yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang akan menghasilkan interaksi produktif dan saling menolong dalam membangun umat. Interaksi yang tidak membangun seperti campur baur laki-laki dan perempuan tanpa ada keperluan akan dilarang. 

Perempuan akan selalu diperintahkan untuk menutup aurat, menjaga kesopanan dan juga akan dijauhkan dari eksploitasi seksual. Menikah akan dipermudah.  Aturan-aturan sosial ini akan menjamin naluri seksual yang hanya akan muncul dalam bentuk hubungan suami istri dan menjauhkan dari hubungan di luar itu. Semua bentuk penyimpangan seksual, seperti seks bebas, elgebete dan sebagainya akan ditutup rapat, sehingga terbangun akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat. 

Keempat, pengaturan media massa. Media massa bebas menyampaikan informasi. Namun, mereka harus terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan dalam masyarakat. Media informasi juga berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, ideologi dan aturan sekuler-liberal. 

Dengan cara itu, masyarakat menjadi paham mana yang benar dan yang salah. Mereka pun bisa terhindar dari pemikiran, pemahaman, dan gaya hidup yang tidak islami. 

Media yang memuat kekerasan, ide elgebete, pornografi, pornoaksi, dan segala yang merusak akhlak dan agama, akan dilarang terbit dan akan diberikan sanksi bagi pelaku yang melanggar.

Kelima, pengaturan sistem kontrol sosial. Masyarakat yang bertakwa akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, suasana ketakwaan dibangun di tengah umat melalui berbagai kajian agama secara umum. 

Upaya mewujudkan amar makruf nahi mungkar akan dihidupkan kembali, sehingga orang merasa enggan untuk melakukan perbuatan maksiat. Dalam rangka kontrol sosial ini, negara juga mengangkat kadi hisbah, yaitu hakim yang bertugas mengawasi ketertiban umum. 

Negara memiliki hak untuk menindak berbagai pelanggaran sosial, seperti khalwat laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, perilaku menyimpang di tengah umum,  pelanggaran cara berpakaian dan sebagainya.

Keenam, pengaturan sistem sanksi. Negara menerapkan sistem sanksi  yang telah  ditetapkan oleh Allah Swt.  Sanksi tegas yang menimbulkan efek jera diberlakukan bagi para pelaku pelanggaran hukum syariat. Sistem sanksi ini akan mengakhiri perusakan generasi secara efektif. Berbagai macam pengaturan yang diterapkan oleh negara akan membangun perlindungan yang utuh untuk anak-anak, orang tua, keluarga, dan masyarakat.

Dengan menerapkan mekanisme-mekanisme ini.  Maka liberalisme, kapitalisme, dan ide perusak lainnya tidak akan mampu menyentuh anak-anak. Mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi muslim yang tangguh, pejuang dan pembangun, serta  menjadi mutiara-mutiara di tengah umat dalam lindungan negara. 

Negaralah yang mampu melakukan fungsi besar itu, memiliki ideologi yang dipegang erat, yang terpancar dari suatu akidah yang tidak akan tergoyahkan. Negara itu adalah Negara Islam.

Membangun Kesadaran Umat 

Menyelamatkan generasi yang sudah tergerus kerusakan tidak akan bisa dilakukan oleh individu saja ataupun institusi tertentu, melainkan harus menjadi gerakan bersama seluruh umat. Negara adalah motor dan payungnya. Ketika negara Islam tersebut belum terbentuk, maka kuncinya berada di tangan umat. Caranya?

Pertama, menciptakan opini publik yang terbangun dari kesadaran umum bahwa Islam adalah solusi bagi seluruh persoalan, khususnya upaya penyelamatan generasi. Kedua, melakukan pergolakan pemikiran dan membuka keburukan ide-ide Barat yang digunakan untuk merusak para generasi. Menjelaskan kerusakan dan bahayanya terhadap kehidupan seluruh manusia. Mengungkapkan rancangan asing yang didesain untuk merusak pemikiran generasi muda, seperti moderasi beragama rancangan RAND Corp, pembajakan potensi generasi muda untuk kepentingan kapitalis melalui jalur pendidikan. 

Upaya-upaya ini dilakukan menggunakan berbagai cara, langsung maupun menggunakan media massa, media sosial, offline  maupun online, yang memungkinkan untuk menjangkau umat seluas-luasnya. Tentunya semua ini  membutuhkan komitmen yang kuat dari para pengemban dakwah Islam, dan juga penyusunan strategi yang tepat serta kerja keras. Hanya pada generasi mudalah kita berharap akan lahirnya generasi Muhammad al-Fatih baru yang akan membangkitkan umat dan mengantarkan Islam pada puncak kegemilangannya. Waallahualam Bishawab.


Oleh: Ummi Yati
Sahabat Tinta Media

Selasa, 11 Juni 2024

Judi Online Menyasar Generasi


Tinta Media - Judi online semakin meresahkan. Tidak hanya menjerat orang dewasa, tetapi juga generasi belia. Sejauh ini, pencegahan yang dilakukan oleh penguasa terkait judi online masih belum membuahkan hasil. Padahal, kerugian yang ditimbulkan dari judi online tidak ringan.

Judi online sungguh merusak generasi dengan cara-cara instan dan membuat mereka berangan-angan. Ini berdampak pada pola pikir dan pola sikap mereka.

Menurut Kawiyan, Komisioner KPAI Sub Klaster Anak Korban Cybercrime, ada akibat yang cukup mengerikan jika anak-anak sudah terpapar judi online, apalagi sampai kecanduan. 

Kurangnya pengawasan keluarga menjadikan anak bebas mengakses aplikasi dan link apa pun sehingga anak terpapar, bahkan sampai kecanduan judi online. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan pihak keluarga. Ini karena pengaruh ekonomi yang menyibukkan mereka di luar sehingga pengawasan pun dilakukan seadanya.

Tidak adanya jaminan hidup yang memadai membuat masyarakat kelimpungan untuk memenuhi kebutuhannya di tengah melonjaknya harga-harga dan semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perekonomian yang diterapkan saat ini tidak mampu memberikan jaminan kebutuhan hidup.

Liberalisme yang digaungkan justru menjadikan sistem kehidupan berada dalam keambiguan dan saling berbenturan sehingga menimbulkan banyak persoalan akibat kebijakan yang ditetapkan. Maka, muncullah berbagai solusi praktis yang tak menyelesaikan masalah, tetapi justru membuat masyarakat tergiur dengan cara instan untuk menyelesaikan, seperti judi online.

Hal tersebut bagaikan angin segar bagi masyarakat yang amat membutuhkan sokongan dana, walaupun tempat-tempat dan aplikasi-aplikasi tersebut tidak memberikan jaminan secara real. Namun, masyarakat menganggap masih ada kemungkinan yang bisa diharapkan. Masalah ini juga menjadi salah satu problem negara. 

Adapun penanganan yang ditawarkan, yakni dengan melakukan pemblokiran 5000 situs judi online. Namun, itu saja tidak cukup karena pelaku atau penyedia permainan sangat banyak. Karena itu, negara membutuhkan komitmen kuat dan peralatan hebat.

Ketidakmampuan dalam menangani maslah judi online dengan cara pemblokiran menunjukkan bahwa negara kurang serius dalam menyelesaikan permasalahan yang menjerat rakyat secara tak kasat mata. Penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat sementara. 

Dari sini, terbentuklah mindset yang gagal paham mengenai hak dan kewajiban. Selain itu, negara juga gagal dalam sistem pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi berkepribadian Islam. 

Inilah hasil yang didapatkan dari liberalisasi karena kebebasan tidak dibendung dengan akidah menjadikan manusia bertindak semena-mena dan hanya mementingkan kepentingan pribadi asalkan hal tersebut mendatangkan untung dan manfaat baginya.
Halal dan haram bukan patokan untuk menuai hasil baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan masyarakatnya. Ini membuktikan bahwa semakin merosotnya standar hidup masyarakat tanpa takaran yang jelas sehingga tercipta darinya masyarakat yang mudah berputus asa dan menghalalkan segala cara. 

Berbeda dengan Islam yang mengharamkan jalan pintas seperti perjudian. Negara Islam tak mungkin menyediakan fasilitas yang mengandung unsur keharaman. Namun, pemerintah akan memberikan berbagai fasilitas berupa jaminan pemenuhan kebutuhan hidup, keamanan, kesehatan, pendidikan, serta berbagai bentuk bantuan lain tanpa memberatkan masyarakat. 

Hal itu dilakukan dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan mengelola segala sumber pemasukan melalui pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan harta zakat, fa'i, dan kharaj. Semua hasil pengelolaan tersebut akan didistribusikan demi kepentingan masyarakat.

Islam memiliki solusi tuntas untuk mencegah terjadinya judi online, melalaui peran negara dalam membatasi akses media yang menghantarkan pada keharaman, baik yang berkaitan dengan perjudian, penipuan, atau bahkan yang berkaitan dengan media yang mengandung unsur pornografi. Negara akan menggantinya dengan media-media yang mendidik, baik dari segi keimanan, sampai perkembangan sains dan teknologi yang membawa kemaslahatan bersama.

Inilah peran negara dalam menjaga kemurnian berpikir masyarakat. Negara akan melakukan penyaringan media secara ketat sehingga prospeknya bukan untuk mendapatkan untung belaka, melainkan dikembalikan pada pemenuhan peran dan tanggung jawab negara sebagai pelaksana aturan sesuai dengan standar Islam.
Ketaatan yang terbentuk akan tercipta bukan hanya kepada pihak yang berwawasan, melainkan juga kepada pihak yang dipimpin dan yang memimpin. Wallahualam.


Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd
(Aktivis Muslimah)

Minggu, 09 Juni 2024

Hanya dengan Sistem Islam, Generasi Menganggur Tak Tumbuh Subur



Tinta Media - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Ternyata, anak muda yang paling banyak masuk dalam kategori NEET justru ada di daerah perkotaan, yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. Bahkan, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan, banyak dari pengangguran berusia muda tercatat baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi (kompas.com, 24/5/2024).

Ironis bukan? Anak muda yang menganggur memiliki tingkat pendidikan formal selama 12 tahun sejak SD hingga SMK. Padahal, di SMK mereka diajari untuk siap bekerja dengan keahlian tertentu, seperti mesin otomotif, rekayasa perangkat lunak, keperawatan, akuntansi, tata boga, pelayaran, farmasi, dan sebagainya. Namun, tetap saja pada faktanya para lulusan SMK ini banyak yang menganggur. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan SMK yang siap menghasilkan tenaga kerja terampil untuk ditempatkan di dunia kerja. Nyatanya, terdapat gap lebar antara SMK dan industri. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka pengangguran pada Gen Z, antara lain sempitnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. 

Faktor lainnya yang dilansir dari laman kumparan.com, (20/5/2024), menurut Menaker Ida Fauziyah, banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Ini terjadi pada lulusan SMA/SMK yang menyumbang jumlah tertinggi dalam angka pengangguran usia muda.

Sulitnya lapangan pekerjaan  saat ini pasti akan berdampak besar pada generasi muda. Mereka dituntut produktif, tetapi sarana prasarana dalam sistem kapitalis ini tak berpihak pada mereka. Persaingan dengan tenaga kerja asing tak pelak harus dihadapi. Untuk berwirausaha pun membutuhkan modal yang tak sedikit, ditambah lagi turunnya daya beli masyarakat karena perekonomian yang semakin sulit. 

Banyaknya anak muda yang menganggur bukan semata karena faktor diri Gen Z yang kurang tangguh dalam mencari kerja, tetapi faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. Negara telah gagal menyiapkan anak muda ini untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. 

Harusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal hidup dan mampu membentuk mental yang tangguh sehingga tidak mudah menyerah meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Selain itu, negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. 

Proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah yang dibanggakan pemerintah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, hasilnya minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dibuat melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. 

Bahkan, pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak negeri. Jika dilihat, negeri ini kaya akan sumber daya alam. Semestinya negara bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Mirisnya, kekayaan alam justru dikuasai swasta dan asing dengan ekonomi liberalnya. 

Kenyataan di atas tak akan ditemui dan tak akan terjadi di dalam sistem Islam. Sistem Islam kaffah yang menerapkan Al-Qur’an dan Sunah menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga tidak boleh dimiliki swasta (diswastanisasi). Hasil dari kekayaan alam ini digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Salah satunya adalah untuk mempersiapkan pemuda menjadi generasi hebat dan unggul, bukan generasi menganggur. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan negara untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain: 

Pertama, Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan para teknokrat dan saintis yang berkepribadian Islam. Biaya pendidikan dijamin oleh negara sehingga rakyat bisa menikmati dengan cuma-cuma. 

Kedua, mendirikan sejumlah industri yang berhubungan dengan harta kekayaan milik umum. Banyak dari kalangan masyarakat, termasuk pemuda yang diserap untuk bekerja di sejumlah industri. SDM yang unggul akan mengelola kekayaan milik umum sesuai aturan Islam dan kemaslahatan umum.

Ketiga, mencetak generasi sebagai pemimpin atau negarawan, bukan pengangguran. Departemen Pendidikan akan menyelenggarakan pendidikan di perguruan tinggi yang mampu mencetak para ulama, mujtahid, pemikir, pakar, dan pemimpin. 

Dari sini jelas, hanya dengan sistem Islamlah semua itu akan terwujud. Generasi muda menganggur pun tak akan tumbuh subur.


Oleh: Eva Ummu Naira
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Senin, 13 Mei 2024

Mewujudkan Generasi Berkualitas dengan Kurikulum Merdeka Belajar, Jauh Panggang dari Api



Tinta Media - Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun ini, 2024, pemerintah menetapkan tema “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” (nasional.kompas.com, 25/04/2024). Dalam rangka menunjukkan perwujudan kebebasan Merdeka Belajar, Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media berkolaborasi dengan Titimangsa dan SMKN 2 Kasihan menggelar konser musikal bertajuk “Memeluk Mimpi-Mimpi: Merdeka Belajar, Merdeka Mencintai” pada Kamis, 25 April 2024 di Jakarta (liputan6.com, 26/04/2024). 

Sayangnya, gegap gempita perayaan Hari Pendidikan Nasional tidak diiringi dengan baiknya kondisi pendidikan yang ada di lapangan. Berbagai masalah di dunia pendidikan terus bermunculan dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, bahkan semakin hari semakin miris dan mengerikan. 

Sebut saja kasus bullying di kalangan pelajar yang hingga saat ini masih terus terjadi (tribunnwes.com, 8/03/2024). 
Dari sisi kualitas akademis, tidak ada prestasi signifikan yang diraih oleh Kurikulum Merdeka Belajar yang tengah diimplementasikan hari ini. 

Menurut Direktur Eksekutif Bajik, Dhita Puti Sarasvati, Kurikulum Merdeka Belajar belum layak menjadi kurikulum nasional karena bagian esensinya belum ada, yakni, kerangka kurikulumnya (detik.com, 26/02/2024).

Alih-alih menjadi solusi bagi dunia pendidikan, dari awal kemunculannya, kurikulum Merdeka Belajar justru semakin mengaburkan arah maupun indikator-indikator keberhasilan pendidikan. 

Praktisi pendidikan di berbagai tingkat mempertanyakan pelaksanaan kurikulum ini. Banyak konsep yang tidak relevan untuk diterapkan di lapang bahkan mempersulit guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran sekaligus menguras habis energi mereka pada hal-hal remeh.  

Belum lagi perubahan materi pelajaran dengan alasan dangkal, bahkan tanpa dasar. Sebut saja konsep materi Khilafah dan Jihad yang awalnya ada di dalam mata pelajaran Fiqih yang kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam tanpa alasan yang jelas. 

Fakta ini menunjukkan betapa buruk dab tidak jelasnya kurikulum ini. Hal ini juga mengesankan bahwa pendidikan kita memang disetir oleh orang-orang tidak berilmu dan penuh kepentingan. 

Fakta yang tak kalah buruk juga terjadi pada pendidikan tinggi. Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar di perguruan tinggi mengharuskan mataku kuah berorientasi pada peningkatan kompetensi kerja yang harus dimiliki oleh lulusan mereka tanpa memedulikan kebaikan moral dan mental. 

Mahasiswa terus dimotivasi untuk berkompetisi mendapatkan pekerjaan di perusahaan, berwirausaha untuk mendapatkan keuntungan materi yang banyak, dan seterusnya dan seterusnya. Sebagai akibat, peserta didik hanya berpikir tentang materi, materi, dan materi. Mereka tidak peduli dengan lingkungan sosial, etika, moral, dan hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan berupa materi. 

Lantas, apa yang akan terjadi jika satu-satunya tujuan pendidikan hanyalah sebatas nilai-nilai materi? Berbagai kerusakan dapat dengan gampang kita temukan. Produk pendidikan yang mengukur semua dengan materi juga akan menghargai semua hal dengan materi. 

Maka, terciptalah kehidupan sosial yang memungkinkan bagi seorang guru dengan gaji kecil tidak layak dihormati, meskipun jasa mereka sangat besar dalam mendidik generasi. Sebaliknya, orang-orang kaya akan dijunjung tinggi, dihormati dan dielu-elukan, meskipun mereka mendapatkan harta dengan cara yang tidak benar semacam korupsi, menipu, menguasai harta masyarakat, dan berbagai cara licik lain. 

Selain itu, generasi dengan didikan yang berorientasi materi juga memiliki mental yang sangat lemah dan niretika. Ketika materi tidak berhasil didapatkan dalam hidup, mereka akan sangat mudah merasa tertekan, menganggap diri tak berguna, rendah, dan tidak layak mendapatkan penghargaan dari masyarakat sekitarnya. 

Akibatnya, tindak kriminal terjadi di mana-mana. Para pelaku bullying sering kali adalah mereka yang secara mentalitas tidak terdidik dengan baik. Berbagai kasus perzinaan remaja yang menjual diri mereka untuk mendapatkan materi secara instan, dan berbagai kasus yang hari ini bertebaran di mana-mana. 

Dengan fakta seperti ini, Kurikulum Merdeka jelas menguatkan sekularisme dan kapitalisme dalam kehidupan masyarakat. Generasi semakin terkungkung dengan konsep yang salah tentang tujuan mereka dalam menuntut ilmu, bahkan tujuan hidup mereka. 

Mereka gagal memahami dengan benar hakikat kehidupan. Pertanyaannya, masihkah perlu untuk meneruskan kurikulum yang buruk ini jika tujuan kita mendidik generasi adalah menjadikan kualitas mereka unggul dalam segala aspek? Jawabannya sudah jelas, tentu saja tidak. 

Generasi unggul hanya akan lahir dari kurikulum pendidikan yang valid dan teruji hasilnya. Hingga hari ini, belum pernah ada kurikulum pendidikan mana pun yang mampu menandingi keandalan kurikulum pendidikan yang diterapkan dalam sistem Islam. 

Sistem Pendidikan Islam telah menghasilkan sangat banyak ilmuwan yang tidak hanya unggul dalam sains dan teknologi, tetapi juga saleh dan faqih dalam agama mereka. 

Al Khawarizmi, Ibu Rusyd, Ibnu Sina, Mariam al Asturlabi, Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayubi dan banyak lagi yang lain, siapa yang tidak mengenal nama-nama ini? Mereka adalah generasi unggul hasil sistem pendidikan Islam. 

Sistem pendidikan Islam memastikan terbentuknya generasi berkualitas, beriman, bertakwa, terampil, dan berjiwa pemimpin serta menjadi problem solver bagi umat. 

Kurikulum dalam pendidikan Islam mengarahkan peserta didik memahami hakikat dan tujuan hidup. Jelasnya, bahwasanya tujuan hidup mereka adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka, mereka juga akan berbuat yang terbaik untuk mencapai berbagai prestasi demi memuliakan agama Allah dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh: Fatmawati 
(Aktivis Dakwah)

Jumat, 26 April 2024

Game Online Mengancam Generasi, Bukti Negara Abai


Tinta Media - Kemajuan teknologi modern yang begitu pesat, seperti televisi, internet, alat-alat komunikasi, dan barang-barang mewah berteknologi canggih yang menawarkan berbagai aplikasi hiburan bagi orang tua, muda, bahkan anak-anak. Termasuk di dalamnya adalah game online yang mewabah, terutama di kalangan generasi muda saat ini. Awalnya, game online ini hanya memberikan hiburan. Pada akhirnya, game online menjadi momok yang menakutkan karena banyak anak yang kecanduan, hingga merusak moral dan sarafnya.

Hal ini pula yang mendasari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir game online yang mengandung unsur kekerasan dan seksualitas atau pornografi.

Menkominfo, Budi Arie Setiadi, siap memblokir atau men-takedown game online yang terbukti bermuatan kekerasan dan pornografi. Budi Arie juga meminta kerja sama orang tua dan pihak sekolah untuk melaporkan game online yang memberi dampak buruk.

Perkembangan teknologi tentu harus diiringi dengan kemajuan berpikir manusia. Namun sayangnya, kemajuan teknologi ini malah membawa dampak buruk, seperti game online yang mewabah di kalangan generasi muda. Selain itu, game online ini juga disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Menurut KPAI banyak tindak kejahatan yang terjadi akibat dampak dari game online, seperti pembunuhan, perdagangan orang, pornografi anak, dan banyak lagi kasus kriminal lainnya. Pengaruh buruk game online ini begitu tampak. Namun, sepertinya negara tidak serius menanganinya hingga berdampak buruk ini.

Buktinya, di tengah ancaman pengaruh buruk game online, negara malah ingin mengembangkan industri game online dengan dalih untuk meningkatkan devisa. Artinya, sama saja negara dengan sengaja membiarkan anak-anak penerus bangsa ini kecanduan, sehingga moral dan sarafnya pun akan rusak. Apakah generasi seperti ini yang diinginkan negara untuk membangun bangsa?

Di sisi lain, kemajuan teknologi begitu penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan teknologi canggih, kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif, variatif juga menyenangkan. Kemampuan literasi digital pun menjadi kompetensi wajib bagi guru dan siswanya.

Namun, kemajuan teknologi ini juga berpotensi lain. Penyalahgunaan perangkat digital ini oleh kaum pelajar tak bisa terhindarkan. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan adanya warung-warung internet yang bertebaran, ikut andil dalam persoalan ini.

Mirisnya, negara sebagai pengurus rakyat telah abai. Tidak adanya tindakan tegas dari negara terhadap peredaran game online berkonten kekerasan dan pornografi telah menambah deretan kasus lainnya. Maka dari itu, tidak cukup hanya men-takedown atau memblokir saja.

Inilah bukti ketika sistem sekularisme kapitalisme diterapkan. Negara mencetak masyarakat yang hanya berorientasi pada kesenangan duniawi saja, sekalipun hal itu tidak berguna dan membahayakan. Negara bergandengan tangan dengan para kapital menjadikan rakyat sebagai pasar bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan besar.

Para pengusaha provider internet dan para pengembang game online pun memperoleh keuntungan dari pasar ini. Otomatis, pajak yang didapatkan negara pun luar biasa. Oleh karena itu, permintaan dan desakan untuk memblokir game online ini sangat mustahil terealisasi dalam sistem sekuler kapitalisme.

Persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan cara mengubah aturan. Penerapan sistem Islam oleh negara adalah satu-satunya solusi yang hakiki. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk menggunakan teknologi digital. Jauh sebelum itu, Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan hebat yang menjadi kiblat para ilmuwan masa kini.

Islam memandang teknologi merupakan bagian dari ayat-ayat Allah yang harus digali dan dicari kebenarannya. Allah Swt. berfirman, 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang berakal (yaitu) orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau. Maka, perihalalah kami dari siksa neraka " (TQS.Al.Imran ayat 190-191).

Negara yang menerapkan sistem Islam (khilafah) akan mencetak generasi berkualitas. Sejarah mencatat bahwa hampir 14 abad khilafah mampu menyejahterakan rakyat. Kejayaan ini akibat dari penerapan sistem ekonomi Islam sehingga hasil dari kekayaan alam yang melimpah mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat. 

Khilafah tidak akan mencari sumber pendapatan lain yang akan menimbulkan kemudaratan bagi rakyat, seperti mengizinkan pihak asing mengelola SDA atau mengambil keuntungan dari kemajuan teknologi yang membahayakan rakyat. Hal tersebut tidak akan pernah terjadi dalam Islam.

Selain itu, khilafah akan bertanggung jawab penuh atas pembentukan generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkepribadian Islam, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sehingga generasi yang lahir memiliki akidah yang kuat, tidak mudah terpengaruh pemahaman asing, mampu mengontrol diri dalam beraktivitas, dan pastinya setiap amal perbuatannya sesuai hukum syara'. 

Artinya, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, akan terbentuk masyarakat yang memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam.

Oleh karena itu, khilafah akan memberikan fasilitas terbaiknya, termasuk menciptakan teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat, terkhusus para pelajar. Masyarakat akan disuguhi aplikasi-aplikasi yang tidak melanggar syariat, tetapi aplikasi yang justru meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka.

Sangat berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, aplikasi-aplikasi yang disuguhkan banyak yang memberikan dampak buruk. Dari sisi ini saja sudah sangat berbeda. Penggunaan teknologi di tangan khilafah memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Andaipun terjadi pelanggar dalam menggunakan teknologi, maka akan dikenakan sanksi berupa takzir oleh hakim sesuai kadar kesalahannya. 

Inilah bukti betapa pedulinya khilafah terhadap generasi masa depan. Hanya dengan Islam, teknologi digital mampu memberikan manfaat, karena diatur oleh hukum syara'. Wallahualam.


Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Senin, 08 April 2024

Kerusakan Moral Generasi Buah Sistem Pendidikan Sekuler


Tinta Media - Moral generasi kian menjadi-jadi dan kian miris, marak pelajar dan anak-anak di bawah umur menjadi pelaku beragam kejahatan. Di Lampung Utara seorang pelajar SMP berinisial N (15) di perkosa 10 pria. Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubug pada Sabtu (17/2/2024), adapun pelaku 6 orang di antaranya masih di bawah umur. Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Lampung Komisaris Besar (Kombes) Umi Fadilah pada Senin (11/3/2024) mengungkapkan;

“Korban disekap selama 3 hari tanpa diberi makan. Selama penyekapan itu, korban mengalami kekerasan seksual,” katanya (Kompas.com)

Di Kabupaten Bekasi perang sarung sesama pelajar memakan korban, satu orang berinisial AA (17) tewas dalam tawuran perang sarung di jalan arteri Tol Cibitung, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Tawuran yang terjadi pada pukul 00.30 WIB, Jumat (15/30). Kapolsek Cikarang Barat Kompol Gurnald Patiran mengungkapkan bermula perang sarung itu hari Rabu tanggal 13 Maret 2024 sekitar pukul 22.38 WIB korban menghubungi NIR melalui WhatsApp mengajak untuk perang sarung. Pelaku MAA membawa kunci shock berbentuk T lalu ikut berangkat bersama NIR dan kelompoknya. Dalam perang sarung tersebut MAA mengayunkan kunci shock itu ke kepala korban sebanyak 3 kali. Hingga mengakibatkan luka di kepala korban dan terkapar tidak sadarkan diri. Pelaku dan kelompoknya pun melarikan diri dan meninggalkan korban. Korban sempat dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong. (Sumber CNN Indonesia.com) 

Pastinya masih banyak lagi kasus serupa, generasi menjadi pelaku kejahatan dan kekerasan. Dan tak jarang dengan usia yang masih belia. Pemuda merupakan generasi penerus peradaban. Maka pemuda seharusnya dijaga dan dibina sehingga mereka memiliki pola pikir dan perilaku yang benar. Namun, sayangnya generasi saat ini mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga maraknya pelajar dan anak di bawah umur menjadi pelaku kejahatan dan kekerasan mencerminkan rusaknya generasi. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan. Kurikulum pendidikan saat ini berasaskan pada sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Ketika agama dipisahkan dalam kehidupan maka akan menimbulkan kekacauan. Disisi lain menjadi bukti bahwa kurikulum pendidikan gagal mencetak generasi yang berkualitas. Generasi di didik hanya cerdas dalam ilmu akademik tapi minim dalam keimanan dan akhlak. Hingga melahirkan generasi yang memiliki moral rusak meskipun masih di bawah umur. Mereka menjadi pelaku kekerasan seperti pemerkosa atau pelaku tawuran. Hal itu karena generasi tidak ada rasa takut akan dosa dan perbuatan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Selain itu, lingkungan yang rusak juga berpengaruh dalam membentuk kepribadian generasi, perilaku individualis dan liberal menjadi bagian pendorong generasi berbuat kemaksiatan sebab tidak ada saling menasihati antar sesama, membiarkan dengan dalih kebebasan berperilaku. Termasuk juga maraknya tayangan dan konten kekerasan seksual menjadi bahan konsumsi generasi, konten-konten yang tidak mengedukasi, kekerasan dan lain-lain menjadi konsumsi generasi sehari-hari. Maka wajar jika pemuda menjadi generasi yang rusak dan melakukan kerusakan, serta menjadi pelaku kekerasan. Hal demikian sangat berbeda ketika diatur dengan sistem Islam.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak memisahkan aturan Allah swt., dari kehidupan, Islam mewajibkan agar semua hal dikaitkan dengan aturan Allah swt., Islam memandang generasi sebagai aset peradaban. Islam memerintahkan negara berperan untuk menjaga, dan mendidik generasi menjadi pemuda yang berkualitas. 

Hal itu, melalui sistem pendidikan yang diterapkan. Dengan pendidikan seseorang akan memiliki ilmu dan dapat berpikir untuk memilih antara yang baik dan tidak. Dengan ilmu generasi akan bersemangat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Islam memiliki sistem pendidikan yang kuat karena berasaskan pada akidah Islam, sehingga standar mereka bukan lagi kepuasan dunia tapi Ridha Allah. Hal demikian akan membuat mereka bersemangat untuk melakukan banyak kebaikan. Islam menentukan metode pengajaran secara talqiyan fikriyan. Dengan metode pengajaran talkiyan fikriyan semua ilmu akan di arahkan untuk membangun pemahaman generasi tentang kehidupan sekaligus menjadi landasan sikap dan perilaku dan semua ilmu diarahkan untuk meningkatkan tarap berpikir generasi sehingga generasi akan mampu untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Dengan metode talqiyah fiqriyan akan mampu mencetak generasi yang beriman dan bertaqwa.

Tidak hanya itu, negara juga akan menutup konten-konten porno, kekerasan dan lainnya, Adapun konten yang dibolehkan hanyalah konten seputar edukasi syariat Islam, berita sehari-hari, perkembangan sains, dan teknologi, kewibawaan khilafah dimata dunia, maupun kehebatan pasukan khilafah dalam berjihad dengan demikian di benak generasi akan diliputi kebaikan-kebaikan karena mereka berada dalam suasana keimanan dan ketaatan (sumber MMC)

Dengan dukungan penerapan Islam dalam berbagai sistem kehidupan, maka akan membentuk generasi yang berkepribadian Islam dan jauh dari kata “menjadi pelaku” kekerasan ataupun kejahatan. Allahu A’lam bishawab.[]

Oleh: Haniah
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 06 April 2024

Penjagaan Generasi dalam Islam


Tinta Media - Sungguh menyesakkan dada mendengar berita ada seorang anak perempuan berusia 12 tahun menjadi korban perdagangan orang. Anak perempuan yang masih kelas 6 SD di Kota Bandung tersebut telah dijual ke 22 pria hidung belang oleh tiga tersangka. Dua di antaranya sudah ditangkap polisi. Para tersangka menawarkan dan menjual korban kepada laki-laki hidung belang melalui aplikasi MiChat.

Awal kemalangan yang dialami korban bermula ketika ia dilaporkan hilang pada 23 November 2023. Upaya pencarian baru membuahkan hasil setelah tiga pekan sejak orang tuanya melaporkan pada 9 Desember 2023. Namun sungguh mengenaskan, ketika ditemukan gadis itu telah menjadi korban perdagangan orang. Ia ditemukan di sebuah apartemen di Kota Bandung. Dua pria dewasa ikut diamankan dan ditengarai telah menyetubuhinya.

Sebagai seorang ibu, tak sanggup rasanya melihat kejadian tersebut dialami oleh gadis cilik yang bahkan bisa jadi belum baligh. Sangat menyayat hati dan menyedihkan! Bisa dibayangkan bagaimana masa depannya kelak. Belum lagi rusaknya kondisi fisik dan kejiwaan yang dialami oleh gadis cilik tersebut. Bagaimana ia kelak merangkai asa dan cita-citanya?

Melihat  apa yang sudah dialami gadis cilik tersebut, maka harus dipastikan ia mendapat perawatan medis yang mencukupi. Selain itu, pendampingan ahli semacam psikolog atau psikiater juga sangat diperlukan untuk menyembuhkan luka batinnya. Tenaga ahli yang mendampingi sebisa mungkin memastikan mental si gadis mampu untuk menghadapi tekanan sosial. Dari penyembuhan luka batin ini juga diharapkan akan membantunya merangkai masa depan yang masih terbentang panjang. Harapannya, minimal dia bisa kembali beraktivitas di Masyarakat, bisa bersekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya.

Peran Keluarga

Kita tentu berharap generasi penerus kita adalah generasi yang terjaga dan selamat dari tindak kejahatan. Keluarga sebagai tempat awal hidupnya mempunyai peran yang cukup penting dalam pembentukan generasi. 

Orang tua, baik ayah maupun ibu harus bekerja sama dalam mendidik putra-putrinya. Ayah sebagai kepala keluarga tidak boleh berlepas tangan dan hanya memfokuskan untuk mencari nafkah. Bisa diibaratkan ayah adalah nahkoda kapal yang mengarahkan akan ke mana kapal ini berlayar. 

Selain membimbing istrinya, ibu dari anak-anaknya, ayah juga ikut terjun langsung membina anak-anaknya. Keterlibatan ayah dengan karakter kepemimpinan dan sifat tegasnya akan menjadikan anak-anak mempunyai sikap mandiri dan kepercayaan diri yang baik.

Berbicara peran ibu, semua pasti sepakat bahwa ibu mempunyai peranan yang sangat besar. Ibu sebagai pendidik pertama dan utama harus mempunyai bekal yang cukup untuk mendidik anak-anaknya. Ibu sebagai pendidik generasi sangat dibutuhkan dalam mendidik putra-putrinya dengan bekal akidah dan tsaqafah Islam yang mencukupi. Dengan bekal yang diberikan ini, diharapkan generasi memiliki kerangka pemahaman yang memadai sehingga dia bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dia tidak akan mudah tergerus dalam arus sekularisme dan hedonisme. Generasi yang dibentuk juga akan memiliki jati diri Islam yang kuat serta berkepribadian Islam.

Peran Masyarakat dan Negara

Keluarga sebagai penjaga awal generasi tidak bisa berjalan sendiri. Penjagaan generasi juga perlu didukung oleh lingkungan dan negara. Lingkungan, dalam hal ini masyarakat bisa menjaga generasi dengan melakukan amar makruf nahi munkar. Masyarakat dibiasakan saling mengajak kepada kebaikan dan mencegah jika ada kemungkaran sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah saw. dalam hadis yang artinya:

 “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Lalu, bagaimana jika terjadi kemungkaran? Di sinilah peran negara sangat dibutuhkan, yaitu negara yang menerapkan Islam secara kaffah atau negara khilafah. Negara khilafah ini akan memberi sanksi kepada pelaku kemaksiatan dengan sanksi sesuai hukum Islam. Pada kasus di atas, para pelaku perdagangan anak akan dihukum sesuai jenis kemaksiatan yang dilakukan.

Khilafah juga akan melakukan pencegahan terjadinya kemaksiatan. Dia akan memastikan keamanan dan kehormatan perempuan tetap terjaga ketika menjalankan aktivitas keseharian. Semua hal yang mengarah kepada kemaksiatan akan dihilangkan. Tidak hanya perempuan, semua individu warga negara pun akan dijaga keselamatannya.

“Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]


Oleh: Erlina YD  
(Tim Editor Tinta Media)

Minggu, 31 Maret 2024

Kerusakan Moral Generasi Buah Busuk Sistem Pendidikan Sekuler

Tinta Media - Kualitas generasi makin kesini makin ngeri, miris dan was-was. Kehidupan remaja saat ini begitu dekat dengan tindak kriminal. Pastinya usia muda  yang semestinya menjadi usia cemerlang  dalam karakter akhlak prestasi dan kebaikan, kondisinya justru sangat kontradiktif dengan fakta hari ini. Seperti dengan adanya beberapa waktu lalu diberitakan seorang pelajar SMP berusia 15 tahun di Kabupaten Lampung Utara Sabtu (17/02/2024) menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh 10 orang. Korban ditemukan dalam kondisi  mengenaskan di sebuah gubuk.  Ada lagi kejadian Perang Sarung, Sabtu 16 Maret 2024. Lokasi pertama terjadi di jalan Gandaria Kelurahan Kacang Pedang Pangkal Pinang.

Pemuda adalah generasi penerus peradaban. Sebagai aset pemuda wajib di jaga, di lindungi  dan di bina. Memiliki pola pikir dan pola perilaku yang benar.

Sayangnya generasi saat ini mengalami kerusakan yang  begitu parah hingga banyak menjadi pelaku ragam kejahatan. Rusaknya generasi tidak bisa di lepaskan dari peran pendidikan sebagai mana yang dirasakan bersama bahwa kurikulum pendidikan saat ini berasas pada sekularisme (akidah yang memisahkan agama dari kehidupan).

Fitrah manusia terikat dengan aturan Sang Pencipta. Ketika di pisahkan dari kehidupan niscaya menghasilkan kekacauan yang luar biasa hebat. Pendidikan saat ini telah terbukti gagal mencetak generasi yang berkualitas. Generasi hanya dididik pandai dan cerdas dalam ilmu alat namun minim dalam keimanan dan akhlak. Maka lahirlah generasi yang memiliki moral yang bejat meski masih duduk di bangku  SMP atau SMA. Mereka menjadi pribadi kriminal seperti pemerkosaan atau pun pelaku tawuran.

Semua terjadi karena tidak ada rasa takut terhadap dosa dan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan lingkungan mempengaruhi kualitas pembentukan kepribadian generasi. Perilaku individualis dan liberalis menjadi sarana bagi generasi untuk berbuat kemaksiatan, sebab tidak ada nasehat antara sesama dan pembinaan atas nama  kebebasan perilaku.

Tayangan konten kekerasan dan seksual menjadi bahan konsumsi sehari-hari maka wajar  menjadi pemuda perusak dan gemar melakukan kerusakan.

Berbeda ketika di atur dengan sistem Islam yang di tetap kan secara praktis oleh negara Islam. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak memisahkan aturan Allah dari kehidupan. Mewajibkan agar semua hal dikaitkan dengan aturan Allah. Mewujudkan generasi  membutuhkan sistem yang mendukung. Tanpa sistem ini segala upaya yang dilakukan akan menghambat lahirnya generasi  berkualitas. Oleh karenanya menyelamatkan dan melindungi generasi dari kerusakan hanya bisa di lakukan dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh.

Negara Islam adalah sebagai instansi yang menerapkan hukum Allah. Islam memandang generasi sebagai sebuah aset peradaban. Islam memerintahkan negara berperan untuk menjaga, mendidik dan membentuk generasi berkualitas.

Negara menerapkan  sistem pendidikan Islam yang berasas aqidah Islam. Bertujuan mencetak generasi yang memiliki kepribadian  Islam. Menuntun generasi memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat Islam. Standar mereka bukan lagi kepuasan namun ridho Allah, ikhlas dan bersabar mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang di larang Allah. Dan berupaya terus menerus berlomba dalam amal shalih bersemangat meninggalkan  kemaksiatan.

Islam menentukan metode pengajaran  talqiyan fikriyan. Metode ini menjadikan semua ilmu yang diajarkan pada anak didik di arahkan untuk membangun pemahamannya tentang kehidupan sekaligus menjadi landasan sikap dan perilaku. Selain itu semua ilmu diajarkan dan diarahkan untuk mencerdaskan akal dan meningkatkan taraf berpikir. Sehingga kaum Muslimin mampu menyelesaikan masalah kehidupan. Islam melarang semua  tayangan yang merusak seperti konten porno, kekerasan dan sejenisnya. Konten yang boleh dikonsumsi  seputar edukasi syariat Islam, berita sehari-hari, perkembangan sains dan teknologi. Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Ummu Nifa (Sahabat Tinta Media)

Minggu, 17 Maret 2024

Stop Bullying, Selamatkan Generasi


Tinta Media - Asas pendidikan yang di terapkan oleh pemerintah saat ini adalah sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Alhasil anak hanya menerima maklumat tentang materi pelajaran. Anak-anak hanya dijejali aneka materi pelajaran tanpa di bentuk menjadi orang yang bertakwa dan juga tidak mendapatkan pendidikan terkait baik dan buruk dalam bertingkah laku. 

Dan buah dari rusaknya sistem sekularisme ini adalah semua bisa menjadi pelaku kejahatan tidak terkecuali orang yang berstatus pelajar baik itu pelajar laki-laki maupun pelajar perempuan. Seperti kasus perundungan yang baru baru ini terjadi di Kota Batam Kepulauan Riau. Viralnya video yang menunjukkan aksi bullying pada dua orang remaja perempuan dan ternyata ke empat  pelaku perundungannya adalah remaja perempuan dan merupakan teman korban. Sungguh sangat miris karena di sistem sekarang anak merasa bebas untuk berbuat sesukanya tanpa ada rasa takut terhadap dosa dan azab neraka. 

Anak adalah anugerah dan anak merupakan amanah dari Allah SWT yang seharusnya kita jaga dan kita didik serta di bekali dengan ilmu-ilmu agama. Tapi pada saat ini sulitnya ekonomi menjadi beban bagi para orang tua. Tidak sedikit ibu pun ikut andil dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan demikian para orang tua tidak bisa menjalankan fungsi pengasuhan secara optimal . 

Dengan para orang tua yang sibuk bekerja sehingga pendidikan hanya di serahkan saja kepada pihak sekolah tanpa ada lagi  pendampingan itu sudah menjadi salah satu faktor penyebab anak-anak melakukan tindakan kejahatan. Di tambah lagi faktor lingkungan/masyarakat yang tidak adanya pembiasaan menyerukan kebaikan dan mencegah kerusakan serta cenderung individualis. Dan Negara juga termasuk faktor utama dalam kerusakan generasi sekarang ini. Komitmen negara yang tampak masih kurang dalam memberantas segala hal yang merusak generasi bahkan perangkat hukum di negeri ini yang belum memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. 

Berbeda hal jika sistem yang dipakai adalah sistem Islam. Di dalam Islam peran orang tua yang harus mendidik anak-anaknya menjadi hamba Allah yang taat dan berperilaku yang baik. Juga peran lingkungan / masyarakat yang mau peduli pada sekitar dengan terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar. Serta yang terpenting adalah adanya peran negara yang mau menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam yang akan membentuk anak sesuai dengan arahan Islam. Negara akan memberi sanksi yang bisa memberikan efek jera bagi setiap pelaku kejahatan. Dan negara pun akan memberi kemudahan baik itu mudah dalam harga, mudah dalam mencari nafkah serta mudah dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. 

Yuk kita selamatkan anak-anak kita dari rusaknya sistem sekarang dengan terus ber-amar makruf nahi munkar dan memahamkan umat untuk mau menerapkan Islam secara Kaffah. Karena hanya dengan menerapkan sistem Islam kita bisa mencetak anak-anak / generasi yang berkepribadian Islam.


Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Arkaan 
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 14 Maret 2024

Waspadai Pembajakan Generasi


Tinta Media - Pernah dengar istilah Baby Boomers, Gen X, Gen Y (Millenials), Gen Z, dan Gen Alpha? Untuk sebagian dari kita tentu pernah mendengar istilah-istilah ini. Istilah ini muncul untuk mengelompokkan individu berdasarkan generasi kelahirannya. Hal ini harus diketahui dan dipahami oleh para orang tua saat ini. Kenapa? 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis sedikit sampaikan terkait pembagian generasi tersebut. Pertama, Babby Boomers merupakan generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1946 – 1964. Kedua, Gen X adalah generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1965 – 1980. Ketiga, Gen Y atau generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1981 – 1996. Keempat, Gen Z merupakan generasi yang lahir direntang tahun 1997 – 2012. Kelima, Gen Alpha adalah generasi yang lahir setelah tahun 2012.

Penulis kemudian berfokus kepada Gen Y, Gen Z, dan Gen Alpha. Kenapa demikian? Karena ketiga generasi inilah yang sejak mulai belajar menulis dan membaca sudah mengenal, beraktivitas, dan berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi internet dan media sosial. Ketiga generasi inilah yang kemudian dikenal sebagai Generasi Digital Native. Ini adalah poin pertama untuk menjawab pertanyaan di paragraf pertama di atas.

Tantangan yang sangat besar dihadapi oleh para orang tua, bahkan oleh generasi digital native itu sendiri, seiring masifnya arus dan kemudahan dalam mengakses informasi, gaya hidup hingga pemikiran – ideologi. Jika tidak ada upaya mitigasi dari para orang tua, terutama orang tua muslim, hal ini akan membahayakan identitas generasi digital native muslim. Mereka akan terpalingkan dari identitas mereka sebagai seorang muslim.

Bahaya apa yang mengancam identitas generasi digital native muslim? Penjajahan identitas. Ya! Penjajahan identitas dengan nilai-nilai sekuler dan liberal inilah yang menurut penulis sangat berbahaya bagi generasi digital native. Nilai sekuler dan liberal landasan ideologisnya adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Nilai-nilai inilah yang melahirkan HAM, pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, dan moderasi beragama. 

Nilai sekuler dan liberal menginfiltrasi dunia internet dan media sosial tempat generasi ini berinteraksi. Infiltrasi tersebut berupa gaya hidup, hiburan, fesyen, perayaan Valentine dan Halloween, sehingga membuat generasi ini tidak lagi berpikir mendalam di setiap aktivitasnya. Pada akhirnya, melemahkan akal dan keimanan kepada Allah Ta’ala. 

Lemahnya iman mengakibatkan mereka tidak mau terikat dengan aturan syariat. Generasi digital native sebagian bahkan beranggapan bahwa syariat adalah beban yang menghalangi kesenangan yang mereka inginkan. Mereka merasa insecure dengan syariat dan identitas keislamannya. Hal ini juga berdampak pada menurunnya perhatian mereka pada aktivitas menuntut ilmu agama. Akibatnya, mereka tidak bisa lagi membedakan baik dan buruk ataupun terpuji dan tercela karena ketidakjelasan standar yang mereka gunakan. Ini adalah poin kedua menurut penulis.

Poin yang ketiga adalah waspada atas pembajakan generasi penerus kita. Kapitalisme – sekularisme yang dipimpin dunia Barat dengan sangat bagus mengemas penjajahan gaya baru ini. Mereka melontarkan narasi perang melawan terorisme dan radikalisme untuk melawan Islam politik. Mereka mempropagandakan sekularisasi pendidikan, nilai-nilai liberal seperti HAM, pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender. Target mereka adalah generasi digital native melalui berbagai programnya. Mereka membajak arah pemikiran generasi ini.

Maka, merebaklah pergaulan bebas, aksi perundungan dan kenakalan remaja, hingga kasus narkoba. Ditambah lagi arus moderasi beragama yang mendorong kuat sekularisasi. Alhasil, mereka memiliki sikap toleran yang kebablasan hingga melanggar aturan agama, bahkan sampai keimanan. 

Pembajakan pemikiran pada generasi ini membuat mereka enggan menerima nilai dan syariat Islam. Sebaliknya, mereka malah mudah menerima nilai dan budaya selain Islam. Inilah yang melahirkan remaja muslim saat ini membela penjajah dan abai dengan penderitaan umat.

Dari sisi pembangunan, generasi digital native ini dilibatkan dengan menggunakan paradigma kapitalisme. Mereka diajak dan didorong untuk menyelesaikan persoalan pembangunan dengan berorientasi pada orientasi materi.

Lalu, bagaimana seharusnya sebagai seorang muslim kita memandang persoalan ini? Tidak bisa tidak, kita harus menjangkau kalangan Generasi Digital Native Muslim ini. Kita harus menyelamatkan mereka dari penjajahan dan pembajakan ini. Karena remaja adalah fase seseorang mencurahkan tenaga dan kemampuan untuk memikul segala beban. Merekalah pemikul panji-panji dakwah selanjutnya.

Kenalkan kembali kepada mereka pemikiran Islam. Bangunkan kesadaran mereka. Bentuk kepribadian mereka menjadi manusia berkepribadian Islam. Kembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah agar tidak menjadi korban sekularisme – kapitalisme.

Mereka memang memiliki berbagai kelemahan, tetapi juga memiliki potensi yang besar untuk bisa dioptimalkan. Ini zaman mereka. Kita sebagai orang tua harus berani open mind kepada mereka. Disiapkan atau tidak, merekalah yang akan menanggung risiko zaman.

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, keadaan kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum saat sibukmu, dan saat hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Al-Baihaqi).


Oleh: Syadzuli Rahman
Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi

Minggu, 10 Maret 2024

Menjaga Generasi dari Masalah Bullying dengan Nilai-Nilai Islam


Tinta Media - Bullying atau perundungan adalah masalah sosial yang serius di era digital kita saat ini. Meskipun upaya telah dilakukan untuk menyelesaikannya, kasus bullying yang melibatkan anak-anak malah semakin meningkat. Hal ini terjadi karena sistem dalam masyarakat kapitalis yang tidak mampu memberikan solusi yang pasti.

Namun, Islam memiliki solusi yang sempurna dalam menangani masalah bullying dengan menjaga generasi dalam nilai-nilai Islam, dan melibatkan peran negara, masyarakat, dan orang tua dalam menyelamatkan anak-anak dari ancaman apa pun yang dapat terjadi. Terlebih saat ini kasus bullying dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan sekolah dan di luar sekolah.

Beberapa faktor dapat menimbulkan perilaku bullying, seperti sistem pendidikan yang cenderung sekuler dan kurang memperhatikan nilai-nilai agama. Sering kali anak-anak terpapar tayangan televisi yang bebas konten dan menampilkan adegan kekerasan, yang merusak moral dan karakter anak-anak. Selain itu, cara menganggap perilaku nakal pada anak juga menjadi faktor yang memperpanjang kasus bullying. Padahal, untuk membentuk perilaku baik pada anak, seharusnya dilakukan sedini mungkin.

Sistem peradilan anak yang diterapkan saat ini juga menjadi masalah, sebagian besar para pelaku bullying akan dikembalikan ke orang tua mereka dan tidak dikenakan sanksi yang seharusnya. Hukuman yang ringan bisa jadi memberikan dampak pada semakin maraknya kasus bullying, karena dapat memberikan sinyal yang salah kepada pelaku bahwa tindakan mereka dianggap remeh dan tidak berakibat serius.

Islam mempunyai peran penting dalam menangani masalah perundungan. Dalam paradigma Islam menjaga generasi tidak hanya menjadi tugas orang tua dan guru, tetapi juga butuh peran negara dan masyarakat. Dan sebagai agama yang sempurna, sistem yang dibuat pengaturannya juga sempurna. Dalam Islam, terdapat hukum syariat yang menetapkan pertanggungjawaban setiap pelaku atas perbuatannya. Dan Hukum tersebut bertujuan untuk mendidik para pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.

Terlebih di dalam Islam seseorang seorang muslim yang sudah mengalami baligh, maka orang tersebut tidak akan lagi dianggap sebagai anak-anak. Sebab ia sudah sepenuhnya menjadi orang yang telah mengenal, perbuatan mana yang benar dan mana yang salah, dan telah mendapat  tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan syariat Islam.

Sehingga kehadiran negara menjadi sangat penting, dalam menyediakan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, sebab selain pendidikan formal, pendidikan agama juga dibutuhkan bagi anak-anak. Sehingga melahirkan individu yang bertakwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup dan tanggung jawab yang jelas. 

Selain itu, negara juga wajib menciptakan kesejahteraan dalam ekonomi sehingga para orang tua berada dalam perannya yang masing-masing, dan anak-anak tidak merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian orang tua khususnya ibu. Selanjutnya negara juga mempunyai peran dalam menyaring tontonan di media, karena negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi generasi dari segala sesuatu ancaman yang hendak terjadi.

Di dalam keluarga, orang tua berperan penting dalam menanamkan akidah sejak dini,  memberikan contoh dan dorongan yang positif kepada anak. Sebagai orang tua, perlu memberikan pengasuhan yang sehat, mencintai anak, dan tidak terlalu memberikan tekanan yang berlebihan kepada anak.
Sehingga membentuk generasi yang baik dengan mempraktikkan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Sementara peran penting  Masyarakat yaitu dengan menciptakan lingkungan yang kondusif dan jauh dari kekerasan maupun kejahatan.

Islam mempunyai aturan dan ajaran yang sempurna dalam menjaga keutuhan dan keselamatan generasi. Dalam pandangan Islam, nilai-nilai agama yang kuat seperti kasih sayang dan empati sangat ditekankan. Dan sistem Islam yang kental dengan nilai-nilai tersebut merupakan modal utama dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak, sekaligus mampu memberikan solusi yang lebih baik dalam mengatasi masalah bullying di masyarakat.

Karena pada dasarnya masalah bullying dapat diatasi dengan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara yang kuat. Oleh karenanya menghadirkan Islam dalam kehidupan ini, menjadi suatu keharusan bagi umat manusia. Dan dengan menerapkan sistem Islam yang kaffah niscaya masalah bullying di masyarakat dapat diatasi dengan tuntas dan tidak lagi mengganggu perkembangan generasi di masa depan.

 Wallahu'alam.


Oleh :Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Selasa, 05 Maret 2024

Rusaknya Generasi Akibat Sekularisasi


Tinta Media - Lagi, terungkap kasus pembunuhan sadis yang dialami oleh satu keluarga di Penajam Paser Utara. Seorang remaja berusia 16 tahun yang masih duduk di bangku SMK nekat membunuh satu keluarga yang beranggotakan lima orang menggunakan parang di rumah korbannya. Diketahui, motif pembunuhan didasari masalah asmara dan masalah sepele lain, seperti masalah ayam dan helm yang belum dikembalikan selama 3 hari oleh salah satu korban yang juga merupakan mantan kekasih pelaku.

Mirisnya, setelah membunuh, pelaku juga melecehkan korban dengan memperkosa mantan kekasih dan ibunya. Tidak hanya itu, ia juga ketahuan mencuri tiga ponsel milik korban dan uang tunai sebesar 300 ribu rupiah. Diketahui, sebelum membunuh, ia sempat mengonsumsi miras bersama teman-temannya. (kompas.com, 08/02/2024).

Sungguh miris, berulang kali masyarakat selalu dikejutkan dengan terungkapnya kasus pembunuhan sadis yang dilakukan oleh remaja. Remaja yang seharusnya sedang mempersiapkan masa depan, ternyata banyak yang sedang “sakit” dan terjerumus ke dalam jurang kriminalitas. 

Lihat saja, bagaimana mereka dengan teganya menghilangkan banyak nyawa tanpa ada rasa takut dan penyesalan. Bukankah mereka kaum terpelajar yang sedang dididik untuk menjadi generasi yang berkarakter dan berbudi luhur? Tidakkah mereka menyadari bahwa perbuatannya sangat kejam dan sadis? Sungguh disayangkan, melihat potret generasi hari ini.

Tentu banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. 

Pertama, keluarga. Keluarga merupakan kunci utama pembentukan kepribadian pada anak. Kondisi keluarga yang tidak stabil, salah dalam pola asuh anak, kurangnya perhatian orang tua kepada anak, akan menyebabkan terbentuknya kepribadian buruk pada anak. Bahkan, ketika orang tua tidak menanamkan nilai-nilai agama sebagai fondasi dalam diri anak, akan terbentuk juga kepribadian yang jauh dari agama.

Kedua, lingkungan. Lingkungan juga memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhan dan  perkembangan anak. Lingkungan yang sehat akan membentuk kepribadian positif pada anak. Namun, saat ini masyarakat kita tidak memiliki lingkungan ideal bagi generasi. Kemaksiatan semakin merajalela, tetapi masyarakat seolah mengabaikannya, misalnya meminum miras pada kasus di atas. Sikap seperti inilah yang menyebabkan tidak adanya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. 

Ketiga, arus digitalisasi. Tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini kita hidup di tengah kemajuan teknologi. Ketika teknologi digunakan untuk hal positif, maka hasilnya pun akan bermanfaat bagi semua kalangan. Namun faktanya, saat ini banyak konten-konten negatif di internet yang sangat berpengaruh, seperti bullying,  pornografi, kekerasan, seks bebas, dll. Parahnya, banyak generasi yang mempelajari dan mempraktikkannya dalam kehidupan. 

Di sisi lain, patut dipertanyakan juga terkait kualitas pendidikan saat ini. Pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi gemilang, melahirkan siswa dengan akhlak terpuji, nyatanya telah gagal dalam mendidik peserta didik. Kegagalan ini yang menyebabkan lahirnya generasi yang tidak bermoral, sadis, keji, bahkan parahnya terlibat pada kasus kriminalitas. Inilah potret betapa bobroknya pendidikan saat ini. 

Kasus di atas tentunya membuat setiap jiwa akan marah dan muak melihatnya. Bagaimana tidak, banyak kasus serupa terjadi setiap harinya. Hal ini tidak lain akibat sistem sanksi saat ini juga tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Hukum dan UU yang ada nyatanya tidak mampu membuat pelaku takut melakukan tindakan keji.

Apalagi, saat ini terdapat syarat usia untuk menjatuhi hukuman kepada pelaku kriminal. Jika orang tersebut masih “di bawah umur”, maka mereka merasa “terlindungi”. Padahal mereka seharusnya sudah cukup umur dalam menilai perbuatan benar atau salah. Bahkan, sudah mengetahui konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan.

Maraknya peristiwa-peristiwa kejam dan sadis ini tidak lain akibat dari penerapan sistem sekularisme dalam kehidupan. Sistem ini memisahkan peran agama dari kehidupan, membuat individu merasa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan, tidak peduli apakah tindakannya benar atau salah dalam sudut pandang agama. 

Mereka merasa puas melampiaskan hawa nafsu, sekalipun itu adalah perbuatan yang keji dan sadis. Maka, wajar jika banyak lahir generasi-generasi rusak akibat arus sekularisasi ini.

Pendidikan pun tidak luput dari paham sekuler ini. Pendidikan yang seharusnya mampu membentuk karakter terpuji pada generasi, nyatanya hanya fokus pada aspek materi saja. Mata pelajaran agama hanya dipelajari pada aspek ibadah ritual saja. Wajar jika pelajaran agama tidak meninggalkan efek mendalam pada siswa, apalagi dijadikan sebagai fondasi dalam bertindak, karena yang jadi fokus sebatas belajar untuk memperoleh nilai.

Berbeda dengan sistem sekularisme, Islam memandang generasi sebagai pemain utama dalam pengukir peradaban. Lihat saja, bagaimana hebatnya para generasi Islam terdahulu. Banyak dari mereka yang menghasilkan karya-karya yang luar biasa, bahkan dapat kita rasakan manfaatnya hingga hari ini. Hal ini tidak lain karena Islam mendidik generasi berdasarkan akidah Islam dan dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk penerapannya.

Keluarga atau orang tua memiliki peran penting dalam mendidik anak. Mereka adalah tempat pendidikan utama bagi anak. Maka, wajib bagi mereka untuk mendidik anak-anaknya berdasarkan akidah Islam. 

Ketika mereka menanamkan akidah Islam sejak dini, anak akan mampu menilai perbuatannya berdasarkan Islam semata, karena mereka paham bahwa terdapat konsekuensi atas setiap perbuatannya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. 

Kemudian, penting juga untuk menciptakan masyarakat yang kondusif berdasarkan akidah Islam, yaitu masyarakat yang selalu melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar. Hal ini dilakukan untuk mencegah menjamurnya tindak kejahatan dan kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. 

Di samping peran orang tua dan masyarakat, penting juga bagi negara untuk terlibat di dalamnya. Negara memiliki peran strategis bagi terciptanya kondisi ideal bagi rakyat, karena hanya negara saja yang mampu menerapkan aturan bagi seluruh rakyatnya. Maka, dalam hal ini negara wajib menyelenggarakan sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam. Penerapan kurikulum ini akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, yaitu generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan demikian, akan terbentuk generasi gemilang yang bertakwa kepada Allah Swt.

Di samping itu, Islam juga memiliki mekanisme untuk mencegah kejahatan. Salah satunya dengan mengharamkan miras (khamr) yang merupakan induk kejahatan. Hal ini karena khamr dapat merusak akal, jiwa, raga, dan harta peminumnya dan telah terbukti sebagaimana kasus di atas. 

Islam akan menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran. Dengan begitu, masyarakat tidak akan berani melakukan hal serupa, karena sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera bagi siapa pun yang melakukan tindak kejahatan. 

Sungguh, hanya penerapan aturan Islam saja yang mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan saat ini. Maka, inilah tugas kita bersama untuk terus berdakwah menyeru kembalinya penegakan aturan Islam dalam kehidupan.


Oleh: Aryndiah,
Akitivis Muslimah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab