Tinta Media: Generasi Emas
Tampilkan postingan dengan label Generasi Emas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Generasi Emas. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2024

Generasi Emas Berasal dari Sistem Berkualitas

Tinta Media - Saat ini peran ayah dalam mendidik dan membersamai tumbuh kembang anaknya sebagian besar diambil alih oleh ibu, ini karena kesibukan rutinitas kerja sang ayah di luar rumah yang sangat menyita waktu dan tenaga. Namun tak jarang juga ayah yang memiliki banyak waktu di rumah merasa enggan menemani dan bermain bersama anak-anaknya, mereka lebih memilih bermain gadget atau bertemu dengan temannya. Padahal anak membutuhkan peran ayah dalam keseharian, terutama di masa golden age, anak meniru dan memperhatikan perilaku orang-orang di sekitarnya.

Tugas yang dilimpahkan pada ibu ini tentu menambah berat rentetan kewajiban yang harus dilakukan sang ibu, tak jarang keadaan lelah dan letih membuat ibu memilih jalan pintas agar anak anteng, yakni memberikan gadget. Anak jadi bebas menonton atau bermain game yang biasanya belum sesuai umurnya, apalagi jika dibiarkan bebas tanpa pengawasan, tentu saja sangat membahayakan sebab anak masih suka meniru dan mencontoh apa yang dilihatnya. Maka akhirnya anak menjadi sulit diatur dan berperilaku buruk berlebihan.

Tentu bukan sepenuhnya salah ibu, bukan juga sepenuhnya salah ayah. Tuntutan kehidupan dalam sistem kapitalis saat ini sungguh berat, segala kebutuhan harus dipenuhi sementara harga barang serba mahal, mau tak mau ayah harus bekerja ekstra, bahkan terkadang ibu juga ikut membantu perekonomian keluarga sehingga pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada pihak sekolah. Padahal pendidikan terbaik pertama yang harus diterima anak adalah di rumah.

Dalam laman CNBC Indonesia (14/03/2024). Pemerintah akan memberikan hari cuti ayah kepada para suami yang istrinya melahirkan atau keguguran. Cuti ini menjadi hak ASN pria yang diatur dan dijamin oleh negara, hal ini disebutkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas, setelah rapat kerja DPR RI. Waktu cuti yang diberikan pun bervariasi, mulai dari 15 hari, 30 hari, 40 hari hingga 60 hari. Beliau juga mengharapkan pemberian hak cuti ini , proses kelahiran anak bisa berjalan dengan baik, sebab itulah masa penting untuk menyiapkan SDM terbaik penerus bangsa. Jadi ini adalah upaya mendorong kualitas SDM sejak dini.

Ayah Kehilangan Peran Sebab Rusaknya Sistem

Saat ini masyarakat menyadari penyebab rendahnya kualitas generasi muda sebab mulai hilangnya peran orang tua dalam kehidupan anak, terutama peran sang ayah. Namun solusi yang diberikan dalam rangka pemecahan masalah oleh pemerintah masih belum tuntas. Sebab rendahnya kualitas generasi tidak hanya disebabkan hilangnya peran ayah, namun juga dipengaruhi pendidikan awal dalam lingkungan keluarga, keadaan lingkungan masyarakat yang rusak, dan juga tidak adanya peran negara dalam menjaga generasi.

Masih banyak orang tua yang salah memaknai perannya, berpikir jika tugas ayah hanya mencari nafkah dan ibu hanya mengurusi rumah semata. Anak yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang serba bebas tentu akan mengikuti setiap perkembangan zaman dan teknologi, tanpa difilter atau pengawasan tentu mereka bisa melakukan apa saja, sebab mereka belum tahu mana yang baik atau buruk. Lingkungan masyarakat yang acuh juga menjadi penyebab berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan anak-anak generasi saat ini.

Lemahnya hukum terhadap anak di bawah umur juga menjadi alasan mereka semakin bebas berbuat sesukanya. Banyak anak-anak yang menjadi pembully, pembunuh, melakukan berbagai kriminalitas, hingga pornografi dan pornoaksi pun mereka bebas lakukan. Bagaimana bisa tercipta generasi yang berkualitas jika orang tuanya belum berkualitas? Tatanan masyarakat dan negara yang juga belum berkualitas juga menjadi alasan minimnya generasi yang berkualitas pula.

Jadi pembuatan hari cuti ayah ini hanyalah solusi pragmatis, sebab selama sistem sekuler kapitalisme yang batil ini diterapkan tidak akan mungkin akan tercipta generasi mulia, karena sistem ini memisahkan agama dari segala aturan kehidupan, serta memaksa manusia sibuk mencari kepuasan materi sebagai tujuan hidupnya. Solusi yang benar hanya dengan mengganti sistem rusak ini menjadi sistem yang lebih baik.

Islam merupakan Sistem yang Sempurna

Kualitas generasi dalam Islam bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua semata, namun juga disupport oleh peran masyarakat dan negara yang juga menerapkan aturan dari sistem yang mulia secara sempurna. Memang dalam Islam pengasuhan anak terutama sebelum usia baligh adalah kewajiban utama sang ibu, tapi ayah juga memiliki peran penting dalam proses membentuk kepribadian anak, dengan memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan secara utuh dan sepenuh hati.

Dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bagaimana peran ayah yang bertanggung jawab penuh terhadap keluarganya. Jika ayah telah menyadari begitu pentingnya peran dalam tumbuh kembang anak, maka ia akan menjadi penjamin dan penjaga proses pembentukan karakter sang anak. Selain keluarga, peran masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Islam telah mewajibkan umat Islam untuk beramar ma'ruf nahi munkar, juga sunnah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Sehingga anak yang tumbuh dalam lingkungan Islami tentu saja tidak akan meniru kecuali sesuatu yang baik pula.

Islam juga mengharuskan hadirnya peran negara dalam menjaga generasi dengan cara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Menerapkan sistem pendidikan Islam yang tentunya akan menghasilkan generasi yang Islami. Pendidikan awal yang paling utama bagi anak adalah tauhid, agar mereka sadar keterikatan dirinya dengan sang pencipta dan hubungan keduanya yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Negara juga menjaga sistem pergaulan masyarakat dengan membatasi interaksi pergaulan laki-laki dan perempuan kecuali untuk hal yang diperbolehkan syariat.

Khatimah

Setelah sadar akan sistem yang benar, generasi berkualitas hanya bisa terwujud dengan adanya sebuah negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dan segala mekanismenya. Dengan penerapan aturan yang berasal dari sang pencipta manusia yakni Allah Swt, maka akan sangat mungkin tercipta generasi muda yang gemilang dan mulia, berkualitas dari segi akhlak dan juga pemikiran.

Oleh: Audina Putri (Aktivis Muslimah Pekanbaru)

Senin, 12 Februari 2024

Mewujudkan Generasi Emas

Tinta Media - Generasi Emas istilah yang sering didengar oleh kalangan pendidikan. Sebuah istilah yang dijadikan sebagai sebuah impian bagi bangsa Indonesia menyambut hari kemerdekaannya yang ke seratus tahun. Berbagai macam cara dan upaya untuk mempersiapkan generasi yang memiliki kemampuan  baik pengetahuan, keterampilan maupun karakter terus di lakukan. Bonus demografi yang akan di dapatkan oleh bangsa Indonesia di kisaran tahun 2030 – 2040 di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak di bandingkan penduduk usia tidak produktif bisa menjadi berkah bagi bangsa Indonesia atau justru sebaliknya bisa menjadi musibah. Oleh karenanya penting memiliki suatu pemahaman yang sama terkait karakter generasi emas yang akan dibentuk dan bagaimana cara mewujudkannya. 

Dalam Al Quran ayat 110 Allah SWT berfirman: “Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”. Ayat ini memberikan suatu pemahaman kepada kita bahwa sejatinya umat Islam itu adalah umat yang terbaik, yang dengan posisinya sebagai umat yang terbaik akan dapat menebarkan kebaikan (kerahmatan) bagi umat-umat yang lain. Ada beberapa karakter yang harus diwujudkan pada generasi Islam agar menjadi umat terbaik yakni menjadi generasi mukminun (beriman), menjadi generasi muttaqun (bertaqwa), menjadi generasi muhsinun (berbuat kebajikan), dan menjadi generasi muslihun (melakukan perbaikan). Empat karakter ini yang harus ada pada diri generasi muslim agar dapat disebut sebagai generasi emas (generasi khoiru ummah). 

Adapun bagaimana cara mewujudkan empat karakter tersebut pada generasi muslim tentunya melalui proses pendidikan yang melibatkan berbagai macam peran. Peran orang tua, sekolah, masyarakat dan negara. Keempat peran ini harus memiliki kesatuan pandang dalam mewujudkan karakter generasi muslim terbaik. Proses pendidikan yang dilakukan untuk membekali pola pikir dan pola sikap generasi dengan cara pandang Islam, dengan suatu pendekatan bahwa apa yang telah di dapatkan dalam proses pendidikan tersebut dalam rangka untuk dipahami, diamalkan dan di sebar luaskan kepada orang lain, bukan semata-mata kepuasan intelektual, akan melahirkan generasi emas, generasi terbaik yang bukan sekedar mengisi lowongan pekerjaan tetapi memimpin peradaban.

Oleh: Rudi Harianto, Praktisi Pendidikan 

Jumat, 26 Januari 2024

Generasi Emas Hanya Ada di Sistem Islam, Bukan Demokrasi




Tinta Media - Kecerdasan artifisial perlu dimanfaatkan/ dilibatkan dalam sistem pendidikan nasional yang modern. Oleh karena itu, demi menyambut generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mendukung program digitalisasi sekolah untuk mengakselerasi implementasi agenda pendidikan nasional, HIBAR PGRI. Untuk menciptakan efektivitas kerja stakeholder pendidikan, kecerdasan artifisial itu perlu dimanfaatkan. Maka, beliau mengingatkan agar semua elemen pemerintah Indonesia mempersiapkan perangkat pendukung yang mumpuni.

Hetifah mengungkapkan bahwa pendidikan berbasis digital berpotensi membawa manfaat, seperti peningkatan pelayanan, penghematan biaya operasional dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Namun, upaya ini harus selaras dengan pengawasan penegakan hukum yang adil. Mengambil langkah strategis seperti pengembangan platform pelayanan daring, pemantapan konektivitas digital dan penyediaan akses gratis adalah langkah yang diharapkan akan dilakukan oleh pemerintah. Dukungan kecerdasan artifisial akan membantu mempercepat proses analisis data terkait pendidikan, lebih dari sekadar itu saja.

Pendidikan adalah hal penting untuk sebuah negara. Dengan pendidikan yang bagus, akan lahir generasi yang berkualitas seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengalami perkembangan pesat. Kecerdasan buatan ini memang sangat berpengaruh atau berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat diberikan kemudahan dalam mengerjakan tugas yang biasanya dikerjakan oleh manusia, juga dalam proses informasi, pendidikan serta pengambilan keputusan serta layanan kesehatan, keamanan, dan berbagai kemudahan lainnya.

Namun, di balik semua manfaat yang didapatkan, ada juga efek atau sisi negatif yang dirasakan oleh masyarakat, walaupun dengan segala kecanggihan teknologi digital yang disuguhkan. Di antaranya, penggantian pekerjaan manusia, privasi dan keamanan data dan ketergantungan yang tidak terkontrol. 

Apalagi, ketika sekularisme masih bercokol dan menjadi landasan berpikir dan bertindak seperti saat ini, justru semuanya bisa berakibat fatal. Dalam ranah pendidikan yang berbasis sekuler, berbagai kurikulum terus berganti. Pendidikan dengan kurikulum merdeka tidak akan menghasilkan generasi yang berkualitas, justru akan menghasilkan generasi rusak karena tidak adanya penjagaan secara sistematik. Imbasnya, banyak pelecehan seksual, perundungan, serta kekerasan yang terjadi di sekolah maupun pesantren yang notabene merupakan pendidikan Islam.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan adanya kecerdasan artifisial, akan hilang ladang pekerjaan yang berimbas pada guru, sehingga guru pun harus banting setir mencari alternatif pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi kalau hanya guru honorer yang gajinya tidak seberapa, bahkan sangat minim. Kecanggihan teknologi ini juga bisa menghilangkan pekerjaan manusia secara umum, ketika semua sudah diwakili oleh mesin atau robot. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan atau AI bukan jaminan keberhasilan generasi emas, walaupun ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat. 

Untuk mewujudkan generasi emas, kita harus pindah haluan menuju ke pendidikan yang dibangun atas dasar paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam berlaku untuk semua warga, tidak pilih-pilih. Islam mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk kepribadian Islam, ilmu dan teknologi, serta pemahaman Islam yang benar. 

Dengan kurikulum berbasis akidah Islam, kita akan mampu membentuk generasi tangguh dan bertakwa, karena hal itu memang tujuannya. Fasilitas pendidikan yang merata dan memadai untuk semua jenjang, wilayah dan kalangan  sangat diprioritaskan sebagai bentuk kewajiban seorang khalifah dalam mengurus urusan rakyat. 

Semua fasilitas pendidikan adalah dari hasil kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk disalurkan lagi kepada rakyat, termasuk sarana dan prasarana pendidikan. Guru yang berkualitas dan profesional dipersiapkan dengan upah yang tinggi, karena begitu besarnya jasa seorang guru dan begitu besarnya Islam memuliakan seorang guru. 

Islam pun sangat memperhatikan masalah infrastruktur pendidikan yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar yang baik, mulai dari laboratorium, perpustakaan, dan semua sarana yang berkaitan dengan pendidikan. Dari segi biaya, Islam sama sekali tidak memberatkan rakyat, namun justru memudahkan dengan biaya yang murah, bahkan gratis.

Begitulah ketika konsep pendidikan berdasarkan akidah Islam. Semua pihak akan mendapatkan manfaat dan kemudahan. Hasilnya pun akan melahirkan generasi unggul yang berkualitas, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Kuncinya adalah dengan adanya sebuah institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Jadi, jelaslah bahwa kecerdasan artifisial jika tidak ditunjang dengan penerapan syariat secara kaffah, maka tidak akan mampu mencapai tujuan yang hakiki, yaitu mencetak generasi emas sebagai agen perubahan. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Rabu, 21 Desember 2022

Mimpi Mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045 dalam Bayang-Bayang Stunting

Tinta Media - Visi pemerintah Indonesia untuk menciptakan SDM Indonesia emas 2045 sepertinya harus tersandung oleh tingginya prevalensi stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia dini akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang pada periode 1000 pertama kehidupannya. Kondisi stunting selain berdampak pada kondisi kesehatan anak di masa depan, juga akan mengakibatkan penurunan fungsi intelegensinya. 

Hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2021 menyatakan bahwa prevalensi stunting Indonesia berada di angka 24,4 persen. Ini masih jauh di atas target yang ditetapkan oleh WHO, yakni di bawah 20 persen. 

Pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga terkait pun berupaya keras untuk menurunkan angka tersebut. Hal ini dikarenakan Indonesia pada tahun 2045 nanti akan mendapatkan bonus demografi, yaitu suatu kondisi di saat jumlah penduduk usia produktif sebuah negara mencapai 70 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk yang ada. Maka untuk mengoptimalkan potensi ini, negara harus berjuang untuk mewujudkan generasi-generasi yang kuat dan cerdas.

Merespon hal ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. Ada dua pendekatan intervensi yang dilakukan, yaitu pendekatan non-gizi dan pendekatan gizi. 

Pendekatan non-gizi di antaranya adalah penyediaan sanitasi dan air bersih, lumbung pangan, alokasi dana desa, edukasi dan sosialisasi. Sedangkan pendekatan gizi meliputi pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil dan anak, suplementasi gizi, pemberian tablet darah dan konsultasi.

Namun, lagi-lagi pemerintah nampaknya harus mengevaluasi dan menyinergikan antar kebijakan yang ada. Ini karena kesan kontradiktif antara satu harapan dan langkah konkret di lapangan sangat terlihat. Di satu pihak pemerintah berjuang mengentaskan stunting, di sisi lain kebijakan politik yang ada justru membelenggu masyarakat dari akses untuk keluar dari lingkaran stunting itu sendiri. 

Sebagaimana dilansir dari kompas.com 12/12/22, sebanyak 68 persen atau 183,7 juta penduduk Indonesia tidak mampu membeli makanan dengan gizi seimbang. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga pangan di Indonesia, bahkan menjadi yang paling mahal se-Asia Tenggara jika dibandingkan dengan daya beli masyarakatnya.

Tidak Menyentuh Akar Masalah

Solusi yang digadang-gadang pemerintah terkesan masih sangat superficial (permukaan). Pasalnya, intervensi yang dilakukan jauh dari menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Padahal, stunting terjadi karena kondisi kekurangan asupan gizi yang kronis atau dalam kurun waktu yang lama. Hal ini sangat erat kaitannya dengan angka kemiskinan dan rendahnya kemampuan masyarakat untuk bisa mengakses makanan dengan gizi seimbang.

Hal ini menjadi sangat lumrah terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem kapitalisme dengan konsep pasar bebasnya telah menciptakan nuansa hukum rimba dalam kehidupan. Dalam sistem ini, yang kaya atau para pemilik modal (kapital) akan semakin kaya dan bisa memonopoli pasar, sedangkan yang miskin semakin terpinggirkan dan kian sulit untuk menjangkau kehidupan yang layak. 

Belum lagi dari abai dan berlepas tangannya negara dalam menjamin kesejahteraan hidup rakyat. Hal ini terbukti dari fakta yang ada. Meskipun Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi justru rakyatnya banyak hidup dalam garis kemiskinan. Ini akibat salah kelola.

Kekayaan ini justru legal untuk diprivatisasi pihak swasta, bahkan asing. Dampaknya, rakyat harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk efek dari melambungnya harga pangan yang diakibatkan oleh kebijakan politik yang kapitalistik. Seperti efek domino dari kebijakan pencabutan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), maka mimpi untuk mewujudkan generasi emas Indonesia yang bebas dari stunting hanyalah angan-angan belaka.

Sistem Islam Mengentaskan Stunting

Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah atau kepala negara bertanggung jawab penuh dalam melayani kebutuhan rakyat, termasuk mengentaskan problem stunting. Ini karena negara Islam memandang bahwa persoalan kualitas generasi adalah penentu terwujudnya peradaban gemilang. Maka, negara akan melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan stunting agar tuntas hingga ke akarnya. Di antaranya sebagai berikut: 

Pertama, bidang pendidikan. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh seluruh rakyat dengan mudah. Termasuk di dalamnya oleh kaum perempuan. Sistem pendidikan inilah yang akan mencetak individu di dalamnya menjadi insan kamil yang bertakwa dan menguasai iptek. 

Melalui sistem ini juga, para perempuan akan memiliki bekal yang mumpuni untuk siap menjalankan peran domestiknya sebagai ibu pencetak generasi berkualitas. Di samping itu, ketakwaan yang terbentuk juga akan menjadi senjata bagi para ibu untuk tangguh menjalankan perannya karena menganggap anak merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga dan dididik seoptimal mungkin.

Kedua, bidang ekonomi. Negara akan menetapkan kebijakan pengelolaan harta kekayaan serta mengatur distribusinya secara adil sesuai dengan syariat Islam. 

Problem kemiskinan dalam negara Islam akan mampu dientaskan melalui dana zakat. Ini karena distribusi dari harta zakat hanya boleh dialokasikan untuk delapan asnaf sebagaimana disebutkan syariat, termasuk di dalamnya bagi fakir dan miskin. 

Selain itu, negara juga wajib mengelola harta-harta kepemilikan umum, seperti hutan, perkebunan, tambang minyak, gas, batu bara dan lautan, secara mandiri dan mendistribusikan hasilnya demi kemaslahatan rakyat, semisal didistribusikan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang berkualitas, murah, bahkan gratis. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw, 

“Kaum muslimim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Ketiga, bidang politik. Selain melalui alokasi dana zakat, dalam program mengentaskan kemiskinan, negara juga akan mendorong para laki-laki untuk menjalankan kewajibannya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Hal ini didukung penuh oleh negara melalui penyediaan lapangan kerja yang layak. 

Selain itu, negara juga akan menerapkan sistem ketahanan pangan yang kuat. Di antaranya dengan optimalisasi potensi kekayaan alam yang ada. Misalnya, potensi ikan di lautan Indonesia yang berlimpah, kaya akan omega-3 yang baik bagi pemenuhan nutrisi anak usia dini. 

Negara akan mengelolanya secara profesional agar mampu menyuplay kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Di samping itu, negara juga akan menetapkan kebijakan pengelolaan lahan yang pro pada kaum petani sehingga kebutuhan pangan yang berkualitas bisa dihasilkan dengan optimal. 

Maka, problem stunting hanya akan mampu diselesaikan secara menyeluruh melalui penerapan Islam secara kaffah oleh negara. Sesungguhnya hanya hukum Allah saja yang akan membawa rahmah dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah, 

“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh : Naning Prasdawati, S.Kep., Ns.
Perawat
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab