Tinta Media: Gender
Tampilkan postingan dengan label Gender. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gender. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Januari 2024

Kenaikan Indeks Pembangunan Gender, Benarkah Perempuan Makin Sejahtera?



Tinta Media - Program kesetaraan gender kian santer diopinikan. Dunia memandang bahwa memberikan hak yang sama terhadap laki-laki dan perempuan di ruang publik akan menyejahterakan kaum perempuan. Saat ini, para wanita yang hanya di rumah mengurus rumah tangga dipandang tidak produktif. Wanita dianggap produktif jika memiliki peran, bahkan bersaing dengan laki-laki, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan lainnya. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender.

"Perempuan dianggap berdaya jika mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender," kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N. Republika.co.id (6/1/2024).

Namun, data yang ada berbanding terbalik dengan nasib perempuan saat ini. Tingginya angka indeks pembangunan gender tak mengurangi penderitaan para wanita. Justru, semakin hari penderitaan itu semakin meningkat. Kasus kekerasan, bahkan pembunuhan, pelecehan seksual, KDRT, eksploitasi, dan masih banyak lagi kasus kekerasan pada perempuan yang kian hari kian meningkat. 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut bahwa total terdapat 21.768 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (PPA) selama tahun 2023.

Mirisnya, penyumbang terbesar kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yaitu 5.555 laporan. Jumlah laporan itu juga tercatat meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.241 kasus.

Dalam sistem kapitalis saat ini, perempuan dipandang sebagai salah satu komoditi untuk menghasilkan uang. Perempuan dianggap hebat dan berdaya bila bisa mencari uang sendiri atau memiliki peran di bidang tertentu, seperti politik, ekonomi, dan lainnya. Perempuan yang hanya diam di rumah mengurus dan mengatur rumah tangga dipandang remeh. Alhasil, dengan arah pandang tersebut, perempuan yang bekerja atau yang memiliki posisi penting dalam bidang tertentu menjadi role mode di kalangan perempuan saat ini.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan fitrah seorang wanita. Semakin banyak perempuan yang bekerja keluar rumah atau pun berbisnis, tak jarang urusan rumah tangga yang menjadi kewajiban utamanya terabaikan, bahkan diserahkan kepada pihak lain yang justru malah menjadi pemicu munculnya persoalan lain di kemudian hari, seperti kurangnya keharmonisan rumah tangga, perselingkuhan, perceraian, KDRT, anak-anak terjerumus pergaulan bebas sebab keluarga tak lagi harmonis. 

Tingginya kasus KDRT yang menjadi penyumbang kekerasan terbesar terhadap perempuan menunjukkan bahwa ada yang salah dalam tatanan rumah tangga, dan pemicu utamanya ialah hilangnya peran ibu sebagai pengurus dan pengatur rumah tangga. 

Sulitnya ekonomi maupun arah pandang yang salah terhadap peran perempuan membuat para istri maupun ibu lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dibanding mengurus keluarga. Ini menunjukkan bahwa meningkatnya angka indeks pembangunan gender tidak membawa pengaruh bagi kesejahteraan perempuan. 

Faktanya, penderitaan yang dialami kaum wanita sebenarnya tidak lain karena buah dari penerapan sistem kapitalisme-Liberal yang memandang bahwa materi merupakan tolak ukur kebahagiaan. Kehidupan bebas diatur sesuai kehendak pribadi. Akhirnya, perintah agama yang mengatur kehidupan wanita tidak dilaksanakan, bahkan berbanding terbalik. 

Kehidupan yang bebas membuat manusia berperilaku bebas tanpa batasan. Ditambah tidak adanya sanksi yang tegas, semakin memperburuk kondisi saat ini. Akibatnya, tindak kriminal merajalela. Nasib perempuan menjadi tidak aman dan terancam di setiap saat. 

Jika sudah seperti ini, akan sulit terwujud generasi yang cemerlang bila seorang istri atau ibu tidak dalam kondisi yang baik menjalankan fitrahnya. Arah pandang yang keliru telah mengubah tatanan kehidupan yang seharusnya sesuai syari'at. Akibatnya, peran laki-laki dan perempuan menjadi kacau dan menimbulkan banyak persoalan. 
 
Padahal, telah jelas diatur oleh Allah Swt. bahwa fitrah wanita adalah ummu warabbatul baiti, yakni pengurus dan pengatur rumah tangga di bawah kepemimpinan seorang suami. Ini merupakan sebuah peran yang tak bisa digantikan oleh siapa pun. Menjadi ibu dan istri adalah profesi mulia sebab mendidik generasi adalah bagian dari peran besar yang menentukan nasib sebuah peradaban.

Peran ini tidaklah mudah. Maka, harus didukung dengan kondisi yang ideal, baik peran suami yang melindungi dan menjaga keluarga sebagai pemimpin rumah tangga, atau negara dalam menciptakan suasana yang kondusif hingga terpenuhi segala kebutuhan rakyat, serta adanya aturan yang tegas di tengah-tengah masyarakat agar segala tindak kejahatan terminimalisir. Begitu pun dengan peran ummu warabbatul bait, dapat terlaksana dengan maksimal.

Maka dari itu, Allah Swt. tidak mewajibkan perempuan untuk mencari nafkah, melainkan kepada para suami, atau ayah saat belum menikah. Ketika ayah atau suami meninggal, maka beban kewajiban jatuh kepada keluarga lain yang telah diatur dalam syari'at. Apabila tidak mampu, maka akan menjadi tanggung jawab negara.


Negara pun tidak boleh berlepas tangan, tetapi wajib menyediakan lapangan kerja bagi para suami maupun ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, harus ada aturan yang mendukung terwujudnya peran ideal masing-masing anggota keluarga. 

Selain itu, harus ada perubahan menyeluruh, baik arah pandang maupun sistem hidup yang sesuai fitrah manusia agar kesejahteraan dan keamanan bisa kembali terwujud, tak hanya pada perempuan dan anak-anak, tetapi bagi seluruh rakyat di bawah negara yang menerapkan aturan Islam di dalamnya, yaitu aturan hidup yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk umat manusia sebagai pencipta dan pengatur alam semesta. 

Sudah saatnya kita meninggalkan sistem buatan manusia yang hanya membawa dampak buruk di setiap peraturannya, baik bagi perempuan, anak-anak, juga masyarakat secara keseluruhan. Wallahualam bi shawwab.

Oleh: Imroatus Sholeha 
(Freelance Writer) 

Ilusi Feminisme dan Gender bagi Perempuan, Saatnya Muslimah Ber-Islam Kaffah!



Tinta Media - Permasalahan mengenai perempuan sepertinya masih menjadi isu yang krusial untuk dibahas. Faktanya, di zaman yang semakin modern ini, ada kelompok tertentu yang beranggapan bahwa perempuan masih dianggap sebagai kelas kedua. Mereka menganggap kaum perempuan diperlakukan lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya, mereka terus berupaya menyuarakan ide kesetaraan dan keadilan gender. Sederhananya, kesetaraan gender menginginkan agar perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama tanpa ada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. 

Kesetaraan gender semakin meluas seiring bertambahnya negara yang mengemban ide kapitalisme-sekuler, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri pemerintah menindaklanjuti ide kesetaraan gender dengan mengintegrasikannya pada pembangunan nasional, yaitu dengan melaksanakan pembangunan pemberdayaan perempuan melalui pendekatan kesetaraan dan keadilan gender (KKG). 

Terkini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG). Perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa. 

Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara. Hal itu disampaikan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (06/01/2024), sebagaimana yang dilansir oleh republika.co.id (06/01/2024). 

Di tengah berbagai problematika yang menghantam perempuan saat ini, benarkah ide kesetaraan gender mampu menjadi solusi? Mampukah ide ini memberikan kesejahteraan dan kemuliaan bagi perempuan? 

Feminisme-Gender, Buah dari Sistem Batil Kapitalisme-Sekuler 

Jika melihat sejarah munculnya ide kesetaraan gender, maka tidak bisa dilepaskan dari paham feminisme ekstrem yang lahir di Barat. Pada saat itu, Barat memang menganggap wanita sebagai kelas kedua. Maka, lahirnya gerakan feminisme  memiliki tujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dengan menetapkan kesetaraan pada seluruh aspek. 

Ide feminisme atau kesetaraan gender juga sengaja disebarkan dan dicekokkan pada umat Islam. Barat menilai bahwa ajaran Islam bersifat membatasi dan menindas kaum perempuan. 

Akibat adanya sekularisme di tengah umat Islam, maka ide feminisme dan gender pun mulai diusung oleh sebagian Muslimah yang teracuni pemikirannya dengan pemikiran Barat tersebut. 

Sejatinya, semua ide tersebut, baik feminisme dan gender merupakan buah dari sistem kapitalisme-sekuler yang batil, karena sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Mereka menghambakan diri pada ide kebebasan (liberalisme) sehingga dalam kehidupannya menganggap manusia bebas melakukan apa pun tanpa batasan, termasuk membuat aturan kehidupan sendiri. 

Paham kapitalisme-sekuler nyatanya berkelindan dengan segala kerusakan yang terjadi saat ini. Kerusakan yang terjadi juga berpengaruh pada tingkat kesejahteraan perempuan. Gagalnya negara kapitalisme-sekuler dalam menjamin kesejahteraan masyarakat, khususnya perempuan bukanlah isapan jempol belaka. Sekalipun ide feminisme dan gender telah digaungkan, faktanya saat ini perempuan masih saja mendapatkan permasalahan dalam hidup. Ini terbukti dengan tingginya KDRT, banyaknya angka perceraian, pelecehan, dan kekerasan seksual yang dialami perempuan. 

Adapun tuduhan ajaran Islam membatasi dan menindas kaum perempuan hanyalah fitnah keji yang lahir dari para pembenci Islam. Mereka mengambinghitamkan dan menyerang syariat Islam. Mereka menuduh hal yang sebenarnya tidak terjadi dalam Islam. Segala kemalangan yang menimpa umat, termasuk perempuan saat ini adalah akibat tidak adanya penerapan syariat Islam secara kaffah. Sejatinya, Islam itu menyejahterakan, melindungi, bahkan memuliakan perempuan. 

Adapun sumber masalah saat ini adalah karena penerapan sistem kapitalisme sebagai dasar kehidupan manusia. Kapitalisme jelas menjadikan manusia sangat menderita. 

Ekonomi kapitalis melahirkan kemiskinan yang mengerikan, yang memaksa para perempuan bekerja keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Banyak perempuan yang mengeksploitasi diri sendiri demi mendapatkan uang, akibat sulitnya lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki. 

Alhasil, tak sedikit kaum ibu yang berganti peran menjadi tulang punggung untuk mencari nafkah sehingga mengabaikan tugas utamanya sebagai pendidik generasi (madrasatul ula' atau pendidik pertama bagi anak-anaknya). 

Tekanan ekonomi yang berat ditambah lagi mahalnya biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar baik biaya kesehatan, biaya pendidikan, dan kebutuhan sandang, pangan, dan papan menjadikan perempuan atau kaum ibu sangat rentan mengalami stres, bahkan kehilangan naluri keibuannya. 

Fakta di atas menjadi bukti gagalnya negara dengan asas kapitalisme-sekuler dalam menjamin kesejahteraan umat, khususnya perempuan. Oleh karena itu, berharap pada ide feminis ataupun kesetaraan gender adalah hal yang sia-sia. Alih-alih menyejahterakan dan memuliakan perempuan, ide tersebut justru membawa perempuan jatuh pada kehinaan dan jauh dari fitrah perannya yang mulia. Dengan demikian, jelas bahwa feminisme dan gender hanyalah ilusi bagi perempuan. 

Hanya Islam yang Mampu Memuliakan Perempuan 

Penerapan syariat Islam secara kaffah dalam institusi daulah khilafah pastinya akan memberikan rahmat bagi seluruh alam. Hal ini karena sejatinya Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup yang memiliki aturan yang sempurna akan menjalankan mekanisme yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat, termasuk kaum perempuan. 

Islam tak pernah menempatkan perempuan pada kelas kedua, atau lebih rendah posisinya dari laki-laki. Allah Swt. tidak memuliakan seseorang berdasarkan jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan kedudukannya sama di mata Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Hujurat, ayat 13, 

"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa." 

Adapun posisi perempuan dalam Islam di tempatkan pada posisi yang terhormat dan mulia, karena perempuan memiliki peran yang luar biasa yaitu melahirkan dan mencetak generasi. Oleh karenanya, khilafah akan memastikan terjaminnya peran perempuan tersebut. 

Penerapan Islam secara kaffah yang khas dan sempurna dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik akan tegas menjaga kehormatan perempuan. Adanya syariat yang melarang perempuan untuk bertabaruj, larangan perempuan keluar rumah tanpa mahram jika lebih dari sehari-semalam, dan kewajiban menutup aurat secara sempurna (dengan menggunakan jilbab dan kerudung) bukanlah bentuk pengekangan Islam terhadap kebebasan perempuan, melainkan sebuah aturan yang mampu menjaga kehormatan dan kemuliaannya. 

Sebagai pengurus urusan rakyat, khilafah akan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki sebagai pencari nafkah, sehingga tak akan ada lagi perempuan yang terpaksa keluar rumah untuk bekerja, apalagi berperan sebagai tulang punggung keluarga. Jika tak ada wali yang mampu menafkahi, maka khalifah akan bertanggung jawab menjamin kebutuhan pokoknya secara langsung. Dengan begitu, para ibu bisa fokus untuk menjalankan kewajiban utamanya, yaitu sebagai pengurus keluarga dan anak-anaknya (al umm wa robbatul bait). 

Hukum perempuan bekerja dalam Islam adalah mubah. Oleh karenanya, Islam tidak akan memaksa perempuan keluar rumah untuk bekerja. Bahkan, khalifah akan melarang perempuan bekerja jika pekerjaan tersebut justru bertujuan mengeksploitasi sisi sensualitas mereka. Misalnya sebagai model dan peragawati, karena pekerjaan semacam itu justru menghinakan kaum perempuan. 

Pengontrolan negara terhadap media massa dan konten-konten yang ditayangkan pun akan menjadi upaya untuk menjaga keamanan dan kehormatan perempuan. Konten berbau maksiat, pornografi-pornoaksi, ataupun yang bersifat kekerasan akan dilarang total karena hal-hal tersebut bisa menyuburkan kemaksiatan di tengah masyarakat dan akan berakibat pada pelanggaran kehormatan perempuan. 

Selain pengontrolan media, upaya lain yang juga akan dilakukan khalifah untuk memberikan jaminan keamanan bagi perempuan adalah dengan menerapkan sistem persanksian Islam (uqubat Islam). Setiap pelaku pelanggaran akan dikenai sanksi sesuai ketetapan syariah dan kebijakan khalifah. Dengan begitu, perempuan akan merasa aman dari kejahatan yang mengancam dirinya, seperti kekerasan, pelecehan, pemerkosaan, dll. 

Demikianlah mekanisme Islam dalam menyejahterakan dan memuliakan kehormatan perempuan. Hal ini sudah terbukti selama 13 abad lamanya ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi daulah khilafah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslimah yang taat, kita harus sadar dan yakin bahwa ide feminisme ataupun kesetaraan gender bukanlah solusi bagi permasalahan perempuan saat ini. Justru kita harus semakin yakin bahwa hanya Islamlah satu-satunya yang mampu menjamin kehormatan, ketenteraman, dan kemuliaan perempuan. Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media) 

Selasa, 16 Januari 2024

Ide Sesat Pemberdayaan Perempuan dengan Kesetaraan Gender



Tinta Media - Selama 2023, perempuan semakin berdaya dengan adanya peningkatan indeks pembangunan gender. Itulah pernyataan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Jakarta (ANTARA). 

Perempuan bisa terlibat dalam politik pembangunan dengan adanya peningkatan perempuan di lembaga legislatif, mendapat posisi yang strategis di tempat kerja, serta mampu memberi sumbangan pendapatan untuk keluarga. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangan pada hari Sabtu di Jakarta.

Menurutnya, pembangunan bangsa membutuhkan landasan yang kuat, yaitu adanya perempuan berdaya. Sebagai contoh adalah banyaknya perempuan yang menjadi pemimpin, seperti menjadi kepala desa, bupati, hingga kementerian atau lembaga. Kesetaraan gender di Indonesia menjadi semakin meningkat dengan terlibatnya perempuan berdaya dalam aspek penting dan sektoral. 

Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak akan terus ditingkatkan, sebagai komitmen dari Kemen PPPA untuk menyongsong tahun 2024. Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menambahkan bahwa pihaknya akan berfokus pada penguatan kelembagaan dan perbaikan layanan publik terkait dengan lima arahan prioritas presiden, yaitu dengan mengedepankan sinergi dan kolaborasi lintas sektor, mulai dari dunia usaha, media, pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.

Benarkah perempuan berdaya dengan kesetaraan gender? Ataukah semua itu merupakan kesalahan sudut pandang? 

Perempuan dalam pandangan kapitalis adalah sebagai pencetak uang dengan berkarier, yaitu dengan bekerja di sektor lembaga legislatif ataupun di berbagai bidang lainnya, seperti menjadi pemimpin daerah dan lain sebagainya. Itulah yang dianggap perempuan berdaya karena dengan begitu, perempuan mampu memberi andil dalam pembangunan. 

Kesetaraan gender adalah program yang menjadi senjata dan terus digaungkan dalam sistem kapitalisme sekuler. Kenaikan indeks perempuan berdaya dijadikan tolok ukur keberhasilan yang dicapai oleh sebuah bangsa. 

Namun, di sini lain, fakta yang terjadi sungguh mengenaskan. Di tengah hiruk-pikuk ide kesetaraan gender yang digadang-gadang suatu bangsa, kondisi perempuan justru terlihat sangat menderita dan tersakiti, bukannya bahagia. Kesetaraan gender justru berimbas pada memburuknya kondisi kehidupan perempuan itu sendiri. Buktinya, banyak sekali kasus yang menimpa perempuan, seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap perempuan dan anak.

Percekcokan antara suami dan istri ataupun kekerasan dalam rumah tangga merupakan contoh kejadian yang kebanyakan penyebabnya adalah masalah ekonomi atau perselingkuhan. Ini karena bukan tidak mungkin, ketika bekerja di luar rumah, perempuan pasti akan berinteraksi dengan lawan jenis di tempat ia bekerja. Adanya ruang kebebasan dalam pergaulan dan interaksi inilah yang menjadi pemicu terjadinya bibit perselingkuhan yang berakibat pada perceraian hingga pembunuhan.

Kalau sudah begitu kejadiannya, dapat dilihat dengan gamblang bahwa kesetaraan gender adalah sebuah solusi yang menimbulkan masalah baru, bukan sebagai solusi yang hakiki. Sayangnya, ide kesetaraan gender ini selalu diaruskan agar  kedudukan perempuan sama atau setara dengan laki-laki. 

Ini semua adalah hasil dari sebuah pemikiran yang sesat, buah dari sistem kapitalisme sekuler. Hal itu justru menjadi buah simalakama untuk perempuan dan generasi. Karena semua justru terbalik, maka kebanyakan perempuan bekerja di luar rumah, bahkan sampai keluar negeri, sementara para bapak-bapak sebagai pengasuh anak di rumah. Ini semakin ruwet dan tidak sesuai fitrah manusia, padahal Allah telah memberikan solusi yang sesuai fitrah, yang akan melindungi dan menjaga perempuan dengan baik.

Beralih ke Islam Sebagai Solusi Hakiki.

Memahami Islam dengan benar akan menghasilkan perbuatan yang dan solusi yang benar pula. Pada dasarnya, Islam telah memberikan aturan yang cocok sesuai wahyu Allah Swt. Islam memosisikan kedudukan laki-laki dan perempuan sejatinya adalah sama, yaitu sama-sama sebagai makhluk Allah. Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari, Islam memberi peran pada perempuan  sebagai ibu pencetak generasi dengan mendidiknya sesuai syariat. Sedangkan laki-laki berperan sebagai pemimpin dalam keluarga dan wajib mencari nafkah untuk menghidupinya. 

Namun, Islam juga tidak melarang perempuan untuk bekerja asalkan tidak meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Ketika Islam diterapkan secara kaffah, maka semua lini kehidupan, seperti aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial dan hukum akan selalu terjaga dengan baik. Perempuan tidak lagi cemas dengan kelangkaan pekerjaan untuk laki-laki sehingga mengharuskan mereka ikut terjun bekerja di sektor legislatif atau pemimpin daerah. 

Islam sebagai negara adidaya yang kuat akan mampu menyejahterakan rakyat, serta pembangunan yang maju tanpa mengorbankan perempuan dan generasi. Hukum sanksi Islam yang mampu memberi efek jera dan sebagai penggugur dosa akan menjaga seseorang untuk tidak berbuat semena-mena terhadap orang lain, apalagi perempuan. 

Ditopang dengan sistem pendidikan yang berdasarkan akidah Islam, akan tercipta individu yang taat dan takut hanya kepada Allah Swt. Sistem ekonomi Islam akan memberi keadilan bagi masyarakat keseluruhan tanpa pandang bulu.

Maka, sadarilah bahwa hanya dengan penerapan sistem Islam, pembangunan akan maju, serta perempuan terjaga kemuliaannya, bukan dengan sistem kapitalisme sekuler dengan ide kesetaraan gender. Sistem kapitalisme hanya menjadikan perempuan sebagai barang yang mudah diperalat dengan kedok kesetaraan gender.
Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Senin, 15 Januari 2024

Perempuan di Balik Kenaikan Indeks Pembangunan Gender




Tinta Media - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan bahwa selama 2 tahun, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya indeks pembangunan gender. (Jakarta, Antaranews.com, 6 Januari 2024)

Perempuan semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, itu di tunjukan dengan meningkatnya indeks pemberdayaan gender", kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA Leny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta.

Dia mengatakan perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa.
Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan strategis juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara. 

Sementara banyak perempuan menjadi  pemimpin baik di desa sebagai kepala desa atau kepala daerah hingga pemimpin di kementerian atau lembaga. Kemen PPPA menargetkan peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan pada 2024, tentunya yang ingin dicapai adalah peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan. Menyongsong tahun 2024 komitmen PPPA untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak terus di tingkatan.

Menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak PPPA Bintang Puspayoga menambahkan pihaknya akan berfokus pada penguatan kelembagaan dan perbaikan pelayanan publik terutama terkait lima arahan prioritas presiden dengan mengedepankan energi dan kolaborasi lintas sektor mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat dunia usaha dan media. 

Tetapi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan pada 2023 makin meningkat, Kapolri jenderal Lustiyo Sigit Prabowo mengungkapkan ada 21.768 kasus sepanjang 2023 Kemen PPPA juga menginformasikan ada peningkatan yang sangat signifikan bahkan statis kekerasan pada anak meningkat 30 persen.

Mirisnya penyumbang terbesar angka kekerasan adalah kekerasan dalam rumah tangga artinya ada masalah dalam bangunan keluarga, masalah ini yang terkesan tidak terlalu relevan pada kepentingan keamanan negara, padahal Kemen PPPA mengatakan indeks pemberdayaan gender itu meningkat, tetapi paradoksnya, persoalan human security juga sama tingginya bukan malah mengurangi persoalan di masyarakat. 

Persoalan terjadi pada paradigma pembangunan perempuan ketika berbicara indeks pemberdayaan gender. Maka tidak bisa dilepas kan dari konsep pengarusutamaan gender. Juga women un development yang di gagas dengan nilai nilai barat melalui pendekatan ekonomi seperti tingkat partisipasi tenaga kerjanya, profesionalitasnya dan keberadaan di parlemen.

Namun bagaimana agar perempuan tidak berdaya membangun keluarga, menjaga anak-anak dan kehormatannya tidak ada jaminan ini yang gagal di tangkap dalam proses kebijakan. Mengutip dari penulis dan toko pendidikan asal Yordania Majid Al kilani bahwa ketika pembangunan berporos pada materi, maka manusia menjadi unsur yang paling tidak berharga. Inilah yang terjadi pada kaum perempuan, padahal ia adalah kehormatan bagi sebuah masyarakat. Pemberdayaan perempuan lebih ke level ekonomi dan tidak berbanding lurus dalam menjaga ketahanan masyarakat. 

Untuk itu kita tegaskan jika berbicara 2024, maka harus menyentuh pada level yang sifatnya paradigma tidak konseptual, tidak hanya berhenti di level teknis atau pembangunan infrastruktur, tanpa mengoreksi konsep yang selama ini kita terima dari lembaga lembaga dunia.

Ketika paradigma tetap seperti ini, berarti bisa di katakan  tidak akan terjadi perubahan signifikan terhadap nasib perempuan dan generasi, malah justru menambah masalah. Sebagai mana sindrom Chicago bahwa dengan pembangunan fisik luar biasa, kejahatan malah  merajalela. Ini gejala di negara negara barat yang sekarang makin di rasakan di negeri negeri Muslim. 

Oleh karenanya, khawatir jika mungkin banyak perempuan yang tidak lagi menghargai bangunan keluarga karena mereka lebih merasa di hargai dengan prestasi, karier, finansial dan popularitas yang merupakan pencapaian materi. Jika bicara value dan peradaban, seharusnya perempuan adalah kehormatan. 

Dalam Islam ia menjadi sumber yang mengajarkan nilai-nilai luhur bagi anak-anaknya. Untuk itu kita menekankan kaum perempuan harus punya agenda besar perubahan. Kaum perempuan adalah investasi terbesar dalam peradaban karena ia yang akan menyiapkan generasi ke depan. Hal itu tampak di kalangan  akar rumput maupun terpelajar.  Yang salah mulai memikirkan untuk apa mengejar karier tinggi jika keluarganya berantakan, ini karena perempuan adalah kunci peradaban dan benteng dari kerusakan. Oleh karenanya tetap optimis, selama dakwah terus bergulir. Maka kendaraan itu makin menguat di kalangan kaum Muslimin. 

Wallahu a'lam bish shawwab.


Oleh: Ummu Affaf 
Sahabat Tinta Media 

Jumat, 12 Januari 2024

Indeks Pembangunan Gender Naik, Nasib Perempuan Tak Kunjung Baik



Tinta Media - "Perempuan semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender," demikian pernyataan yang disampaikan oleh  Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta, pada hari Sabtu, 6 Januari 2024.(Antara, 6/1/2024).

Menelisik pernyataan ini, dengan berbagai posisi yang disematkan pada perempuan, digadang-gadang lah  sumbangsih perempuan di ranah publik menempati penilaian terkait landasan kekuatan pembangunan suatu bangsa. Tentunya, jika ini benar, perempuan terangkat derajatnya dari berbagai keterpurukan. Namun, benarkah dengan peran tersebut, menjadikan nasib perempuan semakin baik?

 Kondisi Perempuan Masa Kini 

Saat ini, keberhasilan perempuan selalu dinilai dari keterlibatannya di ruang publik, baik di sisi ekonomi maupun politik.

Terlibatnya perempuan dalam ruang politik sebagai anggota legislatif dan eksekutif, berkarier di berbagai bidang, mandiri finansial, dan menjadi pelaku utama ekonomi, direward sebagai penentu tingginya nilai pemberdayaan perempuan. Kondisi ini terjadi dalam cara pandang kapitalisme.

Realitasnya, naiknya  nilai Indeks Pembangunan Gender tidaklah menunjukkan membaiknya nasib perempuan. Berbagai permasalahan terkait perempuan terus menerus menghiasi jagat raya. Tingginya kekerasan di ruang publik (pembunuhan, kekerasan seksual dll) maupun domestik (perceraian, KDRT, bunuh diri dll) dirasakan di kalangan perempuan.

Seluruh permasalahan yang menimpa perempuan tersebut terjadi karena di dalam ruang kapitalisme sekuler, jaminan keamanan, kenyamanan, kesejahteraan tidak terpenuhi. Gaung  pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender yang diperjuangkan, sejatinya tidak mampu menyelamatkan perempuan dari diskriminasi dan penindasan. Yang terjadi, ide kesetaraan gender memperburuk nasib perempuan, dikarenakan jauh dari fitrahnya sebagai perempuan yang wajib dijaga dan memerankan posisinya sebagai perempuan secara hakiki sesuai tuntunan ilahi (salah satunya sebagai ummun wa rabbah al  bayt). Dan dalam kapitalisme sekuler, mekanisme peran-peran tersebut tidak difahami dengan benar.

 Sistem Islam Memuliakan Perempuan

Sistem Islam mengatur berbagai peran dalam kehidupan manusia. Di dalamnya diatur mekanisme terbaik untuk menyelesaikan berbagai problematik umat, tidak terkecuali problem perempuan.

Dalam Islam, perempuan adalah sosok yang dimuliakan dan wajib dijaga Bukan warga kelas dua yang terdiskriminasi, bukan sosok yang bisa dieksploitasi secara ekonomi, bukan pula sosok yang mudah disakiti.

Dalam Islam, peran perempuan sebagai ibu dan manajer rumah tangga, bukan peran sembarangan. Potensi domestik yang luar biasa ini mampu melahirkan generasi tangguh bermartabat berkualitas hebat. Potensi yang sangat penting dalam terwujudnya sebuah peradaban terbaik.
Mekanisme terbaik terkait perempuan diterapkan dalam sistem Islam. Di dalamnya, perempuan menempati posisi strategis yang dimampukan untuk mendidik generasi hebat aset peradaban. Perempuan dijamin kebutuhannya oleh negara, hingga kebutuhan sandang, pangan, papan juga pendidikan dan kesehatan tidak memberatkan kaum perempuan untuk mewujudkannya (tidak menjadi tulang punggung keluarga). Perempuan dibolehkan berperan di ranah publik tanpa melalaikan peran domestik atas ijin Allah (sesuai hukum syarak terkait perempuan). Dan dalam sistem Islam, negara memberikan sistem sanksi yang jelas dan tegas, sehingga seluruh kasus kriminal yang menjadikan perempuan sebagai korban teratasi dan diminimalisir.

Demikianlah, majunya kaum perempuan senyatanya tak bisa disandingkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender. Namun, dengan meningkatnya kesadaran umat untuk mewujudkan tegaknya Islam secara paripurna, itulah yang menjadi indikasi terwujudnya harapan membaiknya nasib perempuan.


Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty 
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Selasa, 15 November 2022

Tuduhan Kekerasan Berbasis Gender Membuat Blunder

Tinta Media - Pekan lalu media sosial ramai memberitakan tentang seorang suami yang menganiaya istri dan anaknya dengan sadis. Sang istri kini kondisinya kritis, sementara nyawa anak perempuannya tidak tertolong. Sebenarnya kasus ini hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan yang sekarang ini semakin banyak terjadi. Akan tetapi, yang mengherankan ada tuduhan yang dilontarkan anggota Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat bahwa kasus penganiayaan yang berujung pada kematian anak tersebut merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. REPUBLIKA.co.id ( 09/11/2022) 

Padahal faktanya, banyak juga terjadi kekerasan dengan korban yang sama gendernya, bahkan mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Misalnya saja kasus yang sekarang ini masih berjalan dan menyita banyak perhatian, yaitu penghilangan nyawa ajudan di jajaran kepolisian. Ada juga kasus seorang anak di Ngawi, Jatim, yang membunuh ayahnya dengan tiga tusukan di dada hingga tembus ke paru, hanya karena bosan setelah setahun merawat ayahnya yang stroke. publika.rmol.id (20/10/2022) 

Tuduhan kekerasan berbasis gender ini malah mengaburkan penyebab kekerasan yang sebenarnya sangat kompleks dan sistemik. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Hanya saja, para pegiat gender selalu mengarahkan opini bahwa penyebab kekerasan adalah karena ketidaksetaraan gender. Hal itu dilakukan untuk menipu umat agar mendukung kesetaraan gender yang diusung sebagai solusi atas persoalan perempuan dan anak. Padahal, senyatanya kesetaraan gender hanyalah ilusi dan tidak akan menyelesaikan permasalahan kekerasan. 

Jika kita cermati lebih dalam, ada banyak faktor mengapa kekerasan semakin banyak terjadi di masyarakat. Tingkat stres yang semakin tinggi karena impitan ekonomi dan jauhnya seseorang dari nilai-nilai Islam membuat dia tak bisa mengontrol emosi. Relasi hubungan antar anggota keluarga hanya berdasarkan manfaat. Yang berkuasa adalah dia yang paling berkontribusi secara materi. 

Suami sebagai kepala keluarga tak akan dianggap apa-apa jika pendapatannya lebih rendah dari istri. Akibatnya, terjadi guncangan dalam keluarga. 

Itulah buah dari sistem kapitalistik yang merusak semua sendi-sendi kehidupan dan menjadi bibit terjadinya kekerasan. Bukan hanya di dalam rumah tangga, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini tak layak untuk dipertahankan karena akan membawa manusia menuju kehancuran. 

Islam tentu saja melarang kekerasan dan pembunuhan pada anak perempuan. Ketika dulu bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup, Islam datang menyelamatkan. Bukan hanya itu, Islam mengutuk keras pembunuhan pada siapa pun, baik laki-laki dan perempuan tanpa hak, sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 32. 

Islam memandang laki-laki dan perempuan sama kedudukannya di hadapan Syara' dan akan mendapatkan balasan setimpal, baik Surga ataupun Neraka, sesuai dengan amal perbuatannya. 

Adapun perbedaan peran dan kewajiban-kewajiban mereka yang dibebankan oleh Syara', merupakan bukti kasih sayang dan cinta dari Sang Pencipta. Allah Swt. yang paling tahu mana yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Nya. 

Setiap individu muslim diharuskan mempelajari ajaran agamanya, agar dia bisa menahan amarah dan memperlakukana istri serta anak-anaknya sebaik mungkin. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw. yang artinya:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluarga di antara kalian.” (HR Ibnu Majah) 

Sebelum menikah, setiap individu muslim harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, meniatkan dari awal bahwa pernikahan merupakan ibadah sepanjang jalan yang akan menggenapkan separuh agamanya. 

Suami istri yakin bahwa masing-masing dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Karenanya, mereka tidak akan berbuat zalim satu sama lain. 

Begitu juga terhadap anak. Mereka akan menganggap anak sebagai amanah yang harus dijaga dan diperlakukan sebaik mungkin sesuai dengan keinginan pemiliknya, Allah Swt. Kesadaran tersebut, akan menghasilkan hubungan yang harmonis dan jauh dari tindak kekerasan. 

Tak hanya itu, dalam sistem Islam, negara harus berperan aktif memberantas kekerasan, baik secara preventif maupun represif, agar tercipta suasana aman di seluruh lapisan masyarakat. 

Negara harus menjamin bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan penghasilan yang layak agar bisa menafkahi keluarga dan menjalankan fungsi qawwam-nya dengan baik. Dengan begitu, para istri bisa nyaman di rumah merawat anak-anaknya. Keluarga akan sejahtera dan masyarakat akan lebih tentram tanpa kekhawatiran. 

Inilah solusi tepat permasalahan kekerasan, bukan dengan kesetaraan gender yang hanya akan membuat blunder. Yakinlah, jika sistem Islam, yakni khilafah diterapkan, KDRT dan kekerasan lainnya akan terminimalisir, bahkan hilang dengan sendirinya.

Oleh: Sakinah Qalby
Sahabat Tinta Media

Selasa, 18 Oktober 2022

Gender Netral Makin Frontal

Tinta Media - Fenomena gender netral atau nonbiner semakin berani menunjukkan jati dirinya. Kabar terbaru, kisah Nyla yang berganti nama menjadi Alex, seorang putri dari salah seorang pesohor tanah air yang memutuskan dirinya sebagai gender netral. Tentu saja, fenomena ini menuai kritik publik (liputan6.com, 6/10/2022). Belum lama tersiar juga tentang mahasiswa baru di Makassar, yang mengaku netral (nonbiner) saat acara di kampusnya. Memprihatinkan. 

Gender netral atau nonbiner diartikan sebagai keputusan pribadi untuk tidak menjadi laki-laki atau perempuan. Lho, kok bisa, ya? 

Dalam pemahaman umum masyarakat, gender selalu dihubungkan dengan jenis laki-laki atau perempuan. Namun, ternyata tak sesederhana ini jika realitas sosial memandang fakta di lapang. Demikian tutur Dr. Irwan Martua Hidayana, Ketua Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia, (fisip.ui.ac.id, 25/8/2022). 

Nonbiner atau gender netral merupakan konsep yang berbeda dengan jenis seksual seseorang yang dibawa sejak lahir. Pergeseran jenis kelamin ini juga muncul karena budaya dan berbagai tradisi yang ada. Dengan mengatasnamakan hak asasi manusia, negara diminta untuk mengedepankan hak asasi orang yang ingin melabeli dirinya sebagai gender netral atau jenis gender lainnya, seperti transgender. Hal ini karena negara masih belum memastikan hukum tentang nonbiner dan transgender.

Pemikiran seperti ini tentu pemikiran yang keliru dan merusak tatanan yang ada dalam masyarakat. Ketika sekulerisme telah menjadi "virus" yang menyerang pemikiran, saat itu juga penyakit mulai tersebar dan melemahkan segala yang ada. 

Jika dibiarkan begitu saja, pemikiran semacam ini akan merusak pemikiran masyarakat pada umumnya. Masyarakat akan menganggap fenomena tersebut sebagai keadaan yang "biasa" saja, tidak ada yang salah karena sifat manusia adalah mudah meniru sesuatu yang dianggap tak menyalahi aturan. Tentunya, hal ini akan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. 

Pemahaman tentang gender nonbiner berpotensi sebagai usaha pelarian dari segala "hukum" yang ada, tak mau peduli dengan segala taklif yang ditetapkan bagi seorang laki-laki atau perempuan. Tak hanya itu, nonbiner pun merupakan cerminan dari tindakan yang gagal dalam menghadapi fakta kesetaraan gender. Program kesetaraan gender global yang tak pernah berhasil disikapi dengan usaha yang absurd, Akhirnya menjadi double absurd. 

Inilah buah sistem sekulerisme, yaitu sistem yang menjauhkan fungsi aturan agama (syariat Islam) dalam kehidupan. Sistem ini merupakan biang kerok kekacauan. Inilah yang terjadi sekarang, nyata terpampang di hadapan mata. Sistem rusak yang menganggap gender sebagai suatu masalah. Mereka menganggap bawah tanpa adanya gender (nonbiner), permasalahan itu dapat tersolusikan. Ternyata, inilah fokus kesalahannya. 

Setara atau ketaksetaraan gender, sebetulnya tak perlu ada. Pemahaman itu ada saat sekulerisme itu ada. Dengan adanya sekulerisme, segala ketimpangan mulai tampak. Kemiskinan, banyaknya kejahatan, dan berbagai konflik kekacauan terjadi sebagai akibat dari hilangnya pengaturan agama (syariat Islam) dalam kehidupan. Sungguhnya, ketaksetaraan itu tak hanya menyerang gender. Namun, juga menyerang sektor ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan bahkan seluruh aspek kehidupan. 

Gender atau jenis kelamin, adalah anugerah Allah Swt. Sang Pencipta alam semesta. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari sinilah kita bisa melihat bahwasanya laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi, bukan malah beradu kursi "kesetaraan" demi kehidupan dunia yang menipu. 
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya,

"Demi penciptaan laki-laki dan perempuan,"
(QS. Al-Lail: 3)

Secara ilmiah pun, pembuktian tentang penciptaan jenis laki-laki dan perempuan sangat jelas adanya. Salah satunya tentang pembuktian perbedaan anatomi tulang panggul laki-laki dan perempuan. Tulang panggul laki-laki relatif lebih sempit (bersudut 90°) dan perempuan lebih lebar (bersudut 120°). 

Tak ada satu makhluk pun yang dapat mengubah ketetapan-Nya. 
Sombong rasanya saat makhluk mengambinghitamkan gender sebagai sebab suatu masalah yang kini banyak terjadi. Sungguh, sebetulnya yang menjadi masalah adalah tak adanya ketaatan makhluk pada aturan syariat Islam yang diciptakan Allah Swt. Zat Yang Maha Mengetahui segala yang seimbang bagi seluruh penghuni alam.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Senin, 17 Oktober 2022

Fenomena Dukung Capres Prokesetaraan Gender

Tinta Media - Fenomena dukung-mendukung calon presiden pada pemilu 2024 sudah kentara dan secara massif dilakukan oleh kalangan masyarakat. Seperti halnya  dukungan 500 perempuan pendukung Ganjar yang tergabung dalam Srikandi Ganjar Jawa Barat, dengan mengadakan seminar yang bertajuk 'Perempuan Sebagai Tonggak Emas Peradaban' bertempat di Taman Ponyo, Kecamatan Cinunuk, Kabupaten Bandung.

Seminar diadakan sebagai bentuk dukungan kepada Ganjar yang dinilai sangat memperhatikan dan memberdayakan kaum perempuan dengan langkah kongkretnya dalam mendukung kesetaraan gender. Salah satu gagasan Ganjar yang menjadi pendorong perempuan milenial untuk mendukungnya adalah dengan didirikannya sekolah cerdas perempuan masa kini atau yang dikenal dengan Serat Kartini. Tujuannya adalah untuk menciptakan daya pikir kritis bagi kalangan milenial, terutama perempuan dalam dunia politik, sehingga dapat memengaruhi kelompok dalam mengambil suatu kebijakan. Maka dari itu, diharapkan para perempuan lebih berperan aktif dalam menciptakan kesetaraan gender. Ini karena kebijakan politik saat ini berpengaruh terhadap masa depan kalangan perempuan.

Terlihat jelas upaya sistematis dan massif dalam menderaskan generasi milenial demi mengikuti skenario para penjungjung tinggi demokrasi. Ganjar Pranowo telah berhasil mencuri perhatian para pegiat kesetaraan gender, khususnya di wilayah Jawa Barat. Terlebih, dengan keberhasilannya dalam mengelola sekolah Serat Kartini, sehingga menjadikan Ganjar Pranowo sebagai ikon yang senantiasa memperjuangkan kaum perempuan. Partisipasi penuh dan efektif kaum perempuan dalam dukungannya terhadap Ganjar Pranowo untuk dijadikan presiden dalam pemilu 2024 mendatang digelar dengan mengampanyekan  kesetaraan Gender. Kampanye ini menyerukan hak perempuan untuk mengambil keputusan di semua bidang kehidupan. Kita ketahui bahwa Indonesia juga berkiblat pada kampanye global tersebut dan meyakini bahwa kesetaraan gender adalah jalan untuk mewujudkan kesejahteraan. 

Lalu, akankah kesejahteraan perempuan yang berpartisipasi dalam politik bisa tercapai? Padahal, pada faktanya alih-alih membawa kesejahteraan, kesetaraan gender justru menyengsarakan perempuan dan menghancurkan keluarga dan generasi, membuat negara lalai akan tanggung jawabnya mengurus rakyatnya. 

Sejatinya, persoalan perempuan bukan karena ketidaksetaraan gender. Namun, Penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalistiklah yang menjadikan perempuan tak ubahnya sebagai sebuah barang dan dijadikan tulang punggung, serta alat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia.

Islam adalah agama paripurna yang diturunkan Allah Swt. Islam memberikan hak untuk memilih kepada perempuan dan mendudukkan perempuan sebagaimana haknya laki-laki sebagai hamba Allah Swt. Islam juga memberikan hak kepada perempuan untuk beraktivitas dalam bidang politik. Namun, ada ketentuan Allah yang Mahatahu dengan kondisi perempuan. 

Pada hakikatnya, peran mulia seorang muslimah adalah sebagai pendidik generasi dan terjaganya kehormatan perempuan dalam interaksi sosial dengan laki-laki. Namun, Islam memberi ruang untuk aktivitas politik lainnya selain menduduki jabatan penguasa. Oleh sebab itu, kaum muslimin jangan sampai teperdaya dengan janji manis kafir Barat yang berisi racun mematikan. Umat harus tetap istikamah dalam menjaga tegaknya syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah sehingga kemuliaan akan diperoleh untuk seluruh umat manusia.

Wallahu 'alam bisshawab

Oleh: Tiktik Maysaroh 
Ibu Rumah Tangga

Minggu, 28 Agustus 2022

Gender Nonbiner: Penyimpangan Terlaknat

Tinta Media - Kaum bengkok semakin vokal. Suara kali ini berasal dari mahasiswa. Beberapa waktu lalu sempat viral video seorang maba (mahasiswa baru) Universitas Hasanuddin Makassar yang dikeluarkan dari ruangan saat pengenalan kampus. Alasannya, ketika sang dosen bertanya mengenai jenis kelaminnya, secara mengejutkan, si maba mengaku jika jenis kelaminnya adalah nonbiner. Peristiwa ini menjadi viral karena pada saat kejadian, ada yang memvideokan kemudian dijadikan konten oleh si maba di media sosial dengan kata-kata yang kurang pantas. 

Nonbiner merupakan sebuah sebutan bagi mereka yang mendefinisikan dirinya bukan sebagai perempuan maupun laki-laki. Biasanya, gender non-biner ini memosisikan dirinya sendiri berbeda dengan struktur biologis  bawaan lahir. Kelompok gender ini biasanya akan memosisikan dirinya bukan dari bagian kelompok gender yang telah ada, atau bahkan mempunyai gender yang lebih dari satu.

Non-biner adalah gambaran pergaulan masyarakat yang sakit. Hak kebebasan yang dijamin dalam sistem sekuler liberal telah membawa kerusakan yang begitu parah di tengah-tengah masyarakat. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, hanya mengangungkan hawa nafsu dan menjadi liberal. Sistem ini membebaskan jiwa individu yang merasa tidak nyaman dengan gendernya, misalnya seseorang yang bergender laki-laki merasa dirinya seperti perempuan, atau sebaliknya, yang perempuan merasa dirinya adalah laki-laki. Bahkan, ada juga yang bingung sebenarnya dia laki-laki atau perempuan. 

Sistem sekuler liberal menganggap perasaan seperti ini tidak masalah dan justru dipelihara. Sebab, manusia bebas memperoleh keinginan mereka. Maka, muncul-lah kaum bengkok, L68T sebagai representasi kebebasan tersebut.

Saat ini L68T bukan hanya sekadar komunitas, melainkan sebuah gerakan internasional yang secara nyata dipetakan untuk merusak generasi muda, terutama kaum muslimin. Hal ini dibuktikan dengan laporan dari UNDP dan USAID (sebuah program pembangunan PBB dan Amerika) pada tanggal 10 Desember 2012. Dalam laporan tersebut muncul prakarsa ”Being LGBT in Asia”  dan Indonesia menjadi salah satu negara yang difokuskan, selain China, Philipina, dan Thailand. Dilansir dari http://www.asia-pacific.undp.org, data dari Desember 2014 hingga September 2017 menunjukkan anggaran untuk pergerakan L68T hingga US$ 8 juta.

Tak heran jika fenomena viral tersebut di atas terjadi, karena pemahaman sekuler liberal telah mengakar dan mengacaukan sistem pergaulan di tengah masyarakat. Padahal telah jelas, di dunia ini jenis kelamin manusia hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan, tidak ada yang lain. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (QS. Al Hujurat :13)

Maka jika dalam pandangan Islam, kaum L68T tidak hanya sekadar dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sebuah perbuatan laknat yang harus dibasmi hingga tuntas. Mereka harus mendapat sanksi yang tegas, bukan malah dipelihara atas nama “kebebasan”. 

Untuk pelaku homo, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, sanksi yang akan dia dapatkan adalah: “Lihat tempat yang paling tinggi di kampung itu. Lalu pelaku homo dilemparkan dalam kondisi terjungkir. Kemudian langsung disusul dengan dilempari batu.”

Homo adalah penyakit yang merusak generasi. Jika seorang laki-laki itu homo, dia akan mencari mangsa terus-menerus. Karena itu, jika pelaku homo tidak dimusnahkan, bibit penyakit homo akan terus ada. 

Sedangkan untuk pelaku lesbi, mereka akan dikenai sanksi ta’zir. Hal ini karena perbuatan mereka termasuk zinanya wanita dengan sesama wanita. Imam Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya “Al-Kafi Fil Fiqhi Ahlil Madinah : 2/1073” menyatakan:  “Bagi dua orang wanita jika telah terbukti kuat melakukan lesbian maka mereka harus diberi pelajaran, pukulan/cambuk serta diusir.”  

Semua hukuman ini harus disaksikan oleh khalayak umum. Tujuannya adalah agar timbul rasa ngeri, sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang ingin mencobanya. Inilah efek zawajir (pencegah) dari sistem sanksi Islam. Di sisi lain, hukuman ini akan menjadi penebus dosa bagi pelaku, baik di dunia dan di akhirat. Inilah efek jawabir (penebus) dari sistem sanksi Islam.

Hanya saja, sistem sanksi Islam dan efek khasnya ini hanya akan berjalan jika yang melaksanakan adalah sebuah institusi yang menerapkan hukum Islam, yaitu Khilafah. Sebab, hanya Khilafah-lah yang memiliki kewenangan untuk menerapkan sistem sanksi Islam, bukan kelompok atau individu muslim. 

Selain itu, keberadaan Khilafah akan menyuasanakan masyarakatnya agar mereka saling menjaga satu dengan yang lain dari kemaksiatan. Masyarakat dalam Khilafah memiliki karakter khas, yaitu saling amar ma’ruf nahi munkar, sehingga bibit-bibit L68T akan terbasmi oleh aktivitas masyarakat ini. Inilah cara Khilafah menjaga masyarakatnya dari kelompok bengkok. Wallahu’alam.

Oleh: Nonik Sumarsih, S.Si.
Mahasiswa Pascasarjana
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab