Tinta Media: Gangguan
Tampilkan postingan dengan label Gangguan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gangguan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Maret 2024

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Mental?


Tinta Media - Euforia Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah berlalu beberapa hari kemarin dan prosesnya masih berlanjut. Bahkan setahun sebelumnya yaitu sejak pengumuman pasangan calon presiden, euforianya sudah hangat dirasa. Kampanye tipis-tipis pun mulai digerilyakan. Apalagi awal tahun ini.  Sudah banyak baliho berdiri di sudut-sudut kota bahkan desa juga. Iklan kampanye di media elektronik dan media sosial juga bermunculan di jam-jam aktif (kerja). Bahkan tak jarang, kampanye tatap muka dengan dalih entah acara keagamaan, seminar pendidikan, sosial seperti bagi-bagi sembako atau konser musik pun merebak dimana-mana. Pemilu dengan gelontoran dana yang tidak sedikit. Yah itulah fenomena pesta demokrasi. 

Yup, tepat tanggal 14 Februari 2024, masyarakat negeri ini yang memiliki hak pilih, telah memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk periode 2024-2029. Bisa dibayangkan ya, betapa ramainya hari itu dan pastinya betapa banyak biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelenggarakannya.

Melansir dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id (1/11/2023), untuk perhelatan pemilu 2024, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun. Anggaran bahkan sudah diberikan sejak jauh-jauh hari, sekitar 20 bulan sebelum Pemilu terselenggara. Pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan Rp 3,1 triliun. Tahun 2023, alokasi anggaran Pemilu bertambah menjadi Rp 30 triliun. Pada tahun 2024 saat terselenggaranya Pemilu, alokasinya naik lagi menjadi Rp 38,2 triliun. Wow, bukan?!

Belum lagi dengan salah satu peran penting dalam penyelenggaraan Pemilu yaitu Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) yang dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu 2024. Perannya begitu sangat penting karena dialah yang menentukan kualitas proses pemungutan dan perhitungan suara. Bahkan hal ini, dibuat jokes di media sosial karena ini sangat membantu para pengangguran. Kenapa ? Karena barang siapa yang mendaftar menjadi PTPS, maka akan diberi gaji. Berapa gajinya? Berdasarkan dari Surat Menteri Keuangan No. 5/571/MK.302/2022, nominalnya sebesar Rp 750.000 hingga Rp 2.200.000.

Dari data di atas, seolah-olah masyarakat dimanjakan oleh negara dengan pesta yang masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya apa pun, padahal biaya yang dikeluarkan adalah biaya dari penarikan pajak ke masyarakat salah satunya. Berarti tidak gratis, ‘kan? Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa calon-calon yang akan dipilih oleh masyarakat itu, harus menggelontorkan sejumlah uang agar punya hak untuk dipilih. Berapa biayanya?

Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2014-2019 yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Raya (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, Rabu (24/5/2023) untuk menjadi calon presiden maka harus punya modal sebesar Rp 5 triliun. Sedang modal untuk menjadi calon kepada daerah hingga calon anggota DPR RI, butuh Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar. Lantas, dengan modal sebanyak itu, berapa gaji yang akan mereka dapat saat mereka jadi ?

Sesuai UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden, maka gaji presiden adalah 6 kali gaji pokok tertinggi pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden, sedang Wakil Presiden sebesar 4 kali. Sementara pejabat negara selain Presiden dan Wakil Presiden adalah setingkat Ketua DPR dan Ketua MPR dengan gaji pokok sebesar Rp 5.040.000 per bulan. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga mendapatkan tunjangan sebesar Rp 32.500.000 untuk Presiden, Rp 22.000.000 untuk Wakil Presiden. Sehingga ditotal per bulan, Presiden mendapat Rp 62.740.000 sedang Wakil Presiden mendapat Rp 42.160.000. Adapun pejabat negara lainnya seperti anggota DPR akan mendapatkan minimal Rp 50 juta per bulan sudah termasuk tunjangannya. 

Dengan modal yang diberikan serta gaji yang akan didapat maka harapan besar itu ada di masing-masing calon. Namun, seperti yang kita tahu bahwa jumlah calon yang ada lebih banyak dibanding jabatan yang ada sehingga bisa dipastikan akan ada beberapa calon yang tidak terpilih padahal modal yang dikeluarkan sudah sangat banyak. 

Berkaca dari pesta demokrasi pada periode sebelumnya, maka Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dalam diskusi daring dengan antaranews.com (11/12/2023) mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan jelas seperti tujuan kekuasaan, materiil dan berujung kekalahan maka jelas rentan mengalami gangguan mental. Hal ini tidak hanya melanda caleg saja, tetapi juga keluarga hingga tim suksesnya. Untuk itu, mereka datang ke psikiater karena stres bahkan ada yang harus dirawat di rumah sakit karena gangguan jiwa.

Senada dengan itu, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz pada news.detik.com (26/1/2024) meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, kedua hal tersebut sangat diperlukan.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pesta demokrasi (pemilu) sangat rawan mengakibatkan gangguan mental. Karena berbiaya tinggi, sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan. Di sisi lain, jabatan menjadi sebuah impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri/prestise, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan/fasilitas lainnya. Jadi ingat, dengan slogan seseorang bahwa dia masuk sebuah partai adalah jalan ninja baginya untuk mendapatkan keuntungan. 

Kekuatan mental para caleg, menentukan sikapnya dalam menghadapi hasil pemilihan. Dan itu didasari dari pendidikan yang dia punya. Faktanya, pendidikan hari ini gagal membentuk individu berkepribadian kuat. Sehingga memandang bahwa kekuasaan dan jabatan bukanlah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Hawa nafsu mendominasi sehingga menjadikan dirinya sebagai individu yang kurang bersyukur dan bersabar yang berisiko mentalnya terganggu. Itulah akibat jika sistem Islam tidak diterapkan. Sistem yang memandang bahwa kekuasaan adalah amanah sehingga dia akan berupaya taat dengan aturan yang Allah telah tetapkan karena Allah selalu melihat apa yang dia kerjakan.


Oleh: Dwi R Djohan
Aktivis Muslimah

Senin, 19 Februari 2024

Pesta Demokrasi Rawan Gangguan Jiwa



Tinta Media - Pesta demokrasi rawan gangguan jiwa? Betul sekali. Dibuktikan dengan adanya sejumlah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang bersiap menangani calon legislatif (caleg) depresi akibat gagal terpilih. Hal ini dilakukan untuk antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, banyak pasien gangguan jiwa dari para caleg yang tidak terpilih. 

Mengapa bisa terjadi? Karena caleg mencalonkan diri dengan tujuan ingin menjadi terkenal atau  memperoleh untung, minimal balik modal atas dana yang telah dikeluarkan. Namun, ternyata mereka kalah, dan pasti akan mengalami kecewa berat. 

Nah, caleg yang mencalonkan diri dengan tujuan seperti itu jelas rentan mengalami gangguan mental. Banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg serta terlilit utang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk caleg Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, yang sangat diperlukan yakni belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu. (dprd-dkijakartaprov.go.id, (24/01/2024)

Anehnya, mengapa sistem ini masih dipertahankan dan diperpanjang terus hingga dipercaya menjadi sistem yang terbaik dan terhebat, padahal banyak memakan korban? Ya, itulah yang terjadi di sistem demokrasi yang beraroma kapitalis. Semuanya diukur dengan materi. 

Memang, bila Anda ingin menjadi pemimpin di negara demokrasi beraroma kapitalis ini, maka bersiap-siaplah akan mengalami sakit jiwa, karena sistem ini memerlukan dana yang tidak sedikit, bahkan diperlukan pengorbanan yang sangat besar untuk menggiring rakyat agar mau memilih Anda. 

Tidak sedikit para caleg tersebut memiliki tujuan untuk kekuasaan ataupun materi, tetapi berujung kekalahan. Mereka kalah suara yang akhirnya berobat ke psikiater, karena tidak dapat menerima kekalahan tersebut. 

Bahkan, anggota keluarga hingga tim suksesnya tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental. Maka, mempersiapkan mental sebelum dan sesudah terjun ke dunia politik merupakan modal utama bagi para pemimpin atau caleg. 

Menanamkan dalam jiwa untuk siap kalah adalah sebuah keharusan. Mengapa demikian? Karena di samping membutuhkan modal yang besar, daftar calon tentu tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia. Untuk itu, Anda, para caleg harus mempersiapkan mental sematang mungkin untuk mengikuti dinamika Pemilu 2024, bersiaplah sebagai caleg gagal pada pesta demokrasi.

Memang, pemilu di sistem demokrasi kapitalis berbiaya tinggi, sehingga membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala cara untuk meraih kemenangan.  Saat ini kekuasaan atau jabatan menjadi Impian semua caleg karena dianggap dapat menaikkan prestise dan bisa menjadi jalan mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan serta fasailitas lainnya. Kekuatan mental seseorang menentukan sikap seseorang terhadap hasil pemilihan. Pendidikan di sistem ini gagal membentuk individu berkepribadian kuat, terbukti meningkatnya kasus gangguan mental.

Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. dan harus dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan dari Sang Pencipta.

Sistem pendidikan Islam mencetak individu yang bertakwa dan menjadi orang yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat. Juga menjadi individu yang beriman pada qadha dan qadar yang telah ditetapkan Allah Swt. Dengan begitu mereka akan siap dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Swt.

Yakinlah bahwa sistem Islam akan melahirkan individu yang selalu dalam kebaikan karena selalu bersyukur dan bersabar, sehingga terhindar dari gangguan mental. Bismillah kembalilah ke dalam sistem Islam.


Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I., 
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

Jumat, 04 November 2022

Kasus Gangguan Mental Naik, Seharusnya Butuh Solusi Sistemik

Tinta Media - Pandemi Covid-19 benar-benar telah memporak-porandakan perekonomian secara global. Wabah yang menyerang dunia semenjak tahun 2019 begitu membuat semua lapisan masyarakat terkena dampaknya baik secara fisik maupun mental. Secara fisik wabah ini telah menyerang kesehatan manusia, menyerang gangguan sistem kekebalan tubuh yang dapat mengakibatkan kematian. Tak sedikit orang yang terkena depresi akibat lockdown yang berkepanjangan. Pun secara ekonomi wabah ini telah menghantam perekonomian negara dan masyarakat hingga pada titik yang begitu rendah. 

Di Indonesia, angka kemiskinan pasca terjadinya pandemi tercatat naik secara signifikan. Hal ini tentu berdampak pada kondisi masyarakat, terutama pada masyarakat dengan pendapatan yang relatif rendah (seperti kaum buruh misalnya). Jumlah angka kemiskian yang semakin naik ini ternyata berbanding lurus dengan jumlah penderita gangguan kejiwaan. Betapa tidak, faktor ekonomi yang dialami masyarakat kurang mampu ini pun berimbas pada kondisi psikis mereka. Kebutuhan pokok yang harganya semakin tak terkendali, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, naiknya harga BBM serta minimnya jumlah lapangan pekerjaan membuat kehidupan rakyat miskin semakin bertambah sulit. Dari sinilah muncul bermacam-macam gangguan metal meskipun faktor ekonomi ini hanya merupakan salah satu dari beberapa penyebab yang memicu adanya gangguan kejiwaan.

Sebenarnya peningkatan jumlah penderita ganggun mental ini sudah terjadi jauh sebelum masa pandemi Covid-19. Menurut riset yang dilakukan oleh IHME atau Institute of health Metrics and Evaluation by University of Washington terkait Global Burden of Desease 2019, gangguan kesehatan mental menjadi salah satu faktor penyebab paling atas dari seluruh beban penyakit yang ada di dunia. 

Jumlah pengidap gangguan kesehatan jiwa dengan gangguan perkembangan mental /intelektual (tidak termasuk pecandu alkohol dan narkotika) pada tahun 1990-2019 mencapai lebih dari 14 juta orang untuk jenis kelamin Perempuan dan lebih dari 12 juta orang untuk jenis kelamin laki-laki. Sementara itu jumlah laki-laki dan perempuan yang mengalami depresi sekitar 5 juta orang. Tingginya kasus gangguan mental ini menunjukkan bahwa kondisi negeri ini sedanag sakit. Begitu pula pada kasus melonjaknya angka kemiskinan, bisa dijadikan indikasi bahwa ada kekeliruan dengan tata kelola negara saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan masalah ini (gangguan kejiwaan) terjadi baik internal mau pun eksternal termasuk lingkungan dan corak pembangunan yang kapitalistik. Maka untuk mengatsi masalah yang sangat complicated dibutuhkan solusi yang sistematik.

Gangguan kesehatan mental pada umumnya terjadi akibat faktor ekonomi. Sudah bukan rahasia bahwasannya kondisi ekonomi saat ini tenggah mengalami keterpurukan. Angka pengangguran meningkat, ditambah lagi pemangkasan jam kerja para buruh. Dominasi pekerja perempuan yang berdampak pada abainya peran ibu, menyebabkan tidak berfungsinya tugas dan kewajiban atau peranan masing-masing anggota keluarga. Hal inilah yang memicu kondisi disharmoni. Anak yang kurang mendapatkan perhatian, kondisi pengaruh lingkungan yang buruk serta minimnya pengetahuan agama menyebabkan generasi muda mudah mengalami depresi. Tidak adanya penanganan gangguan mental akibat komersialisasi layanan kesehatan menyebabkan kondisi semakin parah, akhirnya pelarian terakhir mereka adalah narkotika dan bunuh diri. 

Penyelesaian atas masalah gangguan mental, pendidikan, kesehatan, kemiskinan dan masalah lain yang seakan hanya setengah hati dan tambal sulam dari penguasa menjadikan kondisi negara semakin ruwet dan semrawut. Berbeda dengan sistem pemerintahan islam yang menerapkan hukum syariat. Penyelesaian atas masalah-masalah tersebut sangat terintegrasi dan sistemik. Islam mengatur segala urusan dengan sangat jelas. Kemiskinan sebagai salah satu penyebab gangguan kejiwaan pada maasyarakat diatasi dengan cara penjaminan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan pekerjaan secara luas. Pemberian pelayanan pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma, sehingga tidak ada kasus anak putus sekolah karena tidak adanya biaya. Anak-anak pun bisa fokus sekolah atau kuliah tanpa harus pusing memikirkan kerja paruh waktu untuk membayar biaya sekolah atau kuliah. Jelas hal ini akan mengurangi potensi generasi muda z mengalami tekanan mental. Demikian juga para orang tua, dengan tidak adanya biaya sekolah atau kuliah tentu hal ini akan memudahkan mereka. Sebagai orang tua wali mereka tidak harus bekerja keras demi untuk membayar uang sekolah ataupun kuliah anak-anaknya.  

Lantas bagaimana negara Islam mendanai bidang kesehatan dan pendidikan sementara penguasa saat ini mensubsidi BBM saja merasa berat dan menganggap subsidi BBM adalah beban negara?

Pemasukan penguasa dalam sistem kapitalisme mengandalkan bea cukai dan pajak, sementara dalam negara Islam memiliki begitu banyak pemasukan. Kas negara Islam disebut baitul mal, pos-pos pemasukan baitul mal antara lain:

- Pos kepemilikan umun, terdiri dari fasilitas dan sarana umum seperti instalasi air dan listrik, infrastruktur jalan umum, kereta api, dan lain-lain. Sumber daya alam seperti padang rumput, air, api yang memiliki sifat pembentukan dasarnya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Barang tambang yang mana persediannya dalam jumlah sangat besar seperti tambang emas, batu bara, minyak, gas, batu mulia, nikel, tembaga, garam dan lain sebagainya.

- Pos kepemilikan negara yang terdiri dari ghanimah, fa’i, anfal, usyur, jizyah dan lain-lain.

- Pos zakat yang potensi masukannya sangatlah besar.

Dengan bermacam-macam jenis pemasukan inilah negara Islam mampu membiayai rakyatnya dalam hal pendidikan dan juga kesehatan sekaligus untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan terselesainya masalah kemiskinan, secara otomatis problematika gangguan kesehatan mental pun dapat diatasi. Apalagi didukung oleh sistem pendidikan berbasis akidah yang mampu menguatkan keimanan, ketaqwaan dan kondisi psikis mereka. 

Wallahu a’lam bish shawab. []

Oleh: Siti Fatimah
Pemerhati Sosial dan Generasi

Minggu, 03 Juli 2022

Hampir Satu Milyar Penduduk Dunia Alami Gangguan Mental, Aktivis Muslimah: Saatnya Akhiri Loyalitas kepada Sistem Global Kapitalisme


Tinta Media - Tanggapi rilis WHO tentang hampir satu milyar penduduk dunia alami gangguan mental, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah menyarankan kepada umat Islam untuk mengakhiri loyalitas (kepercayaannya) kepada sistem global kapitalisme.

"Maka ini adalah sebuah data yang mestinya mengingatkan kita semua dan menampar dunia pada hari ini untuk mengakhiri loyalitas (kepercayaannya) kepada sistem global kapitalisme," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (27/6/2022).

Menurutnya, pemicu dari munculnya gangguan mental yang dialami hampir semilyar penduduk dunia ini adalah pemberlakuan aturan-aturan di dalam sistem yang berlaku hari ini, yaitu sistem kapitalisme.

"Pemberlakuan sistem ekonomi menghasilkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang luar biasa ekstrimnya," tandasnya.

Ia memandang, pemberlakuan sistem sosial hari ini, menghasilkan keluarga ataupun hubungan antar masyarakat yang luar biasa sulit untuk mengharmonisasi, bahkan kemudian juga menghasilkan persoalan-persoalan moralitas seperti adanya kekerasan seksual karena sangat banyaknya paparan aurat yang terbuka, kebebasan seksual yang dipertontonkan, dan seterusnya.

Demikian pula, lanjutnya, ini disokong oleh media yang tentu saja tidak bisa ada media yang sampai ke tengah-tengah masyarakat, kecuali diizinkan oleh sistem yang ada. "Karena itu, benar ini adalah satu bencana bagi masyarakat dunia," tegasnya.

Namun, ia menyampaikan bahwa harus disadar, termasuk WHO tidak boleh hanya menginformasikan kesehatan mental banyak orang itu terganggu sampai sekian banyak. Tapi mestinya PBB juga objektif menyatakan bahwa ada problem sistemik, karena ini sesungguhnya gampang sekali disimpulkan dari apa yang berjalan dari sistem hari ini.

"Belum lagi apa yang dinyatakan oleh  WHO ada ketidakmampuan orang-orang yang punya masalah kesehatan mental ini untuk mengakses layanan kesehatan. Nah ini juga problem sistemik," imbuhnya.

Ia menilai tidak semua layanan kesehatan bisa diperoleh dengan mudah. Karena semuanya berbayar. Kalau ingin mendapatkan fasilitas lebih, tentu saja harus membayar lebih.

"Nah apa pelajaran yang bisa kita ambil?  tentu saja ini mengingatkan kita semua bahwa sesungguhnya memang semua aturan kehidupan, sistem yang tidak berlandaskan kepada hukum-hukum Allah, tidak dilandaskan kepada tuntunan Ilahi. Padahal Allah sudah memberikan tuntunan-Nya, tapi diabaikan bahkan ditolak mentah-mentah," sesalnya.

Maka, ujar Ustazah Iffah, yang terjadi adalah kerusakan, kesengsaraan, bagi umat manusia. Seharusnya ini mendorong kita untuk mencari sistem alternatif yang sesungguhnya itu bisa didapatkan di dalam sistem Islam. Karena Islam punya tuntunan yang lengkap untuk mengatur semua aspek kehidupan.

"Dan dulu, praktik pemberlakuan sistem Islam ini, sudah dicontohkan oleh para Khulafa. Khulafaurrosyidin maupun para khalifah. Dan kesehatan mental itu bisa ditekan sedemikian rupa bahkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental itu juga bisa diselesaikan dengan treatment atau dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh sistem yang ada," paparnya.

Ustazah Iffah menyampaikan, ada satu tempat di mana masih ada jejak perawatan terhadap gangguan kesehatan mental yang dulu disediakan oleh sistem Khilafah yaitu oleh Khilafah Utsmaniyah.

"Di mana di situ negara punya tanggung jawab penuh, bahwa ada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental yang jumlahnya mungkin tidak banyak, tapi negara menyediakan fasilitas untuk menangani mereka agar tidak mengganggu kehidupan mereka, berikutnya agar tidak menjadi hal yang buruk bagi masyarakat," pungkasnya.
[]'Azimatul Azka

Sabtu, 02 Juli 2022

Hampir Satu Milyar Penduduk Dunia Alami Gangguan Kesehatan Mental, Ustazah Iffah: Indikasi Sistem Saat Ini Banyak Persoalan


Tinta Media - Menanggapi rilis WHO yang menyampaikan bahwa hampir satu milyar penduduk dunia alami gangguan kesehatan mental, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah mengungkapkan, hal itu sebagai indikasi atau penanda bahwa sistem yang berjalan di dunia ini menghasilkan banyak persoalan.

"Nah ini kita bisa jadikan sebagai indikasi atau sebagai penanda bahwa sistem yang berjalan di dunia ini menghasilkan banyak persoalan," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (27/06/2022).

Ia mengurai berbagai persoalan sistemik yang muncul. Mulai dari persoalan ekonomi,  persoalan keluarga (berupa tidak harmonisnya hubungan keluarga, retaknya keluarga), kemudian tidak harmonisnya hubungan antar individu-individu di masyarakat, persoalan sosial, dan persoalan politik  yang terjadi karena pengaturan berbagai urusan kehidupan masyarakat tidak diselesaikan dengan baik.

Tidak Ada Harmonisasi

Menurutnya, munculnya gangguan kesehatan mental paling besar diakibatkan oleh tidak adanya harmonisasi. Baik harmonisasi di dalam hubungan keluarga, di dalam hubungan sosial antar individu masyarakat maupun kemudian terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat khususnya kebutuhan ekonomi, kebutuhan layanan kesehatan, dan seterusnya.

"Coba kita bayangkan ketika tidak baik-baik saja atau tidak harmonis, kondisi tidak ideal dalam kehidupan berkeluarga, maka kita bisa saksikan ada anak-anak yang sejak kecil menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar atau konflik, maka ini menjadi satu pukulan mental tersendiri bagi anak-anak," paparnya.

Bahkan, lanjutnya, di usia dewasa banyak juga orang yang kemudian mengatakan, "Oh saya tidak mau berumah tangga, karena saya tidak ingin nanti mengalami kondisi yang sama dengan orang tua," kutipnya.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

"Apalagi kalau mereka melihat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, misalnya adanya kekerasan fisik yang dilakukan oleh keluarganya baik kepada ibu ataupun kepada anak-anak. Ini juga menjadi trauma tersendiri dan mengakibatkan gangguan mental, gangguan kesehatan mental pada anak-anak," terangnya.

Belum lagi, ungkap Ustazah Iffah, kalau kita lihat karena banyaknya anak-anak itu terpapar content-content kekerasan  atau mereka juga menyaksikan, mengalami langsung menjadi korban kekerasan itu di dalam keluarganya, maka mereka menduplikasi, mereka meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka, yang mereka tonton di media, maka ini juga membuat mereka melakukan buliying (perundungan) serupa kepada yang lainnya, belum lagi soal kekerasan seksual, dan seterusnya.

"Nah ini memang berakibat pada gangguan-gangguan kesehatan  mental, baik pada anak-anak di usia tumbuh kembang mereka, ataupun pada saat mereka di usia yang lebih dewasa," ujarnya.

Mereka yang pada usia anak-anak mengalami kekerasan seksual misalnya, maka di usia dewasa juga akan mengalami trauma tersendiri atau bahkan ada sebagian yang disampaikan oleh riset-riset yang ada, bahwa pelaku kekerasan seksual bahkan predator seksual itu adalah orang-orang yang dulunya di masa kecil, mereka mengalami kekerasan serupa.

Kekerasan Ekonomi

Ustazah Iffah memandang, orang yang mengalami atau orang yang menghadapi kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi (secara ekonomi mereka mengalami kesulitan), mereka tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka ada semacam persoalan gangguan kesehatan mental di usia yang lebih dewasa.

"Mereka seperti ingin take revenge (seperti ingin balas dendam). Kita bisa lihat beberapa waktu yang lalu kasus crazy rich 'yang melakukan' bisnis penipuan, trading, kemudian sejenisnya, itu adalah orang-orang yang dia katakan, 'Dulu saya punya orang tua yang tidak bisa memenuhi kebutuhan saya, secara ekonomi sangat sulit'," kutipnya.

Ia menilai ungkapan 'secara ekonomi sangat sulit' itu tidak dipahami sebagai hal yang tidak bisa diterima secara mudah, karena mereka melihat ada orang lain yang bisa memiliki apa saja. Jadi, ada kesenjangan yang luar biasa. Orang yang kaya sangat kaya, orang yang miskin sangat juga miskin.

"Nah, ini juga menyebabkan gangguan gangguan pada kesehatan mental. Nah, otomatis kalau kita merunut dari beberapa contoh kasus tadi, kita bisa lihat memang problem kesehatan mental ini bukan problem yang bersifat subjektif dialami oleh individu-individu yang tak mampu menghadapi msalahnya, bukan hanya itu. Tapi ini adalah problem sistemik," pungkasnya. []'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab