Menyoal Fufufafa Menunjukkan Eksistensi Demokrasi Sesungguhnya
Tinta Media - Fufufafa lahir bertugas sebagai provokasi, berujung tuai kontroversi, menunjukkan solidaritas jejaring dinasti, menambah citra buruk demokrasi.
Ramai diperbincangkan warganet, menyoal akun Fufufafa dengan heroik menghujat presiden terpilih RI, Prabowo Subianto. Ironis, bukti yang terkumpul merujuk kepada wapres Gibran Rakabuming Raka. Sebagaimana yang dilakukan Pakar Telematika, Roy Suryo dengan pendekatan teknik psikologi dalam penelusuran akun Fufufafa. (Tribun.news, 14/09/24)
Lain kisah dengan Menkominfo, Budi Arie yang menepis tuduhan yang dilontarkan terhadap Gibran. Memalukan, ketika diwawancara awak media, Budi mengungkapkan bahwasanya akun Fufufafa masih dalam proses penyelidikan oleh timnya. Artinya Budi sendiri belom mengetahui Fufufafa itu siapa, dalam waktu bersamaan menyangkal Fufufafa bukan akun Gibran tanpa alasan dan bukti. (Kompas.com, 14/09/24)
Miris, rakyat dipertontonkan dengan pertunjukan partai politik dalam balutan demokrasi. Semakin menyangkal kian terlihat karakter asli demokrasi.
Fufufafa adalah akun yang menyuarakan kejelekan Prabowo dengan mengolok-olok, mencaci-maki, cemooh, dan hinaan dengan melontarkan kalimat tidak pantas, menjijikan, dan tidak beretika di Kaskus.
Partai politik mengusung cita-cita bangsa dan negara, dengan slogan terkenal dari, oleh, dan untuk rakyat, realitasnya omong kosong. Sekarang rakyat dipertontonkan setiap partai memiliki kepentingan masing-masing, sehingga kapan saja terlihat mendukung, dalam waktu bersamaan bisa berseberangan dan berseteru.
Fufufafa contoh konkritnya, sebelum Gibran terjun ke partai politik pun, sejatinya Gibran adalah anak dari manusia pertama yang berpengaruh di negeri ini, presiden RI. Gibran secara otomatis akan di sorot awak media serta manusia awam sebagai tokoh publik atau bahkan idola. Artinya dari kebiasaan, perilaku, tutur kata, tindakan, perbuatan, bahkan pemikiran Gibran disorot banyak orang, sehingga harus terdidik, terbiasa, dan menjaga etika.
Bukan malah sebaliknya, ketika tak memiliki kepentingan mencaci, namun bak pesulap, saat terjun ke partai politik, kemudian berkoalisi seakan drama memuji, memihak, dan sependapat.
Setidaknya ada dua hal yang harus kita pahami lebih mendalam,
Pertama, dalam setiap partai terdiri dari beberapa anggota dengan ide, gagasan, dan tujuan yang berbeda. Apakah setiap partai terdiri dari individu berkompeten, bermoral, dan taat agama?
Adanya Fufufafa muncul ke permukaan, menunjukkan hal sebaliknya, namun kenapa bisa lolos nyalon pemilu wapres? Banyak rumor yang beredar, "untung punya paman" mengingat MK terlihat tergesa-gesa mengubah Putusan MK nomor 90 tahun 2023 terkait batasan usia. Sangat terlihat kebijakan di otak-atik sesuai kepentingan.
Kedua, partai politik tunduk kepada pemilik modal. Antara partai dan pemodal menjalin simbiosis mutualisme. Partai mendapatkan sumbangan dana dalam pemilu, sedangkan pemodal mendapatkan karpet merah dalam melanggengkan bisnis melalui kebijakan. Sejatinya para partai memiliki tujuan masing-masing. Realitas yang dirasakan, rakyat bukan prioritas.
Kesejahteraan hanya untuk segelintir orang, "kesejahteraan untuk rakyat", hanya retorika kosong.
Dalam Islam seseorang yang mencalonkan atau dicalonkan menjadi tokoh publik tentu harus melewati seleksi dengan persyaratan ketat dan tentunya seorang individu bertakwa. Karena berangkat dari ketakwaan seseorang, dapat menyelesaikan misi sesuai visi Islam.
Menjaga tutur kata, tingkah laku, serta perbuatan merupakan hal basic yang harus tercerminkan oleh setiap orang dalam naungan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Tidak menunggu menjadi gubernur untuk memiliki kepribadian yang baik. Sejatinya negara memastikan setiap individu memiliki kepribadian Islam melalui pembinaan aqidah dalam keluarga, dan kurikulum pendidikan Islam.
Seseorang yang diamanahi kekuasaan sejatinya memikul tanggung jawab mulia untuk mensejahterakan umat.
Sejatinya landasan pembentukan partai politik dalam Islam adalah Firman Allah. "Hendaklah diantara kalian menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada kebaikan, dan melarang terhadap keburukan. Sejatinya mereka itulah orang-orang beruntung" TQS. Ali Imran:104
Partai politik dalam Islam tidak boleh dimonopoli oleh segelintir orang baik pemodal, investor, atau kelompok. Sejatinya partai politik berfungsi untuk terus menyadarkan umat menyoal umat akan sejahtera dalam bingkai sistem pemerintahan yang memang roadmapnya langsung dari Allah, yaitu Sistem Khilafah.
Tentunya untuk mewujudkan kesejahteraan yang haqiqi dengan menerapkan syariat Islam dalam kancah kehidupan, termasuk sistem yang mengikat setiap individu untuk bertingkah laku.
Wallahu'alam Bisowab.
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak., Pemerhati Remaja, Kontributor Tinta Media