Tinta Media: Fredy Sambo
Tampilkan postingan dengan label Fredy Sambo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fredy Sambo. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Agustus 2022

PRAKTIK PENCABUTAN KUASA OLEH KLIEN 'DALAM TEKANAN' OKNUM PENYIDIK ADALAH SEBUAH PELANGGARAN HUKUM

Tinta Media - Kabar pencabutan kuasa oleh Bharada E terhadap Deolipa Yumara tentu mengagetkan bagi kalangan advokat, juga masyarakat pada umumnya. Sebab, melalui advokasi yang dilakukan Deolipa lah, publik menjadi lebih tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kerja-kerja Advokasi yang dilakukan oleh Deolipa sepatutnya diapresiasi, bukan malah dikebiri.

Klaim Bharada E tak nyaman dengan pembelaan Deolipa, sebagaimana dituturkan oleh Ronny Talapessy sulit dipercaya, mengingat Ronny berkedudukan sebagai pengacara pengganti setelah Bharada E mencabut Kuasa Deolipa. Pernyataan ini ada dalam bingkai 'konflik kepentingan hubungan advokat' sehingga kebenarannya patut dipertanyakan.

Sementara Deolipa, awalnya mempertanyakan pencabutan kuasa yang hanya dikirim via HP (WA). Deolipa mempertanyakan Surat yang diketik rapih, bukan tulisan tangan. Padahal, Bharada E sedang dalam kondisi di tahanan, sesuatu yang muskil dapat mengetik dan mecetak surat pencabutan secara rapih tanpa adanya bantuan (baca : intervensi) dari pihak yang memiliki otoritas di tahanan Bareskrim. 

Brigjen Pol Andi Riyan Jayadi mengaku, Deolipa menjadi pengacara Bharada E adalah karena penunjukan penyidik. Implisit dapat dipahami, bahwa kalaupun penunjukan itu dicabut, hal itu tentunya sudah menjadi kewenangan penyidik.

Adapun terhadap pencabutan kuasa tersebut, Deolipa Yumara menyatakan akan menuntut Negara untuk membayar Rp 15 T sebagai kompensasi pekerjaannya yang sudah bekerja 5 (lima) hari mendampingi Bharada E. Deolipa akan menggugat baik melalui jalur perdata maupun tata usaha negara.

Sebenarnya, praktik pencabutan kuasa itu lazim dalam praktik profesi advokat sebagaimana advokat juga lazim mengundurkan diri dari kuasa. Sepanjang atas kehendak klien, kuasa dapat dicabut setiap saat dengan alasan apapun.

Namun, untuk pencabutan kuasa yang bersifat profesional, pencabutan ini tidak menghilangkan hak dan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, termasuk penunaian pembayaran jasa atau fee advokat. Selanjutnya, seluruh dokumen dan bukti yang berkaitan dengan perkara dikembalikan kepada klien.

Namun, tidak sedikit praktik pencabutan kuasa karena adanya tekanan atau rayuan dari pihak lain. Sehingga, tindakan pencabutan kuasa itu bukan murni inisiatif klien melainkan atas tekanan atau bujuk rayu pihak lainnya.

Misalnya, ada klien mencabut kuasa karena bujuk rayu advokat lainnya, entah dengan janji akan dimenangkan perkaranya atau biaya yang penanganan yang dijanjikan lebih murah. Pada kondisi ini, bukan klien yang bermasalah namun advokat 'penyerobot kasus' yang tidak memiliki etika dan tidak menghargai kerja rekan sejawat.

Adapun cabut kuasa karena tekanan, itu lazimnya terjadi pada kasus pidana dimana ada otoritas penyidik yang berwenang memberikan tekanan kepada tersangka untuk mencabut kuasa atau mengganti pengacara. Praktik seperti ini ada dan lazim dilakukan oleh oknum penyidik, namun tidak bisa dibuktikan karena tersangka biasanya dalam posisi sub ordinat.

Sementara pengacara yang dicabut kuasanya umumnya tidak mempersoalkan, karena hal yang demikian biasa saja. Apalagi, jika motif menerima kuasa adalah untuk menolong. Tentu seorang pengacara atau advokat atau penasehat hukum, tidak akan ngotot membantu klien apabila klien tersebut enggan dibantu.

Terlebih lagi, masih banyak perkara yang dikerjakan dan masih banyak orang yang membutuhkan jasanya. Seorang advokat saat menemui kliennya mencabuti kuasa, maka dia juga tidak akan mempertahankan kuasa selain secara hukum hak memberikan kuasa adalah wewenang mutlak klien.

Hanya saja, dalam kasus Deolipa Yumara, benarkah pencabutan kuasa murni kehendak Bharada E ? Apakah ada tekanan penyidik terhadap Bharada E agar mencabut kuasa ? lalu motifnya apa ?

Dalam ketentuan Pasal 54 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan :

"Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini."

Selanjutnya, pasal 56 KUHAP tegas menyatakan kewajiban untuk menunjuk penasehat hukum dalam perkara dan keadaan tertentu. Dalam pasal 56 KUHAP disebutkan :

"Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka,"

Penunjukan Deolipa Yumara untuk menjadi Penasehat Hukum Bharada E adalah berdasarkan pasal 56 KUHAP ini. Karena Bharada E berstatus Tersangka berdasarkan pasal 338 jo 55 jo 56 KUHP yang ancamannya pidana 15 tahun penjara.

Meski penunjukannya oleh Penyidik, namun hubungan hukum pengacara adalah dengan kliennya bukan dengan penyidik.

Karena itu, dengan alasan apapun seorang penyidik tidak boleh mengintervensi atau mencampuri hubungan hukum antara advokat dengan kliennya. Penyidik juga tidak boleh merasa punya hak hukum untuk mengintervensi klien agar mencabut kuasa, dengan dalih kuasa itu atas penunjukan darinya.

Sebenarnya, dalam penunjukan Penasehat Hukum berdasarkan pasal 56 KUHAP, semestinya penyidik berterima kasih kepada Advokat, disebabkan :

*Pertama,* pasal 56 KUHAP ini imperatif mewajibkan tersangka didampingi penasehat hukum dalam setiap pemeriksaan. Sehingga, tanpa adanya advokat sebagai penasehat hukum, penyidik tidak dapat bekerja untuk melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dalam seluruh tahapannya.

*Kedua,* hadirnya Advokat berdasarkan pasal 56 KUHAP ini juga akan membantu penyidik membuat terangnya perkara, dimana advokat akan mendorong kliennya untuk menceritakan perkara sesuai kenyataannya, tidak perlu ada yang ditutupi. Terbukti, pada kasus Bharada E pasca didampingi Deolipa, perkara menjadi lebih tergambar kebenarannya.

*Ketiga,* penyidik mendapatkan mitra untuk berdiskusi baik terkait fakta maupun norma hukum yang berkenaan dengan kasus. Sehingga dalam proses gelar perkara, penyidik memiliki perspektif utuh dan menyeluruh yang menjadikan keputusan penanganan kasus menjadi lebih kredibel dan akuntabel.

Yang jelas, terlepas ada atau tidaknya intervensi penyidik dalam pencabutan kuasa Deolipa Yumara, peristiwa ini sangat disayangkan. Padahal, publik sedang membutuhkan kerja advokasi yang transparan, yang hal ini sudah didapatkan dari Deolipa dan belum tentu dihadirkan oleh Ronny Talapessy sebagai penggantinya.

Dan apabila ternyata pencabutan kuasa ini ada intervensi dari oknum penyidik, sudah jelas ini merupakan bentuk pelanggaran hukum karena mengintervensi kinerja advokat yang juga tegas berstatus penegak hukum berdasarkan pasal 5 UU No 18/2003 tentang Advokat. Advokat adalah mitra penyidik, bukan sub ordinat atau bawahan penyidik, meskipun kuasa diperoleh melalui penunjukan dari penyidik. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Konsultan Hukum

https://youtu.be/zQI-L8uIIyE



Selasa, 16 Agustus 2022

UIY: Kasus Fredy Sambo Menandakan Ada yang Tak Beres di Tubuh Kepolisian

Tinta Media - Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, kasus Fredy Sambo menandakan ada sesuatu yang tidak beres di tubuh kepolisian.
 
“Peristiwa ini memberikan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi di tubuh kepolisian. Apalagi jika benar, sering ada rekayasa kasus, penghilangan barang bukti, ini menandakan ada masalah besar dalam tubuh kepolisian,” ucapnya di acara Diskusi Media Umat: Fredy Sambo, KM 50 dan Gunung Es Karut Marut Kepolisian, Ahad (14/8/2022), melalui kanal Yuotube Media Umat.
 
UIY berharap, peristiwa ini akan menjadi pemicu bagi perbaikan yang sangat mendasar dalam tubuh kepolisian. “Tanpa itu sangat sulit masyarakat berharap dari aparat hukum akan lahir sebuah kinerja sebagaimana yang diharapkan yaitu terciptanya keadilan, keamanan, penegakan hukum secara umum yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah  masyarakat yang baik,” tegas  UIY.
 
Tiga Sebab
 
UIY mengungkap setidaknya ada tiga sebab mengapa peristiwa penembakan itu terjadi.
 
Pertama, bersifat personal, yang ini menjadi catatan besar, mengapa seseorang yang sudah pada level tinggi bisa melakukan kejahatan elementer. "Diperlukan penyelidikan khusus untuk menguak, ada apa di balik itu,” paparnya.
 
Kedua, lanjutnya, faktor lingkungan semisal budaya “setor” yang membuat seseorang lancar dalam meniti kariernya. “Terjadi persaingan yang memicu untuk menempuh usaha-usaha dengan menghalalkan segala cara. Siapa yang memiliki modal besar dia bisa meraih kemajuan kariernya, tanpa memikirkan apakah sumber keuangannya halal atau tidak,” ulasnya.
 
Lingkungan semacam ini, kata UIY,  memicu seseorang yang tidak kuat integritasnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang  tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum.
 
“Nah, kalau lingkungan ini terjadi berpuluh tahun bahkan menjadi budaya ini saya kira sesuatu yang sangat buruk,” ucapnya.
 
Ketiga, tutur UIY, sangat tergantung dari penegakan hukum yang terjadi di tempat itu.  “Kita tahu bahwa Propam itu kan polisinya polisi. Polisi itu penegak hukum, apalagi polisinya polisi. Lah.. polisinya polisi kok melakukan hal yang luar biasa seperti itu, ini sangat dipengaruhi oleh kredibilitas pimpinan itu,” urai UIY.
 
Kalau seseorang berada di sebuah lingkungan yakni kepemimpinan itu adalah kepemimpinan yang performannya dipenuhi dengan integritas teruji, kata UIY, seseorang tidak akan mudah melakukan penyimpangan karena berada dengan atasan yang kokoh seperti itu.
 
“Kenapa saya menyoroti soal kepemimpinan? Karena kita tahu bahwa kepemimpinan itu akan memberikan warna pada institusi. Jika kepemimpinan itu tegak, lurus di atas keadilan, kejujuran, kebersihan, kehalalan saya kira di bawah itu juga akan mengikut,” bebernya.
 
Ia lalu memberikan tamsil, “ikan itu busuk dari kepalanya.”  “Kalau bawahnya itu busuk maka kita bisa menduga bahwa kepalanya juga busuk,” tamsilnya.
 
Tiga faktor ini, tegas UIY,  penyebab terjadinya peristiwa penembakan itu. “Lebih jauh lagi situasi di negeri ini dilingkupi tatanan yang sekuleristik, di bawah nuansa kapitalistik oligarki yang dominasi kekuatan kapital itu luar biasa, semua bisa di atur, bisa dibeli. Dan jalan untuk membeli, mengatur itu diantaranya menggunakan aparat kepolisian,” imbuhnya.
 
Apatis
 
UIY menilai masyarakat hari ini apatis terhadap ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat, karena masyarakat melihat kritik terhadap penguasa dianggap sebagai oposisi yang harus dihabisi oleh penguasa.
 
“Ini adalah gejala buruk bagi masyarakat yang mengakibatkan kontrol masyarakat berkurang, sehingga yang serakah makin serakah, otoritarian  semakin memuncak bahkan berujung pada diktatorisme, dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan sebuah masyarakat yang baik,” jelas UIY.
 
Absen Nilai Transendental
 
Nilai transendental, kata UIY, adalah sebuah mekanisme kehidupan masyarakat yang meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui, diyakini juga di negeri akhirat itu akan ada pertanggungjawaban dan hukuman yang lebih berat.
 
“Nilai transendental ini  absen, enggak ada ini hari. Ketika tidak ada, kita bisa melihat ternyata impactnya itu sangat serius, perkara yang sederhana menjadi sangat ruwet,” nilai UIY.
 
Absennya nilai transendental ini, menurut UIY, berefek bukan hanya pada pelaku kejahatan per personal  tapi pada lingkungan, kelembagaan stuktural, bahkan pada bangunan negara.
 
“Akhirnya dalam setiap penyelesaian masalah tidak menyertakan unsur transendental dan takwa, padahal dengan alat itu sesuatu yang gelap bisa menjadi terang, sesuatu yang sulit itu menjadi mudah,” ucap UIY meyakinkan.
 
UIY menilai, di atas kesadaran transendental itulah akan muncul kejujuran, welas asih, kasih sayang, persaudaraan, yang  sangat diperlukan dalam pengaturan kehidupan masyarakat apalagi oleh penegak hukum.
 
“Kasus Fredy Sambo  telah menguak betapa sekularisme berdampak luar biasa dalam perikehidupan masyarakat kita, negara kita,  termasuk dalam hal ini secara khusus  dalam kehidupan kepolisian kita,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab