Tinta Media: Food Waste
Tampilkan postingan dengan label Food Waste. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Food Waste. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Agustus 2024

Solusi Islam dalam Masalah Food Waste

Tinta Media - Setiap kehidupan manusia pasti tidak bisa terhindar dari masalah di sekitar, tak terkecuali dengan masalah sampah makanan yang semakin menggila di tengah masyarakat. 

Adanya kemiskinan dan kelaparan yang selalu bersandingan membuat siapa pun miris melihat fenomena ini. Bahkan, sampah makanan telah berpotensi merugikan negara dengan kisaran mencapai Rp551 triliun. (Bappenas Suharso, Suara.com, 3/7/2024)

Prestasi buruk juga disandang Indonesia sebagai negara dengan penduduk yang banyak karena sampah makanan yang banyak pula. Pada tahun 2019, telah ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. 

Pada tahun 2020, Indonesia bahkan telah memasuki sinyal darurat sampah makanan.

Bahkan, tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat bahwa sampah sisa makanan mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Jumlah ini menduduki posisi terbanyak dari total sampah yang dihasilkan, bahkan melebihi sampah plastik sebagai pembungkus, yaitu 26,27 ton. Tentu tidak ada jaminan keberadaan sampah makanan dapat berkurang pada tahun-tahun selanjutnya.

Masalah sampah makanan ini tidak hanya menjadi isu lingkungan, tetapi juga menjadi isu ekonomi dan sosial yang berdampak pada semua orang, termasuk Gen Z. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebenarnya, sampah makanan merupakan makanan yang terbuang, tidak termakan, tidak bisa diolah, bahkan dalam proses limbah. Keberadaannya akan terus terjadi di setiap mata rantai dari produksi sampai konsumsi. 

Sampah makanan dapat dibagi menjadi 2, yaitu akibat penyajian yang berlimpah karena budaya berlebihan dari masyarakat (left over) dan akibat kesalahan perencanaan dalam manajemen. Baik masih layak dikonsumsi ataupun tidak (food waste), keduanya adalah sampah yang berbahaya bagi lingkungan karena mengandung komposisi kimia yang tidak dapat didaur ulang. 

Jika sampah makanan membusuk, ia akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.

Food waste sebenarnya juga merupakan problem dunia, bukan hanya Indonesia. Masalah ini sangat erat hubungannya dengan konsumerisme, sebagai efek penerapan sistem kapitalisme sekuler untuk mengatur kehidupan dunia. 

Penanganan masalah sampah yang paling mudah dilakukan pada tahap konsumsi adalah dengan menahan pada diri sendiri, yaitu dengan manajemen makanan. Di kalangan masyarakat sekarang mudah dikenal dengan “food preparation”. Konsep itu dapat membantu para konsumen untuk membuat list daftar makan yang akan diambil sehingga bisa meminimalisir sampah makanan dari rumah tangga. Selain itu, komitmen penting untuk selalu menghabiskan makanan yang telah dibeli harus lebih kuat. 

Adanya budaya konsumsi berlebihan masyarakat harus dihilangkan karena telah terbukti bisa membahayakan keberlangsungan kehidupan dengan adanya gas rumah kaca yang dihasilkan.

Sayangnya, memang di Indonesia sendiri, adanya pemaham “cukup” untuk makanan akan sering dianggap pelit dan perhitungan ketika berada dalam sistem kapitalis sekuler ini, meskipun maksud dan tujuannya adalah agar tidak terjadi sisa makanan yang akhirnya menjadi sampah, padahal keberadaannya masih layak untuk dikonsumsi dan dapat dimanfaatkan. Ini mencerminkan akhlak masyarakat. Padahal, Islam tidak mengajarkan seperti itu. Islam justru mengajarkan untuk tidak membuang makanan.

Di sisi lain, adanya gambaran mismanajemen negara dalam distribusi harta terlihat jelas dari masalah sampah makanan ini. Di satu sisi, banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dengan angka stunting, putus sekolah karena harus bekerja supaya bisa makan dan bertahan hidup, tetapi di sisi lain, ada juga berbagai kasus seperti beras busuk di gudang bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga. Ini seakan terjadi hidup di bumi yang berbeda. 

Lantas, apakah ada solusi dalam Islam terkait masalah sampah makanan ini? 

Islam selalu punya aturan terdetail dan terbaik dalam mengatur kehidupan, termasuk perihal konsumsi maupun distribusi. Di dalam Islam, diajarkan mengonsumsi sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan sesaat dan selalu ditanamkan dalam dirinya bahwa segala sesuatu yang dimiliki di bumi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya karena semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Akidah Islam menghujam dalam diri, membuat siapa pun terhindar dari kesia-siaan dan berlebih-lebihan. 

Dalam Islam, terdapat sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang bijak dalam bersikap, termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan.

Pandangan Islam saat melihat aspek ekonomi salah satunya ialah sebagai penyangga dakwah dan jihad. Sehingga, di dalam Islam juga terdapat pengaturan yang cermat saat melihat produksi, konsumsi, dan distribusi, yaitu produksi sebanyak-banyaknya, distribusi seluas-luasnya, dan konsumsi secukupnya.

Alhasil, dapat terwujud distribusi yang merata. Sehingga, ketika suatu negara diterapkan hukum Islam sebagai pengaturnya, maka masyarakat akan sejahtera. Setiap individu sadar, tidak ada gap antara si miskin dan si kaya. Negaranya semangat untuk merealisasikan dalam pengentasan kemiskinan. Semua sadar bahwa negara adalah pelayan dan pemberi fasilitas bagi seluruh rakyat.

Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M, 
Sahabat Tinta Media

Rabu, 31 Juli 2024

Stop Food Waste

Tinta Media - Salah satu permasalahan sosial yang saat ini terjadi adalah masyarakat miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan standar layak. Mereka sebagian besar makan 2 kali dalam sehari dengan komposisi gizi pangan yang alakadarnya. Masalah inilah yang menyebabkan angka stunting pada anak terus melonjak. Ini berbanding terbalik dengan fenomena food waste. 

Ironi, food waste (membuang makanan) yang kerap terjadi khususnya di ibukota, malah dianggap sebagai hal yang lumrah.

Biasanya ini terjadi di rumah makan atau restoran karena makanan yang sudah disajikan tidak dihabiskan sehingga terbuang percuma. Bayangkan, bila satu rumah makan limbah makanannya minimal mencapai satu kilogram dalam sehari, belum dikalikan dengan 7 hari atau 30 hari, kira-kira berapa banyak limbah makanan yang terbuang dalam kurun waktu satu bulan? Itu baru satu rumah makan, belum dikalikan dengan jumlah rumah makan atau restoran yang ada di dalam kota itu. 

Belum lagi tren mukbang yang menjamur dan membuat orang berlomba-lomba memakan makanan dalam porsi besar dan tren-tren kekinian lainnya yang malah mendukung food waste. 

Padahal, sebagai umat yang beradab, seharusnya kita memperlakukan makanan pun ada adabnya. Cukuplah kita memakan makanan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan. Kalaupun ada porsi lebih, ada baiknya diberikan pada mereka yang membutuhkan. 

Tak cukup gaya hidup qana'ah dalam setiap individu, tetapi negara juga wajib mengedukasi warganya untuk hidup qana'ah dan peduli dengan sesama. Dengan begitu, kebiasaan membuang makanan (food waste) tidak akan terjadi.

Selain itu, negara bertanggung jawab dalam distribusi stok kebutuhan pangan ke seluruh daerah secara merata. Negara juga harus memastikan bahwa tiap warga negara terpenuhi gizinya dengan sempurna.

Oleh: Siti Hardiyanti, Sahabat Tinta Media

Kamis, 02 Mei 2024

Fenomena Food Waste dan Food Loss, Buah Gaya Hidup Sekuler

Tinta Media - Pada tahun 2021, indeks limbah makanan dari United Nations Environment Programme (UNEP) melaporkan bahwa limbah rumah tangga merupakan penyumbang terbesar, yakni 569 ton per tahun 2019, diikuti dengan layanan makanan dan jasa lainnya. 

Indonesia menjadi negara dengan sampah makanan terbesar ke-2 di dunia.
Pernahkah kita berpikir bahwa makanan sisa yang terbuang akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan? 

Fenomena food waste dan food lose secara global cukup banyak mendapatkan sorotan sebagai penyumbang limbah dan dampak buruknya untuk ekosistem. 

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), food waste adalah makanan yang terbuang, padahal makanan tersebut masih baik dan layak dikonsumsi. Sedangkan food loss  menurut FAO adalah limbah makanan atau makanan yang terbuang karena kondisi makanan yang sudah tidak layak konsumsi atau berkualitas rendah, seperti produk makanan olahan yang kedaluwarsa atau expired. 

Selain dari sisi lingkungan, kerugian pun berdampak pada sisi ekonomi dan kebutuhan pangan. Food loss (FL) pada dasarnya adalah hilangnya nilai ekonomi untuk badan usaha pangan, yang akan berdampak di tingkat global sebagai pemborosan nilai makanan. 

Fenomena food loss dan food waste ini menjadi hal yang miris dan sangat kontras ketika pada saat yang sama masyarakat kekurangan makanan, bahkan kelaparan masih terjadi di berbagai wilayah.

Pada Juli 2021, Oxfam melaporkan bahwa 155 juta orang di seluruh dunia hidup pada tingkat krisis ketahanan pangan dan 11 orang meninggal setiap menit dalam kondisi kelaparan. Namun mirisnya, masih banyak orang yang senang membuang-buang makanan. Ini merupakan gaya hidup akibat kebebasan berperilaku dan sikap individualisme akut yang lahir dari memperturutkan hawa nafsu manusia. 

Gaya hidup tersebut lahir dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme liberalisme yang mengatur kebebasan dalam kepemilikan, sehingga ditemukan jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin. Si kaya dapat mengakses segala fasilitas kehidupan, termasuk dalam mendapatkan makanan apa pun yang diinginkan, sedangkan si miskin sulit untuk mendapatkannya. 

Hal tersebut diperparah dengan gaya hidup hedonis yang menjadikan kepuasan jasadiyah (termasuk dalam hal makanan), begitu merebak di tengah masyarakat. Ini dibarengi dengan budaya komsumtif yang merupakan titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat kapitalisme. Perilaku konsumtif ini semakin dipicu oleh berbagai macam iklan di berbagai jenis media, baik cetak, elektronik, hingga media sosial.

Berbagai panganan (kuliner) menjamur di mana-mana, dari yang harga ekonomis hingga harga fantastis yang dipermudah dalam jual- belinya, baik online maupun offline. Ini menjadi peluang bisnis baru bagi masyarakat, terutama para kapitalis, karena bisnis makanan tidak ada matinya.

Keberadaan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator yang justru mendukung perilaku-perilaku konsumtif dan hedonis ini, karena negara dengan sistem sekuler kapitalisme beranggapan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memenuhi keinginan. Dalam hal ini, negara tidak boleh ikut campur. 

Di sisi lain, negara memberikan peluang bisnis kepada para kapitalis untuk menghadirkan berbagai fasilitas makanan tersebut demi memenuhi gaya hidup rakyat. Padahal, patokan kesejahteraan masyarakat tidak dilihat dari seberapa konsumtifnya mereka dalam hal makanan, tetapi apakah masyarakat secara keseluruhan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara maksimal ataukah tidak. Bukan hanya kebutuhan jasmani (makan), tetapi juga kebutuhan-kebutuhan nalurinya. 

Hal seperti ini tidak dapat dibiarkan. Sebagai seorang muslim, tentu kita harus mengembalikan segala tata aturan kehidupan ini kembali kepada syari'at Islam, sebagai aturan Sang Pencipta, Allah Swt.

Fenomena food waste dan food loss menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat. Ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak dirasakan oleh semua rakyat.
Negara di dalam Islam akan memastikan terpenuhinya segala kebutuhan masyarakat, termasuk dalam hal pangan. Dalam pembelanjaan harta, Islam sangat melarang perilaku konsumtif. 

Seperti dalam Firman Allah Swt.

وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

Artinya: "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." (TQS. Al-Isra :26)

Islam tidak pernah melarang umatnya menjadi kaya, tetapi Islam sangat melarang perilaku berlebihan-lebihan, apalagi dengan kondisi masih banyak masyarakat yang untuk makan saja sulit. 

Kesederhanaan yang diperintahkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ini sangat mengakar dalam individu masyarakat Islam. Akhlak dalam hal makanan mengarahkan agar makan secukupnya dan berhenti sebelum kenyang. Mereka bisa mengatur segala asupan yang dibutuhkan sehingga tidak ada makanan yang terbuang, karena makan sesuai kebutuhan.

Di samping itu, Islam juga mendorong setiap individu dalam masyarakat untuk bertanggung jawab dalam urusan umat di sekitarnya, bukan hanya mementingkan individu saja.

Masyarakat dalam daulah Islam akan dididik, baik secara individu ataupun masyarakat untuk menyadari bahwa apa yang mereka konsumsi akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak, bahwa tolak ukur kebahagiaan bukan dari kepuasan dengan membeli atau mengonsumsi barang. Akan tetapi, bagaimana kita bisa membelanjakan harta sesuai tuntunan syari'at, baik dalam memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, kerabat, bahkan untuk masyarakat. Semua itu semata-mata demi meraih keridaan Allah Swt.

Ketetapan syariat Islam terkait kewajiban zakat (bagi yang sudah terkena nisab dan haul), disunahkannya infak, sedekah, dan sebagainya, merupakan cara Islam dalam menuntaskan masalah ketimpangan ekonomi yang mungkin muncul di tengah masyarakat. Pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui kas di Baitul Mal. Ini akan memaksimalkan tercapainya maksud dari penetapan syariat tersebut.

Selain itu, negara juga memiliki peran penting dalam mengatur industri periklanan, agar media tidak seenaknya menayangkan iklan yang memunculkan perilaku konsumtif. Negara justru akan memanfaatkan media massa untuk mengedukasi (mendidik) rakyat dengan opini-opini dan ide-ide Islam, yang akan semakin menguatkan ketaatan rakyat terhadap Allah Swt.

Demikian pula akan diatur aktivitas produksi barang ataupun komoditas yang mendukung negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini berdasarkan politik Islam yang bermakna pengaturan urusan rakyat (umat).

Negara pun, akan menetapkan regulasi tentang pengelolaan limbah makanan, jika permasalahan tersebut muncul, termasuk terkait pemisahan jenis limbah dan peta jalan utama alur pengelolaan limbah dari hulu hingga hilir. Bahkan, negara akan melakukan riset dengan dana yang dikhususkan, untuk menemukan teknologi yang tepat dalam menuntaskannya. Wallahualam..

Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab