Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum
Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.
"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.
Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.
Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.
Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.
Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.
Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.
"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.
Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua.
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.
"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.
Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?.
"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.
Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.
"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.
Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya
Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.
"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya.
[] 'Aziimatul Azka