Tinta Media - Istilah stoicisme yang akhir-akhir ini marak dan diadopsi oleh para remaja adalah salah satu paham filsafat. Ada banyak paham filsafat lainnya seperti idealisme, rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, pragmatisme, empirisme, materialisme, kapitalisme, demokrasi, sekulerisme, eksistensialisme, strukturalisme, modernisme, feminisme dan liberalisme. Filsafat pada hakikatnya adalah upaya mencari kebenaran dengan menjadikan rasio sebagai sumbernya.
Rasionalisme dan spekulasi pikiran manusia adalah ciri filsafat. Filsafat secara genetik bersifat antroposentris, yakni menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Filsafat dengan demikian sangat luas obyek kajiannya dan mengandung kebenaran yang sangat relatif, sebab akal manusia memiliki keterbatasan. Karenanya, filsafat mencoba membangun rasionalisme sekaligus spekulatif. Misalnya perbedaan para filosof yunani terkait asal mula segala sesuatu di dunia.
Pendapat Thales yang hidup antara 624 – 548 SM di Miletus dan dianggap orang pertama yang mempertanyakan asal mula segala sesuatu di alam ini. Baginya asal segala sesuatu adalah air. Air menurutnya senantiasa bergerak dan tidak pernah diam dipandang sebagai asas kehidupan segala yang ada. Air menurut Thales ada manfaatnya sekaligus menimbulkan bencana.
Beda Thales, berbeda pula dengan pendapat Anaximenes tentang asal segala sesuatu di alam ini. Anaximenes hidup antara 585 – 528 SM yang mengatakan bahwa asal dari segala sesuatu adalah udara. Manusia dan semua makhluk hidup itu bernafas, menghirup udara yang melingkupi alam semesta. Udara adalah sumber kehidupan, sebab tanpa udara semua makhluk hidup akan mati. Baginya gerakan udara menyebabkan terjadinya isi alam semesta. Keduanya nampak berpikir rasional dari sisi argumentasinya, namun sangat spekulatif, sebab tidak bisa dibuktikan secara empirik dan saintifik.
Sementara itu filosof Herakleitos yang hidup sekitar 540 – 480 SM mengatakan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, semua akan mengalami perubahan. Perubahan dilambangkan dengan sifat api, maka asal segala sesuatu adalah api. Perubahan selalu dibawah logos (logika/ilmu) yakni pikiran yang benar. Berfikir itu baginya adalah menggunakan akal untuk mengetahui apa yang menjadi dasar segala sesuatu, serta hukum yang mendasari perubahan yang terjadi padanya.
Sedangkan menurut Pythagoras yang hidup antara 580 – 500 SM di kota Kroton, Italia Selatan yang ahli bidang matematika mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah bilangan atau angka. Alam bertitik tolak dari bilangan. Alam tersusun sebagai bilangan-bilangan. Kunci pengetahuan tentang alam adalah bilangan. Empat contoh filosof diatas berbeda secara diametral dalam menalar asal mula segala sesuatu. Keempatnya juga sama-sama tidak menyinggung Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Filsafat pertama-tama lahir sejak munculnya keingintahuan tentang segala sesuatu yang ada. Di Yunani dahulu, manusia menggunakan mitos untuk menjawab pertanyaan tentang alam dengan keyakinan dewalah yang merupakan sumber segala sesuatu. Akhirnya manusia berupaya untuk menemukan jawaban dengan cara secara terus-menerus berfikir tentang masalah yang dihadapinya serta melakukan pengamatan yang diduga dapat membantu memecahkan masalahnya. Hal ini menjadi bahan pertanyaan dan pemikiran beberapa orang pada masa sekitar 600-200 tahun SM di Yunani.
Sebagai paham filsafat lain yang mendasarkan kebenaran pada rasionalisme, demikian pula dengan paham filsafat stoicisme yang mengajarkan bagaimana agar manusia mampu menjaga ketenangan dalam berfikir secara rasional. Tidak terlalu mempedulikan apa yang terjadi di luar kendali, serta berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan. Konsep stoicisme mengajarkan tentang keyakinan terhadap apa yang dimiliki oleh diri sendiri kemudian berfokus padanya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Kemudian menyingkirkan pengaruh negatif yang datang dari luar kendali diri.
Orang-orang stoicis tidak terlalu mempedulikan bagaimana penilaian manusia kepada diri mereka sehingga mereka hanya fokus melakukan apa yang mereka anggap baik bagi diri mereka. Dengan demikian, kaum stoicis mengabaikan nilai-nilai agama sebagai timbangan kebenaran dan kesalahan, namun menimbang dengan pikirannya sendiri.
Inilah ciri khas berpikir filsafat, yakni menjadikan pikirannya sebagai landasan untuk menentukan kebenaran dengan mengabaikan kebenaran yang diajarkan agama, khususnya Islam. Sebab faktanya, banyak kaum stoicis masa kini yang beragama Islam. Jika paham stoicis telah menjadi stoicisme, maka berpotensi akan mengatarkan orangnya kepada paham humanisme, nihilisme dan bahkan atheisme.
Orang-orang yang meyakini dan dianggap berhasil menerapkan konsep berpikir stoicisme ini dalam kehidupan mereka mengakui bahwa cara pandang mereka dalam menjalani hidup menjadi berbeda karena mereka dapat menjadi lebih tenang dan lebih menikmati kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tentu saja ini merupakan subyektivisme, sebab dalam Islam telah diajarkan bagaimana mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.
Paham filsafat stoicisme digagas oleh filosof etika yang bernama Zeno dari Elea (pengucapan: /ˈziːnoʊ əv ˈɛliə/, Yunani: Ζήνων ὁ Ἐλεάτης) ( ca. 495-430 SM) adalah filosof pra-Sokrates dari Yunani Besar dan anggota aliran Eleatik yang didirikan oleh Parmenides. Aristoteles menyebutnya bahwa Zeno sebagai penemu dialektika. Zeno memulai studi filsafatnya dari crates of thebes yang merupakan salah satu filosof aliran sinis termasyhur di Athena kala itu. Aliran Sinis adalah yang tidak mempunyai cita-cita dan selalu menganggap orang lain lebih buruk karena itu ia cynic atau sinis. Filsafat etik membincangkan baik dan buruk perbuatan manusia.
Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang. Maka kaum sinis menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kepamoran. Selanjutnya belajar dengan Stilpo The Margarian dan terakhir menjadi murid Polemo. Dari stilpo ia mendapatkan pelajaran bahwa kesalahan terbesar dalam hidup adalah mengatakan ‘ya’ terlalu cepat agar mendapatkan kehidupan yang tenang. Ia mendahului pernyataan Sartre bahwa mengatakan ‘tidak’ adalah pernyataan identitas pribadi seseorang sementara menyetujui permintaan orang lain mengurangi kepribadian individu.
Kira kira sekitar 300 tahun sebelum masehi atau sekitar 2.500 tahun yang lalu terdapat seorang pedagang tekstil kaya dari siprus turki bernama zeno. Pada saat berlayar untuk mberdagang kapal zeno pecah dan jiwanya terdampar di tepi laut Athena, namun hartanya hanyut oleh ombak laut. Di Athena lah zeno mempelajari filsafat dan meninggalkan profesinya sebagai pedagang. Zeno belajar dari berbagai filsuf yang berbeda dan kemudian ia mengajari filosofinya sendiri. Ia senang mengajar di sebuah teras berpilar di sisi utara agora ( tempat orang orang Athena berdiskusi). Dalam bahsa yunani teras disebut dengan “Stoa”, sejak saat itu pengikut aliran zeno disebut dengan kaum stoa, atau stoicisme. Dimana pada saat ini dikenal dengan nama filosofi teras.
Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu dari para gurunya sudah saatnya zeno mendirikan sebuah sekolah. Pada tahun 300 SM ia mendirikan sekolah yang diberi nama stoic. Nama sekolah inilah yang kelak menjadi paham filsafat stoicisme yang beberapa waktu ini menjadi perbincangan di negeri ini. Sekali lagi, filsafat pada prinsipnya adalah pemikiran rasional untuk mendapatkan kebenaran dan kebahagiaan.
Filsafat yang fokus kepada kajian manusia selalu berorientasi untuk mencapai kebenaran, apa itu kebenaran (ontologis), bagaimana manusia seharusnya mendapatkan kebenaran (epistemologis), apa manfaat kebenaran (aksiologis). Setelah kebenaran didapatkan, maka secara aksiologis, manusia akan mencapai apa yang disebut sebagai kebahagiaan. Kebenaran dan kebahagiaan dalam pandangan filsafat cukup beragam, salah satunya adalah apa yang dipikirkan Zeno yang kelak dinamakan paham stoicisme ini.
Latar belakang filsafat Zeno adalah kondisi rakyat Athena yang menderita karena mereka menginginkan apa yang tidak mereka miliki atau takut kehilangan apa yang mereka cintai. Mengejar kesenangan dengan memperoleh kesenangan dan mempertahankan apa yang sudah diperoleh. Alih-alih kesenangan, seseorang harus mempertimbangkan alasan dan mengakui bahwa semua hal tidak kekal dan tanpa nilai abadi. Begitu seseorang memahami hal ini, ia akan mencapai keadaan apatis atau apathe yang tercerahkan, seseorang akan dibebaskan dari “perbudakan terhadap hasrat seseorang”.
Pandangan yang mencolok tentang etika Zeno yang disebut stoicisme adalah bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Sikap tersebut merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal. Dalam istilah awam stoicisme kadang-kadang disebut sebagai "menderita dalam kesunyian", dan etika yang terkait dengan hal itu.
Prinsip dan ajaran Stoikisme banyak mempengaruhi pemikiran para teolog Kristen dan filsuf di sepanjang abad, bahkan hingga saat sekarang, dan warisan yang menyolok dari filsafat Stoikisme adalah tentang hidup etis dengan moralitas yang baik, seperti diwarisi oleh beberapa pemikir, yaitu Baruch Spinoza, Joseph Butler, Immanuel Kant, dan Helmut Richard Niebuhr. Menurut filsuf Jerman bernama Dilthey, Stoikisme adalah filsafat terkuat dan terlama yang dapat diterima ketimbang filsafat lainnya. Dari sini nampak bahwa konsep etika dalam filsafat stoic mengacu kepada humanisme, berbeda dengan Islam yang mengajarkan adab dan akhlak dengan menyandarkan kepada ajaran ilahi dan meneladani Rasulullah SAW.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ( QS. Al ahzab : 21). Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (QS Al Qalam : 4)
Seorang muslim adalah orang yang tunduh patuh kepada ajaran Islam yang datang dari Allah. Seorang muslim semestinya menjadikan Islam sebagai sumber kebenaran dan timbangan sekaligus. Seorang muslim tidak semestinya menjadikan filsafat sebagai sumber mencari kebenaran dan kebahagiaan. Sebab Allah meralang seorang muslim mencari agama selain Islam, sebab hanya Islam yang benar dan jalan keselamatan dunia akhirat.
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At Taubah ayat 33). Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu (QS Al Maidah ayat 3). (Demikianlah) hukum Allah, yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu.” (QS Al Fath 23).
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran : 19). Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi (QS Ali Imran : 85)
Banyak konsep bahagia yang didasarkan oleh ajaran Islam. Yang pertama adalah orang yang khusyuk dalam salatnya. Kedua, orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Ketiga, orang yang menunaikan zakat. Keempat, orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri atau budak yang dimilikinya. Rasulullah SAW juga pernah bersabda tentang kebahagiaan, ''Empat macam dari kebahagiaan manusia, yaitu istri yang salehah, anak yang berbakti, teman-temannya adalah orang-orang yang baik, dan mata pencahariannya berada dalam negaranya sendiri.'' (HR Ad Dailami).
Dalam Islam, ada tiga kunci kebahagiaan hidup yakni selalu bersyukur, bersabar dan beristighfar. Bila setiap muslim mengamalkan tiga kunci ini, maka Allah SWT akan memberikan kebahagiaan luar biasa dalam hidupnya. Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul "Qawaidul Arba (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan)', Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan, "Semoga Allah menjadikan anda termasuk di antara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan.
Tentang kesyukuran, Allah berfirman : Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7). (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram (QS Ar Ra'd : 28).
Tentang kesabaran, Rasulullah bersabda : Sesungguhnya besarnya pahala sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani).
Tentang istighfar, Allah berfirman : (Orang yang bertaqwa) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka” (QS. Ali Imran: 135)
Dengan semikian, kebahagiaan hakiki yakni disaat seorang muslim menyandarkan kepada sumber kebahagiaan, yakni Allah SWT, bukan menyandarkan kepada pikiran dan perasaannya sendiri, sebagaimana dilakukan oleh kaum stoicis. Andaipun kaum stoicis merasakan bahagia, tentu saja tidak hakiki, sebab pikiran dan perasaan yang tidak disandarkan kepada agama tidaklah menjadi sumber kebahagiaan. Pikiran dan perasaan akan bahagia jika menyandarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Berpikir cara stoic tidak menjadikan sebagai ibadah, namun sekedar perilaku individu yang berdimensi humanisme, mencapai bahagia dan ketenangan dengan dasar pikirannya sendiri yang relatif. Karena itu sudah sepantasnya, seorang muslim tidak mabok filsafat dengan menjadikan stoicisme sebagai sandaran pola pikir dan pola sikap, meski sekilas nampak baik dan masuk akal. Seorang muslim semestinya kepada Islam sebagai sumber kebenaran dan kebahagiaan, baik di dunia dan akhirat kelak, bukan sekedar baik dan masuk akal, namun juga harus bernilai ibadah dan amal sholih.
(Ahmad Sastra, Kota Bogor, 30/01/23 : 22.00 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa