Tinta Media: Filsafat
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Maret 2023

KAPITALISME LAHIRKAN FIR’AUN DAN QORUN

Tinta Media - Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berfokus pada kepemilikan dan pengelolaan sumber daya oleh individu dan perusahaan swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan. Ada beberapa kekurangan dan keburukan yang terkait dengan sistem ini, di antaranya :

Pertama, Ketidaksetaraan Ekonomi: Kapitalisme dapat memperburuk ketidaksetaraan ekonomi karena kepemilikan sumber daya dan kekayaan terpusat pada sekelompok kecil orang kaya dan berkuasa, sementara mayoritas orang hidup dalam kemiskinan.

 

Kedua, Krisis Ekonomi: Kapitalisme dapat mengalami krisis ekonomi secara periodik karena sifat yang tidak stabil dari pasar saham dan perbankan. Krisis ekonomi dapat mengakibatkan kebangkrutan, pengangguran, dan penurunan standar hidup bagi banyak orang.

 

Ketiga, Dampak Lingkungan: Kapitalisme cenderung memprioritaskan keuntungan daripada lingkungan. Perusahaan sering kali mengabaikan atau menunda upaya untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena biaya yang tinggi dan upaya itu mengganggu keuntungan.

 

Keempat, Tidak Memperhatikan Kebutuhan Sosial: Kapitalisme cenderung tidak memperhatikan kebutuhan sosial yang mendasar seperti akses terhadap perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan yang layak, jika hal itu tidak menguntungkan secara finansial.

 

Kelima, Monopoli: Kapitalisme dapat memungkinkan terbentuknya monopoli dan oligopoli, di mana beberapa perusahaan mendominasi pasar dan menghambat persaingan. Hal ini dapat mengakibatkan harga yang lebih tinggi dan kualitas yang buruk bagi konsumen.

 

Kekuasaan yang ditopang oleh ideologi kapitalis seperti kekuasaan fir’aun zaman dahulu. Fir'aun adalah gelar yang diberikan kepada raja-raja Mesir Kuno pada zaman purba, yang berkuasa selama berabad-abad. Fir'aun dianggap sebagai sosok yang sangat berkuasa dan dihormati, dengan otoritas yang meliputi seluruh Mesir Kuno. Kata "Fir'aun" berasal dari bahasa Arab, yang berarti "pemimpin besar" atau "raja".

 

Fir'aun Mesir Kuno diyakini sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut, dan diyakini sebagai dewa atau penjelmaan dewa di dunia. Mereka memerintah dengan menggunakan kekuatan militer dan pemerintahan birokratis, dan membangun infrastruktur besar seperti piramida, kuil, dan bendungan untuk mengelola sumber daya dan perekonomian.

 

Kisah Fir'aun dalam Al-Qur'an mengisahkan tentang konflik antara Fir'aun dan nabi Musa a.s. Fir'aun adalah penguasa Mesir pada saat itu, yang sangat sombong dan arogan, menganggap dirinya sebagai dewa dan menindas orang-orang Israel yang menjadi budak di Mesir. Nabi Musa a.s. diutus oleh Allah SWT untuk menyelamatkan umatnya dari penindasan dan membawa mereka keluar dari Mesir.

 

Dalam kisah Fir'aun dalam Al-Qur'an, Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya dan memperlihatkan tanda-tanda keajaiban melalui nabi Musa a.s. dengan melakukan mukjizat, seperti mengubah tongkatnya menjadi ular, membelah laut, dan menimbulkan bencana alam yang dahsyat. Namun, Fir'aun dan pengikutnya tetap mengabaikan seruan Allah dan menentang nabi Musa a.s., bahkan memperburuk keadaan dengan menindas orang-orang Israel.

 

Akhirnya, Allah SWT menenggelamkan Fir'aun dan pasukannya ketika mereka mencoba mengejar nabi Musa a.s. dan orang-orang Israel yang melintasi Laut Merah yang telah dibelah. Fir'aun dan pengikutnya dihukum oleh Allah SWT karena mereka telah menolak kebenaran, menindas orang-orang yang lemah, dan bersikap sombong.

 

Kapitalisme dengan demikian hanya akan melahirkan fir’aun-fir’aun dan qorun-qorun di seluruh dunia. Sementara rakyat akan semakin hidup sengsara, miskin, kelaparan, kemunduran dan berbagai persoalan sosial lainnya. Sementara para oligarki semakin kaya raya.


Qarun (dalam bahasa Arab disebut Qarun) adalah seorang tokoh yang disebutkan dalam Al-Quran. Dia disebutkan sebagai seseorang yang sangat kaya dan memiliki kekuasaan serta kebanggaan yang besar. Qarun diceritakan sebagai seorang yang sombong dan angkuh, yang menganggap kekayaan dan kekuasaannya sebagai hasil dari usahanya sendiri, tanpa mengakui peran Allah dalam memberikannya.

 

Dalam kisahnya, Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya dengan menghancurkan Qarun beserta kekayaannya dan memperingatkan manusia agar tidak sombong dan mengakui peran Allah dalam segala aspek kehidupan. Qarun diperingatkan oleh nabi Musa a.s. agar tidak sombong dan bersyukur atas karunia Allah, namun dia tetap bersikeras pada pendiriannya yang sombong dan akhirnya Allah SWT menghukumnya.

 

Dalam Islam, peredaran harta hanya kepada golongan kecil atau oligarki qorunisme dilarang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan persamaan dalam berbagi harta. Islam menekankan pentingnya membagi kekayaan dengan adil, sehingga semua anggota masyarakat merasakan manfaatnya.

 

Salah satu prinsip ekonomi Islam yang penting adalah zakat, yaitu kewajiban memberikan sebagian dari harta kepada mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, janda, dan yatim piatu. Zakat merupakan salah satu pilar Islam, dan merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi.

 

Selain zakat, Islam juga menganjurkan memberikan sedekah, infaq, dan shadaqah, yaitu memberikan sebagian dari harta secara sukarela kepada yang membutuhkan, tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan apapun. Dalam Islam, peredaran harta dianggap sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan bersama, bukan sekadar untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu saja.

 

Oleh karena itu, peredaran harta hanya kepada golongan kecil atau oligarki dilarang dalam Islam. Semua anggota masyarakat, baik kaya maupun miskin, memiliki hak yang sama dalam memperoleh kekayaan dan keadilan sosial harus diwujudkan. Islam menekankan pentingnya membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan bersatu dalam kebaikan.

 

Karena itu, umat Islam seluruh dunia saatnya bersatu menolak sistem demokrasi kapitalisme, sekuler dan liberal. Umat Islam wajib membuang sistem kufur ini ke tong sampah peradaban. Saatnya umat Islam bersatu padu membangun negara adi daya yang akan menggulung semua sistem batil.

Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 05/03/23 : 20.56 Wib)

Minggu, 05 Februari 2023

MABOK STOICISME

Tinta Media - Istilah stoicisme yang akhir-akhir ini marak dan diadopsi oleh para remaja adalah salah satu paham filsafat. Ada banyak paham filsafat lainnya seperti idealisme, rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, pragmatisme, empirisme, materialisme, kapitalisme, demokrasi, sekulerisme, eksistensialisme, strukturalisme, modernisme, feminisme dan liberalisme. Filsafat pada hakikatnya adalah upaya mencari kebenaran dengan menjadikan rasio sebagai sumbernya.

Rasionalisme dan spekulasi pikiran manusia adalah ciri filsafat. Filsafat secara genetik bersifat antroposentris, yakni menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Filsafat dengan demikian sangat luas obyek kajiannya dan mengandung kebenaran yang sangat relatif, sebab akal manusia memiliki keterbatasan. Karenanya, filsafat mencoba membangun rasionalisme sekaligus spekulatif. Misalnya perbedaan para filosof yunani terkait asal mula segala sesuatu di dunia.

Pendapat Thales yang hidup antara 624 – 548 SM di Miletus dan dianggap orang pertama yang mempertanyakan asal mula segala sesuatu di alam ini. Baginya asal segala sesuatu adalah air. Air menurutnya senantiasa bergerak dan tidak pernah diam dipandang sebagai asas kehidupan segala yang ada. Air menurut Thales ada manfaatnya sekaligus menimbulkan bencana.

 

Beda Thales, berbeda pula dengan pendapat Anaximenes tentang asal segala sesuatu di alam ini. Anaximenes hidup antara 585 – 528 SM yang mengatakan bahwa asal dari segala sesuatu adalah udara. Manusia dan semua makhluk hidup itu bernafas, menghirup udara yang melingkupi alam semesta. Udara adalah sumber kehidupan, sebab tanpa udara semua makhluk hidup akan mati. Baginya gerakan udara menyebabkan terjadinya isi alam semesta. Keduanya nampak berpikir rasional dari sisi argumentasinya, namun sangat spekulatif, sebab tidak bisa dibuktikan secara empirik dan saintifik.

 

Sementara itu filosof Herakleitos yang hidup sekitar 540 – 480 SM mengatakan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, semua akan mengalami perubahan. Perubahan dilambangkan dengan sifat api, maka asal segala sesuatu adalah api. Perubahan selalu dibawah logos (logika/ilmu) yakni pikiran yang benar. Berfikir itu baginya adalah menggunakan akal untuk mengetahui apa yang menjadi dasar segala sesuatu, serta hukum yang mendasari perubahan yang terjadi padanya.

Sedangkan menurut Pythagoras yang hidup antara 580 – 500 SM di kota Kroton, Italia Selatan yang ahli bidang matematika mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah bilangan atau angka. Alam bertitik tolak dari bilangan. Alam tersusun sebagai bilangan-bilangan. Kunci pengetahuan tentang alam adalah bilangan. Empat contoh filosof diatas berbeda secara diametral dalam menalar asal mula segala sesuatu. Keempatnya juga sama-sama tidak menyinggung Tuhan sebagai Sang Pencipta.

 

Filsafat pertama-tama lahir sejak munculnya keingintahuan tentang segala sesuatu yang ada. Di Yunani dahulu, manusia menggunakan mitos untuk menjawab pertanyaan tentang alam dengan keyakinan dewalah yang merupakan sumber segala sesuatu. Akhirnya manusia berupaya untuk menemukan jawaban dengan cara secara terus-menerus berfikir tentang masalah yang dihadapinya serta melakukan pengamatan yang diduga dapat membantu memecahkan masalahnya.  Hal ini menjadi bahan pertanyaan dan pemikiran beberapa orang pada masa sekitar 600-200 tahun SM di Yunani.

 

Sebagai paham filsafat lain yang mendasarkan kebenaran pada rasionalisme, demikian pula dengan paham filsafat stoicisme yang mengajarkan bagaimana agar manusia mampu menjaga ketenangan dalam berfikir secara rasional. Tidak terlalu mempedulikan apa yang terjadi di luar kendali, serta berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan. Konsep stoicisme mengajarkan tentang keyakinan terhadap apa yang dimiliki oleh diri sendiri kemudian berfokus padanya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Kemudian menyingkirkan pengaruh negatif yang datang dari luar kendali diri.

 

Orang-orang stoicis tidak terlalu mempedulikan bagaimana penilaian manusia kepada diri mereka sehingga mereka hanya fokus melakukan apa yang mereka anggap baik bagi diri mereka. Dengan demikian, kaum stoicis mengabaikan nilai-nilai agama sebagai timbangan kebenaran dan kesalahan, namun menimbang dengan pikirannya sendiri.

 

Inilah ciri khas berpikir filsafat, yakni menjadikan pikirannya sebagai landasan untuk menentukan kebenaran dengan mengabaikan kebenaran yang diajarkan agama, khususnya Islam. Sebab faktanya, banyak kaum stoicis masa kini yang beragama Islam. Jika paham stoicis telah menjadi stoicisme, maka berpotensi akan mengatarkan orangnya kepada paham humanisme, nihilisme dan bahkan atheisme.

 

Orang-orang yang meyakini dan dianggap berhasil menerapkan konsep berpikir stoicisme ini dalam kehidupan mereka mengakui bahwa cara pandang mereka dalam menjalani hidup menjadi berbeda karena mereka dapat menjadi lebih tenang dan lebih menikmati kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tentu saja ini merupakan subyektivisme, sebab dalam Islam telah diajarkan bagaimana mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.

Paham filsafat stoicisme digagas oleh filosof etika yang bernama Zeno dari Elea (pengucapan: /ˈziːnoʊ əv ˈɛliə/, Yunani: Ζήνων ὁ Ἐλεάτης) ( ca. 495-430 SM) adalah filosof pra-Sokrates dari Yunani Besar dan anggota aliran Eleatik yang didirikan oleh Parmenides. Aristoteles menyebutnya bahwa Zeno sebagai penemu dialektika. Zeno memulai studi filsafatnya dari crates of thebes yang merupakan salah satu filosof aliran sinis termasyhur di Athena kala itu. Aliran Sinis adalah yang tidak mempunyai cita-cita dan selalu menganggap orang lain lebih buruk karena itu ia cynic atau sinis. Filsafat etik membincangkan baik dan buruk perbuatan manusia.  

 

Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang.  Maka kaum sinis menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kepamoran. Selanjutnya belajar dengan Stilpo The Margarian dan terakhir menjadi murid Polemo. Dari stilpo ia mendapatkan pelajaran bahwa kesalahan terbesar dalam hidup adalah mengatakan ‘ya’ terlalu cepat agar mendapatkan kehidupan yang tenang. Ia mendahului pernyataan Sartre bahwa mengatakan ‘tidak’ adalah pernyataan identitas pribadi seseorang sementara menyetujui permintaan orang lain mengurangi kepribadian individu.

 

Kira kira sekitar 300 tahun sebelum masehi atau sekitar 2.500 tahun yang lalu terdapat seorang pedagang tekstil kaya dari siprus turki bernama zeno. Pada saat berlayar untuk mberdagang kapal zeno pecah dan jiwanya terdampar di tepi laut Athena, namun hartanya hanyut oleh ombak laut. Di Athena lah zeno mempelajari filsafat dan meninggalkan profesinya sebagai pedagang. Zeno belajar dari berbagai filsuf yang berbeda dan kemudian ia mengajari filosofinya sendiri. Ia senang mengajar di sebuah teras berpilar di sisi utara agora ( tempat orang orang Athena berdiskusi). Dalam bahsa yunani teras disebut dengan “Stoa”, sejak saat itu pengikut aliran zeno disebut dengan kaum stoa, atau stoicisme. Dimana pada saat ini dikenal dengan nama filosofi teras.

 

Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu dari para gurunya sudah saatnya zeno mendirikan sebuah sekolah. Pada tahun 300 SM ia mendirikan sekolah yang diberi nama stoic. Nama sekolah inilah yang kelak menjadi paham filsafat stoicisme yang beberapa waktu ini menjadi perbincangan di negeri ini. Sekali lagi, filsafat pada prinsipnya adalah pemikiran rasional untuk mendapatkan kebenaran dan kebahagiaan.

 

Filsafat yang fokus kepada kajian manusia selalu berorientasi untuk mencapai kebenaran, apa itu kebenaran (ontologis), bagaimana manusia seharusnya mendapatkan kebenaran (epistemologis), apa manfaat kebenaran (aksiologis). Setelah kebenaran didapatkan, maka secara aksiologis, manusia akan mencapai apa yang disebut sebagai kebahagiaan. Kebenaran dan kebahagiaan dalam pandangan filsafat cukup beragam, salah satunya adalah apa yang dipikirkan Zeno yang kelak dinamakan paham stoicisme ini.

 Latar belakang filsafat Zeno adalah kondisi rakyat Athena yang  menderita karena mereka menginginkan apa yang tidak mereka miliki atau takut kehilangan apa yang mereka cintai. Mengejar kesenangan dengan memperoleh kesenangan dan mempertahankan apa yang sudah diperoleh. Alih-alih kesenangan, seseorang harus mempertimbangkan alasan dan mengakui bahwa semua hal tidak kekal dan tanpa nilai abadi. Begitu seseorang memahami hal ini, ia akan mencapai keadaan apatis atau apathe yang tercerahkan, seseorang akan dibebaskan dari “perbudakan terhadap hasrat seseorang”. 

 

Pandangan yang mencolok tentang etika Zeno yang disebut stoicisme adalah bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Sikap tersebut merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal. Dalam istilah awam stoicisme kadang-kadang disebut sebagai "menderita dalam kesunyian", dan etika yang terkait dengan hal itu.

 

Prinsip dan ajaran Stoikisme banyak mempengaruhi pemikiran para teolog Kristen dan filsuf di sepanjang abad, bahkan hingga saat sekarang, dan warisan yang menyolok dari filsafat Stoikisme adalah tentang hidup etis dengan moralitas yang baik, seperti diwarisi oleh beberapa pemikir, yaitu Baruch Spinoza, Joseph Butler, Immanuel Kant, dan Helmut Richard Niebuhr. Menurut filsuf Jerman bernama Dilthey, Stoikisme adalah filsafat terkuat dan terlama yang dapat diterima ketimbang filsafat lainnya. Dari sini nampak bahwa konsep etika dalam filsafat stoic mengacu kepada humanisme, berbeda dengan Islam yang mengajarkan adab dan akhlak dengan menyandarkan kepada ajaran ilahi dan meneladani Rasulullah SAW.

 

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ( QS. Al ahzab : 21). Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (QS Al Qalam : 4)

 

Seorang muslim adalah orang yang tunduh patuh kepada ajaran Islam yang datang dari Allah. Seorang muslim semestinya menjadikan Islam sebagai sumber kebenaran dan timbangan sekaligus. Seorang muslim tidak semestinya menjadikan filsafat sebagai sumber mencari kebenaran dan kebahagiaan. Sebab Allah meralang seorang muslim mencari agama selain Islam, sebab hanya Islam yang benar dan jalan keselamatan dunia akhirat.

 

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At Taubah ayat 33). Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu (QS Al Maidah ayat 3). (Demikianlah) hukum Allah, yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu.” (QS Al Fath 23).

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran : 19). Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi (QS Ali Imran : 85)

 

Banyak konsep bahagia yang didasarkan oleh ajaran Islam. Yang pertama adalah orang yang khusyuk dalam salatnya. Kedua, orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Ketiga, orang yang menunaikan zakat. Keempat, orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri atau budak yang dimilikinya. Rasulullah SAW juga pernah bersabda tentang kebahagiaan, ''Empat macam dari kebahagiaan manusia, yaitu istri yang salehah, anak yang berbakti, teman-temannya adalah orang-orang yang baik, dan mata pencahariannya berada dalam negaranya sendiri.'' (HR Ad Dailami).

 

Dalam Islam, ada tiga kunci kebahagiaan hidup yakni selalu bersyukur, bersabar dan beristighfar. Bila setiap muslim mengamalkan tiga kunci ini, maka Allah SWT akan memberikan kebahagiaan luar biasa dalam hidupnya. Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul "Qawaidul Arba (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan)', Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan, "Semoga Allah menjadikan anda termasuk di antara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan. 

 

Tentang kesyukuran, Allah berfirman : Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7). (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram (QS Ar Ra'd : 28).  

Tentang kesabaran, Rasulullah bersabda : Sesungguhnya besarnya pahala sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani).

Tentang istighfar, Allah berfirman : (Orang yang bertaqwa) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka” (QS. Ali Imran: 135)

Dengan semikian, kebahagiaan hakiki yakni disaat seorang muslim menyandarkan kepada sumber kebahagiaan, yakni Allah SWT, bukan menyandarkan kepada pikiran dan perasaannya sendiri, sebagaimana dilakukan oleh kaum stoicis. Andaipun kaum stoicis merasakan bahagia, tentu saja tidak hakiki, sebab pikiran dan perasaan yang tidak disandarkan kepada agama tidaklah menjadi sumber kebahagiaan. Pikiran dan perasaan akan bahagia jika menyandarkan pada prinsip-prinsip Islam.

 

Berpikir cara stoic tidak menjadikan sebagai ibadah, namun sekedar perilaku individu yang berdimensi humanisme, mencapai bahagia dan ketenangan dengan dasar pikirannya sendiri yang relatif. Karena itu sudah sepantasnya, seorang muslim tidak mabok filsafat dengan menjadikan stoicisme sebagai sandaran pola pikir dan pola sikap, meski sekilas nampak baik dan masuk akal. Seorang muslim semestinya kepada Islam sebagai sumber kebenaran dan kebahagiaan, baik di dunia dan akhirat kelak, bukan sekedar baik dan masuk akal, namun juga harus bernilai ibadah dan amal sholih.

 

(Ahmad Sastra, Kota Bogor, 30/01/23 : 22.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 


Senin, 21 Maret 2022

Ahmad Sastra: Ilmu Harus Bersifat Radikal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14boQ0WmbhyRmRjIimPUU6TSxH0EtloeS

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M menuturkan, ilmu itu harus bersifat radikal, jika tidak, akan menjadi lemah dan hanya sekedar informasi.

"Ilmu itu harus bersifat radikal, kalau tidak maka ilmu itu menjadi lemah, bisa jadi bersifat persepsi, atau bersifat informasi dan mungkin bisa jadi hoax," tuturnya dalam acara FGD#29 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa: Radikalisme dan Terorisme dalam Kontruksi Kebijakan dan Kajian Sabtu (19/03/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Ia mengatakan, dari sudut pandang filsafat, ilmu itu sendiri bersifat radikal, “Bahwa kita mengkaji ilmu itu memang harus bersifat radikal. Dalam artian tersusun dari akarnya apa? Rantingnya apa? Dan daunnya apa? Jadi suatu ilmu itu harus mengakar,” ujarnya.

Menurutnya, ilmu-ilmu itu bisa dibedakan yang berkaitan dengan alam semesta, manusia dan kehidupan. Karena itu dari konteks ini maka istilah radikalisme itu baik, positif kalau dalam ilmu. Dari aspek filsafat dapat dilihat dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi Otologis. “Bahwa bicara tentang objek apa yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud objek hakiki dari ilmu tersebut. Maka kita bisa melihat secara etimologis radikal itu artinya netral, karena digali dari sisi bahasa dan secara etimologis radikal itu mengacu kepada akar, mengakar dan hal-hal yang sifatnya mengakar berarti radikal," bebernya.

"Jika secara terminologi, radikalisme itu berkaitan dengan upaya mencapai tujuan politik dengan cara kekerasan," imbuhnya.

Kedua, dari sisi epistemologi. "Kata radikalisme kalau dalam timbangan epistemologi itu cara mendapatkan pengetahuan, bagaimana proses munculnya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya. Kalau didalam Islam sumber ilmu itu dari wahyu dan akal, kalau di Barat itu sumbernya filsafat. Karena filsafat sumber kebenaran itu dari akal saja," jelasnya.

Ia mengutip pendapat dari Profesor Syarif Basuni bahwa justru sulit membuat suatu pengertian yang identik dan dapat diterima secara Universal. "Sulit melakukan atas pengawasan terorisme, oleh karena itu menurut Profesor Bryan Jenkins, terorisme itu merupakan pandangan yang objektif dalam konteks akademik dalam istilah terorisme belum ditemukan titik persamaan definisi hingga sekarang. Jadi di dalam konteks akademik istilah ini sebenarnya masih the bed table," jelasnya.

Ketiga, dari sisi Metodologi. "Filsafat itu sendiri juga bagian dari metodologi berpikir, observasi, analisa, sintesis, pengalaman dan sebagainya. Kemudian filsafat itu metode berpikir tentang pembentukan, penilaian, pembahasan juga berkaitan dengan sistem pemikiran dengan pendekatan ilmiah, maka kita lihat misalnya Studi Islam yang dikaji di barat," terangnya.

"Jadi, kalau dilihat dari sisi etimologis maka radikalisme dan terorisme berasal dari epistemologi barat, ini penting sekali dilihat dari awal karena di kemudian hari dikaitkan dengan agama, itu problem atau masalahnya," ungkapnya.

Keempat, dari sisi Aksiologi. "Hubungan dengan nilai, manfaat, orientasi dan motif maka perkembangannya sampai hari ini maka kita perhatikan dengan baik maka radikalisme dan terorisme lebih mengarah kepada motif politik bukan motif akademik lagi," pungkasnya. [] Emalia
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab