Film Kiblat, Mengajak kepada Syariat atau Sesat?
Tinta Media - Kiblat menjadi salah satu film horor Indonesia yang banjir kontroversi sebelum tayangnya. Bagaimana tidak film yang menampilkan poster seseorang mengenakan mukena seperti kesurupan saat rukuk. Di saat yang sama wajah perempuan dalam poster itu menjerit dan menengadah, bukan menunduk seperti lazimnya ketika rukuk.
Ketua MUI Bidang Dakwah, Cholil Nafis buka suara bahkan meminta film besutan rumah produksi Leo Pictures berjudul Kiblat ini tidak tayang di bioskop. “Saya tidak tahu isi filmnya maka belum bisa komentar. Tapi gambarnya seram, judulnya kiblat. Saya buka arti kiblat hanya Ka’bah arah menghadapnya orang-orang sholat,” ucap beliau di unggahan Instagram, Minggu (24/3).
Adapun dari hasil pertemuan tersebut, Leo Pictures memutuskan nantinya akan mengganti judul dan poster dari film yang disutradarai oleh Bobby Prasetyo itu.
Terpisah, kritikus film, Hikmah Darmawan mengatakan bahwa film-film yang mengeksploitasi agama bukan hanya terjadi pada genre horor, namun juga drama religi. Pasalnya, film yang bertema agama dibalut dengan horor ataupun drama masih menjadi primadona di kalangan penonton dan mendapatkan untung besar. Oleh karena itu, katanya para produser film latah membuat film serupa.
Di Indonesia sendiri, mulai banyak bermunculan film-film horor bertema agama setelah kehadiran Makmum pada 2019. Yang mengisahkan penghuni asrama perempuan mengalami sederet gangguan gaib setiap kali menjalankan sholat malam.
Dari sini, film yang memuat ritual, waktu-waktu sakral hingga simbol agama Islam menjadi perpaduan yang mumpuni untuk disajikan menjadi film horor.
Sebut saja film Waktu Maghrib, Khanza, Qodrat, Roh Fasiq, Menjelang Ajal yang sebagian besar posternya menunjukkan pemain memakai mukena atau sedang sholat.
Hak Asasi Manusia, Bebas yang Bagaimana?
Ini tentu tak lepas dari lemahnya pengontrolan negara dalam hal kebebasan. Masyarakat dihadapkan pada tontonan yang tidak difilter dan latah pada euforia yang timbul di era digital. Kebebasan yang ada disebabkan adanya Hak Asasi Manusia yang berdalih pada 4 kebebasan. Yaitu kebebasan berpendapat, beragama, berperilaku dan berekspresi. Ke semuanya itu menjadi asas masyarakat ketika melakukan suatu perbuatan.
Maka wajar ketika kebebasan itu digadang-gadang menjadi sebuah kebutuhan dan privasi masing-masing individu. Di saat yang sama amar ma’ruf tidak menjadi hal urgen di tengah umat. Walaupun akhirnya sebagian kecil umat menuai kritik dan komentarnya di media sosial. Namun kesadaran akan pentingnya mengingatkan dalam kebaikan menjadi hal tabu untuk dilakukan. Alih-alih amar ma’ruf yang ada justru masyarakat menjadi peminat tontonan film-film tersebut. Miris bukan?
Hak asasi manusia ini lahir dari sistem kapitalisme yaitu sekularisme, pemisahan agama (Allah) dari setiap sendi kehidupan. Sistem yang berasas kebebasan tidaklah sesuai fitrah dan akal kita sebagai manusia. Sebab kita hidup memiliki rule (aturan) sebagaimana sebuah film juga mempunyai aturan. Namun, film yang sedang kita lakoni didunia adalah bekal kita untuk menggapai kebahagiaan di kehidupan abadi (akhirat). Dan Allah sebagai sutradaranya. Maka sebagai pemain adalah kewajiban kita untuk taat pada aturan yang Allah tetapkan. Maka film yang tiada mendidik menjadikan siapa saja yang berada di dalamnya serta yang memfasilitasinya termasuk negara, ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Apakah sesuai tolak ukur standar hukum syara’ atau malah mengedukasi agar jauh untuk beramal sholih.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang menentramkan jiwa, yang dengannya kita akan dikontrol untuk beramal sholih bukan amal salah sebagaimana sistem Islam yang pernah menjadi adidaya dunia.
Rasulullah Saw bersabda: “Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya dan yang terakhir adalah sholat.” (H.R. Ahmad)
Wallahua’lam bis showab
Oleh : Lisa Herlina
Sahabat Tinta Media
Ketua MUI Bidang Dakwah, Cholil Nafis buka suara bahkan meminta film besutan rumah produksi Leo Pictures berjudul Kiblat ini tidak tayang di bioskop. “Saya tidak tahu isi filmnya maka belum bisa komentar. Tapi gambarnya seram, judulnya kiblat. Saya buka arti kiblat hanya Ka’bah arah menghadapnya orang-orang sholat,” ucap beliau di unggahan Instagram, Minggu (24/3).
Adapun dari hasil pertemuan tersebut, Leo Pictures memutuskan nantinya akan mengganti judul dan poster dari film yang disutradarai oleh Bobby Prasetyo itu.
Terpisah, kritikus film, Hikmah Darmawan mengatakan bahwa film-film yang mengeksploitasi agama bukan hanya terjadi pada genre horor, namun juga drama religi. Pasalnya, film yang bertema agama dibalut dengan horor ataupun drama masih menjadi primadona di kalangan penonton dan mendapatkan untung besar. Oleh karena itu, katanya para produser film latah membuat film serupa.
Di Indonesia sendiri, mulai banyak bermunculan film-film horor bertema agama setelah kehadiran Makmum pada 2019. Yang mengisahkan penghuni asrama perempuan mengalami sederet gangguan gaib setiap kali menjalankan sholat malam.
Dari sini, film yang memuat ritual, waktu-waktu sakral hingga simbol agama Islam menjadi perpaduan yang mumpuni untuk disajikan menjadi film horor.
Sebut saja film Waktu Maghrib, Khanza, Qodrat, Roh Fasiq, Menjelang Ajal yang sebagian besar posternya menunjukkan pemain memakai mukena atau sedang sholat.
Hak Asasi Manusia, Bebas yang Bagaimana?
Ini tentu tak lepas dari lemahnya pengontrolan negara dalam hal kebebasan. Masyarakat dihadapkan pada tontonan yang tidak difilter dan latah pada euforia yang timbul di era digital. Kebebasan yang ada disebabkan adanya Hak Asasi Manusia yang berdalih pada 4 kebebasan. Yaitu kebebasan berpendapat, beragama, berperilaku dan berekspresi. Ke semuanya itu menjadi asas masyarakat ketika melakukan suatu perbuatan.
Maka wajar ketika kebebasan itu digadang-gadang menjadi sebuah kebutuhan dan privasi masing-masing individu. Di saat yang sama amar ma’ruf tidak menjadi hal urgen di tengah umat. Walaupun akhirnya sebagian kecil umat menuai kritik dan komentarnya di media sosial. Namun kesadaran akan pentingnya mengingatkan dalam kebaikan menjadi hal tabu untuk dilakukan. Alih-alih amar ma’ruf yang ada justru masyarakat menjadi peminat tontonan film-film tersebut. Miris bukan?
Hak asasi manusia ini lahir dari sistem kapitalisme yaitu sekularisme, pemisahan agama (Allah) dari setiap sendi kehidupan. Sistem yang berasas kebebasan tidaklah sesuai fitrah dan akal kita sebagai manusia. Sebab kita hidup memiliki rule (aturan) sebagaimana sebuah film juga mempunyai aturan. Namun, film yang sedang kita lakoni didunia adalah bekal kita untuk menggapai kebahagiaan di kehidupan abadi (akhirat). Dan Allah sebagai sutradaranya. Maka sebagai pemain adalah kewajiban kita untuk taat pada aturan yang Allah tetapkan. Maka film yang tiada mendidik menjadikan siapa saja yang berada di dalamnya serta yang memfasilitasinya termasuk negara, ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Apakah sesuai tolak ukur standar hukum syara’ atau malah mengedukasi agar jauh untuk beramal sholih.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang menentramkan jiwa, yang dengannya kita akan dikontrol untuk beramal sholih bukan amal salah sebagaimana sistem Islam yang pernah menjadi adidaya dunia.
Rasulullah Saw bersabda: “Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya dan yang terakhir adalah sholat.” (H.R. Ahmad)
Wallahua’lam bis showab
Oleh : Lisa Herlina
Sahabat Tinta Media