Tinta Media: Fikih
Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Maret 2023

KH M. Shiddiq Al-Jawi: Berdosa Menunda Qadha’ Puasa Hingga Ramadhan Berikutnya

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si., M.SI. menyatakan berdosa bagi seseorang yang menunda qadha' puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya.

“Adapun dalam hal waktu mengqadha', qadha', wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha' hingga masuk Ramadhan berikutnya,” tuturnya pada program Kajian Soal Jawab Fiqih: Belum Qadha` Puasa Ramadhan Sudah Datang Lagi, Kamis(16/03/2023) di kanal YouTube Ngaji Shubuh.

Namun demikian, menurut Ustadz Shiddiq, barangsiapa yang belum meng-qadha' puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta'khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur syar’i (alasan syar’i), seperti karena sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. “Tidak masalah, tidak ada dosa,” tegasnya. 

“Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha'-nya,” lanjutnya.

Namun, lanjutnya, jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur syar’i, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat. Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain.

“Bahwa, orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya,” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, II/81, Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64). 

Ustadz Shiddiq kemudian menjelaskan bahwa pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua: Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal.109).

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Berikutnya, Kiai menyampaikan pendapat Kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha'. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240).

Disampaikannya dalil pendapat pertama yang mewajibkan fidyah di samping qadha’ karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). 

Ath-Thahawi meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam: "Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka." 

Selain itu, Kiai menyampaikan pendapat Imam Syaukani yang menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda : "Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).

Dalil pendapat kedua (ulama Hanafiyah), bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Dikarenakan adanya kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi: "fa-‘iddatun min ayyamin ukhar" yang berarti "maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah [2] : 183). 

“Jadi boleh meng-qadha' puasa kapan saja dan tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) apa pun,” jelasnya.

Menurut kiai, perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha' (ta'khir al-qadha'), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183.

“Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya." (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy). Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122.

Sedangkan jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata : "Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW." 

Dari dalil-dalil di atas,Ustadz Shiddiq menyampaikan dalil yang _rajih_ (kuat). Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain, yaitu bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`. “Ttidak wajib membayar fidyah,” tuturnya.

Menurutnya itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. “Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu,” terangnya.

Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, yaitu sabda Nabi SAW : "Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (HR Ad-Daruquthni, II/197).
“Maka hadits ini adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil),” tegasnya.
 
Disampaikannya bahwa Imam Syaukani berkata,"…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW." (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). 

Dijelaskannya pula dari Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),"…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW." (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).

Menurutnya, pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. “Sebab pendapat sahabat --yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam,” paparnya. 

Kiai menyampaikan perkataan Imam Syaukani, "Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i]." (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). 

Sedangkan Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,"…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i." 

Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata, "Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka", tidaklah dapat diterima. Kata Syekh Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, "Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.“(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Masalah Waktu Qadha menurut Kiai Shiddiq yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jumhur mengatakan bahwa mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. 
“Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa,” pungkasnya.[] Raras

Sabtu, 18 Maret 2023

Benarkah Piagam PBB Sebagai Sumber Fikih Baru?

Tinta Media - “Suatu pendapat tidaklah menjadi keharusan dalam setiap-tiap kasus kecuali berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, dan apa saja selain keduanya harus mengikuti keduanya.” 

Begitulah pernyataan Imam Syafi’i radhiyallahu bahwa sumber hukum Islam harus bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Quran dan juga As Sunnah.  

Masih terngiang di telinga bahwa ada ormas Islam di negeri ini yang menyatakan bahwa piagam PBB bisa dijadikan sumber hukum bagi umat Islam. Dilansir dari nu online, 6/2/2023, ketua umum PBNU, Yahya Cholil Staquf menyampaikan Piagam PBB dapat menjadi sumber hukum yang mengikat bagi penduduk, bangsa dan negara, termasuk muslim. Piagam PBB bisa menjadi dasar yang paling kokoh dalam mengembangkan fikih baru.

Sama halnya dengan pendapat Wakil Rais Aam PBNU K.H Afiduddin Muhajir. Beliau menegaskan bahwa Piagam PBB mempunyai legalitas syar'i. Dalam sumber hukum Islam ada kewajiban untuk menghormati dan menaati perjanjian yang tidak melanggar syariat.

Tentunya, sebagai umat Islam, kita harus melihat kembali sejarah tentang asal-usul PBB, jangan sekadar menyerap informasi tanpa menyaring dan menelaahnya. Hal ini karena ketika salah dalam berpikir, maka berimbas pada pola sikap kita, bahkan bisa menggadaikan keimanan kita. Layakkah fikih klasik kita tinggalkan dan menjadikan piagam PBB dan PBB sebagai sumber hukum?

Sejarah PBB 

Pada abad 15, Kekhilafahan Ustmaniyah menaklukan beberapa kerajaan Eropa yang ada di Yunani, Rumania, Hungaria, Yugoslavia, dan Albania. Pembebasan itu terhenti pada 1529 ketika akan memasuki Wina, Austria. Peristiwa inilah yang mendorong terbentuknya perjanjian Westpalia. Waktu itu, kerajaan-kerajaan Eropa (pecahan dari imperium Romawi) menyelenggarakan konferensi Westpalia yang di dalamnya menetapkan aturan untuk mengatur hubungan antar kerajaan Eropa, serta mengorganisasikan kekuatan mereka melawan negara Islam, yaitu Kekhilafahan Ustmani.

Awalnya, Westpalia hanya beranggotakan kerajaan Kristen di Eropa. Namun, selanjutnya negara non-Eropa turut bergabung. Sayangnya, Khilafah Utsmaniah yang kala itu mengalami kemunduran ikut bergabung ke dalam aliansi tersebut, dengan syarat harus mematuhi perjanjian yang merugikan Islam.  

Di awal abad 20, aliansi bertransformasi menjadi Liga Bangsa-bangsa. Organisasi ini bertujuan menghentikan Perang Dunia pertama (1914-1918) yang terjadi antara blok Inggris melawan blok Jerman. Namun, Perang Dunia kedua tahun 1939-1945 kembali bergolak yang menyebabkan kerugian bagi banyak negara, baik penjajah maupun yang dijajah.

Tercetuslah gagasan dari Inggris dan Amerika, sebagai negara adidaya. Bagaimana mengakhiri perang, tetapi tetap melanggengkan kepentingan duniawi mereka? Maka, lahirlah PBB yang melanjutkan misi LBB di tahun 1945.  

Dari sini kita melihat bahwa PBB adalah sebuah cita-cita dari Westpalia. Konferensi Westpalia merupakan dasar bagi hubungan international modern yang diadopsi dan terus dikembangkan sehingga menjadi Piagam PBB. Inilah sejarah PBB yang secara historis tidak bisa dipisahkan dari permusuhan negara-negara Eropa terhadap Islam. Jadi, kita harus mencermati berbagai peristiwa politik dunia sebelum tanggal resmi berdirinya PBB 24 Oktober 1945. 

Setelah PBB dibentuk, dibuat konvensi dan deklarasi universal yang wajib diadopsi negara anggotanya. Deklarasi tersebut menjadi infiltrasi Barat secara legal ke populasi muslim.

Ada deklarasi HAM tahun 1948. CEDAW atau ICEDAW untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan tahun 1979. Kemudian Convention On The Rights of The Child atau Konvensi Hak Anak tahun 1989. Pernyataan WHO, bagian dari PBB, di tahun 2019 membuat pernyataan bahwa L6BT bukan penyakit mental.

Lahir kebijakan derivatifnya di negara-negara anggotanya. Gaya hidup liberal sah atas nama HAM. Perempuan didorong memperjuangkan kesetaraan untuk berperan terjun ke politik dan ekonomi. Kepemilikan individu bebas tanpa batas sehingga bisa menguasai hajat hidup orang banyak. Hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan kesepakatan. Nikah beda agama dimassifkan. Bahkan, makin jelas adanya upaya normalisasi kaum L6BT.

Sejak Indonesia bergabung pada 28 September 1950, secara pelan tetapi pasti, fikih Islam klasik diganti oleh fikih baru, dengan format Barat mengarah pada normalisasi kehidupan sekuler liberal yang berseberangan dengan ajaran Islam.

Di sinilah momentum awal penjajahan gaya baru atau neoimperialisne. Negeri-negeri muslim tetap menggiurkan karena kekayaan alam dan potensi pasarnya. Barat tidak akan membiarkan lepas dari hegemoninya. Penjajah melakukan pendekatan soft power yang tersamarkan.

PBB Gagal Menjalankan Fungsinya Menjaga Perdamaian dunia.

Dilihat dari sejarah dan fakta, PBB pasti selalu berpihak pada negara-negara pendirinya, terutama Amerika. Negara penyumbang terbesar PBB, markasnya juga ada disana. Tentunya sulit untuk menjadi netral. Selain itu, penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan telah digunakan tanpa batas. Konsepsi hak veto menempatkan negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB memiliki kedudukan serta kedaulatan lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya. Jadi, prinsip asas persamaan kedaulatan hanya merupakan janji kosong belaka.

Kezaliman kerap terjadi di negeri-negeri muslim dan dibiarkan. Pembataian kaum muslimin terjadi di Serbia, Bosnia, Suriah, dan Palestina. Amerika menggunakan 44 kali hak veto, khusus untuk membela Israel terkait pendudukannya di Palestina. Tentunya PBB sebagai penjaga perdamaian dunia turut andil dalam berbagai konflik dunia.

Secara empiris PBB terbukti gagal membawa misinya untuk membuat dan mengambil tindakan yang dapat mengancam perdamaian dunia. Buktinya, PBB tidak mampu menghentikan serangan agresi Amerika ke Afghanistan dan Irak. PBB tidak mampu menghentikan perang di Suriah, perang Rusia-Ukraina. Yang paling menonjol dalam pandangan umat Islam adalah sikap PBB yang lemah terhadap Israel. 

Lalu secara politis, PBB tidak bersikap adil membela negeri-negeri muslim. PBB hanya alat bagi negara-negara Barat, terutama Amerika untuk membela kepentingan mereka dan menghancurkan Islam. Terbukti saat kaum muslimin yang menjadi korban, seperti muslim Uighur di China, muslim Rohingya di Myanmar, muslim Kashmir di India, PBB diam seribu bahasa dan tidak melakukan pembelaan sama sekali.

Optimisme Perjuangan Umat Islam.

Bukti keterpurukan dan kebobrokan peradaban saat ini nampak jelas. Di negara pengusung HAM, banyak terjadi pelanggaran. Berbagai gejolak politik massif terjadi di berbagai dunia. Para pengamat menilai bahwa kapitalisme di ambang kehancuran. Hal ini terlihat dari kemerosotan ekonomi, sosial, dan politik di Eropa dan Amerika. 

Realita global, di semua negara yang menerapkan kapitalisme telah tercipta kemiskinan, ketidakadilan hukum dan kesenjangan sosial yang sangat lebar.

Disisi lain, rezim lokal, yaitu para penguasa boneka di negeri-negeri Islam semakin tidak dipercaya oleh warganya. Pasalnya, mereka terbukti represif, bahkan menjadi perpanjangan tangan para penjajah. Kasus genosida terhadap muslim Uyghur, misalnya. Para penguasa muslim hanya diam dan tidak berani untuk menghentikannya. Dengan alasan akan mengganggu hubungan ekonomi dengan China.

Masihkah kita percaya pada peradaban yang terbukti secara konsep dan empiris tidak bisa membawa pada kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat?

Apa yang terjadi dalam harlah satu abad NU mencerminkan satu sikap phobia akut pada sistem peradaban hari ini. Oleh karena, itu wajib bagi kita untuk tetap lantang berdakwah Islam politik sesuai metode Rasulullah saw., yaitu dakwah yang bersifat asasiyah dan siyasiyah, membongkar upaya politik adu domba negara Barat dengan berbagai strateginya. Kita harus terus membangun kesadaran politik Islam, bahwa perjuangan penegakan Islam kaffah adalah aspirasi yang syar’i dan sah. Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Irma Hidayati, S.Pd.
Pegiat Dakwah

Selasa, 10 Januari 2023

BERDAKWAH DALAM SUATU EVEN YANG MENGANDUNG KEHARAMAN

Tinta Media - Tanya : 

Assalamualaikum wr wb,

Ustadz, izinkan kami mengajukan sejumlah pertanyaan :

Apakah seorang da’i dibolehkan datang mengisi pengajian di suatu even yang punya beberapa rangkaian acara, termasuk pentas musik yang menampilkan biduan?
Jika jawaban pertanyaan pertama adalah boleh, maka apa saja yang menjadi ketentuannya?

Bolehkah membuat kepanitiaan bersama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan even hiburan agar ada kesempatan ceramah di antara even itu walaupun acara tersebut akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh dengan mempublikasikan, menarik peserta, menjual tiket dan ikut mempersiapkan pelaksanaannya?

Apakah ketentuan syar’i yang harus dipedomani dalam memilih uslub dakwah yang sesuai dengan ragam kecenderungan objek dakwah?

Demikian pertanyaan kami, Ustadz. Atas perhatian dan jawabannya kami berdoa jazakallahu khairan katsira. (Hamba Allah).

Jawab :

Jika pertanyaan nomor 1, 2, dan 3, dapat kami ringkas, sebenarnya pertanyaan yang terpenting hanya satu saja, yaitu,”Apakah seorang da’i dibolehkan datang mengisi pengajian di suatu even hiburan agar ada kesempatan ceramah di antara even itu walaupun acara tersebut akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh?”

Jawabannya adalah tidak boleh, atau diharamkan oleh syara’. Jadi tidak boleh seorang da’i datang mengisi pengajian di suatu even hiburan yang akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh, baik posisi da’i itu sekedar sebagai pihak yang diundang, maupun sebagai pihak yang turut menyelenggarakan even atas dasar kepanitiaan bersama. Semuanya diharamkan, tidak dibenarkan secara syariah.

Dalil keharamannya karena syara’ tidak memperbolehkan mencampurkan kegiatan yang halal, dalam hal ini dakwah, dengan kegiatan yang haram, seperti berbagai hiburan yang menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh. Jika yang halal dan yang haram bercampur dalam suatu even seperti ini, maka hukum akhirnya sebagai resultante (hukum final) adalah haram, sesuai kaidah fiqih sebagai berikut :

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ

“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.” (Arab : idza [i]jtama’a al-ḥalālu wa al-ḥarāmu ghulliba al-ḥarāmu). (Imam Jalāluddīn al-Suyūṭiy, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 105; Imam Ibnu Nujaym, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 109; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Al-Wajīz fī Ῑḍāh Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 209; ‘Aliy Aḥmad al-Nadwiy, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, hlm. 309; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421).

Berdasarkan kaidah tersebut, berarti da’i yang berceramah dalam suatu even tersebut, sudah terjerumus ke dalam keharaman, karena ceramah yang dia lakukan bukanlah acara yang berdiri sendiri, atau sebagai acara tunggal, namun hanya sebagai bagian (the part of) dari gabungan acara-acara yang menjadi satu kesatuan even yang diselenggarakan. Kondisi yang ada akhirnya adalah percampuran antara yang halal dengan yang haram. Yang halal adalah ceramahnya si da’i, sedang yang haram adalah rangkaian acara-acara hiburan yang ada, bisa saja sebelum atau sesudah ceramahnya si da’i, yang menampilkan aurat dalam nyanyian dan tarian, juga terjadinya tabarruj dan ikhtilath. Dan sesuai kaidah fiqih yang kami sebut di atas, maka hukum akhirnya adalah hukum haram untuk even tersebut secara keseluruhan, termasuk kedatangan dan kegiatan ceramah yang dilakukan oleh si da’i.

Kaidah fiqih yang kami sampaikan tersebut merupakan kaidah fiqih yang masyhur yang terdapat di dalam berbagai kitab ushul fiqih, sebagaimana kami sebutkan juga di atas kitab-kitab ushul fiqh sebagai marāji’ yang memuatnya. Dan jika kita memperhatikan contoh-contoh dari para ulama mengenai aplikasi dari kaidah fiqih itu, akan terdapat dugaan kuat (ghalabat al-ẓẓann) bahwa kaidah fiqih tersebut memang merupakan kaidah yang tepat atau cocok untuk menghukumi kegiatan da’i dan even hiburan yang ditanyakan.

Mari kita lihat beberapa contoh aplikasi dari kaidah fiqih tersebut, yang kami ambil dari kitab Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Ḥalālu wa al-Ḥarāmu Ghulliba al-Ḥarāmu karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh. (Lihat Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh, Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Ḥalālu wa al-Ḥarāmu Ghulliba al-Ḥarāmu, Riyāḍ : Dār al-Shamīmīy, Cetakan I, tahun 1436 H).

Contoh pertama, jika ada hewan yang dilahirkan dari kawin silang antara hewan yang halal dimakan, dengan hewan yang haram dimakan, seperti baghal (peranakan hasil perkawinan silang antara kuda dan keledai), maka baghal itu haram dimakan.

Contoh kedua, jika ada hewan yang dilahirkan dari hewan liar (wahsyi) dan hewan tidak liar (ghairu wahsyi), maka hewan peranakan itu haram dimakan bagi orang yang berihram (yang sedang berumroh atau berhaji).

Contoh ketiga, jika bercampur daging-daging antara bangkai (yang haram dimakan) dengan sembelihan yang syar’i (yang halal dimakan), maka haram hukumnya memakan daging yang terdapat dalam campuran daging-daging itu.

Contoh keempat, jika orang muslim dan orang Majusi sama-sama berburu dan menyembelih binatang, maka haram hukumnya memakan hewan hasil buruan dan sembelihan tersebut.

Contoh kelima, jika bercampur baur dan tersamar istri dari seseorang dengan perempuan-perempuan yang lain di suatu kamar yang gelap, maka haram hukumnya seseorang (suami dari istri tersebut) menggauli salah satu dari perempuan-perempuan yang ada.

Demikian contoh-contoh dari kitab Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Ḥalālu wa al-Ḥarāmu Ghulliba al-Ḥarāmu karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh. (lihat https://dorar.net/article/1862/قاعدة-إذا-اجتمع-الحلال-والحرام-غلب-الحرام).

Kami tambahkan dua contoh dari kitab karya Syekh Muhammad Shidqiy al-Būrnū, yang berjudul Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah :

Contoh keenam, jika seseorang dalam berburu melepaskan dua anjing, yaitu anjing terlatih dengan anjing yang tidak terlatih, maka haram hukumnya memakan hewan buruan yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut.

Contoh ketujuh, jika seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang perempuan dari kampungnya, sementara di kampungnya itu ada beberapa perempuan yang kemungkinan menjadi mahramnya karena persusuan namun sudah sulit dilacak atau dibedakan lagi mana yang mahram dan mana yang bukan mahram karena persusuan, haram hukumnya laki-laki tersebut menikahi perempuan dari kampungnya itu. (Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421-422).

Dari contoh-contoh tersebut, dapat tergambar kiranya dalam pemahaman kita, bagaimana menerapkan kaidah fiqih yang berbunyi :

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ

“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.”

Berdasarkan kaidah fiqih dan contoh-contoh aplikasinya tersebut, kiranya cukup tepat jika kaidah tersebut dapat diterapkan juga untuk kasus seorang da’i yang berceramah dalam suatu even yang dalam rangkain acaranya mengandung hal-hal yang diharamkan syariah, seperti menampilkan aurat dalam nyanyian dan tarian, juga terjadinya tabarruj dan ikhtilath di antara peserta even.

Dapat kami tambahkan, bahwa andaikata da’i tersebut berniat baik untuk menyampaikan dakwah, maka niat yang baik tersebut tetap tidak dapat membenarkan hal-hal yang diharamkan, termasuk juga tidak dapat membenarkan kedatangan si da’i tersebut dalam even yang mengandung keharaman-keharaman tersebut. Dasarnya adalah kaidah fiqih :

اَلنِّيَّةُ الْحَسَنَةُ لَا تُبَرِّرُ الْحَرَامَ

“Al-niyyat al-ḥasanah lā tubarrir al-ḥarām” (niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram, Eng : The good will does not justify the unlawful). (Yūsuf al-Qaraḍāwiy, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, hlm. 33).

Mengenai membuat kepanitiaan bersama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan even hiburan yang mengandung berbagai keharaman, hukumnya juga haram, berdasarkan dalil Al-Qur`an yang melarang kerjasama atau tolong menolong dalam dosa, sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 2).

Yang terakhir, mengenai uslūb (cara) dalam dakwah, maka kaidahnya adalah carilah cara (uslūb) yang dihalalkan syariah, bukan uslūb yang haram, atau uslūb yang halal tetapi berpotensi kuat dapat membawa kepada yang diharamkan. (Aḥmad Al-Maḥmūd, Al-Da’wah Ilā al-Islām, hlm. 36).

Tidak diperbolehkan berdakwah dengan menggunakan cara-cara (uslūb) yang diharamkan syariah. Misalnya, berdakwah kepada para peminum khamr dan pemabok dengan mendatangi majelis-majelis mereka yang dihidangkan khamr di situ atau bahkan turut menenggak khamr di tempat itu; atau berdakwah kepada para pelacur (PSK) di tempat-tempat pelacuran atau lokalisasi mereka; atau berdakwah kepada para penjudi di tempat-tempat perjudian mereka seperti kasino-kasino; berdakwah kepada kaum LGBT (la’natullāhi ‘alayhim, semoga Allah mengutuk mereka) pada saat ada even-even mereka, seperti pawai Gay Pride; atau berdakwah kepada kaum muda yang fanatik pada budaya K-Pop (budaya pop Korea), dengan berceramah dalam suatu even yang di situ terdapat berbagai penyimpangan syariah seperti ikhtilath, tabarruj, menampakkan aurat, dan sebagainya. Semua cara-cara yang diharamkan seperti ini tidak boleh ditempuh dalam berdakwah, walaupun tujuannya baik, yaitu menyampaikan dakwah Islam, karena Islam menolak dengan tegas kaidah yang umum dalam Peradaban Barat, yaitu “tujuan dapat menghalalkan segala cara” (the end justifies the means) ala Niccolo Machiaveli (w. 1527) dalam bukunya Il Principe (Sang Penguasa).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani, raḥimahullāh, menegaskan suatu kaidah fiqih yang sebaliknya, yang menjadi ciri khas Peradaban Islam, yang berbunyi :

اَلْغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الْوَاسِطَةَ

“Al-ghāyah lā tubarrir al-wāsiṭah” (tujuan tidak dapat membenarkan segala macam cara, Eng : the end does not justify the means). (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz II, hlm. 181).

Kaidah fiqih yang semakna dikemukakan juga oleh Syekh Ahmad al-Mahmud dalam kitabnya Al-Da’wah Ilā al-Islām :

لاَ يُتَوَصَّلُ إِلىَ الْحَلاَلِ بِالْحَرَامِ

“Lā yutawaṣṣalu ilā al-halāl bi al-harām”, (tidak boleh meraih yang halal melalui cara yang haram, Eng : it is not permissible to reach the halal by the haram). (Aḥmad Al-Maḥmūd, Al-Da’wah Ilā al-Islām, hlm. 101).

Demikianlah jawaban kami, semoga Allah memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Āmīn.

Yogyakarta, 5 Januari 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Muamalah 

Sabtu, 07 Januari 2023

TAHAPAN-TAHAPAN AKAD MENURUT HANAFIYAH

Tinta Media - Dalam belajar fikih muamalat kita diajarkan tentang tahapan-tahapan akad, bagaimana akad itu bisa terlaksana menurut ajaran islam, secara sah dan terhindar dari akad-akad yang salah. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana tahapan akad itu terjadi mulai dari mulai bertransaksi sampai terjadinya akad.

A. Jenis-jenis Akad

Para ahli fikih membahas legalitas akad dari dua aspek mendasar, yaitu

Pertama, Akad yang legal (sah)

1. Bentukan dasar akad yang legal, yaitu akad yang memenuhi unsur-unsur dasarnya (rukun dan syarat akad/shighat, pelaku akad, objek akad dan tujuan akad)

2. Sifat akad yang legal, yaitu akad yang tidak mengandung sifat-sifat akad yang dilarang oleh syara.

Kedua, Akad yang tidak legal

1. Bentukan akad yang tidak legal, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu unsur-unsur dasarnya (rukun dan syarat akad/shighat, pelaku akad, objek akad dan tujuan akad).

2. Sifat akad yang tidak legal, yaitu akad yang memiliki sifat-sifat yang dilarang syara’ seperti beberapa sifat akad yang menyebabkan sah dan tidaknya akad.

B. Tahapan Akad Menurut Hanafiyah

Mayoritas ulama berbeda dengan madzhab Hanafiyah dalam pembagian akad. Menurut Hanafiyah, ada tiga fase yang harus dilalui sehingga sebuah akad itu menjadi sah dan melahirkan akibat hukumnya secara sempurna yaitu sebagai berikut:

Pertama, Fase in’iqad (pembentukan)

Setiap akad harus melewati fase kelahiranya atau pembentukanya (fase In’iqad) dengan memenuhi rukun dan syarat sah akad. Jika rukun dan syarat akad terpenuhi, maknanya akad itu mulai terbentuk (mun’aqid). Dan sebaliknya jika rukun dan syarat akad tidak terpenuhi, maknanya akad itu belum ada atau disebut akad bathil.

Misalnya, akad jual beli yang lengkap rukun dan syarat sahnya, diantara objek jualnya halal dan bisa diserah terimakan, ada ijab qabul yang jellas dan dilakukan oleh penjual dan pembeli yang cakap hukum, maka akad jual beli ini menjadi akad mun’aqid

Suatu akad yang cukup rukun dan syaratnya itu tidak serta merta mejadi sah dan melahirkan akibat hukum karena harus memenuhi ketenuan lain. Oleh karena itu, sete;ah  fase pembentukanya, akad ini harus melewati fase selanjutnya (fase kedua),  yaitu fase legalitas (shihah)

 

Kedua, Fase shihah (legalitas)

Fase kedua adalah fase legalitas (shihah) di mana itu tidak mengandung sifat-siat yang dilarang syara’. Jika hal tersebut terpenuhi, maka akad menjadi akad yang sah.

Sebaliknya, jika akad tersebut memenuhi syarat-syarat pembentukanya, tetapi mengandung sifat-sifat yang dilarang oleh syara’, maka akad tersebut menajadi akad yang fasid.

Misalnya akad jual beli yang lengkap rukun dan syarat sahnya sebagaimana tersebut di atas, tetapi waktu dan harganya ditentukan berdasarkan imdeks harga yang tidak jelas, maka akadnya menjadi tidak sah.

Setelah akad cukup rukun dan syaratnya serta tidak mengandung sifat-sifat yang dilarang oleh syara’ itu juga tidak serta merta sah dan melahirkan akibat hukum yang sempurna Karen harus memenuhi ketentuan lain. Oleh karena itu, setelah fase legalitas, akad ini harus melewati fase selanjutnya (fase ketiga), yatu fase nafadz.

Ketiga, Fase nafadz (terjadinya akad)

Jika akad itu mun’aqid dan sah itu belum menjadi akad yang sempurna jika belum melahirkan akibat-akibat akad secara langsung karena membutuhkan persetujuan pihak  lain (akadnya masih begantung pada persetujuan mitranya). Oleh karena itu, agar akad yang sah tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati, maka harus memenuhi ketentuan nafadz.

Sebaliknya, akad itu mun’aqid dan sah, tetapi tidak melahirkanakibat-akibat akad secara langsung kecuali dengan persetujuan pihak lain, maka akad tersebut dikategorikan akad mauquf (menggantung).

Misalnya akad jual beliyang lengkap rukun dan syarat sahnya sebagaimana tersebut di atas tetapi akad tersebut masih tertunda karena menunggu persetujuan dari pihak lain, maka akadnya walaupun sah tapi mauquf.

Setelah akad itu terbentuk, sah dan berlaku efektif itu juga tidak serta merta melahirkan akibat hukum secara sempurna karena harus memenuhi ketentuan lain. Oleh karena itu, setelah fase nafadz, akad ini harus memenuhi akad selanjutnya (keempat), yaitu fase luzum.

Keempat, Fase luzum (akad mengikat)

Akad yang mun’aqid, sah, nafadz itu belum menjadi akad yang sempurna jika pihak akad lain masih bisa mem-fasakh (batal) akad tersebut karena akadnya masih bergantung paa mitranya.

Oleh Karena itu, agar akad yang lazim tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati, maka harus memenuhi ketentuan luzumnya.

Tetapi sebaliknya, jika akad itu mun’aqid, sah, nafadz dan pihak-pihak akad bisa mem-fasak akad tanpa seizing pihak lain, maka akad tersebut menjadi akad ghairu lazim.

Misalnya akad jual beli yang lengkap rukun syarat sahnya sebagaimana tersebut diatas, tetapi akad tersebut masih tertunda karena masih menunggu kepastianpihak akad lain tidak membatakan akad tersebut.

Inilah fase terakhir suatu akad, maka akad itu terbentuk, legal, nnafidz, lazim maka akad tersebut bisa melahirkan akibat hukumnya secara sempurna.

 Oleh: Edo Alfikri

Mahasiswa STEI SEBI 

 

 

 

 

Selasa, 08 November 2022

Inilah Hukum Memakai Baju Moderasi Beragama

Tinta Media - Menyikapi keputusan Menteri Agama yang mengeluarkan aturan kepada pegawainya untuk memakai batik moderasi beragama, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menjelaskan hukum memakai batik moderasi beragama.

"Apa hukumnya memakai batik yang disebut batik moderasi beragama? Dalam batik tersebut, terdapat macam-macam gambar, tempat ibadah dan simbol-simbol berbagai agama yaitu ada gambar masjidnya, gambar salib, kemudian patung Budha, kemudian ada pura, ada gereja, ada klenteng juga. Nah, ini kemudian saya lakukan kajian. Jadi, saya melihat ternyata memang ada dua pendapat ulama," tuturnya dalam Kajian Fikih: Hukum Makai Baju Batik Moderasi Beragama, Jumat (4/11/2022) di laman YouTube Khilafah Channel.

Menurutnya, berdasarkan kajian yang ia lakukan, ada ulama yang berpendapat mengharamkan dan yang memakruhkan. 
"Jadi ulama berbeda pendapat atau ada khilafiah mengenai hukum memakai baju yang di dalamnya terdapat syiar-syiar kaum kafir," jelasnya.

Pertama, pendapat yang mengharamkan. "Ini adalah pendapat ulama dalam mazhab Hanafi, kemudian pendapat sebagian ulama mazhab Syafi'i dan pendapat ulama di dalam mazhab Hambali," tuturnya.

Kedua, pendapat yang memakruhkan. "Jadi kalau makruh itu artinya, kalau dipakai tidak apa-apa tidak berdosa. Tetapi, lebih baik tidak memakainya. Nah ini pendapat sebagian ulama mazhab Hanafi, kemudian pendapat sebagian mazah Maliki," tegasnya.

Jadi, persoalan memakai baju moderasi ini lanjut kiyai Shiddiq, sebenarnya sudah di kaji oleh para ulama. "Jadi ini sudah dikaji oleh para ulama terkait persoalan memakai baju tapi ada gambar-gambar salibnya atau simbol simbol agama yang lain," jelasnya.

Ia menyampaikan kitab yang jadi rujukan untuk persoalan ini. "Kitab yang saya rujuk paling tidak ada dua kitab, yang pertama itu karya Syaikh Nashir Muhammad Hasri Al Ghomidi itu ada satu kitab yang berjudul Libasu, ar rojuli ahkamuhu wa dhiwabituhu al fiqh al Islami," terangnya.

"Lalu ada kitab yang kedua, yang saya rujuk yaitu karya Syaikh Muhammad Ali Wasir judulnya Ahkam At tashwir fi al fiqh Islami," pungkasnya.[] Teti Rostika



Kamis, 01 September 2022

HUKUM MENGHADIRI WALIMAH TANPA DIUNDANG

Tinta Media - Tanya :
Ustadz, bolehkah seseorang datang ke walimah tanpa diundang? (Saiful, Jogjakarta).

Jawab :
Haram hukumnya seorang muslim datang ke walimah seperti walimah nikah (walîmatul ‘urs) atau walimah-walimah lainnya seperti walîmatul khitân, walîmatus safar, dan berbagai hajatan lainnya yang pada pokoknya termasuk dalam undangan makan-makan (walîmah) jika dia tidak diundang. Hal ini karena orang yang datang tanpa undangan itu telah memakan makanan milik pihak pengundang tanpa seizin dia. Kecuali jika pihak pengundang itu ridho dan mengizinkan, maka hukumnya tidak mengapa.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj fi Syarh al-Minhâj berkata : 

وَعُلِمَ مِمَّا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَحْرُمُ اَلْتَّطَفُّلُ وَهُوَ الدُّخولُ إِلَى مَحَلِّ الغَيْرِ لِتَنَاوُلِ طَعامِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا عُلِمَ رِضَاه أَوْ ظَنُّهُ بِقَرينَةٍ مُعْتَبَرَةٍ بَلْ يُفَسَّقُ بِهَذَا إِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ 

“Telah diketahui dari pengetahuan yang sudah tetap, bahwa haram hukumnya melakukan at-tathofful (menyusup), yaitu masuk ke tempat orang lain untuk memakan makanan yang ada di tempat itu tanpa seizin pemiliknya dalam keadaan tak diketahui keridhoan pemiliknya atau tak diketahui dugaan keridhoannya dia berdasarkan petunjuk (qarînah) yang diakui. Bahkan penyusup itu difasikkan dengan perbuatan itu jika dia melakukan perbuatan ini secara berulang-ulang.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Juz 9, hlm. 472).

Perbuatan mendatangi undangan walimah tanpa diundang dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah at-tathafful (اَلْتَّطَفُّلُ) yang secara bahasa bermakna “penyusupan”, dan orangnya disebut ath-thufaili (اَلطُّفَيْلِيّ) atau “penyusup” (Inggris : intruder) dinisbatkan (dikaitkan) dengan orang yang bernama Ath-Thufail bin Bani Abdullah bin Al-Ghathafân, orang dari kota Kufah (Irak) yang sering datang untuk makan-makan di suatu walimah padahal dia tidak diundang. (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, Juz 9, hlm. 470; Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqohâ`, hlm. 262).

Keharaman mendatangi undangan walimah tanpa undangan ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi SAW. Dalam kitab Sunan Abu Dawud, diriwayatkan bahwa Nabi SAW telah bersabda :

مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ ، فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسولَهُ ، وَمَن دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ ، دَخَلَ سَارِقًا ، وَخَرَجَ مُغِيْرًا

“Barangsiapa yang diundang (untuk menghadiri walimah) namun dia tidak datang, maka sungguh dia telah durhaka (tidak taat) kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang masuk (ke suatu walimah) tanpa undangan, sungguh dia telah masuk sebagai pencuri, dan keluar sebagai perampas.” (HR Abu Dawud, no. 3741).

Namun hadits ini dinilai lemah (dhaif) oleh para ulama karena dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat hadits yang bernama Abbân bin Thâriq, yang dinilai sebagai periwayat hadits yang tidak diketahui identitasnya (syaikh majhûl). (Imam Syaukani, Nailul Authâr, hlm. 1296).

Namun walaupun hadits tersebut lemah, makna yang terkandung dalam hadits ini, yaitu adanya “larangan mendatangi walimah tanpa undangan”merupakan makna yang shahih yang dapat disandarkan pada hadits-hadits lain yang shahih. Dalam Shahih Al-Bukhâri terdapat hadits dari Abu Mas’ûd Al-Anshâri RA berikut ini :

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ كَانَ مِنْ الْأَنْصَارِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ وَكَانَ لَهُ غُلَامٌ لَحَّامٌ فَقَالَ اصْنَعْ لِي طَعَامًا أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ قَالَ بَلْ أَذِنْتُ لَهُ

Dari Abu Mas’ûd Al-Anshâri RA, dia berkata,”Ada seorang laki-laki yang bernama Abu Syu’aib dari kalangan Anshar, ia mempunyai seorang budak yang pandai memasak daging, ia lalu berkata kepada budaknya,’Buatlah makanan, aku ingin mengundang Rasulullah SAW dengan menyiapkan lima porsi.’ Dia lalu mengundang Rasulullah SAW dengan menyiapkan lima porsi tersebut. Lalu ada seorang laki-laki yang mengikuti Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW pun bersabda,’Engkau mengundang kami dengan lima porsi, padahal ini ada seorang laki-laki (lain) yang ingin ikut bersama saya. Sekarang terserah kamu, kamu memberi izin kepada dia atau tidak.’ Abu Syu’aib menjawab,’Aku memberinya izin.’ (HR Bukhari, no. 5014).

Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :

وَأَنَّ مَنْ تَطَفُّلَ فِي الدَّعْوَةِ كَانَ لِصَاحِبِ الدَّعْوَةِ الِاخْتيارُ فِي حِرْمانِهِ فَإِنْ دَخَلَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ إِخْراجُهُ

“(Dalam hadits ini terdapat dalil) bahwa barangsiapa yang menyusup dalam suatu undangan walimah, maka pihak pengundang berhak memilih untuk mencegah penyusup itu. Jika penyusup itu kemudian masuk tanpa seizin pihak pengundang, maka pihak pengundang berhak mengusirnya.” (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, Juz 9, hlm. 470).

Berdasarkan penjelasan dalil-dalil tersebut, jelaslah bahwa haram hukumnya seseorang masuk ke tempat walimah untuk memakan makanan tanpa seizin pihak pengundang. Kecuali pengundangnya kemudian ridho berdasarkan petunjuk-petunjuk (qarînah) yang ada. Misalnya pengundangnya mengetahui kehadiran penyusup itu dan diam saja tanpa menunjukkan kemarahan karena yang datang itu ternyata saudaranya, atau sahabatnya. Atau pihak pengundang hanya tersenyum, atau dengan jelas pengundang berkata kepada orang itu,”Silahkan, silahkan,” dan sebagainya yang intinya menjadi petunjuk (qarînah) yang menunjukkan keridhoan pengundang. Wallâhu a’lam.

Yogyakarta, 28 Agustus 2022

KH M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 


Referensi:
https://shiddiqaljawi.id/hukum-menghadiri-walimah-tanpa-undangan/

Selasa, 30 Agustus 2022

HUKUM BUKET UANG

Tinta Media - Tanya :

Ustadz, izin bertanya kaitannya tentang hukum buket uang, yang lagi ramai dan menjadi kebiasaan. Hari ini buket uang dijadikan hadiah baik saat ulang tahun, seminar hasil penelitian, seminar proposal ataupun agenda semisalnya. Padahal uang kan termasuk salah satu di antara barang ribawi hari ini. Bagaimana penjelasan terkait hal ini? Mohon penjelasannya. Jazakumullahu khoiron. (Hamba Allah).
 
Jawab :
Benar, uang yang berlaku sekarang, yakni uang kertas _(fiat money, al-nuqûd al-waraqiyyah),_ seperti rupiah Indonesia, dolar AS, riyal Saudi, yen Jepang, dsb, disamakan hukumnya dengan barang ribawi berupa emas (dinar) dan perak (dirham). 

Hal ini dikarenakan uang kertas mempunyai fungsi-fungsi yang sama dengan dinar dan dirham pada masa Nabi SAW, yakni fungsi al-naqdiyyah, yaitu menjadi alat tukar (uang), dan fungsi al-tsamaniyyah, yaitu menjadi harga untuk menilai berbagai barang dan upah untuk menilai berbagai jasa. (Abdul Qadîm Zallûm, Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah, hlm. 160-161).
 
Maka dari itu, ketika satu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya, wajib mengikuti hukum syariat mengenai hukum pertukaran uang (sharaf), baik pertukaran mata uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah), maupun pertukaran uang yang beda jenis (misal rupiah dengan dolar AS). 

Hukum syara’ untuk pertukaran mata uang sejenis adalah wajib memenuhi dua syarat; 

Pertama, harus sama nilainya (at-tamâtsul), atau dengan kata lain tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). 

Kedua, harus terjadi secara kontan (tidak boleh terjadi penundaan), yakni terjadi serah terima di majelis akad (al-taqâbudh fî majelis al-‘aqad).

Adapun untuk pertukaran mata uang yang beda jenis, wajib memenuhi satu syarat saja, yaitu terjadi secara kontan.  (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 255-256).
 
Adapun hukum buket uang, jika uangnya berasal dari pembuat buket uang, hukumnya jelas haram, karena terjadi riba. 

Sebab fakta yang terjadi adalah aktivitas pertukaran uang (sharaf) antar uang yang sejenis (rupiah dengan rupiah) namun disertai tambahan (at-tafâdhul). Jadi pertukaran antara uang sejenis yang seharusnya wajib berlangsung dengan uang yang senilai (at-tamâtsul), tetapi faktanya menjadi tidak senilai karena adanya tambahan.
 
Misalnya, buket uang dengan uang asli Rp 100 ribuan sebanyak 10 lembar (senilai Rp 1 juta), dijual dengan harga Rp 1.200.000 oleh penjual buket uang. Ketika terjadi akad jual beli buket uang, maka pembeli yang seharusnya menyerahkan Rp 1 juta, ternyata menyerahkan Rp 1.200.000. Jadi di sini ada kelebihan Rp 200.000, yang boleh jadi diklaim sebagai jasa pembuatan buket ataupun harga dari benda-benda yang menjadi rangkaian bunga. Ini tetap tidak boleh secara syariah Islam.
 
Dalil haramnya tambahan dalam pertukaran mata uang sejenis adalah hadits Nabi SAW, di antaranya hadits dari Abu Sa’id al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
 
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.
 
“Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya. Janganlah kalian berjual beli perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan jangan kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya, dan janganlah kalian berjual beli sesuatu (emas/perak) yang tidak hadir (tidak ada di majelis akad) dengan yang hadir (ada di majelis akad).” (HR Bukhari, no. 2031).
 
Dari hadits tersebut, jelas diketahui bahwa ketika terjadi pertukaran uang yang sejenis, yaitu emas ditukarkan dengan emas, atau perak ditukarkan dengan perak, wajib dilakukan secara semisal (at-tamâtsul), yaitu sama beratnya (untuk emas atau perak), atau sama nilainya (untuk uang kertas), dan tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). Jika terjadi tambahan (at-tafâdhul), maka jelas tambahan itu adalah riba, yaitu ribâ fadhl. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 258).
 
Solusinya, agar buket uang itu halal secara syariah, ada beberapa alternatif, di antaranya :

Pertama, buket uangnya diisi dengan uang yang berasal dari pembeli, bukan dari penjual. Jadi pembeli hanya membayar jasa penjual yang bekerja merangkai uang dari pembeli ke dalam rangkaian buket uang.

Kedua, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang kosongan (ini tersedia di sebagian online shop). Jadi buket uang yang dibeli tidak ada uangnya, yang ada hanyalah wadah atau tempat untuk uangnya. Jadi uangnya nanti akan ditambahkan sendiri oleh pembeli buket uang itu ketika akan dihadiahkan kepada pihak lain.

Ketiga, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang yang berisi uang mainan (ini tersedia di sebagian online shop).
 
Yogyakarta, 24 Agustus 2022

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 
 
Referensi :
 
Abdul Qadîm Zallûm, _Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah_

Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm_

https://islamqa.info/ar/answers/208878/بيع-المال-المعمول-على-اشكال-فنية

Sumber :

https://shiddiqaljawi.id/hukum-buket-uang/

Senin, 29 Agustus 2022

Kiai Shiddiq: Haram Hadiri Walimah Tanpa Diundang

Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH M. Shiddiq al-Jawi (USAJ)  menegaskan, haram hukumnya menghadiri acara walimah jika tidak diundang. 
 
"Haram hukumnya seorang muslim datang ke walimah seperti walimah nikah (walîmatul ‘urs) atau walimah-walimah lainnya seperti walîmatul khitân, walîmatus safar, dan berbagai hajatan lainnya yang pada pokoknya termasuk dalam undangan makan-makan (walîmah) jika dia tidak diundang," ungkapnya di channel telegram pribadinya, Ahad (28/8/2022)
 
Menurutnya, karena orang yang datang tanpa undangan itu telah memakan makanan milik pihak pengundang tanpa seizin tuan rumah. "Kecuali jika pihak pengundang itu ridha dan mengizinkan, maka hukumnya tidak mengapa," imbuhnya.
 
USAJ lalu mengutip  pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj fi Syarh al-Minhâj:
 
وَعُلِمَ مِمَّا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَحْرُمُ اَلْتَّطَفُّلُ وَهُوَ الدُّخولُ إِلَى مَحَلِّ الغَيْرِ لِتَنَاوُلِ طَعامِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا عُلِمَ رِضَاه أَوْ ظَنُّهُ بِقَرينَةٍ مُعْتَبَرَةٍ بَلْ يُفَسَّقُ بِهَذَا إِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ
 
“Telah diketahui dari pengetahuan yang sudah tetap, bahwa haram hukumnya melakukan at-tathofful (menyusup), yaitu masuk ke tempat orang lain untuk memakan makanan yang ada di tempat itu tanpa seizin pemiliknya dalam keadaan tak diketahui keridhoan pemiliknya atau tak diketahui dugaan keridhoannya dia berdasarkan petunjuk (qarînah) yang diakui. Bahkan penyusup itu difasikkan dengan perbuatan itu jika dia melakukan perbuatan ini secara berulang-ulang.”

Perbuatan mendatangi undangan walimah tanpa diundang, terang  USAJ, dalam bahasa Arab disebut dengan istilah at-tathafful (اَلْتَّطَفُّلُ) yang secara bahasa bermakna ‘penyusupan’.
 
“Orangnya disebut ath-thufaili (اَلطُّفَيْلِيّ) atau “penyusup” (Inggris : intruder) dinisbatkan (dikaitkan) dengan orang yang bernama Ath-Thufail bin Bani Abdullah bin Al-Ghathafân, orang dari kota Kufah (Irak) yang sering datang untuk makan-makan di suatu walimah padahal dia tidak diundang,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Minggu, 28 Agustus 2022

KH M. Shiddiq Terangkan Hukum Bisnis Busana

Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menerangkan hukum syara’ terkait bisnis busana.

“Tema ini bertujuan untuk menerangkan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan bisnis busana,” terangnya pada Kajian Fiqih: Hukum Bisnis Busana (Fashion) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (26/8/2022).

Kiai Shiddiq membahas tentang hukum produksi busana, kemudian hukum jual beli busana, hukum profesi desainer busana, hukum profesi model busana dan yang kelima hukum manekin atau patung yang digunakan untuk memperagakan suatu busana.

Pertama, hukum memproduksi busana, yaitu pembuatan suatu busana dari bahan tekstil hingga menjadi busana siap pakai, tergantung dari hukum busana yang dihasilkan.
“Apakah boleh dipakai oleh seorang muslim atau tidak boleh dipakai? Jadi hukum memproduksinya itu mengikuti hukum pakaian yang akan dihasilkan,” jelasnya.

Hal ini sesuai kaidah fiqih yang berbunyi 

الصِّناعَةُ تَأْخُذُ حُكْمَ مَا تُنْتِجُهُ

Ash shinaa’atu ta’khudzu hukma maa tuntijuhu

“Hukum industri/manufaktur (pembuatan suatu barang jadi dari bahan dasarnya), mengikuti hukum produk yang dihasilkan.”
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla, hlm. 30).

Ustaz Shiddiq menyampaikan contoh dari kaidah tersebut. Pertama, memproduksi busana wanita yang ketat atau transparan hukumnya haram memproduksinya. Itu hukumnya haram yaitu busana wanita yang ketika dipakai ketat yang mengikuti seorang perempuan atau busananya itu bersifat transparan, yaitu ketika orang melihatnya atau ketika seseorang melihat perempuan yang mengenakan baju itu bisa melihat tembus ke kulitnya.

“Ini karena produk yang dihasilkan haram dipakai oleh wanita muslimah dalam kehidupan umum,” terangnya.

Kedua, memproduksi busana wanita yang syar’i baik khimar (kerudung) maupun jilbab (yang makna hakikinya adalah gamis yang panjang sampai ke bawah), hukumnya adalah boleh menurut Syariah Islam. “Ini karena produknya boleh dipakai wanita muslimah dalam kehidupan umum,” jelasnya.

“Dengan demikian, haram hukumnya memproduksi setiap-tiap macam busana yang haram dipakai baik oleh laki-laki muslim maupun wanita muslimah,” lanjutnya.

Ustaz Shiddiq memberi contoh busana yang haram diproduksi, antara lain:

Pertama, celana pendek untuk laki-laki yang menampakkan aurat laki-laki (misalnya paha) haram diproduksi. Karena aurat laki-laki adalah apa-apa di antara pusar dan lutut, sesuai sabda Rasulullah SAW:

عَوْرَةُ الرَّجُلِ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ

“Aurat laki-laki adalah apa-apa di antara pusarnya dan lututnya” (HR Daraquthni dan Baihaqi). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 295)

“Jadi ketika dipakai celana pendek itu dengan menampakkan paha, ini haram dipakai produknya. Maka memproduksinya mulai dari bahan sampai pada proses terwujudnya celana pendek sebagai produknya, ini proses produksinya haram karena hasil produk itu haram dipakai oleh laki-laki karena menampakkan aurat,” paparnya.

Kedua, busana laki-laki (baju batik, dsb) dengan bahan sutera yang murni, haram hukumnya diproduksi. Dalilnya karena ada larangan dalam sabda Rasulullah SAW:

مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا فَلَنْ يَلْبَسَهُ فِي اْلآخِرَةِ

“Barangsiapa yang memakai kain sutera di dunia, maka dia tidak akan pernah memakainya di akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Kiai Shiddiq menjelaskan, kalimat ‘dia tidak akan pernah memakainya di akhirat’ adalah makna kinayah (sindiran) bahwa orang yang memakai kain sutra itu tidak akan masuk surga. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 306). “Mungkin akan masuk surga, tapi tidak di awal-awal,” jelasnya. 

Kiai Shiddiq menyebut Abu Sa’id Al Khudri RA yang menafsirkan hadis itu dengan berkata:

وَإِنْ دَخَلَ الْجَنَّةَ لَبِسَهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ وَلَمْ يَلْبَسْهُ

“Meskipun dia [orang yang pernah memakai sutera di dunia itu] masuk surga, maka penghuni surga lainnya memakai sutera, sedangkan dia tetap tidak diperbolehkan memakai kain sutera.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 306)

“Ini semacam hukuman di akhirat walaupun dia masuk surga, maka tidak akan pernah memakai sutera di akhirat karena sudah memakai di dunia. Maka kalau kita ingin memakai sutera di surga ya, sekarang yang laki-laki harus menahan diri tidak memakai busana dari kain sutera,” ujarnya.

Ustaz Shiddiq menyampaikan catatan bahwa adapun busana perempuan dari bahan sutera, boleh hukumnya diproduksi, tidak haram, selama memenuhi syarat-syarat sebagai busana untuk wanita muslimah, misalnya tidak transparan dan tidak membentuk tubuh.
Sabda Rasulullah SAW :

أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِلْإنَاثِ مِنْ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلىَ ذُكُوْرِهَا

“Telah dihalalkan emas dan sutera untuk wanita dari umatku, tetapi keduanya diharamkan untuk umatku yang laki-laki.” (HR Ahmad, Nasa`i, dan Tirmidzi; hadits shahih).
(Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 306)

Ketiga, pakaian yang menjadi ciri khas kaum kafir, haram hukumnya diproduksi, dan haram juga dipakai seorang muslim. Dicontohkannya, pakaian pendeta atau pastor, pakaian sinterklas, pakaian biarawati, pakaian bhiksu, dan sebagainya. Dalil keharamannya, karena termasuk tasyabbuh bil kuffar (menyerupai kaum kafir) sesuai sabda Nabi SAW:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)

“Haram hukumnya muslim memproduksi dan mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas kaum kafir,” tegasnya.

Keempat, busana wanita muslimah yang transparan (tembus pandang) atau yang ketat (membentuk tubuh), haram hukumnya diproduksi. Dalil keharamannya, sabda Rasulullah SAW:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النّارِ لَمْ أَرَهُمَا : قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ البَقَرِ يَضْرِبونَ بِهَا النّاسَ ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ ، رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ اَلْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ ، وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Artinya: “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya; (Pertama), suatu kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor kerbau, yang digunakan untuk menyiksa manusia. (Kedua), wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang cara berjalannya berlenggak-lenggok menggoyangkan (bahu dan punggungnya) dan rambutnya (disanggul) seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga mereka tidak mencium baunya surga, padahal baunya surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR Muslim).

Syaikh Nashiruddin Al Albani menafsirkan hadis itu:

فَهِيَ كَاسِيَةٌ وَهَى فِي الحَقيقَةِ عَارِيَةٌ مِثْلُ مِنْ تَكْتَسِي الثَّوْبَ الرَّقيقَ اَلَّذِي يَصِفُ بَشَرَتَهَا أَوْ اَلثَّوْبَ الضَّيِّقَ اَلَّذِي يُبْدي تَقَاطِيْعَ خَلْقِهَا

“Jadi wanita-wanita itu berpakaian tetapi sebenarnya telanjang, seperti wanita yang memakai baju yang tipis (transparan) yang dapat memperlihatkan warna kulitnya, atau wanita yang memakai baju yang ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya.”
(Nashiruddin Al Albani, Jilbab Al Mar`ah Al Muslimah, hlm. 80)

Kelima, haram hukumnya memproduksi baju syuhrah/kemasyhuran (tsiyab asy syuhrah), yaitu baju yang menarik perhatian karena tidak umum di masyarakat, baik karena mahalnya (mewahnya) atau karena buruknya (seperti baju model gembel or gelandangan).
Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memakai baju syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikan kepadanya baju kehinaan di Hari Kiamat.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Hukum Jual Beli Busana 

Hukum asalnya jual beli busana itu boleh (mubah). Tetapi jika syariah mengharamkan jenis busana tertentu, maka menjual belikan busana itu haram juga hukumnya. “Jadi, hukum menjual belikan busana itu mengikuti hukum halal haramnya memakai busana itu,” tuturnya.

Menurutnya, ini sesuai kaidah fiqih:

كُلُّ مَا حُرِّمَ عَلىَ الْعِبَادِ فَبَيْعُهُ حَرَامٌ
Kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaadi fa-bai’uhu haraamun

“Segala sesuatu yang telah dharamkan bagi para hamba-Nya, maka menjual belikannya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 287).

Hukum Profesi Desainer Busana 

Profesi desainer busana muslimah hukumnya boleh menurut syariah, dengan 2 (dua) syarat:

Pertama, desainer hanya boleh menggambar busana yang secara syariah boleh dipakai oleh wanita muslimah. “Jika desainer menggambar busana yang haram dipakai oleh wanita muslimah, misalnya busana yang menampakkan aurat, atau busana yang ketat (membentuk tubuh), atau busana yang menyerupai kaum kafir, atau busana yang transparan, dsb, hukumnya haram dan desainer itu telah berdosa,” jelasnya.  

Dalil untuk syarat pertama di atas, adalah kaidah fiqih yang berbunyi:

الوَسائِلُ تَتَّبِعُ المَقاصِدَ فِي أَحْكَاحِهَا

Al wasa`il tattabi’ al maqashid fi ahkamihaa. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, XII/199). 

Kaidah ini menerangkan bahwa hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan), baik berupa sarana fisik atau suatu aktivitas, sama dengan hukum untuk tujuan.
 
“Berdasarkan kaidah ini, menggambar desain yang haram, hukumnya haram, karena tujuannya adalah dipakainya busana yang haram,” tegasnya.

Kedua, desainer hanya boleh menggambar busananya, tidak boleh menggambar sosok orangnya, karena menggambar makhluk bernyawa haram.

Dalilnya riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
 
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النّارِ يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا تَعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ ، قَالَ بْنُ عَبَّاسٍ: فَإِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاجْعَلْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ. رواه البخاري

“Setiap yang menggambar masuk neraka, akan dijadikan baginya nyawa untuk setiap gambar yang dibuatnya yang akan mengazabnya di neraka Jahannam.” Ibn Abbas berkata,”Jika kamu harus menggambar buatlah pohon atau apa saja yg tak bernyawa.” (HR Bukhari)

Hukum Profesi Model Busana

Menurut kiai Shiddiq, haram hukumnya wanita muslimah yang menjadi model busana atau menjadi foto model atau peragawati busana muslimah. Dalil keharamannya adalah hadis Rifa’ah bin Rafi’ RA yang melarang kerja yang sifatnya memanfaatkan tubuh dan kecantikan wanita:

عَنْ رِفاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ : نَهَانَا رَسولُ اللَّهِ عَنْ كَسْبِ الأَمَةِ إِلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدِهَا قَالَ هَكَذَا بِأُصْبُعِهِ نَحْوَ الغَزْلِ والْخُبْزِ والنَّفْشِ

Dari Rifaah bin Rafi’ RA, dia berkata: “Rasulullah SAW telah melarang pekerjaan seorang budak wanita kecuali yang pekerjaan yang dikerjakan oleh tangannya, misalnya menenun, membuat roti, mencari rumput,” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

“Jadi, yang dibolehkan dari wanita adalah setiap pekerjaan yang tidak memanfaatkan daya tarik tubuh atau kecantikan wanita, seperti kerja yang sifatnya fisik (seperti tukang tenun dsb), dan kerja yang sifatnya intelektual (seperti mengajar) dam sebagainya,” terangnya.

Hukum Manekin 

Ustaz Shiddiq menilai haram hukumnya memperagakan busana dengan memanfaatkan manekin, baik utuh maupun tidak utuh, karena manekin termasuk dalam ketegori patung yang tidak dibolehkan syariah.

Dalil keharaman manekin adalah hadis yang melarang memasang patung. Nabi SAW bersabda:

لَا تَدْخُلُ المَلائِكَةُ بَيْتًا فِيه كَلْبٌ أَوْ تِمْثالٌ

“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada anjingnya atau patungnya,” (HR Muslim).

“Baik, itu yang bisa saya jelaskan,” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 21 Agustus 2022

KH M. Shiddiq Al Jawi: Jilbab Berbeda dengan Kerudung

Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan bahwa jilbab itu berbeda dengan kerudung.

“Sebenarnya yang namanya jilbab itu berbeda dengan kerudung,” tuturnya dalam Kajian Fiqh: Jilbab dan Kerudung, Apa Bedanya? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (19/8/2022).

Kiai Shiddiq menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an istilah untuk kerudung itu adalah khimar. Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 Allah memerintahkan wanita-wanita muslimah untuk mengenakan khumur. Dalam teks aslinya adalah khumur (kerudung-kerudung mereka). Khumur itu bentuk plural dari kata khimar. “Sedangkan khimar itu tunggal atau mufrod atau singular yang berarti kerudung dalam bahasa Indonesia,” jelasnya.
 
Menurutnya, ini berbeda dengan istilah jilbab yang ada dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: "Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Jadi jilbab itu maknanya bukan kerudung tetapi maknanya adalah busana yang longgar yang dipakai seorang perempuan muslimah yang menutupi seluruh tubuh dari atas sampai ke bawah satu potongan, yang dipakai di atas baju rumahnya.

“Jadi itulah pengertian jilbab yang sebenarnya di dalam Al-Qur’an,” paparnya.
 
Menurutnya, saat ini memang masyarakat di Indonesia secara umum mengartikan jilbab sebagai kerudung yang sebenarnya ini tidak tepat. Di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir,  Imam Ibnu Katsir mengartikan al- khimar atau bentuk jamak dari khimar itu adalah khumur: 
Ma yaghaththa bihi arras’su yaitu “apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala” 

Ustaz Shiddiq menegaskan bahwa sebenarnya bukan jilbab sebagaimana istilah yang secara salah kaprah ini terjadi di masyarakat Indonesia. “Jadi kalau kerudung kita kembalikan kepada Al-Qur’an ya, istilahnya adalah khimar, yang ada di dalam Al-Qur’an adalah wanita-wanita muslimah itu menutupkan kerudung-kerudung mereka ke dada-dada mereka itu dalam surat An-Nur ayat 31. Kalau kata jilbab itu ada di dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59,” tegasnya 
Kiai juga menyampaikan kutipkan satu tafsir dari Imam Al-Qurthubi ketika beliau menafsirkan Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59 tersebut dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi,  ke-14 halaman 107. Al tsaub alladzy yasturu jami’ al-badan “jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh.”

Imam Al-Qurthubi mengatakan, kata jalabib pada ayat itu adalah bentuk plural atau bentuk jamak dari jilbab yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung {akbar min al-khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud berpendapat bahwa jilbab artinya sama dengan ar-rida’ (pakaian sejenis jubah atau gamis).

Ada yang berpendapat jilbab artinya adalah al-qina’, artinya kerudung kepala wanita atau ada yang mengartikan juga al-qina’ adalah cadar. 

Kiai Shiddiq menyampaikan memang ada khilafiyah, ada perbedaan di antara para ulama di dalam mengartikan jilbab. memang ada yang mengartikan jilbab itu diartikan sebagai kerudung, ada yang dalam bahasa Arab itu disebut kata disebut dengan kata al-qina’.

“Kemungkinan inilah yang menjadi dasar ya Kenapa di Indonesia itu kata jilbab pada ayat itu diartikan sebagai kerudung, ya karena memang ada sebagian ulama yang mengartikan jilbab itu adalah al-qina' Itu bisa diartikan kerudung, tapi bisa juga diartikan cadar,” tuturnya.

Menurut Kiai Shiddiq, pendapat yang shahih adalah kutipan dari Imam Al-Qurthubi. 
“Jadi apa itu jilbab adalah busana atau baju yang longgar yang dipakai oleh wanita di atas baju-bajunya, baju kerja atau baju rumahnya. Nah, itulah yang disebut dengan jilbab,” tandasnya.[] Raras

Selasa, 02 Agustus 2022

HUKUM OTOPSI DALAM PANDANGAN SYARIAH ISLAM


Tinta Media - Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan jalan pembedahan (surgery, at tasyriih). Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.

Pendapat Ulama Tentang Otopsi

Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.

Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan. Aasannya, otopsi dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Arab Saudi). (Lihat : As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172; M. Ali As-Salus,Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, hlm. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).

Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut. Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan mayat. Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW :

كسر عظم الميت ككسره حياً

“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).

Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya, seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170;Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).

Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat)

Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :

Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah). Padahal Mashalah Mursalah dalam ilmu ushul fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi (keabsahannya sebagai sumber hukum diperselisihkan oleh para ulama). Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama (muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);

Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.

Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299).

Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW :

ان كسر عظم المؤمن ميتا مثل كسره حيا

“Sesungguhnya memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (inna kasra ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 24.353 & 24.730; Imam Malik, Al-Muwathha`, 2/227, no 253; Imam Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, 8/208, no 3459; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 14/297; Al-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353).

Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim, sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan :

المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل يدل على التقييد

Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid.

(dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208)

Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh.

Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi

Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu.

Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal otopsi adalah haram.

Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang.

Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”

(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,

(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point,

(3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan

(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah).

Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;

Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi). Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa :

العام يبقى على عمومه ما لم يرد دليل التخصيص

Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid dalil at-takhshiish. (hukum yang berlaku umum tetap dalam keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan (mengkhususkan).”

Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah. Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi (dalil) yang lemah. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada sumber hukum yang disebutMashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.

Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).

Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai sabda Nabi SAW :

كسر عظم الميت ككسره حياً

“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).

Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati.” (Arab : wushuuluhu haddan in lam yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba).

Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).

Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits).

Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan :

من لا يملك التصرف لا يملك الإذن فيه

Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf [perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin [kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan hukum/tasharruf tersebut). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu,Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081;Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).

Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : Pertama, pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh. Kedua, kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).

Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi perepmpuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).

Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat.Wallahu a’lam []

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI
Pakar Fikih Kontemporer 

Sumber Artikel:
https://shiddiqaljawi.id/hukum-otopsi-dalam-pandangan-syariah-islam/

Selasa, 31 Mei 2022

HUKUM MENGKONSUMSI DAN MELEGALKAN GANJA


Tinta Media - Tanya :

Ustadz, saya ingin bertanya terkait berita bahwa baru-baru ini (22/5/2022)  pemerintah Thailand akan melegalkan ganja. Beritanya ada di link di bawah ini:

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220520102420-106-798869/thailand-akan-legalkan-ganja-seperti-apa-aturannya

Adapun pertanyaan saya sebagai berikut :

1. Bagaimana hukumnya melegalkan ganja?

2. Apa hukumnya menjadikan ganja sebagai bumbu masakan?

3. Apa hukumnya menghisap ganja? (Achmad Muit, Sidoarjo)

Jawab :

Menurut kami haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) secara mutlak, baik menanam ganja, menghisap ganja, menjualbelikan ganja, ataupun melegalkan ganja. Hukum pemanfaatan ganja juga tetap haram meskipun untuk sekedar penyedap makanan, meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut. Haram pula sebuah negara melegalkan ganja bagi rakyatnya.

Keharaman ganja tersebut didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.

Dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab : al hasyisy) secara mutlak adalah hadits sebagai berikut:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ

Dari Ummu Salamah RA, dia berkata,"Bahwa Rasulullah SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir)_ dan zat yang melemahkan (mufattir)." (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).

Sebagian ulama menilai hadits ini dha’if (lemah), misalnya penulis kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib Al Arna`uth. 

Namun kami lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar Al Asqalani yang menghukumi hadits ini sebagai hadis hasan. (‘Aunul Ma’bud, 3/378; Musnad Ahmad bin Hanbal Ma’a Hukm Syu’aib Al Arna`uth, Juz 6 hlm. 309; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47; Kitabul Asyribah, Bab Al Khamr min Al ‘Asl, syarah hadits no 5263; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35, Bab “At Takhdiir”; Ahmad Fathi Bahnasy, Al Khamr wal Mukhaddirat fi Al Islam, hlm. 169).

Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadits di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 342; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35).

Maka dari itu, hadits di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. 

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa dalam hadits Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al hasyisy), karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al Mausu’ah Al Jina`iyyah Al Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695).

Keharaman ganja ini menurut kami bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. (Lihat Syekh As Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22).

Kemutlakan hukum ini disimpulkan dari nash hadits Ummu Salamah RA yang bersifat mutlak pula. Artinya, hadits ini hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasan atau sifat ganja itu apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak. Perhatikan perkataan Ummu Salamah RA : 

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ

"Bahwa Rasulullah SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir)." (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).

Maka dari itu, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nash hadits yang mutlak pula. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208).

Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nash, bukan didasarkan pada illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al waqi’) namun bukan illat (alasan) keharaman ganja.

Maka dari itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan :

 إن العبادات والمطعومات والملبوسات والمشروبات والأخلاق لا تعلل وإنما يلتزم فيها بالنص

Inna al ‘ibadati wa al math’umati wa al malbusati wa al masyrubati wa al akhlaqa laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nashsh. (sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat (alasan penetapan hukum), namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja). (Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, hlm. 55).

Wallahu a’lam.

NB : http://fissilmi-kaffah.com/index.php/index/search

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab