Tinta Media: Ferdy Sambo
Tampilkan postingan dengan label Ferdy Sambo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ferdy Sambo. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Februari 2023

Vonis Mati Sambo, LBH Pelita Umat: Eksekusinya Kapan?

Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. mempertanyakan waktu eksekusi setelah Ferdy Sambo divonis mati oleh hakim dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua. 

“Terkait vonis Ferdy Sambo, pertama, bahwa vonis mati itu tergantung akan di eksekusi kapan,” ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (16/2/23)

Menurut Chandra, kalau dieksekusinya sebelum KUHP baru, maka Ferdy Sambo kemungkinan dieksekusi hukuman mati itu peluangnya besar. "Tetapi, kalau Ferdy Sambo hingga tahun 2026 masih belum di eksekusi, maka vonis mati itu kemungkinan besar tidak terjadi," ujarnya. 

Ia menyebutkan kemungkinan tersebut terjadi karena pada Tahun 2026 berlaku KUHP baru. "KUHP baru memberikan kesempatan bagi tersangka yang tervonis mati, jika ia berperilaku baik dalam jangka waktu sepuluh tahun, vonis mati bisa ditangguhkan, misalkan berubah menjadi hukuman seumur hidup. Oleh karena itu, vonis tergantung kapan dieksekusi, apakah sebelum 2026 atau pada tahun tersebut," terangnya. 

Namun, menurutnya, kasus Ferdy Sambo ini menarik. Menariknya adalah Ferdy Sambo melakukan pembunuhan di luar pengadilan, di luar proses hukum atau yang dikenal dengan extra judicial killing. 

“Seseorang itu dapat melakukan tindak pencabutan nyawa atau pembunuh jika memang ada perintah dari setelah diputuskan oleh pengadilan. Disebut misalkan vonis hukuman mati. Jadi orang dapat dicabut nyawanya setelah diproses pembuktian di pengadilan. Nah, sedangkan extra judicial killing itu berarti pembunuhan di luar proses pembuktian di pengadilan,” jelasnya.

Pintu Masuk KM 50 

Ketika seseorang melakukan extra judicial killing dan divonis mati oleh pengadilan, tambahnya, bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum, baik kepolisian maupun jaksa untuk memproses siapa pun yang memiliki wewenang dan telah melakukan extra judicial killing, misalnya kasus KM 50, atau kasus-kasus lain yang masuk kategori ini.

“Ini saya kira pertimbangan hakim itu dapat dijadikan pintu masuk untuk mengusut atau memproses kasus-kasus extra judicial killing,” tegasnya.

Namun selain itu, ia juga berpendapat bahwa kemungkinan kasus KM 50 dibuka kembali sangatlah kecil. Karena kasus tersebut bukan pidana murni. "Ada unsur politik di belakangnya. Sehingga sangat berat untuk dibuka kembali," ungkapnya. 

Selain itu berkaitan km 50, ia juga mengatakan, pengadilan sudah melakukan pemeriksaan atau memvonis yang dianggap pelaku lapangan. Dan itu sudah diputuskan di pengadilan. “Sehingga, untuk dibuka kembali KM 50, kemungkinan itu sangat kecil, dengan alasan yang saya sebutkan tadi,” pungkasnya.[] Wafi

Jumat, 17 Februari 2023

Vonis Mati Ferdy Sambo, IJM: Pesimis

Tinta Media - Menanggapi vonis mati terhadap Ferdy Sambo, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. merasa masih pesimis.

“Jadi saya sebenarnya masih sangat pesimis atau belum terlalu berharap terhadap vonis mati Sambo,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (15/2/2023).

Ia berpendapat bahwa vonis ⅞ Ferdy Sambo, tentu saja memberikan rasa keadilan bagi pihak keluarga korban serta bagi kalangan masyarakat yang berkeinginan agar pelaku pembunuh Brigadir J. “Masalahnya vonis ini kan belum langsung dieksekusi, masih ada jalan Panjang yang harus dilalui. Dipastikan Sambo akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi malah sampai ke Mahkamah Agung, kalau terdakwa Sambo tidak puas atas putusan hakim sebelumnya,” ucapnya. 

Menurut Sjaiful, jalannya masih panjang. “Apalagi kalau nanti ada permainan kasus Sambo, di pengadilan tingkat di atasnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, yang barangkali untuk melindungi kepentingan elit tertentu yang sedikit banyak terkait dengan geng Sambo,” paparnya.

Yang lebih runyam lagi, menurut Sjaiful, kalau nanti hakim lebih tinggi diatasnya, berpedoman pada KUHP baru yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang diberlakukan pada 1 Januari 2027. Jadi kalau kasus ini dibiarkan berlarut-larut oleh Hakim Tinggi dan Mahkamah Agung, sampai 2027, maka pedomannya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Disitu disebutkan bagi pelaku pembunuhan yang kena sanksi pidana mati. Maka sanksinya tidak langsung diberlakukan nanti setelah 10 tahun kemudian, itu pun kalau pelakunya berkelakuan baik maka bisa saja sanksi pidana mati dihapuskan dengan sendiri. “Juga kalau toh, Sambo harus menunggu 10 tahun untuk ditembak mati, maka masih ada peluang Sambo meminta pengampunan kepada presiden yaitu grasi,” tuturnya.

“Disinilah yang menjadi titik pesimis saya terkait sanksi pidana mati Sambo,” tegasnya kemudian.

Dari segi opini penegakan hukum, Sjaiful menilai mungkin menjadi titik awal keadilan. “Tetapi dari segi penerapan putusan sanksinya, saya masih pesimis untuk menjadi titik awal keadilan di negeri ini dengan alasan yang sudah sampaikan,” nilainya.

Jika ini dikaitkan kemungkinan menjadi jalan untuk membuka kembali kasus KM 50, menurut Sjaiful tergantung dari komitmen para penegak hukum di negeri ini apakah mau serius mengungkap Kembali kasus KM 50. Tetapi kalau mengungkap kembali track record penanganan kasus korban pembunuhan 6 laskar jihad FPI, yang masih gelap dan belum terungkap hingga kini, ia masih pesimis. “Maka sekali lagi saya masih pesimis, untuk terungkapnya kembali kasus KM 50, apalagi kasus ini ditenggarai telah diintervensi kelompok geng elit,” ungkapnya.

Namun demikian Sjaiful menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J yang didalangi oleh Sambo, hanya bisa memberikan keadilan bagi pihak korban. Kalau misalnya menggunakan sanksi pidana Islam, yang dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah qishas, bahwa pelaku pembunuhan juga akan dikenakan sanksi bunuh juga kalau terbukti melakukan pembunuhan. Apalagi proses penerapan sanksi pidana Islam, berbiaya murah, tidak berbelit-belit dan memakan waktu panjang sampai berbulan-bulan. 
“Juga dalam sistem pidana Islam tidak dikenal pengadilan bertingkat seperti pada sistem peradilan pidana sekuler,” jelasnya.

Dijelaskannya bahwa dalam pidana Islam kalau putusan Hakim (Qadhi), sudah dinyatakan sah maka langsung dilaksanakan. Tidak boleh ada yang membatalkan. “Itulah keadilan dalam sistem pidana Islam,” pungkasnya.[] Raras

Vonis Mati Sambo, Pengamat: Sesuai Keinginan Masyarakat

Tinta Media - Menanggapi vonis pidana mati atas Fredy Sambo, Pengamat Kebijakan Publik Dr. Erwin Permana menyatakan bahwa putusan tersebut sesuai keinginan masyarakat.

"Tentu kita senang karena bagaimanapun ini ditunggu oleh masyarakat. Walaupun dengan sidang yang penuh drama, berliku, panjang sekali. Kita nyaris putus asa, hasilnya akan seperti apa. Tetapi ternyata hasilnya sesuai harapan masyarakat yakni dia dihukum mati," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (15/2/2023).

Hanya saja, lanjutnya, berikutnya adalah perlu kawal, apakah hukuman mati ini benar-benar akan dilaksanakan segera. "Itukan baru keputusan saja. Kapan eksekusi kan belum jelas, sampai sekarang belum jelas," imbuhnya.

Menurutnya, perlu kapan langkah-langkah kongkrit eksekusi mati terhadap Ferdy Sambo akan dilakukan. Namun patut waspada juga karena KUHP menyatakan bahwa orang yang akan dihukum mati dipenjara dahulu 10 tahun, hukuman percobaan. Kalau selama 10 tahun itu berkelakuan baik maka tidak jadi hukuman mati. "Justru kita harus waspada, hukuman ini jangan-jangan PHP doang. Diberi harapan akan dihukum mati tapi ternyata ga jadi.  Amsyong," ujarnya.

"Maka publik tidak boleh terlena dengan keputusan ini, tetap harus kontrol dengan ketat, apa yang terjadi akan terus terjadi," tambahnya.

Ia menilai bahwa bisa jadi ini titik awal keadilan di negeri ini, Itu disatu titik. Kemudian yang lainnya, tentu bagaimana masyarakat bersuara. Kalau berharap keadilan terhadap sistem sekarang ini, rasanya terlalu jauh. Ini tergantung kepada publik. Bagaimanapun keadilan saat ini ditentukan oleh keinginan publik, desakan publik. "Publik tidak boleh diam, tidak boleh tidur terhadap berbagai kejadian negeri ini," jelasnya.

Ia juga melihat adanya kemungkinan kasus Sambo menjadi jalan membuka kasus KM 50, sebagaimana kasus ini dibuka. Untuk menunjukkan keadilan sekaligus untuk menegakkan kewibawaan pengadilan negeri ini maka kasus KM 50 juga harus dibuka. "Karena kalau ini tidak dibuka, keadilan itu enggak ada, sama aja, jadi dagelan lagi," bebernya.

Ia menambahkan bahwa agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum negeri ini kembali bisa ditegakkan, maka kasus KM 50 itu perlu dilakukan semacam sidang ulang, pengadilan ulang terhadap kasus yang sudah terjadi," pungkasnya.[] Ajira

Rabu, 15 Februari 2023

Vonis Mati Ferdy Sambo, IJM: Kekalahan atau Skenario?

Tinta Media - Menanggapi vonis hukuman mati Ferdy Sambo, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana maknai dua hal. 

"Menurut saya, vonis mati terkait dengan Ferdi Sambo ini bisa dimaknai dua hal. Pertama, betul-betul kekalahan dari Ferdy Sambo, soalnya Ferdy Sambo betul-betul tidak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan pengadilan tersebut. Tapi ada kemungkinan yang kedua. Ini adalah bagian dari skenario. Kenapa? Karena masih ada proses untuk melakukan banding dan kasasi," tuturnya kepada Tinta Media pada hari Selasa, (14/2/2023). 

Menurutnya, kasus Ferdy Sambo itu mendapat perhatian dan tekanan publik, jadi untuk membuat keputusan di tingkat pengadilan negeri, tentu itu akan berhadapan dengan kekuatan opini dan kekuatan massa.
 
"Kalau di tingkat pertama ini dibikin keputusan untuk mengevakuasi Ferdy Sambo atau memberikan hukuman yang lebih rendah dari hukuman mati, tentu publik akan bertanya-tanya terhadap hal ini dan bisa jadi mendapat tekanan luar biasa dari publik," bebernya. 

Tetapi ketika di keputusannya belum inkracht, masih ada banding dan kasasi, bisa jadi nanti ketika banding dan kasasi, perhatian publik tidak terlalu fokus, tekanan-tekanan opini publik tidak terlalu besar. "Mungkin saja akan ada keputusan yang targetnya untuk melakukan evakuasi atau keringanan kepada Ferdy Sambo," lanjutnya.

Ia menuturkan karena peluang terjadinya deal or no deal antara Ferdy Sambo dan pihak-pihak lain itu sangat mungkin terjadi karena dua hal tadi bisa muncul di dalam pengadilan Ferdy Sambo. "Oleh karena itu saya berpendapat bahwa saya belum percaya dengan keputusan ini gitu," ungkapnya. 

Sehingga Agung meragukan keputusan pengadilan negeri terhadap Ferdy Sambo ini sebagai kekalahannya. Karena kalau memang Ferdy Sambo menganggap keputusan tersebut kekalahannya, seharusnya Ferdy Sambo berani secara terbuka membongkar juga kasus KM 50 apalagi saat itu posisinya sebagai Kadiv Propam dan kepala Satgasus, sehingga kemungkinan FS tahu tentang KM 50. 

"Dengan kondisi ini semakin menguatkan saya bahwa kalau dia nggak berani membongkar kasus KM 50, saya kok masih khawatir keputusan Ferdy Sambo di tingkat pertama ini ya bagian dari sebuah skenario untuk meringankannya nanti di dekat banding dan kasasi," pungkasnya. [] Lussy Deshanti

Sambo Divonis Mati, Advokat: Publik Harus Selalu Waspada

Tinta Media - Terkait informasi bahwa Ferdy Sambo divonis hukuman mati, Advokat Ahmad Khozinudin, S.H., mengingatkan agar publik selalu waspada.

"Publik harus selalu waspada, mengontrol kasus ini hingga 'tangan dan kaki Sambo' benar-benar lumpuh dan tidak dapat digunakan lagi," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (13/02/2023).

Hal ini, lanjut AK, untuk memastikan Sambo tidak dapat bermanuver lagi dan benar-benar siap dieksekusi oleh regu penembak untuk menjalankan vonis pidana mati.

Selanjutnya, ia mengingatkan dengan tegas agar publik tidak lalai terhadap vonis mati untuk Sambo. "Publik jangan terlalu euforia dengan putusan mati Sambo dan lupa mengontrolnya," tegasnya.

Vonis ini jelas menggembirakan, katanya, apalagi, dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga membersihkan nama baik Brigadir Josua, yang dalam requisitor Jaksa disebut telah melakukan perselingkuhan dengan Putri Chandrawati.

AK, sapaan akrabnya mengajak masyarakat untuk menganalisis apakah putusan tersebut membuat publik merasa lega atau tidak. "Namun, apakah putusan ini telah membuat publik lega? Mari kita analisa bersama," pintanya.

Pertama, menurutnya, keputusan ini baru tingkat pertama belum berkekuatan hukum tetap. Vonis mati untuk Sambo bisa saja dianulir saat fase banding di tingkat Kasasi.

"Putusan ini baru putusan tingkat pertama, belum putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Artinya, vonis mati untuk Sambo bisa saja dianulir oleh Majelis Hakim Judex Factie tingkat Banding dan Majelis Hakim Judex Juris di tingkat Kasasi Mahkamah Agung," ujarnya.

Perlu ada kewaspadaan bersama bagi publik, imbuhnya, bahwa Sambo baru akan bergerilya dan mengerahkan segenap daya, usaha dan menggerakan 'pasukannya', untuk memperoleh vonis ringan pada tingkat Banding dan Kasasi. Mengingat, proses mengadili di tingkat Banding dan Kasasi seperti berada di lorong yang gelap. Tak bisa dijamah oleh media dan publik, karena sifatnya hanya 'mengadili berkas'.

Kedua, ia menilai vonis ini tidak murni dari putusan hakim melainkan ada peran publik yang ikut mengontrol dan mengawasi. "Vonis ini tidak murni putusan hakim, melainkan ada peran publik yang ikut mengontrol dan mengawasi proses persidangan," bebernya.

Sebagaimana kita memahami, terangnya, kalau publik tidak 'cerewet di ruang publik', mempersoalkan rilis tembak menembak di duren tiga, pastilah kasus ini tidak terkuak, dan selamanya Brigadir J adalah korban peristiwa tembak menembak, bukan korban kejahatan pembunuhan berencana yang didalangi oleh mantan Kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo.

Ketiga, AK menyatakan bahwa Sambo sepenuhnya lumpuh. Masih banyak oknum petinggi Polri yang terlibat, yang nantinya bisa dimainkan pada level Banding Kasasi. "Sambo belum sepenuhnya lumpuh, banyak kasus dan aib oknum petinggi Polri yang menjadi kartu As yang bisa dia mainkan di tingkat Banding dan Kasasi," jelasnya.

Karena, terangnya, dia pernah menjabat Kadiv Propam dan Kasatgasus Merah Putih. Rahasia para Jenderal yang dipegang Sambo, akan cukup efektif digerakkan oleh Sambo, bergerilya guna menyelamatkannya dari vonis mati.

Terakhir, ia memastikan bahwa Sambo lebih memilih bermain dalam gelap ketimbang di bermain di ruang terbuka yang bisa diawasi oleh publik.

"Sambo tentu lebih memilih operasi senyap, bermain di lorong gelap, ketimbang bermain api diruang terbuka dan dikontrol publik. Alih-alih selamat, Sambo bisa ikut 'menyeret koleganya' itu terbakar bersama dirinya, ketika memaksakan bermain diruang terbuka," pungkasnya.[] Nur Salamah

Selasa, 27 September 2022

LBH Pelita Umat: Perlu Ada Pemisahan antara Institusi Keamanan dan Polisi

Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Candra Purna Irawan, S.H., M.H. berpendapat bahwa terkait kasus Ferdy Sambo maka perlu adanya pemisahan antara institusi keamanan dan polisi. 

“Terkait masalah kasus Sambo maka saya berharap, kita perlu menggulirkan bahwa harus dipisah institusi keamanan dan polisi,” tuturnya dalam Program Perspektif PKAD: Dugaan (Obstruction of Justice, Pembunuhan Berencana) & Bebasnya Ferdy Sambo, Senin (19/9/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.

Memandang kasus Ferdy Sambo, ia menilai semestinya orang yang memegang senjata dengan orang yang menegakkan hukum itu dipisah. 

“Mungkin perlu dikaji ulang, mesti dipisah satu institusi keamanan dalam negeri di mana dia mempunyai kewenangan memegang senjata dan satu lagi yang fokus menegakkan hukum,” bebernya.

Ia berpendapat jika orang institusi memegang senjata lalu dia juga menegakan hukum, ini akan dua kewenangan yang begitu besar digabung dalam satu institusi.

“Diberikan kewenangan besar itu kepada seseorang, satu sisi keamanan, pemegang senjata dan satu sisi pemegang hukum. Ini kewenangan yang terlalu besar,” pendapatnya.
 
Diharapkan institusi dalam konteks ini adalah aparat penegak hukum agar tidak terjadi conflict of interest, yakni konflik kepentingan.
“Saya kira perlu wacana ini dikembangkan kembali dalam konteks kasus Ferdy Sambo, ini menjadi momentum untuk memisahkan dua kewenangan besar,” ujarnya.

Menurutnya, ketika institusi penegak hukum ini membutuhkan bantuan aparat untuk melakukan penangkapan segala macam, tinggal berkoordinasi dengan institusi keamanan.

“Contoh sederhana adalah KPK, sebagai penegak hukum tapi bukan dari pihak kepolisian, dan tidak punya senjata. Ketika akan menangkap pelaku korupsi, dia meminta bantuan kepada kepolisian,” urainya.

Menanggapi aparat penegak hukum yang terlibat kasus ini hanya diberikan sanksi administratif atau sidang kode etik. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak sependapat dengan penetapan hukum tersebut.

“Saya tidak sependapat jika para aparat penegak hukum yang terlibat dalam dugaan manipulasi atau merekayasa kasus, hanya diberikan istilahnya sanksi administratif atau sidang kode etik, saya tidak sependapat kalau hanya itu yang dilakukan,” ucapnya.

Seharusnya saat ini yang ditetapkan tersangka itu banyak, sejumlah orang yang diperiksa, bukan tujuh orang saja. Semua yang terbukti dalam sidang kode etik turut membantu melakukan dugaan tindak pidana, merekayasa kasus harus dijadikan tersangka.

“Kurang lebih 90 orang telah diperiksa, semestinya semua orang yang turut serta dalam melakukan tindak pidana itu dikenakan semua,” tuturnya.

Baginya tidak fair seseorang yang terbukti membantu hanya diberikan sanksi administratif. Dalam konteks menggunakan pasal 55 ayat 1 bagian ke-1 KUHP, ada yang disebut turut serta, dan seterusnya, maka semua yang terlibat itu dikenakan tersangka.

“Tidak fairnya adalah ketika masyarakat yang turut serta kemudian melakukan tindak pidana, itu semua kena. Apalagi dalam kasus UU Terorisme Ustaz Farid Ahmad Okbah, dalam UU Terorisme itu cukup ngeri, mengetahui adanya informasi teroris, ada mengetahui seseorang itu ternyata teroris tapi tidak memberitahukan, itu dikenakan pidana,” jelasnya.

Ia mempertanyakan dalam konteks Sambo ini, dari 90 orang yang terlibat dan segala macam, dia mengetahui tapi kemudian tidak melapor. “Maka dalam konteks Ini, pendapat saya semua orang yang di sanksi kode etik itu diperiksa, mestinya dipidana,” lanjutnya.

Chandra menyatakan bahwa dugaan manipulasi kasus ini adalah kejahatan yang sangat luar biasa, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Maka hukum yang ditetapkan berat karena yang terlibat adalah orang-orang yang punya keahlian khusus. Tidak semestinya sekedar sanksi administratif saja.

“Menjadi pertanyaan selanjutnya, kenapa ini tidak berlanjut ke sana?” tanyanya.

Hal ini akibat dari mereka (para aparat hukum) yang mempunyai kekuasaan kewenangan untuk menetapkan tersangka. Mereka yang punya kewenangan.

“Oleh karena itu, agar transparansi bagus, begitu penangkapan ini alangkah bagusnya dalam konteks penyidikan diserahkan kepada lembaga lain, misalnya Kejaksaan dan atau melibatkan sipil,” pungkasnya.[] Ageng Kartika

Senin, 26 September 2022

Kasus Ferdy Sambo, UIY: Wajib Ada Reformasi Struktural, Bila Perlu Revolusi di Tubuh Kepolisian

Tinta Media - Menanggapi kasus Ferdy Sambo, Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menegaskan wajib ada reformasi bila perlu revolusi di tubuh kepolisian. 

“Terkait kasus Ferdy Sambo, maka saya kira wajib ada reformasi struktural bila perlu revolusi di tubuh kepolisian,” tegasnya dalam Program Perspektif PKAD: Dugaan (Obstruction of Justice, Pembunuhan Berencana) & Bebasnya Ferdy Sambo, Senin (19/9/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.

Menurutnya, kasus Ferdy Sambo ini bukan soal personal saja tapi soal struktural kepolisian. "Bagaimana pengaruh tangan struktural Ferdy Sambo itu begitu kuat. Mengingat daya aruh Ferdy Sambo secara struktural dalam kedudukannya sebagai Kadiv Propam Mabes Polri yang diibaratkan polisinya polisi,” tuturnya.

Maka jaring-jaring pengaruh strukturnya itu memang sangat luas. “Terbukti pada tuduhan obstruction of justice itu melibatkan setidaknya pada level pemeriksaan itu sampai lebih dari 90 personil dengan level yang saya kira dari hampir puncak sampai paling bawah,” bebernya.

Ia menyatakan bahwa penanganan kasus ini harus sampai kepada aspek-aspek struktural.
“Sebab kalau hanya personal sampai berapa pun ada pemecatan, dalam kasus ini sudah sepuluh orang yang dipecat, saya kira itu belum menyelesaikan masalah jika tidak ada penanganan struktural tadi,” ujarnya.

Menilik peran dan kedudukan Ferdy Sambo sebagai kepala satgasus yang ia memiliki implikasi secara finansial. Ia mengingatkan adanya aliran dana judi yang dikemukakan dalam catatan PPATK dan sebagiannya berasal dari online. 

“Saya kira ini memperkuat apa yang dikatakan PPATK bahwa ada aliran dana judi online Itu sampai 155 triliun. Jumlah yang sangat besar, jadi benar apa yang dibilang akun mana itu bahwa duit Sambo sampai 8,1 triliun. Artinya ini bukan main-main, dengan kewenangan struktural yang dimiliki lalu kekuatan finansial yang dipunyai Sambo, menunjukkan ini adalah mabesnya mabes,” tuturnya.

Satgasus ini juga tangan-tangannya sampai ke kasus KM 50, penangkapan aktivis pada demo UU Ciptaker, dan sebagainya. Maka wajib strukturalisasi reformasi bahkan revolusi di tubuh kepolisian,” ujarnya. 

“Berarti bahwa ini bukan hanya sekedar soal uang yang demikian besar tapi juga soal tindakan yang sudah melampaui batas, sudah menabrak rambu-rambu hukum kewenangan, kepantasan, kesusilaan, dan macam-macam lainnya,” katanya.

Ismail mengungkapkan untuk melakukan reformasi struktural dan revolusi ini bergantung pada political will presiden, sejauh mana presiden memandang soal ini.
“Sejauh kita cermati, presiden tampaknya konsen dalam kasus Ferdy Sambo secara personal, tidak secara struktural. Kata tuntaskan itu hanya mengungkap tidak ada yang ditutupi kaitannya dengan kejahatan yang dilakukan Sambo,” ungkapnya.

Ia melihat sejauh ini dibubarkannya satgasus dengan keterkaitan Sambo sebagai Kepala Satgasus yang tangan-tangannya sudah begitu jauh itu merupakan tindakan yang kurang bagus.

“Karena pembubaran itu seperti seolah-olah sudah selesai masalahnya, padahal justru kita semua mesti tahu apa yang terjadi dengan satgasus, alasan dibubarkan apa?” tuturnya.
Satgasus dibentuk oleh kewenangan atas dasar kewenangan Kapolri, lalu dibubarkan atas dasar kewenangan Kapolri. Ia mengkritisi pembubaran atas satgasus tersebut.

“Kita perlu tahu ketika dibubarkan harapan apa yang tidak terpenuhi, yang tidak sesuai dengan harapan ketika dibentuknya satgasus. Adakah penyimpangannya, seperti apa? Maka harus ada audit terhadap satgasus itu,” ucapnya.

Audit ini menurut Ismail menjadi bagian dari reformasi di tubuh kepolisian. Audit ini hanya bisa dilakukan jika ada perintah langsung dari presiden atau setidaknya dari parlemen yang mempunyai kewenangan. Mengingat bahwa pemilihan Kapolri pun melibatkan mereka.

“Apakah memang parlemen memandang sampai sejauh itu? Saya kira yang penting untuk kita pertanyakan, mungkin kita pantas berduka karena atasannya tidak dan wakil rakyat pun tidak. Lalu siapa (yang audit)?” bebernya.

Ia menilai diperlukan ruang-ruang diskusi yang menyuarakan kasus ini sehingga orang tergugah bahwa ini persoalan di tubuh kepolisian bukan sekedar Ferdy Sambo sebagai personal tapi sudah sampai struktural.

“Karena ada kewenangan struktural dan kewenangan finansial di dalam satgasus yang demikian rupa, sampai tangan-tangannya itu menjarah atau menjamah berbagai persoalan yang disinyalir oleh publik itu sampai ke mana-mana,” nilainya.

Ia mengutarakan bagaimana kewenangan luar biasa dari institusi kepolisian di negeri ini, meliputi kewenangan menyelidiki, menyidik, menangkap, menahan, bahkan menembak. “Jadi luar biasa kewenangan ini,” ujarnya.

Ismail menyatakan bahwa jika institusi tidak memiliki kendali sementara kewenangannya begitu besar maka rusak negara ini.

“Banyak orang bisa menjadi korban, bukan hanya banyak orang bahkan dalam kasus Ferdy Sambo, polisi sendiri menjadi korban. Karena kewenangannya sangat besar. Bicara soal Ferdy Sambo dengan kewenangan tadi kemudian bisa melakukan apa yang disebut obstruction of justice,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 25 September 2022

Rusaknya Polisi dalam Sistem Kapitalis Demokrasi, Hanya Islam yang Bisa Memperbaiki

Tinta Media - Miris, saat kasus Ferdi Sambo terungkap, banyak fakta yang direkayasa. Skenario dibuat untuk menutupi fakta sebenarnya. Barang bukti dirusak dan dihilangkan, kemudian dibuat cerita yang membingungkan. Harusnya polisi mengungkap fakta agar bisa menangkap pelaku kejahatan yang sebenarnya, bukan malah menutupi fakta, bahkan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri. 

Meskipun kita punya polisi, tetapi seperti tidak ada. Ini karena mereka sibuk dengan urusannya untuk memperkaya diri dan melanggengkan jabatan dan kekuasaan dalam mafia kejahatan. Polisi tidak berfungsi sebagai pihak yang dibutuhkan masyarakat untuk memberikan rasa aman dan nyaman karena tidak menjalankan fungsinya sebagai pengayom masyarakat, malah menjadi pelindung kejahatan, membuat rakyat merasa terancam. 

Sungguh miris, menyaksikan polisi terlibat bisnis haram; judi, narkoba, dan kejahatan lainnya, sehingga banyak orang apatis bahwa polisi akan kembali pada fungsinya.

Masihkah kita berharap pada polisi untuk mengungkap banyak kejahatan yang selama ini menjadi cerita drama Korea, yang burubah-ubah kisahnya? Banyak kasus yang masih dalam misteri. Seolah tidak ada itikad baik untuk memperbaiki penanganannya karena sudah terlanjur dalam skenario. Polisi semakin tidak berdaya dan kehilangan fungsinya sebagai pelindung masyarakat.

Terlalu lama hidup dalam sistem kapitalis membuat polisi berpikir oportunis, bergerak hanya mengikuti sesuatu yang menguntungkan. Saat tidak memberikan nilai manfaat, polisi memilih diam. Bila perlu, menjadi pelindung kejahatan jika itu bisa memberikan keuntungan. Gaya hidup hedonis mendorong polisi menyimpang dari tugasnya untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan.

Gaya hidup hedonis tumbuh subur dalam sistem kapitalis karena mereka melihat kesuksesan dari sisi materi. Mereka berlomba-lomba untuk miliki kekayaan dan kemewahan. Mobil mewah, rumah megah dan pansos barang-barang branded yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mengandalkan gaji, sehingga cara-cara yang haram pun dilakukan untuk memenuhi semua keinginan gaya hidup hedonis.

Jika ingin perbaikan di negeri ini, harus ada perubahan mendasar dengan mencampakkan kapitalisme dan kembali kepada sistem Islam yang akan menerapkan syariat Allah secara kaffah dalam kehidupan. Tidak hanya polisi, tetapi semua pejabat dan pemimpin akan amanah dengan tugasnya untuk mengurusi masyarakat dalam rangka mencari rida Allah. 

Kesadaran hubungan mereka dengan Tuhannya, tidak hanya di tempat ibadah, sehingga saat bertugas, mereka akan merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Melihat apa yang mereka tampakkan, maupun sembunyikan. Kesadaran untuk berislam tidak bisa dilepaskan dari kehidupan, termasuk saat di tempat kerja dan menjalankan tugas. Korupsi akan mudah diberantas karena mereka sadar bahwa itu akan membawa keburukan, tidak hanya bagi dirinya, keluarga, tapi juga rakyat.

Sistem Islam sangat tegas dan keras terhadap pelaku kejahatan, sehingga kejahatan akan terkikis habis, dan benih kebaikan akan tumbuh dengan suburnya. Ini juga akan mendorong polisi untuk menjalankan tugasnya secara benar dalam mengungkap kejahatan, bukan membuat skenario untuk menutupi kejahatan. 

Tugas polisi akan lebih ringan, karena semua mendukung tegaknya keadilan karena hukum Islam bisa memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Sementara, benih-benih kebaikan akan mudah tumbuh dalam kehidupan islami dengan penduduk yang beriman dan bertakwa. Sebaliknya, dalam sistem kapitalis banyak tekanan dari berbagai pihak untuk menyimpang dari tugasnya yang benar. Gelombang kejahatan begitu besar sehingga membuat polisi tidak berdaya. 

Penerapan Islam secara kaffah adalah solusi semua masalah dengan membangun kehidupan Islami. Hanya dalam sistem Islam semua akan terdorong untuk menjalankan tugasnya untuk mencari rida Allah. Islam tidak hanya di tempat ibadah, tetapi di semua aspek kehidupan. Polisi juga akan menjalankan tugas karena Allah, bukan untuk pencitraan, karena mereka sadar setiap jabatan adalah amanah yang pada waktunya akan dimintai pertanggungjawaban. 

Jadi, hanya satu solusi yang tepat untuk memperbaiki kondisi polisi yang terpuruk saat ini, yaitu dengan diterapkan Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan khilafah. Sungguh, kita merindukan polisi yang memberi rasa aman dan nyaman pada masyarakat.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Jumat, 09 September 2022

Ini Rekomendasi IJM Terkait Adanya Dugaan Obstruction of Justice Kasus Sambo

Tinta Media - Terbongkarnya dugaan obstruction of justice dalam kasus Ferdy Sambo, Ahli Hukum Indonesian Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H., merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk lembaga khusus yang independen. 

“Dalam hal ini, saya pikir seharusnya presiden membentuk satu lembaga khusus yang sifatnya independen dan betul-betul tidak berafiliasi dengan kepolisian. Jadi, betul-betul independen dalam menangani oknum kepolisian yang melakukan kejahatan, yang melakukan pelanggaran dan yang melaporkan sanksi pidana,” tuturnya dalam Kabar Petang : Ada Obstruction of Justice di Kasus Sambo dan KM50? di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (7/9/2022).

Dr. Sjaiful menilai, selama ini jika ada oknum dalam institusi kepolisian yang melakukan kesalahan, melakukan kejahatan serta melakukan tindak pidana biasanya diselesaikan oleh Propam.  “Oleh aparat kepolisian itu sendiri yang menyelesaikan secara internal dengan menggunakan kode etik profesi,” ungkapnya.

Hal tersebut, menurutnya, sangat tidak efektif jika melihat rekam jejak pihak kepolisian dalam penanganan kasus-kasus yang ditangani oleh pihak Propam atau diselesaikan secara internal. “Jadi, saya merekomendasikan, seharusnya penanganan yang dilakukan oleh aparat kepolisian itu harus ditunjuk oleh lembaga khusus atau atau lembaga-lembaga tertentu yang tidak berafiliasi dengan lembaga kepolisian,” tegasnya.

Dr. Sjaiful beralasan, jika kasus oknum kepolisian diselesaikan secara internal, maka tidak akan terselesaikan. “Karena selama ini, kalau diselesaikan secara internal biasanya kasusnya menguap begitu saja. Bahkan, tidak ditindaklanjuti sebagaimana kalau kita lihat pada kasus Ferdy Sambo kemarin. Pada saat autopsy pertama itu kan sengaja ditutup-tutupi,” tambahnya.

Oleh karena itu, menurutnya, salah satu langkash strategis yang harus dilakukan dalam penanganan tindak pidana oknum kepolisian adalah tidak lagi diselesaikan oleh internal kepolisian. 

“Saya kira, langkah strategis yang harus dilakukan bahwa penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum kepolisian jangan lagi diselesaikan lewat internal kepolisian,” pungkasnya.[] Ikhty

IJM: Obstruction of Justice Tampak dalam Kasus Sambo dan KM50?

Tinta Media - Melihat maraknya isu obstruction of justice dalam kasus Ferdy Sambo, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. mengatakan, obstruction of justice (tindakan menghalangi proses hukum) juga tampak dalam pengungkapan kasus KM50. 

“Kalau kita lihat dalam kasus KM50 kemarin, yang terjadi sebelum kasus Ferdy Sambo, saya kira dalam beberapa sisi, kita melihat tampak ada tindakan obstruction of justice di balik pengungkapan KM50,” tuturnya dalam Kabar Petang: Ada Obstruction of Justice di Kasus Sambo dan KM50? melalui kanal YouTube Khilafah News, Rabu (7/9/2022).

Sebelumnya, Dr. Sjaiful menjelaskan, yang dimaksud dengan obstruction of justice adalah suatu tindakan atau upaya yang dilakukan oleh siapa saja, baik itu orang biasa, pemegang kekuasaan atau aparat penegak hukum yang menghalang-halangi tindakan penyelidikan dan penyidikan dalam mengungkap terjadinya suatu kejahatan atau suatu tindak pidana.
  
“Jadi, kalau ada tindakan-tindakan seperti menghilangkan barang bukti, seperti menghalang-halangi upaya penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap suatu kebenaran hukum atau mengungkap kejahatan, siapapun orangnya yang melakukan, maka itu masuk dalam kategori obstruction of justice,” ungkapnya. 

Hal ini menurutnya, karena sampai saat ini, kasus KM50 juga masih terkesan ditutup-tutupi. “Karena kalau kita lihat, kematian enam orang laskar FPI sampai hari ini, kita tidak bisa melihat, tidak bisa menangkap dan tidak bisa mengetahui siapa pelaku sesungguhnya. Sepertinya masih ada di belakang tabir, sepertinya masih ditutup-tutupi,” jelasnya.

Meskipun kasus tersebut telah diproses secara hukum, namun menurut Dr. Sjaiful, tidak ada sanksi bagi pelaku. “Kalaupun kemarin diproses secara hukum, tetapi pelakunya tidak sampai dikenakan tindak pidana karena alasan melakukan pembelaan diri,” imbuhnya. 

Ia menambahkan, dari rentetan kejadian di KM50, patut dicurigai dan patut melakukan analisis adanya indikasi-indikasi bahwa pada peristiwa KM50 tersebut ada obstruction of justice. “Pihak kepolisian seolah-olah berlepas tangan dalam peristiwa KM 50,” pungkasnya.[] Ikhty

Minggu, 24 Juli 2022

KAPOLRI LISTYO SIGIT PRABOWO GEGABAH MENCOPOT IRJEN POL FERDY SAMBO DARI KADIV PROPAM


Tinta Media - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan keputusan penonaktifan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Ferdy Sambo. Keputusan tersebut diklaim demi membuat proses penyidikan menjadi semakin terang.

"Malam ini kita putuskan untuk Irjen Pol Ferdy Sambo sementara jabatannya dinonaktifkan," ujar Kapolri dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/7/2022).

Kapolri disebut menyerap banyak aspirasi masyarakat terkait proses pengusutan kasus penembakan Brigadir J oleh Bharada E di Rumah Dinas Kadiv Propam Polri. Sigit menegaskan, pencopotan tersebut untuk menghindari spekulasi-spekulasi yang muncul terkait perkara, yang akan berdampak terhadap proses penyidikan yang sedang dilakukan.

Pencopotan ini tidak lepas dari kasus Brigadir J yang tewas ditembak oleh Bharada E di rumah dinas Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat 8 Juli 2022 sekitar pukul 17.00 WIB. Brigadir J merupakan sopir sang istri, Ferdy Sambo. Sedangkan, Bharada E merupakan ajudan dari Ferdy Sambo.

Sebelumnya, isu pencopotan Irjen Ferdy Sambo ini sudah deras dikalangan media. Namun pihak Polri melalui Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Sambo masih tetap bertugas normal. Meskipun ada beberapa desakan untuk menonaktifkan sementara.

Polri menurut Ramadhan, masih menunggu hasil dan rekomendasi pemeriksaan. Sementara saat itu, belum ada hasil pemeriksaan Timsus yang dibentuk untuk menangani kasus tersebut. (Rabu, 13/7).

Namun anehnya, Kapolri tidak pernah menyatakan pencopotan Irjen Pol Ferdy Sambo atas rekomendasi dari tim khusus yang dibentuk. Sebagaimana diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tela membentuk tim khusus dimana Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto menjadi ketua tim khusus ini, sedangkan Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai penanggung jawab tim. Bagian eksternal lain yang termasuk pada tim khusus itu adalah Komnas HAM yang diwakili oleh M Choirul Anam dan Komisioner Kompolnas Irjen Purn Benny Mamoto.

Lalu atas dasar apa pencopotan Irjen Pol Ferdy Sambo dari Kadiv Propam ?

Kalau ditilik dari penjelasan Kapolri saat pengumuman pencopotan, tindakan tersebut hanya berdasarkan atas aspirasi atau tekanan masyarakat. Tentu tindakan yang diambil hanya berdasarkan tekanan masyaraka dan bukan berdasarkan fakta hukum ini, sangat bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Apalagi, dalam hukum juga dikenal asas 'Geen Straft Zonder Schuld'. Maknanya, Tidak boleh ada sanksi diberikan tanpa adanya kesalahan. 

Dalam kronologi tewasnya Brigadir J yang disampaikan Mabes Polri, tidak ada kesalahan atau minimal peran Irjen Pol Ferdy Sambo yang menyebabkan tewasnya Brigadir J. Peristiwa diawali dengan pelecehan Istri Ferdy Sambo oleh Brigadir J, ditindaklanjuti dengan jeritan atau teriakan permintaan tolong istri Sambo, datang Bharada E dari lantai 2, terjadi tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E yang berakhir dengan tewasnya Brigadir J. *Dari kronologi peristiwa yang disampaikan Mabes Polri ini, dimana letak kesalahan atau minimal peran Irjen Pol Ferdy Sambo ?*

Apalagi, dalam rilis hasil olah TKP sebagaimana disampaikan kepada publik, saat kejadian Ferdy Sambo tidak ada di TKP karena sedang tes PCR. Dengan demikian, menjadi terang posisi Irjen Ferdy Sambo 'Zonder' kesalahan dalam kasus ini.

Karena itu, Kapolri terlalu gegabah mencopot Irjen Ferdy Sambo kalau dasarnya hanya karena tekanan masyarakat, atau pernyataan Mahfud MD yang mengaku banyak yang meminta Sambo dicopot. Tindakan Kapolri jelas tidak berdasarkan bukti hukum, tidak berdasarkan fakta hukum, melainkan hanya berdasarkan asumsi dan tekanan.

Lain soal, kalau Tim Khusus yang telah dibentuk melaporkan kepada Kapolri adanya fakta hukum Irjen Pol Ferdy Sambo terlibat atau setidaknya turut serta dalam kasus yang menewaskan Brigadir J. Lalu Tim Sus merekomendasikan pencopotan Ferdy Sambo dari Kadiv Propam.

Semestinya, Kapolri fokus pada kontrol Tim Khusus yang dibentuk untuk segera bekerja dan melaporkan hasil temuannya. Berdasarkan temuan dan rekomendasi  Tim Khusus inilah, setiap kebijakan dan keputusan diambil.

Nampaknya, banyak hal yang masih belum terungkap dalam kasus ini. Pencopotan Irjen Pol Ferdy Sambo selain gegabah, justru menimbulkan spekulasi publik karena pencopotan tersebut tidak didasari fakta hukum dan rekomendasi Tim Khusus. Pencopotan ini justru menegaskan ada peristiwa lain seputar tewasnya Brigadir J selain apa yang telah disampaikan Polri kepada publik. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum KPAU

https://youtu.be/DyVI61fMNzU



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab