Tinta Media - Patut menjadi renungan dan evaluasi bagi kita bersama. Di balik tragedi mengerikan kematian anak-anak di Palestina yang dibunuh oleh musuh (penjajah zionis Yahudi), ternyata di Negeri ini malah ada fenomena anak-anak yang mati di bunuh oleh Ayahnya sendiri.
Sangat tragis! Tak kurang dalam dua pekan di Bulan Desember 2023 ini, 2 kasus pembunuhan terhadap keluarga sendiri telah terjadi. Yaitu, 1 pembunuhan 4 anak sekaligus oleh Ayah kandung berinisial PD di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (3/12/2023).
Dan 1 lagi adalah pembunuhan seorang anak berikut ibunya oleh seorang Guru Sekolah Dasar (SD) berinisial WE di Kota Malang, Selasa (12/12/2023). Pelaku yang tidak lain sebagai Ayah dan Suami dari kedua korban tersebut, juga kemudian turut membunuh dirinya sendiri.
Sebelumnya, mungkin kita juga sering menerima berita bahwa memang kasus-kasus pembunuhan terhadap keluarga sendiri sering kali terjadi di negeri ini. Beritanya pun sebenarnya sangat mudah dapat kita temukan di media online melalui mesin pencari.
Dan kejadian yang terbaru di penghujung tahun di Bulan Desember 2023 yang penulis ungkapkan di atas seolah hanya ingin menegaskan bahwa itu merupakan cerminan dari tatanan aturan kehidupan kapitalisme sekuler di negeri ini yang rusak parah, karena terbukti telah membuat banyak lingkungan rumah dan keluarga menjadi tidak lagi aman dari tindakan kejahatan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri.
Faktor Penyebab
Ada dua faktor penyebab pembunuhan terhadap darah daging sendiri yang di luar nalar itu bisa terjadi.
Namun, kemunculan faktor penyebab keduanya itu jika ditelusuri secara mendalam adalah sama-sama berakar dari menancapnya pemahaman sekularisme di negeri ini, yakni pemahaman pemisahan agama (Islam) dari aturan kehidupan.
Pertama adalah faktor internal dari kepribadian seseorang itu sendiri. Ini dapat dicermati dari kecukupan pemahaman seseorang terhadap ajaran Islam.
Secara pribadi untuk menyelamatkan diri dari pemahaman sekularisme yang rusak parah dan merusak kehidupan tersebut, setiap orang seharusnya benar-benar mempersiapkan dan membekali dirinya dengan pembinaan pemahaman Islam sebagai agama sekaligus tuntunan kehidupan, bukan sekadar ajaran yang mengajarkan ritual ibadah saja. Apalagi hanya dijadikan sebatas label identitas semata.
Maka dengan itu, akan menjadi benteng dan pembentuk kepribadian yang baik bagi seseorang. Menjadikan pemahaman Islamnya sebagai standar dan pengendali manakala hawa nafsu merajai.
Kedua adalah faktor eksternal yang menurut hemat penulis harus di evaluasi. Bukan dievaluasi untuk sekadar diperbaiki, tapi untuk diganti karena dampak dari kerusakannya telah terbukti.
Yaitu, faktor sistem kehidupan kapitalisme yang terbentuk di atas dasar paham sekularisme yang sedang bercokol, mengatur dan mendominasi tatanan kehidupan saat ini. Yang dengannya bisa sangat mudah mempengaruhi penyebab faktor internal (baik buruknya kepribadian seseorang).
Pasalnya, kehidupan sekuler kapitalistik yang memisahkan atau menolak aturan Allah SWT dalam menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri ini, faktanya terus-menerus menggerus akidah/keimanan dan kepribadian masyarakat muslim yang akhirnya membuat semakin jauh dari aturan Islam sebagai tatanan ideal kehidupannya.
Ketika agama sudah dijauhkan dan hanya diyakini dan diambil sebatas ajaran ritual dan sedikit tentang moral saja, maka yang terjadi adalah kelemahan-kelemahan pada pengendalian aspek kehidupan yang lainnya.
Ditambah lagi, adanya dampak kerusakan dari penerapan ekonomi kapitalisme sekuler, ketika kekayaan sumber daya alam (SDA) milik umat tidak terdistribusi dengan baik secara adil dan merata atau hanya dikuasai oleh para kapitalis yang rakus, serta maraknya jeratan bisnis utang-piutang berbasis ribawi, beban himpitan ekonomi yang mencekik bagi kebanyakan masyarakat umum pun terjadi.
Ketika pendapatan banyak Suami tidak berimbang dengan biaya kehidupan yang tinggi dikarenakan harga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan yang harganya dari waktu ke waktu selalu 'melangit' demi untuk kepentingan bisnis masyarakat kapitalis, secara tidak langsung hal itu kemudian menuntut peran Istri untuk bisa memeras pikiran dan keringat turut mencari sumber pemasukan kebutuhan keluarga.
Secara psikologis, beban Istri akhirnya bertambah setelah kewajiban berat mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Keharmonisan dalam kehidupan banyak keluarga di tengah masyarakat pun terguncang, sehingga berpotensi memicu tindakan-tindakan yang tidak kita inginkan.
Banyak anak-anak akhirnya menjadi obyek pelampiasan kemarahan orang tua karena rasa stres yang melanda. Dan tidak sedikit yang telah terbukti menjadi korban penganiayaan hingga pembunuhan. Na'udzubillaah
Aspek sanksi hukum sekuler pun lemah, tidak menimbulkan efek jera dan pencegahan sebagaimana ketegasan hukum qishas di dalam Islam.
Alhasil, masyarakat seolah banyak yang tidak merasa takut lagi untuk melakukan tindakan kejahatan penganiayaan hingga pembunuhan, termasuk terhadap keluarganya sendiri.
Ganti Sistem?
Oleh karena itu, jika kita benar-benar menginginkan kasus-kasus pembunuhan terhadap anak tersebut tidak terus-menerus berlanjut, maka tidaklah cukup kita hanya berfokus mengandalkan pada perbaikan faktor internal (perbaikan individu saja).
Tetapi di samping perbaikan individu, pada saat bersamaan yang seharusnya juga kita lakukan adalah terus-menerus memperjuangkan dan mengajak individu-individu yang lain untuk turut bersama-sama memperjuangkan sistem yang akan menggantikan sistem kapitalisme sekuler yang rusak parah dan merusak ini.
Hingga Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya, menganugerahkan kepada kita sistem yang shahih (sistem Islam), yaitu sistem khilafah sebagai institusi pelaksana Islam secara kaffah.
Yang dengan itu akan menghasilkan keberkahan dan solusi atas setiap permasalahan kehidupan yang mendera umat/masyarakat di negeri ini, bahkan kebaikannya akan menyebar untuk manusia pada umumnya yang berada di negeri-negeri yang lainnya.
Oleh: Muhar
Pemerhati Sosial, Tangsel