Tinta Media: Fatherless
Tampilkan postingan dengan label Fatherless. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fatherless. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 November 2022

Guru Luthfi Jelaskan Makna Fatherless

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menjelaskan makna fenomena fatherless.

“Bisa jadi memang yatim, ditinggal wafat sang ayah. Namun fenomena ini bukan itu fokusnya. Fatherless adalah yatim tapi ga yatim,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (18/11/2022)

Menurutnya, fenomena fatherless itu ayah ada, namun fungsi sosok ayah pupus dan bahkan tidak ada. Ayah memang ada, namun terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atas anak dan istrinya.

“Akibatnya, anak laki-laki tidak mendapatkan figur kepemimpinan dan sulit baginya jadi pemimpin kelak,” ujarnya.

Kondisi ini menghasilkan anak laki-laki terasa kesulitan dan selalu galau ketika harus bersikap tegas dan memberikan keputusan.
“Bahkan tidak jarang anak laki-laki benci dengan ayahnya. Lalu mencari ayah lain dalam tanda kutip, yang tidak jarang justru menjerumuskannya,” bebernya.

Sementara bagi anak perempuan, ia mengatakan persoalan fatherless ini menjadikannya pemurung, kurang pede, dan juga mencari sosok ayah di luar.
“Tidak sedikit jatuh pada “pelukan” laki-laki tak bertanggung jawab,” katanya.

Ia memaparkan fenomena fatherless terjadi disebabkan oleh tiga faktor, yakni: 
Pertama, ayah tidak paham dan tidak mengerti fungsinya.  “Bisa jadi karena sang ayah tidak paham, tidak mengerti bahwa seolah fungsi seorang ayah hanya mencari nafkah, sedangkan ibu mengurusi dan mendidik anak,” ucapnya.

Ia pun menilai bahwa memang benar dalam satu hal ada fokus peran yang berbeda antara ibu dan ayah di mana ayah wajib mencari nafkah sedangkan ibu tidak wajib (mubah).
“Tetapi persoalannya adalah masalah mendidik anak dan fungsi ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga,” tuturnya.

Bagi Guru Luthfi, seorang ayah apa pun itu adalah seorang kepala keluarga, nakhoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
“Dia memiliki tanggung jawab penuh atas seluruh penumpang kapalnya, yaitu anak dan istrinya,” tuturnya.

Sebagaimana Firman Allah dalam Quran Surat At-Tahrim ayat ke 6 yang menyatakan seruan bagi seorang ayah sebagai kepala keluarga.
“Ayah harus menjauhkan dirinya dan keluarganya dari jilatan api neraka,” urainya. 

Demikian pula mendidik anak, ia menjelaskan ada irisan kebersamaan tanggung jawab antara ayah dan ibu. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. diriwayatkan oleh Bukhari bahwa setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah maka kedua orang tuanya lah (ayah dan ibu) yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Kedua, penyebab fatherless adalah faktor lingkungan dan sistem kapitalisme yang menjadikan seorang ayah “dipaksa” berjibaku mencari nafkah siang dan malam.
“Itu pun masih kurang sehingga waktu seorang ayah habis untuk bekerja, tidak sempat mendidik, dan memberikan perhatian penuh pada anak-anaknya, padahal ia memahami kewajibannya mendidik anak-anaknya,” paparnya.

Ketiga, penyebabnya ialah minimnya ilmu yang dimiliki oleh ayah (dan ibu) untuk mendidik dan membimbing anak dan istrinya dengan cara-cara yang islami.
“Saat awal berumah tangga, sama-sama baru hijrah, sang ayah boro-bori jadi qawwam, jadi imam dengan ayat Qulya-Qulhu saja gemetaran,” ujarnya.

Ia menegaskan solusi atas ketiga faktor penyebab fatherless dengan jalan seorang ayah (dan ibu) serius untuk membenahi ilmu dan pemahaman.

“Tidak ada jalan lain kecuali serius bagi ayah (dan ibu) untuk membenahi ilmu dan pemahaman, ngaji serius. Halaqah murakkazah serta dengan pembinaan intensif,” tegasnya.

Kemudian ia menambahkan solusinya dengan terus bersama komunitas ayah, orang-orang yang terus menginginkan kebaikan dalam keluarga dan masyarakat.

“Sang ayah sudah paham akan pentingnya mendidik dan dekat pada anak. Lalu bersama-sama (mendidik) secara serius dengan mengemban dakwah Islam, Insya Allah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Jumat, 18 November 2022

Feminisme, Bisakah Menjadi Solusi Fatherless?

Tinta Media - Hari ayah telah berlalu. Saat Indonesia masih bertahan di peringkat ketiga negara fatherless di dunia, kita justru diramaikan dengan berita tentang seorang suami yang tega membunuh istri dan anak kandungnya di Depok. Ada juga berita tentang suami di Serang yang menyiksa istrinya. Di Kalimantan, seorang suami menganiaya istrinya, dan masih banyak yang lain. 

Hari demi hari, peran ayah atau suami sebagai sosok yang seharusnya melindungi, mengayomi anak dan istri, semakin luntur. Kita tidak berharap peran ayah benar-benar hilang di negeri ini.

Kapitalisme Penyebabnya

Kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan oleh seorang ayah kepada keluarganya seringkali disebabkan karena permasalahan ekonomi. Misalnya, tersinggung karena dilecehkan penghasilannya oleh anak dan istri. Tuntutan kehidupan yang semakin mengimpit juga bisa menjadi pemicu para ayah gelap mata.

Ibu yang juga harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga menjadikan suasana rumah tidak berjalan normal. Ini karena ia harus berperan ganda. Suami dan istri berjibaku mencari uang, sehingga masing-masing tidak optimal dalam menjalankan perannya.

Naiknya harga barang dan jasa karena inflasi yang kerap terjadi di sistem kapitalisme semakin menambah beban berat pada keluarga. Sementara, pemerintah tak mau tahu imbas dari Kebijakannya. Mereka tetap menaikkan harga BBM, pajak, iuran BPJS, dll. 

Setiap warga negara harus bertanggung jawab atas kehidupannya masing-masing. Biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi semakin mahal. Hampir semua subsidi dicabut pemerintah, dengan alasan APBN sudah terlalu berat, meskipun menjelang akhir tahun masih tersisa 40 persen yang belum terserap.

Sumber daya alam negeri ini sudah habis terkuras oleh para kapitalis. Individu-individu menguasai sumber daya alam dan hajat hidup rakyat. Mereka memiliki ladang minyak, hutan, bahkan lautan. Sementara itu, rakyat secara keseluruhan yang seharusnya merupakan pemilik sumber daya alam tersebut, harus memeras keringat, membanting tulang untuk memenuhi kebutuhannya. Semua itu karena sistem kapitalisme.

Keluarga Indonesia adalah keluarga pejuang nafkah. Ayah dan ibu dituntut kuat lahir dan batin untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Apalagi, tuntutan kehidupan kapitalis yang menilai segala hal dari materi, termasuk kebahagiaan. Mereka berpikir bahwa segalanya akan selesai dengan materi dan bermuara pada materi. Kehidupan akan berputar-putar di lingkaran itu. Padahal, faktanya kesejahteraan semakin jauh untuk diraih, keharmonisan keluarga apalagi.

Bila kalangan feminis menilai bahwa peran ayah akan optimal dengan kesetaraan gender, jelas hanyalah ilusi. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sudah kita saksikan di semua profesi, baik di kalangan ekonomi atas, menengah, bahkan di bawahnya. Laki-laki keluar rumah untuk mencari nafkah, perempuan pun begitu. Pekerjaan yang dulu jarang dilakukan oleh perempuan, sekarang justru sebaliknya. Perempuan sekarang bisa menjadi buruh pemecah batu, tukang becak, pengendara ojek online, bodyguard, rektor, dll.

Kalau kaum feminis terus menuntut kesetaraan, jelas ada 'udang di balik rempeyek'. UU-PKDRT, UU- TPKS tidak pernah menjadi solusi kekerasan dalam rumah tangga. Dampaknya, perempuan mengadopsi pemikiran liberal dari undang-undang ini. Tak ada lagi standar hukum syara' bagi para perempuan. Baik dan buruk hanya dinilai oleh kaum feminis berdasarkan sesuai yang nampak di permukaan.

Islam Solusi

Keharmonisan keluarga, sangat dipengaruhi optimalnya peran ayah dan ibu. Jiks masing-masing menjalankan perannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, maka keharmonisan akan terwujud. Jadi, bukan karena tuntutan kesetaraan. Ayah yang penuh tanggung jawab akan melindungi dan memenuhi hak nafkah keluarga. Ibu pun optimal dalam menjalankan perannya sebagai istri dan manajer keluarga. Kalaupun dia bekerja, bukan karena tuntutan hidup materialisme yang semakin menggila, tetapi karena masyarakat membutuhkan perannya.

Sosok ayah telah dicontohkan secara sempurna oleh Rasulullah saw.. Dalam sebuah hadis, Rasulullah memberi kriteria bahwa sosok yang paling baik, adalah yang paling baik kepada keluarganya. Rasulullah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang laki-laki yang paling baik kepada keluarga beliau. Bukan karena tuntutan kesetaraan, tetapi karena ketaatan kepada Allah untuk mendapatkan rida-Nya.

Kehidupan keluarga Rasulullah adalah keluarga yang harmonis. Tak ada teriakan, apalagi penganiayaan. Yang terdengar adalah panggilan sayang Rasulullah kepada para istri beliau. Cucu-cucu beliau pun nyaman bermain bersama kakeknya.

Penerapan Islam dalam semua aspek kehidupan menjadi faktor penting terbentuknya sosok ayah yang bertanggung-jawab. Sistem ekonomi Islam akan menjamin dan mendorong para ayah optimal dalam mencari nafkah. Kesejahteraan keluarga ditopang oleh terpenuhinya hak warga negara dalam hal pendidikan, kesehatan, juga keamanan oleh negara. 

Dalam syariat, negara memperoleh kekayaannya dari sumber daya alam dan sumber yang lainnya untuk mengurusi rakyat. Negara akan mampu memenuhi semua kebutuhan rakyatnya.

Bila seorang ayah lalai menjalankan tugasnya, akan ada hukuman dari negara berupa takzir. Bila ayah melakukan jarimah atau kejahatan kepada keluarganya, maka hukuman hudud dan jinayat akan berlaku baginya.

Sungguh tidak sulit bagi kita membuktikan keharmonisan keluarga dalam kehidupan Islam. Generasi-generasi penakluk, generasi-generasi yang memberikan sumbangan bagi peradaban manusia tidak lahir dari keluarga yang tidak mengerti arah hidup. Ada ayah dan ibu yang menanamkan cita-cita mulia kepada mereka. Dengan begitu, tak ada pilihan lain bagi kita kecuali Islam dengan penerapannya secara kaffah.

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Pengajar Ponpes Nibrosul Ulum

Kamis, 17 November 2022

FATHERLESS

Tinta Media - Bisa saja karena memang Yatim, ditinggal wafat sang ayah. Namun fenomena ini bukan itu fokus nya. Fatherless adalah yatim tapi ga yatim. 

Ayah ada, namun fungsi sosok ayah pupus, dan bahkan tidak ada. Ayah memang ada, namun terjadi KDRT atas anak dan istrinya. 

Akibatnya, anak laki-laki tidak mendapatkan figur kepemimpinan dan sulit baginya jadi pemimpin kelak. 

Sikap tegas dan memberikan keputusan saja selalu galau dan terasa sulit. 

Bahkan tidak jarang anak laki-laki benci dengan ayah nya. Lalu mencari "ayah" lain yang tidak jarang justru menjerumuskan nya. 

Bagi anak perempuan. Persoalan fatherless menjadikannya pemurung, kurang pede, dan juga mencari sosok ayah di luar. Tidak sedikit jatuh pada "pelukan" laki-laki tak bertanggung jawab.

Kenapa ini terjadi? *Pertama*, Bisa jadi karena sang ayah tidak faham, tidak mengerti, bahwa seolah fungsi seorang ayah hanya mencari nafkah. Dan ibu mengurusi dan mendidik anak. 

Memang benar bahwa dalam satu hal, ada fokus peran yang berbeda antara ibu dan ayah. Ayah wajib mencari nafkah, sedangkan ibu tidak wajib, mubah. 

Tetapi persoalan nya adalah masalah mendidik anak, dan fungsi ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga. 

Apa pun seorang ayah adalah kepala keluarga, nahkoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga; yang dia memiliki tanggung jawab penuh atas seluruh penumpang kapal nya, anak dan istri nya. 

Firman Allah: 
(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا)
[Surat At-Tahrim 6]

Seruan ayat ini adalah bagi seorang ayah sebagai kepala keluarga. Agar dia menjauhkan dirinya dan keluarganya dari jilatan api neraka. 

Demikian pula mendidik anak, ada irisan kebersamaan tanggung jawab antara ayah dan ibu. 

Rasul Saw bersabda: 

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ .
"Setiap anak terlahir dalam keadaan Fitrah, maka ke-dua orang tua nya lah (ayah dan ibu) yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani, atau Majusi." (HR. Bukhari). 

*Kedua*, faktor lingkungan dan sistem Kapitalisme yang menjadikan seorang ayah "dipaksa" berjibaku mencari nafkah, siang dan malam. Itu pun masih kurang. Sehingga waktunya habis dan tidak sempat mendidik dan memberikan perhatian penuh pada anak-anak nya. Padahal dia faham bahwa dia juga punya kewajiban mendidik anak-anak nya. 

Dan yang *ketiga*, minim nya Ilmu yang dimiliki oleh ayah (dan ibu) untuk mendidik dan membimbing anak dan istri nya dengan cara-cara yang Islami. Sang ayah sudah faham akan penting nya mendidik dan dekat pada anak. 

Saat awal berumah tangga, sama sama baru hijrah. Sang ayah boro-boro jadi qawaam, jadi imam dengan ayat Qulya-Qulhu saja gemetaran. 

Solusi atas ketiga faktor di atas adalah, tidak ada jalan lain kecuali serius bagi seorang ayah (dan ibu) untuk membenahi ilmu dan pemahaman. Ngaji serius. Halqah murakkazah. Pembinaan Intensif. 

Dan terus bersama dengan komunitas ayah, orang-orang yang terus menginginkan kebaikan dalam keluarga dan masyarakat.

Bersama-sama secara serius dengan pengemban dakwah Islam. Insya Allah []

Oleh: H. Luthfi H.
Tabayyun Center 


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab