Guru Luthfi Jelaskan Makna Fatherless
Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menjelaskan makna fenomena fatherless.
“Bisa jadi memang yatim, ditinggal wafat sang ayah. Namun fenomena ini bukan itu fokusnya. Fatherless adalah yatim tapi ga yatim,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (18/11/2022)
Menurutnya, fenomena fatherless itu ayah ada, namun fungsi sosok ayah pupus dan bahkan tidak ada. Ayah memang ada, namun terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atas anak dan istrinya.
“Akibatnya, anak laki-laki tidak mendapatkan figur kepemimpinan dan sulit baginya jadi pemimpin kelak,” ujarnya.
Kondisi ini menghasilkan anak laki-laki terasa kesulitan dan selalu galau ketika harus bersikap tegas dan memberikan keputusan.
“Bahkan tidak jarang anak laki-laki benci dengan ayahnya. Lalu mencari ayah lain dalam tanda kutip, yang tidak jarang justru menjerumuskannya,” bebernya.
Sementara bagi anak perempuan, ia mengatakan persoalan fatherless ini menjadikannya pemurung, kurang pede, dan juga mencari sosok ayah di luar.
“Tidak sedikit jatuh pada “pelukan” laki-laki tak bertanggung jawab,” katanya.
Ia memaparkan fenomena fatherless terjadi disebabkan oleh tiga faktor, yakni:
Pertama, ayah tidak paham dan tidak mengerti fungsinya. “Bisa jadi karena sang ayah tidak paham, tidak mengerti bahwa seolah fungsi seorang ayah hanya mencari nafkah, sedangkan ibu mengurusi dan mendidik anak,” ucapnya.
Ia pun menilai bahwa memang benar dalam satu hal ada fokus peran yang berbeda antara ibu dan ayah di mana ayah wajib mencari nafkah sedangkan ibu tidak wajib (mubah).
“Tetapi persoalannya adalah masalah mendidik anak dan fungsi ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga,” tuturnya.
Bagi Guru Luthfi, seorang ayah apa pun itu adalah seorang kepala keluarga, nakhoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
“Dia memiliki tanggung jawab penuh atas seluruh penumpang kapalnya, yaitu anak dan istrinya,” tuturnya.
Sebagaimana Firman Allah dalam Quran Surat At-Tahrim ayat ke 6 yang menyatakan seruan bagi seorang ayah sebagai kepala keluarga.
“Ayah harus menjauhkan dirinya dan keluarganya dari jilatan api neraka,” urainya.
Demikian pula mendidik anak, ia menjelaskan ada irisan kebersamaan tanggung jawab antara ayah dan ibu. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. diriwayatkan oleh Bukhari bahwa setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah maka kedua orang tuanya lah (ayah dan ibu) yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Kedua, penyebab fatherless adalah faktor lingkungan dan sistem kapitalisme yang menjadikan seorang ayah “dipaksa” berjibaku mencari nafkah siang dan malam.
“Itu pun masih kurang sehingga waktu seorang ayah habis untuk bekerja, tidak sempat mendidik, dan memberikan perhatian penuh pada anak-anaknya, padahal ia memahami kewajibannya mendidik anak-anaknya,” paparnya.
Ketiga, penyebabnya ialah minimnya ilmu yang dimiliki oleh ayah (dan ibu) untuk mendidik dan membimbing anak dan istrinya dengan cara-cara yang islami.
“Saat awal berumah tangga, sama-sama baru hijrah, sang ayah boro-bori jadi qawwam, jadi imam dengan ayat Qulya-Qulhu saja gemetaran,” ujarnya.
Ia menegaskan solusi atas ketiga faktor penyebab fatherless dengan jalan seorang ayah (dan ibu) serius untuk membenahi ilmu dan pemahaman.
“Tidak ada jalan lain kecuali serius bagi ayah (dan ibu) untuk membenahi ilmu dan pemahaman, ngaji serius. Halaqah murakkazah serta dengan pembinaan intensif,” tegasnya.
Kemudian ia menambahkan solusinya dengan terus bersama komunitas ayah, orang-orang yang terus menginginkan kebaikan dalam keluarga dan masyarakat.
“Sang ayah sudah paham akan pentingnya mendidik dan dekat pada anak. Lalu bersama-sama (mendidik) secara serius dengan mengemban dakwah Islam, Insya Allah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika