Tragedi Kanjuruhan, Menyibak Fanatisme dan Represif Aparat Berujung Maut
Tinta Media - Kabar duka menyelimuti Indonesia. Pertandingan sepak bola yang bertempat di Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu lalu 01/10/2022 menyisakan pilu. Tidak ada lagi gegap gempita, riuh tawa supporter dan pemain, melainkan isakan tangis dan teriakan yang berakhir dengan hilangnya ratusan nyawa.
Dari data yang dilansir dari CNN Indonesia 06/01/2022, peristiwa berdarah tersebut telah menelan korban di antaranya 131 orang meninggal, dan 59 luka-luka yang membuat kabar Indonesia mendunia. Banyak ungkapan bela sungkawa serta dukungan dari tokoh, maupun media-media luar negeri lainnya.
Menanggapi hal ini, bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memerintahkan jajarannya melalui Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan untuk usut tuntas kasus Kanjuruhan dalam waktu kurang dari sebulan.
Melanggar Aturan
Jika diputar waktu ke belakang, pada Mei 1964 pernah terjadi kerusuhan mematikan antar pendukung tim Peru dan Argentina dalam liga sepak bola. Sebanyak 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang luka-luka. Tak heran, tragedi di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua sepanjang sejarah pertandingan sepak bola dunia. Hingga kini, seluruh rakyat Indonesia masih berduka. Nasib pilu keluarga korban, menunggu kepastian tragedi Kanjuruhan diusut tuntas oleh pihak berwajib.
Pihak polri sampai hari ini masih terus melakukan investigasi terkait update tragedi yang memakan ratusan korban itu. Data menyebutkan bahwa Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo berserta pihaknya telah memeriksa 35 orang saksi dari pihak internal Polri dan masyarakat terkait kasus Kanjuruhan. Adapun jumlah anggota Polri yang diperiksa terkait tragedi Kanjuruhan hingga kini yang diperiksa berjumlah 31 orang. Detikcom (06/10/2022)
Terkait tragedi Kanjuruhan, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang akhir pekan lalu.
Pertama, Kondisi Stadion Kanjuruhan yang tidak kondusif. Bayangkan saja, total tiket yang terjual adalah 42.000, sementara daya tampung maksimal stadion tersebut hanyalah 38.000. Data ini diperkuat dengan banyaknya kanal berita yang juga melaporkan bahwa jumlah penonton pertandingan itu di stadion melebihi kapasitas.
Kedua, penggunaan gas air mata. Aturan FIFA Stadium Safety and Security, pasal 19 huruf B menyebutkan larangan penggunaan gas air mata untuk menertibkan kondisi di stadion. Penggunaan gas air mata dapat mengiritasi mata dan merangsang reseptor rasa sakit, sehingga dapat menyebabkan kepanikan.
Ketiga, penyalahgunaan kekuatan kepolisian. Dalam peraturan Kapolri No. 1/2001 berisi enam tahapan penggunaan kekuatan kepolisian. Dari sekian kesaksian, supporter menyatakan bahwa tindakan aparat keamanan brutal dan kasar dalam mengamankan kericuhan di stadion.
Keempat, jadwal pertandingan yang diadakan malam hari. Tidak sedikit pihak mengusulkan ke PT LIB agar pertandingan digeser sore hari pada pukul 15.00 WIB dengan alasan rawannya keamanan jika tetap digelar malam hari. Namun, tetap saja usulan tersebut ditolak.
Terkukung Fanatisme
Perlombaan atau pertandingan olahraga menciptakan sifat saling mengunggulkan antar club. Salah satunya adalah pertandingan sepak bola ini. Sifat saling mengunggulkan inilah yang akan menciptakan permusuhan antar club. Padahal, dalam kompetisi pertandingan apa pun, yang namanya menang ataupun kalah merupakan hal yang wajar terjadi, tetapi tidak dalam sepak bola. Mereka mengedepankan sikap amarah, ricuh, gengsi, dan ambisi membara manakala kekalahan terjadi.
Di dalam sistem kapitalisme, tidak ada yang tidak mengeluarkan modal, termasuk pertandingan olahraga sepak bola yang menjadi liga olahraga bergengsi ini. Jumlah modal yang dikeluarkan tidak sedikit. Menang dan kalah seolah harga mati bagi pemilik klub. Ini karena hasil pertandingan akan memengaruhi keuntungan dan kerugian bagi pemilik, pelatih, pemain, dan ofisial klub.
Hal itulah yang menjadikan pertandingan sepak bolah begitu berharga. Tak dimungkiri bahwa sikap fanatik supporter mencitptakan pembelaan buta terhadap club favorit mereka. Penampakan emosi yang tercurahkan, baik ambisi, kekesalan, kekecewaan, bahagia menjadi ukuran dan bukti bahwa sepak bola tak lepas dari fanatisme golongan. Dari sinilah, patut diakui bahwa fanatik buta terhadap club kebanggaan turut memunculkan kerusuhan yang terjadi di lapangan. Apalagi supporter club sepak bola Indonesia, memang dikenal memiliki rasa antusiasme yang tinggi.
Perlakuan Refresif
Dalam tragedi Kanjuruhan, aparat kepolisian menggunakan cara yang menunjukkan sikap refresif saat hendak menangani kericuhan massa, yakni penggunaan gas air mata. Polisi tetap menggunakan gas air mata meski dilarang, alasannya sudah sesuai dengan protap. Padahal, aksi disemprotkannya gas air mata memicu meregangnya ratusan nyawa. Akibatnya, Supporter merasakan panik dan berduyun-duyun ingin menyelamatkan diri keluar stadion. Namun, terjadi juga penumpukan massa di satu pintu, dan akhirnya banyak yang sesak napas, dan terinjak.
Apabila pemicu meregangnya ratusan nyawa di Stadion Kanjuruhan adalah karena gas air mata, justru harusnya aparatlah yang bertanggung jawab lebih awal. Tugas aparat tidak hanya melakukan pengamanan, akan tetapi juga harus stabil menahan dan mengendalikan emosi dalam mengnangani kericuhan massa.
Dari sini, jelas harus segera diusut siapa tersangka yang akan mempertanggungjawabkan ini semua. Peran negara sangat diperhitungkan dalam mengusut peristiwa ini setuntas-tuntasnya. Akankah bisa, mengingat pihak yang mudah disalahkan adalah supporter?
Islam Solusinya
Islam adalah agama yang khas, memiliki seperangkat aturan yang lengkap dalam mengatur kehidupan. Salah satunya, Islam menghukumi olahraga yang dapat memelihara kesehatan dan kebugaran masuk dalam kategoru mubah, yakni boleh. Namun, apabila olahraga yang dilakukan menciptakan kesia-siaan, tentu ini tidak dibolehkan sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185)
Lahwun munazhamun ialah permainan atau hiburan yang diatur sedemikian rupa dengan berbagai jenis program dan waktu penyelenggaraannya. Ditunjuklah sejumlah pegawai, staf manager, dan penanggung jawab sehingga menjadi suatu misi yang penting di mata para perencana dan pengaturnya. Dalam hal ini, contoh Lahwun Munazhamun ialah sepak bola. Untuk itulah jangan sampai kita terjebak dalam Lahwun Munazhamun hingga terlena dan terperdaya sehingga berbuat kesia-siaan.
Karena kesia-siaan dilarang dalam Islam, maka Islam telah mengarahkan kaum muslimin untuk meyibukkan diri pada aktivitas yang produktif dan diridai oleh Allah Subhanahu wata’ala, seperti berdakwah, memperdalam tsaqofah Islam dan ilmu pengetahuan, dan bahkan menganjurkan olahraga yang memberi keterampilan sebagai bekal jihad di jalan Allah.
Demikian pula, Islam melarang fanatik antar golongan. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)
Di dalam Islam semuanya sama, tak membedakan suku, ras, kelompok, madzhab, bahasa, dan bangsa. Bahkan, Islam menghargai perbedaan, tak ada saling cela-mencela, memusuhi, apalagi menghina satu dengan yang lain. Sehingga tidak ada pertumpahan darah di atas perbedaan. Terlaksananya kegiatan olahraga dalam Islam pun negara memastikan betul akan kenyamanan dan keamanannya, sehingga aparat keamanan berfungsi dengan baik dari segi mengayomi dan memberi perlindungan kepada rakyat, bukan memberi rasa takut dan bertindak kasar lagi keras. Tidakkah kita rindu dengan penerapan Islam yang begitu Menyejahterakan ini?
Wallahu a’laam bi ash-shawaab.
Oleh: Inas Fauziah Idris
Aktivis Penulis Ideologis