Kiai Shiddiq: Haram Hukumnya Dai Berceramah di Even Hiburan
Tinta Media - Pakar Fikih Muamalah sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi menjawab tegas ‘tidak boleh’ ketika mendapatkan pertanyaan apakah seorang dai dibolehkan datang mengisi pengajian di suatu even hiburan agar ada kesempatan ceramah di antara even hiburan tersebut.
“Tidak boleh atau diharamkan oleh syara jika seorang dai datang mengisi pengajian di suatu even hiburan. Apalagi even hiburan tersebut akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj, dan ikhtilath, baik posisi dai itu sekedar sebagai pihak yang diundang, maupun sebagai pihak yang turut menyelenggarakan even atas dasar kepanitiaan bersama. Semuanya diharamkan, tidak dibenarkan secara syariah,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Kamis (5/1/2023).
Menurutnya, dalil keharamannya karena syara tidak memperbolehkan mencampurkan kegiatan yang halal, dalam hal ini dakwah, dengan kegiatan yang haram. Jika yang halal dan yang haram bercampur dalam suatu even seperti ini, maka hukum akhirnya sebagai resultante (hukum final) adalah haram, sesuai kaidah fiqih sebagai berikut :
إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ
“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya”. (Imam Jalāluddīn al-Suyūthiy, Al-Ashbāh wa al-Nazā`ir, hlm. 105; Imam Ibnu Nujaym, Al-Ashbāh wa al-Nazā`ir, hlm. 109; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Al-Wajīz fī Idāh Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 209; ‘Aliy Ahmad al-Nadwiy, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, hlm. 309; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421).
Berdasarkan kaidah tersebut, lanjutnya, berarti dai yang berceramah dalam suatu even tersebut, sudah terjerumus ke dalam keharaman, karena ceramah yang dia lakukan bukanlah acara yang berdiri sendiri, atau sebagai acara tunggal, namun hanya sebagai bagian (the part of) dari gabungan acara-acara yang menjadi satu kesatuan even yang diselenggarakan.
“Kondisi yang ada akhirnya adalah percampuran antara yang halal dengan yang haram. Yang halal adalah ceramahnya si dai, sedang yang haram adalah rangkaian acara-acara hiburan yang ada. Hukum akhirnya adalah hukum haram untuk even tersebut secara keseluruhan, termasuk kedatangan dan kegiatan ceramah yang dilakukan oleh si dai,” imbuhnya.
Kiai Shiddiq memberikan beberapa contoh aplikasi dari kaidah fiqih tersebut, yang diambil dari kitab Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Halālu wa al-Harāmu Ghulliba al-Harāmu karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh. (Riyādh : Dār al-Shamīmīy, Cetakan I, tahun 1436 H).
Pertama, jika ada hewan yang dilahirkan dari kawin silang antara hewan yang halal dimakan, dengan hewan yang haram dimakan, seperti baghal (peranakan hasil perkawinan silang antara kuda dan keledai), maka baghal itu haram dimakan.
Kedua, jika ada hewan yang dilahirkan dari hewan liar (wahsyi) dan hewan tidak liar (ghairu wahsyi), maka hewan peranakan itu haram dimakan bagi orang yang berihram (yang sedang berumroh atau berhaji).
Ketiga, jika bercampur daging-daging antara bangkai (yang haram dimakan) dengan sembelihan yang syar’i (yang halal dimakan), maka haram hukumnya memakan daging yang terdapat dalam campuran daging-daging itu.
Keempat, jika orang muslim dan orang Majusi sama-sama berburu dan menyembelih binatang, maka haram hukumnya memakan hewan hasil buruan dan sembelihan tersebut.
Kelima, jika bercampur baur dan tersamar istri dari seseorang dengan perempuan-perempuan yang lain di suatu kamar yang gelap, maka haram hukumnya seseorang (suami dari istri tersebut) menggauli salah satu dari perempuan-perempuan yang ada.
“Demikian contoh-contoh dari kitab Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Halālu wa al-Harāmu Ghulliba al-Harāmu karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh,” ujarnya. Kiai Shiddiq menambahkan dua contoh dari kitab karya Syekh Muhammad Shidqiy al-Būrnū, yang berjudul Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, yaitu :
Keenam, jika seseorang dalam berburu melepaskan dua anjing, yaitu anjing terlatih dengan anjing yang tidak terlatih, maka haram hukumnya memakan hewan buruan yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut.
Ketujuh, jika seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang perempuan dari kampungnya, sementara di kampungnya itu ada beberapa perempuan yang kemungkinan menjadi mahramnya karena persusuan namun sudah sulit dilacak atau dibedakan lagi mana yang mahram dan mana yang bukan mahram karena persusuan, haram hukumnya laki-laki tersebut menikahi perempuan dari kampungnya itu. (Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421-422).
“Berdasarkan kaidah fiqih dan contoh-contoh aplikasinya tersebut, kiranya cukup tepat jika kaidah tersebut dapat diterapkan juga untuk kasus seorang dai yang berceramah dalam suatu even yang dalam rangkaian acaranya mengandung hal-hal yang diharamkan syariah, seperti menampilkan aurat dalam nyanyian dan tarian, juga terjadinya tabarruj dan ikhtilath di antara peserta even,” tandasnya.
Ia menambahkan, bahwa andaikata dai tersebut berniat baik untuk menyampaikan dakwah, maka niat yang baik tersebut tetap tidak dapat membenarkan hal-hal yang diharamkan, termasuk juga tidak dapat membenarkan kedatangan si dai tersebut dalam even yang mengandung keharaman-keharaman tersebut. “Dasarnya adalah kaidah fiqih :
اَلنِّيَّةُ الْحَسَنَةُ لَا تُبَرِّرُ الْحَرَامَ
"Niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram." (Yūsuf al-Qaradhāwiy, Al-Halāl wa al-Harām fī al-Islām, hlm. 33),” paparnya.
Masih terkait hal di atas mengenai membuat kepanitiaan bersama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan even hiburan yang mengandung berbagai keharaman, ia menjelaskan hukumnya juga haram. “Ini berdasarkan dalil Al-Qur`an yang melarang kerjasama atau tolong menolong dalam dosa, sesuai firman Allah SWT :
وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 2).,” ucapnya.
Yang terakhir, mengenai uslūb (cara) dalam dakwah, Kiai Shiddiq menyampaikan kaidahnya adalah carilah cara (uslūb) yang dihalalkan syariah, bukan uslūb yang haram, atau uslūb yang halal tetapi berpotensi kuat dapat membawa kepada yang diharamkan. (Ahmad Al-Mahmūd, Al-Da’wah Ilā al-Islām, hlm. 36).
“Demikianlah jawaban kami, semoga Allah memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Āamīin," pungkasnya.[] Erlina