FIWS: Erdogan Bukan Pemimpin untuk Menegakkan Khilafah
Tinta Media - Direktur Forum World on Islamic Studies (FIWS) Farid Wadjdi menyebut kemenangan Recep Tayyip Erdoğan dalam pemilihan presiden Turki bukan untuk menegakkan khilafah.
"Erdogan bukan menjadi pemimpin untuk menegakkan khilafah," ujarnya dalam Kabar Petang: Erdogan Menang, Khilafah Akan Datang? Rabu (31/5/2023) di kanal YouTube Khilafah News.
Walaupun semangat khilafah dan kejayaan khilafah itu sering diungkapkan Erdogan, tapi itu semua kata Farid hanya sebagai pendekatan historis. Tidak pernah juga terlontar dari pernyataannya ingin menegakkan khilafah.
"Demikian juga bukan benar-benar ingin menegakkan syariat Islam secara total," imbuhnya.
Jadi Erdogan, lanjut Farid dengan jelas tidak ingin menegakkan khilafah, apalagi dalam catatan politik Erdogan sendiri dalam beberapa kebijakannya beberapa kali menangkap aktivis-aktivis yang ingin memperjuangkan khilafah.
"Erdogan tetap mengkampanyekan sekularisme, mengkampanyekan demokrasi sekuler sebagaimana juga Erdogan pada masa Arab spring itu pernah datang ke Mesir ketika terjadi masa Arab Spring di sana, dan saat berpidato tentang bentuk Mesir yang sekuler sebagaimana Turki," paparnya
Menurut Farid, Erdogan dengan dukungan militer Turki ditambah dengan rakyat Turki yang merindukan kembalinya Islam sesungguhnya peluang untuk menegakkan khilafah. Itulah peran yang seharusnya dilakukan oleh Erdogan dalam posisi politik yang cukup kuat yang berhasil menang dalam tiga periode.
"Semua potensi diatas seharusnya dimanfaatkan oleh Erdogan untuk benar-benar menegakkan khilafah," jelasnya.
*Posisi Turki*
Farid Wadjdi menyatakan dilihat dari dua aspek, posisi Turki sangat penting bagi dunia Barat.
Pertama, secara ideologis, Turki negara sekuler, namun dengan kehadiran Erdogan membawa isu-isu keislaman, menjadikan Turki diangkat sebagai negara yang bisa memadukan antara Islam dan demokrasi.
Bagi Barat ini sangat penting kalau di tengah-tengah umat Islam itu ada anggapan bahwa Islam itu bertentangan sekali dengan demokrasi, yang kemudian masyarakat akhirnya menolak demokrasi. Ini suatu yang yang membahayakan secara ideologis bagi barat.
Hal itu lanjut Farid karena Barat sangat berkepentingan di negeri-negeri Islam agar tetap bisa menerapkan sekularisme dan demokrasi. Jadi secara ideologis, Turki dibutuhkan oleh negara-negara Barat untuk menjadi rujukan bahwa meskipun sekuler tapi masih menampung aspirasi-aspirasi keislaman.
Kedua, secara geopolitik. Ia menjelaskan wilayah Turki tentu wilayah yang sangat penting terkait dengan posisinya yang sangat strategis antara Eropa dan Timur Tengah. Posisi yang sangat strategis dari sisi aspek apapun.
"Posisi Turki itu sangat penting, dalam perang Teluk misalkan, keberadaan pangkalan militer di Turki itu sangat membantu pasukan-pasukan pendudukan Amerika dan pada waktu itu Inggris serta natonya bisa menyerang Irak," paparnya.
Ia mejelaskan posisi strategis Turki itu tidak bisa dilepaskan dari hal tersebut. Selain itu, Turki juga sering dimainkan dalam politik regional di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya terutama dalam berbagai krisis.
"Misalkan krisis Suriah, Turki sering menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan negara-negara Barat. Dalam isu-isu global juga, misalnya dalam isu krisis Ukraina, saat ini Turki termasuk negara yang diharapkan bisa membuka jalan damai antara Ukraina dan Rusia," pungkasnya.[] Rohadianto