Tinta Media - Satu bulan ini, media massa cetak dan elektronik masih didominasi oleh berita terbunuhnya Brigadir J yang menyeret nama Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan Bharada Richard Eliezer. Banyak yang mengatakan bahwa seharusnya kasus ini mudah diungkap, yakni ketika para pelaku benar-benar berkata jujur.
Namun faktanya, kasus pembunuhan keji seorang polisi oleh polisi menjadi sangat rumit dan berbelit-belit karena selain hilangnya barang bukti juga karena berubah-ubahnya keterangan. Padahal semestinya seorang polisi yang notabene adalah penegak hukum memberikan contoh kejujuran dan tanggungjawab atas apa yang dilakukan.
Masyarakat kemudian memberikan penilaian sendiri atas berbelitnya kasus pembunuhan yang dianggap sarat kesaksian bohong dan rekayasa peristiwa yang melibatnya banyak pihak. Sebagai buntutnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menonaktifkan Kapolres Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan pada Rabu malam, 20 Juli 2022.
Jika dilihat dari pelakunya yang mestinya memberikan contoh bagi rakyat tentang kejujuran dan transparansi, maka nampaknya negeri ini tengah masuk dalam jerat kebohongan. Pemimpin yang merekayasa kebohongan agar terlihat sebagai kebenaran akan berdampak sangat besar dibandingkan jika yang melakukan rakyat jelata.
Tidak terlalu salah jika negeri ini telah mengalami darurat kebohongan. Jika sifat-sifat pembohong telah menjerat para pemimpin suatu negeri, maka akan banyak rakyat kecil yang menjadi tumbalnya. Meski penanganan kasus pembunuhan polisi itu masih terus berjalan, namun kepercayaan rakyat kepada polisi akan berkurang, bahkan bisa hilang. Apakah narasi-narasi bohong seputar kasus pembunuhan polisi menunjukkan datangnya hegemoni post truth.
Tahun 1992, oleh Steve Tesich dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, menulis, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.” Tahun 2004, Ralph Keyes, di The Post Truth Era, bersama komedian Stephen Colber juga mengungkapkan hal yang sama: truthiness.
Kata ini mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Dalam bahasa agama era post truth adalah saat kebohongan dipropagandakan sebagai kejujuran. Secara psiko-sosiologis, post truth adalah zaman yang penuh tipu daya.
Rasulullah sebagai seorang Rasul pembawa wahyu menyebut era yang penuh tipu daya dengan istilah sanawaatu khadda’atu. Era tipu daya adalah masa dimana kebohongan telah dipercaya sebagai kebenaran, meskipun bertentangan dengan fakta.
Perhatikan hadis nabi tentang fitnah dan pemutar balikan fakta berikut : Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu ruwaibidhan berbicara.
Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ruwaibidhah?”. Rasulullah menjawab, “Orang dungu yang turut campur dalam urusan masyarakat luas”. (HR Ibnu Majah dalam as Sunan [4042], diriwayatkan juga oleh Abu Abdillah Al Hakim dalam al Mustadrak [4/465, 512], Ahmad bin Hanbal dalam al Musnad [2/291], hadis ini disahihkan Al Albani dalam as Shahihah [1887] as Syamilah).
Karakteristik era post truth adalah suatu keadaan dimana fakta kurang berperan untuk menggerakkan kepercayaan umum dari pada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggaan tertentu, dalam tulisan ini kebanggaan itu adalah kepentingan politik. Hal ini bisa dilihat dari tiga kondisi. Pertama, simulakra. Situasi dimana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan, fakta dan opini semakin kabur dan sulit untuk diidentifikasi. Realitas yang ada adalah realitas yang semu dan realitas hasil simulasi (hyper-reality).
Kedua, pseudo-event. Keadaan dimana sesuatu yang dibuat dan diadakan untuk membentuk citra dan opini publik, padahal itu bukan realitas sesungguhnya. Dalam istilah politik praktis disebut sebagai tindakan pencitraan. Ketiga, pseudosophy. Adalah upaya menghasilkan suatu ‘realitas’ sosial, politik dan budaya yang sekilas nampak nyata, padahal sebenarnya adalah palsu. Masyarakat lalu dikondisikan untuk lebih percaya pada ilusi yang dihasilkan dari pada realitas yang sesungguhnya.
Jika pemimpin berbohong, maka efek dominonya akan tersebar luas menyentuh berbagai aspeknya. Rasulullah sebagai pemimpin agung sepanjang zaman memiliki sifat shiddiq yang maknanya kejujuran. Tidak mudah mengembalikan kepercayaan rakyat kepada institusi kepolisian jika terbukti di pengadilan yang jujur bahwa seorang jenderal terlibat pembunuhan kepada ajudannya sendiri.
Kasus pembunuhan Brigadir J sangat mungkin sebagai fenomena gunung es dan tentu saja hal ini merupakan malapetaka bagi negeri ini. Bangsa ini mesti melakukan muhasabah nasional karena gagal mewujudkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa ini harus kembali melakukan reorientasi berkebangsaan yang lebih religius dan meninggalkan sekulerisme yang menjauhi nilai-nilai kebajikan agama. Tentu saja dalam berbangsa dan bernegara lebih baik mendekat kepada agama dari pada menjauhinya. (UAS)
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)