Tinta Media: Era
Tampilkan postingan dengan label Era. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Era. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Februari 2023

MENCARI MUSA ERA NOW

Tinta Media - Fir'aun telah lama berlalu, kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an. Namun, sosok fir'aun era now banyak hadir, seperti hendak mengulangi zaman.

Orang-orang yang menuhankan hawa nafsu, baik harta, tahta, maupun wanita. Mereka menolak wahyu. Inilah, fir'aun fir'aun era now.

Cak Nun, bahkan menggambarkannya secara spesifik. Ada sosok fir'aun yang menuhankan kekuasaan. Ada sosok Hamman yang menuhankan akses kekuasan dan kewenangan. Ada sosok Qarun yang menuhankan harta.

Seperti melakukan pengulangan sejarah, fir'aun fir'aun era now banyak bermunculan dengan atribut dan karakternya masing-masing. Mereka menuhankan sekulerisme, liberalisme, hedonisme, permisifisme. Pada saat yang sama, mereka menolak Islam.

Lalu, adakah sosok Musa era kini? yang tetap menginsyafi diri sebagai makhluk, dan tetap beribadah kepada Allah SWT. Mereka, yang tetap berlari menuju laut demi mentaati Allah SWT, walau bertentangan dengan logika.

Dikejar pasukan Fir'aun, Musa tidak lari ke bukit atau ke hutan-hutan, agar mampu bersembunyi dan aman dari kejaran fir'aun. Musa tetap mentaati Allah SWT, dengan berlari menuju laut. Padahal, ujung pelarian ke laut pasti terhenti di bibir pantai, terkepung dan akhirnya tertangkap.

Namun ketaatan Musa, terus membawanya lari ke laut. Saat berlari, Musa tak tahu akan ada wahyu membelah laut. Musa hanya lari dan terus berlari. Hingga akhirnya, pertolongan Allah SWT datang melalui tongkat Musa.

Hari ini, adakah Musa yang terus berlari untuk melawan? Tetap mendatangi kekuasaan tiran, tetap dakwah amar ma'ruf nahi munkar, padahal logikanya beresiko di penjara?

Adakah Musa, yang terus mentaati perintah wahyu untuk terus bersuara, menyampaikan kalimat haq dihadapan penguasa yang zalim, walau logikanya ini tidak aman?

Kalau mau mencari aman, lebih rasional diam dan tidak berdakwah. Tak perlu mengkritik rezim yang zalim, karena hal itu akan mendapatkan petaka.

Oh..

Tak usahlah kita mencari Musa, tapi jadilah Musa itu. Musa yang terus bersuara dalam rangka menunaikan amanah wahyu, sambil terus berharap pertolongan dari Allah dan kemenangan.

Ya, mari menjadi Musa yang hanya terikat dengan wahyu, bukan tunduk pada logika. Teruslah bersuara, hingga akhirnya nanti datang perintah membelah laut, untuk mengubur rezim fir'aun zalim yang selama ini mengangkangi negeri ini. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sabtu, 17 Desember 2022

TOK! RKUHP DISAHKAN MENJADI UU: SELAMAT DATANG ERA TIRANI DAN PEMBUNGKAMAN! ERA RAKYAT DIJAJAH OLEH BANGSANYA SENDIRI!

Tinta Media - Saat penulis mengkritik RKUHP (yang akhirnya disahkan hari ini, selasa, 6/12), seorang sejawat Advokat mempertanyakan solusi atas kritik yang penulis sampaikan. Idealnya, selain menyampaikan kritik penulis juga diminta menyampaikan solusinya.

Sebenarnya, kalau pemerintah dan DPR tidak tuli, sangat mudah mengambil solusi dari banyaknya kritik publik. Yakni, cukup dengan menghapus sejumlah pasal kontroversi yang banyak dikritik publik.

Misalnya saja, saat penulis mengkritik Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden. Solusinya sederhana: Hapus pasal ini.

Juga soal Pasal penghinaan lembaga Negara. Solusinya ya cukup menghapus ketentuan Pasal 349. Kritik kriminalisasi dan pembungkaman demonstrasi, solusinya tinggal menghapus Pasal 256.

Belum lagi Pidana penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1):

"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."

Pasal ini karet, dan sangat subjektif. Tafsirnya akan sangat tergantung kehendak kekuasaan. Kalau ditanya apa solusinya? ya hapus saja, atau buat norma pasal yang lebih limitatif.

Namun penulis paham, tujuan aktivasi norma yang tidak limitatif, yang obscuur dan lentur. Agar bisa menjadi alat represi, alat gebuk untuk membungkam lawan politik.

Jadi, problemnya bukan karena rakyat atau yang mengkritik tidak menyampaikan solusi. Tapi karena pemerintah dan DPR memang sudah pasang muka badak dan tebal kuping, tak mau mendengar kritikan rakyat, sambil sesumbar dengan sombongnya mengatakan KITA TELAH MENGAKHIRI EKSISTENSI KOLONIALISME KUHP BELANDA YANG TELAH BERCOKOL DI NEGERI INI LEBIH DARI 150 TAHUN.

Lagipula, Pemerintah dan DPR digaji untuk melahirkan solusi. Bukan malah menambah masalah dan beban rakyat.

Sebut saja, ketika Pemerintah dan DPR melegislasi UU Cipta Kerja, UU Minerba hingga UU KPK, bukannya menjadi solusi malah menjadi masalah bagi rakyat. UU tersebut ditolak bahkan memakan korban rakyat (pendemo).

Rakyat fokus mengkritik, karena UU tersebut akan diterapkan kepada rakyat. Rakyat adalah objek penerapan UU, sehingga rakyat berhak mengkritik.

Namun apapun kritik yang disampaikan rakyat, faktanya RKUHP disahkan menjadi UU. Yang tidak sependapat silahkan ke MK. Sesampainya di MK, nantinya MK menyatakan rakyat tidak memiliki legal standing. Lalu maunya apa?

Selamat datang era pembungkaman, era tirani yang makin represif. Penjajahan baru, bukan oleh Belanda, tapi rakyat dijajah oleh bangsanya sendiri. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

https://heylink.me/AK_Channel/

Senin, 05 September 2022

POLISI ERA POST-TRUTH

Tinta Media - Satu bulan ini, media massa cetak dan elektronik masih didominasi oleh berita terbunuhnya Brigadir J yang menyeret nama Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan Bharada Richard Eliezer. Banyak yang mengatakan bahwa seharusnya kasus ini mudah diungkap, yakni ketika para pelaku benar-benar berkata jujur. 

Namun faktanya, kasus pembunuhan keji seorang polisi oleh polisi menjadi sangat rumit dan berbelit-belit karena selain hilangnya barang bukti juga karena berubah-ubahnya keterangan. Padahal semestinya seorang polisi yang notabene adalah penegak hukum memberikan contoh kejujuran dan tanggungjawab atas apa yang dilakukan. 

Masyarakat kemudian memberikan penilaian sendiri atas berbelitnya kasus pembunuhan yang dianggap sarat kesaksian bohong dan rekayasa peristiwa yang melibatnya banyak pihak. Sebagai buntutnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menonaktifkan Kapolres Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan pada Rabu malam, 20 Juli 2022. 

Jika dilihat dari pelakunya yang mestinya memberikan contoh bagi rakyat tentang kejujuran dan transparansi, maka nampaknya negeri ini tengah masuk dalam jerat kebohongan. Pemimpin yang merekayasa kebohongan agar terlihat sebagai kebenaran akan berdampak sangat besar dibandingkan jika yang melakukan rakyat jelata. 

Tidak terlalu salah jika negeri ini telah mengalami darurat kebohongan. Jika sifat-sifat pembohong telah menjerat para pemimpin suatu negeri, maka akan banyak rakyat kecil yang menjadi tumbalnya. Meski penanganan kasus pembunuhan polisi itu masih terus berjalan, namun kepercayaan rakyat kepada polisi akan berkurang, bahkan bisa hilang. Apakah narasi-narasi bohong seputar kasus pembunuhan polisi menunjukkan datangnya hegemoni post truth.   

Tahun 1992, oleh Steve Tesich dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, menulis, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.” Tahun 2004, Ralph Keyes, di The Post Truth Era, bersama komedian Stephen Colber juga mengungkapkan hal yang sama: truthiness. 

Kata ini mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Dalam bahasa agama era post truth adalah saat kebohongan dipropagandakan sebagai kejujuran. Secara psiko-sosiologis, post truth adalah zaman yang penuh tipu daya. 

Rasulullah sebagai seorang Rasul pembawa wahyu menyebut era yang penuh tipu daya dengan istilah sanawaatu khadda’atu. Era tipu daya adalah masa dimana kebohongan telah dipercaya sebagai kebenaran, meskipun bertentangan dengan fakta. 

Perhatikan hadis nabi tentang fitnah dan pemutar balikan fakta berikut : Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu ruwaibidhan berbicara. 

Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ruwaibidhah?”. Rasulullah menjawab, “Orang dungu yang turut campur dalam urusan masyarakat luas”. (HR Ibnu Majah dalam as Sunan [4042], diriwayatkan juga oleh Abu Abdillah Al Hakim dalam al Mustadrak [4/465, 512], Ahmad bin Hanbal dalam al Musnad [2/291], hadis ini disahihkan Al Albani dalam as Shahihah [1887] as Syamilah).

Karakteristik era post truth adalah suatu keadaan dimana fakta kurang berperan untuk menggerakkan kepercayaan umum dari pada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggaan tertentu, dalam tulisan ini kebanggaan itu adalah kepentingan politik. Hal ini bisa dilihat dari tiga kondisi. Pertama, simulakra. Situasi dimana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan, fakta dan opini semakin kabur dan sulit untuk diidentifikasi. Realitas yang ada adalah realitas yang semu dan realitas hasil simulasi (hyper-reality). 
 
Kedua, pseudo-event. Keadaan dimana sesuatu yang dibuat dan diadakan untuk membentuk citra dan opini publik, padahal itu bukan realitas sesungguhnya. Dalam istilah politik praktis disebut sebagai tindakan pencitraan. Ketiga, pseudosophy. Adalah upaya menghasilkan suatu ‘realitas’ sosial, politik dan budaya yang sekilas nampak nyata, padahal sebenarnya adalah palsu. Masyarakat lalu dikondisikan untuk lebih percaya pada ilusi yang dihasilkan dari pada realitas yang sesungguhnya.

Jika pemimpin berbohong, maka efek dominonya akan tersebar luas menyentuh berbagai aspeknya. Rasulullah sebagai pemimpin agung sepanjang zaman memiliki sifat shiddiq yang maknanya kejujuran. Tidak mudah mengembalikan kepercayaan rakyat kepada institusi kepolisian jika terbukti di pengadilan yang jujur bahwa seorang jenderal terlibat pembunuhan kepada ajudannya sendiri. 

Kasus pembunuhan Brigadir J sangat mungkin sebagai fenomena gunung es dan tentu saja hal ini merupakan malapetaka bagi negeri ini. Bangsa ini mesti melakukan muhasabah nasional karena gagal mewujudkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa ini harus kembali melakukan reorientasi berkebangsaan yang lebih religius dan meninggalkan sekulerisme yang menjauhi nilai-nilai kebajikan agama. Tentu saja dalam berbangsa dan bernegara lebih baik mendekat kepada agama dari pada menjauhinya. (UAS)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab