Selasa, 14 November 2023
Rabu, 18 Oktober 2023
Mewujudkan Sumber Energi Baru Terbarukan (ETB) dengan Sistem Islam
Tinta Media - Buruknya kualitas udara akhir-akhir ini mengancam kesehatan dan ekonomi masyarakat. Polusi udara merupakan permasalahan lama yang terus dialami oleh beberapa kota besar di Indonesia, terutama kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Berdasarkan data Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dapat diketahui dampak real-time yang diakibatkan oleh polusi udara, yaitu adanya potensi kematian dini dan potensi kerugian ekonomi yang harus ditanggung negara dan masyarakat.
Ada sejumlah faktor terjadinya
polusi udara. Salah satunya adalah dari asap PLTU. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum)
Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, ada dua sumber utama polusi udara
di Jakarta dalam beberapa pekan terakhir, yakni berasal dari asap kendaraan
bermotor dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Meski menjadi sumber utama terjadinya polusi udara,
pembangunan PLTU terus dikembangkan. Saat ini saja ada 13,8
gigawatt (GW) PLTU yang akan dibangun
hingga 2030. Angka tersebut tergolong besar sebab tahun 2022 saja kapasitas
terpasang PLTU di Indonesia sudah mencapai 44,6 GW atau setara 67%
dari kapasitas listrik nasional.
Padahal
semakin banyak PLTU beroperasi berarti emisi gas rumah kaca yang dihasilkan
bakal semakin besar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan komitmen negara
untuk melakukan transisi energi menuju netral karbon atau net zero emission
seperti yang tertuang dalam Pernjanjian Iklim Paris.
Sungguh miris melihat kondisi negeri ini. Di satu sisi ketersediaan listrik
sangat dibutuhkan oleh negara, yang menuntut adanya pembangunan industri
pembangkit listrik. Di sisi lain, adanya problem polusi udara yang mengancam
kesehatan.
Namun karena pembangunan saat ini dilandasi paradigma kapitalisme, maka
pembangunan akan selalu berorientasi mencari keuntungan dan mengabaikan potensi
resiko yang mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Seperti yang dikatakan oleh Global Energy Monitor, sebagian besar PLTU yang belum rampung di
Indonesia merupakan pembangkit listrik eksklusif untuk memasok kebutuhan energi
industri, seperti industri pengolahan aluminium, kobalt, dan nikel yang terkait
rantai pasokan baterai dan kendaraan listrik. Padahal kondisi sistem
kelistrikan suatu wilayah, seperti di Jawa-Bali, mengalami kelebihan daya paling besar (44%) sehingga
pembangunan PLTU di daerah ini menjadi tidak diperlukan.
Ini menunjukan bahwa pembangun PLTU ditujukan untuk kepentingan bisnis
(para kapital), tidak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Inilah mindset kapitalisme.
Tidak akan ditemukan pembangunan yang merusak lingkungan dalam sebuah
negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam keberadaan
industri, termasuk industri pembangkit tenaga listrik sangat dibutuhkan oleh
masyarakat.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Atha Abu Rasytah dalam
kitabnya yang berjudul Politik Perindustrian dan Membangun Negara Industri
dalam Pandangan Islam, yakni barang siapa yang ingin membangun dan maju dalam
bidang industri, hal ini tidak akan didapatkan selain memulai revolusi industri
dengan inisiatif untuk menciptakan industri permesinan dengan seketika tanpa
bertahap. Sebab tanpa adanya industri permesinan akan menjadikan negara kita
bergantung pada negara maju asing dalam industri alat berat.
Pentingnya keberadaan industri ini wajib diwujudkan oleh negara dengan
orientasi untuk kebaikan hidup manusia dalam menjalankan peran sebagai hamba
Allah. Maka pandangan negara dalam Islam terhadap pembangunan pembangkit
listrik adalah sebagai sarana industri yang menyediakan kebutuhan pasukan
energi bagi warga negara.
Negara dalam Islam memiliki aturan paripurna karena mengadopsi
sistem yang berasal dari Allah Ta’ala Sang Pencipta manusia dan semesta alam.
Dalam pandangan Islam, listrik merupakan kepemilikan umum, dilihat dari
listrik yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk dalam kategori “api” yang
merupakan kepemilikan umum.
Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan
api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hal ini berbagai sarana dan prasarana penyedian listrik
termasuk kategori “api”, seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan
sebagainya. Berdasarkan hadis di atas, negaralah yang berhak untuk mengelola,
mengeksplorasi hingga mengeksploitasi kekayaan alam yang tersedia dan hasilnya
diberikan kepada rakyat.
Maka perindustrian pembangkit listrik wajib dibangun oleh negara
sekaligus melarang individu atau swasta untuk memilikinya. Karena itu dalam
sistem Islam tidak akan mengenal para investor asing dalam pengelolaan sumber
daya alam. Karena melalui investasi para swasta kapital itu memiliki celah
untuk menguasai hasil sumber daya alam yang dimiliki negara.
Selain itu ketika negara membangun industri pembangkit listrik - apapun
jenisnya pembangkitnya - pembangunan
yang ada tidak boleh membawa dhoror (bahaya) dan dzolim.
Dari Abu Said, Sa’ad bin Sinan al-Khudri ra “Sesungguhnya Rasulullahn
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda
tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan
orang lain. (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruqutni serta
selainnya dengan sanad yang bersambung)
Karena itu negara akan memerintahkan untuk membangun lebih banyak
pembangkit listrik dengan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah
lingkungan seperti PLTA, PLTP,
PLTMH, PLTM, PLTS, PLTBM, dan PLTB.
Pada hari ini
untuk mewujudkan energi baru terbarukan (EBT) sangat berat. Dikarenakan
menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada dana investasi. Menurut International
Renewable Energy Agency (IRENA) dalam
laporan Indonesia Energy Transition Outlook yang dirilis
Oktober 2022, untuk
mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh dana investasi yang
besar.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam menggunakan prinsip syariat. Negara
dalam Islam memiliki institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara
dan mengalokasikannya untuk kepentingan umat yang berhak menerimanya. Institusi
tersebut disebut dengan Baitulmal.
Baitulmal memiliki pos kepemilikan umum, seperti minyak, gas bumi, listrik,
pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang
dilindungi oleh negara untuk keperluan khusus.
Dengan konsep kepemilikan
umum dalam Islam, maka sumber daya alam dikelola sendiri oleh negara. Adapun
aset-aset negara dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas, kemudian
kepemilikan umum dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat,
salah satunya berupa alokasi belanja infrastruktur serta pemeliharaannya.
Sehingga tidak sulit untuk membangun sumber energi baru terbarukan.
Demikianlah solusi Islam dalam menciptakan pembangunan industri yang ramah
lingkungan dan tanpa membahayakan kesehatan manusia. Alhasil, perintah syariah
bagi negara untuk mewujudkan maslahat dan menghindari kerusakan (mafsadat) bagi
umat bisa tercapai.
Rabu, 20 September 2023
Pengamat: Naikkan Produksi Minyak Nasional Jika Tidak Ambil Kebijakan Transisi Energi
Kamis, 03 Agustus 2023
UIY: Harus Ada Energi Besar untuk Melakukan Perubahan
Senin, 13 Maret 2023
Kebakaran Depo Plumpang, Potret Abainya Negara terhadap Keselamatan Rakyat
Tinta Media - Kebakaran yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang Jumat malam, 3 Maret lalu menyisakan duka. Sedikitnya 17 orang meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka bakar dalam insiden ini, sedangkan ratusan lainnya mengungsi akibat rumah mereka terbakar habis (bbc.com).
Menurut
pengakuan salah satu korban selamat dalam insiden tersebut, sebelumnya telah
tercium bau gas yang sangat menyengat hingga tampak adanya asap putih
menyerupai kabut. Tak lama terjadi ledakan dahsyat yang melahap perumahan
warga. Korban jiwa yang cukup banyak, menurutnya, diakibatkan tubuh warga yang
telah terselimuti gas terlebih dahulu, sehingga begitu api menjalar akan
mengejar asap gas yang telah tertiup angin menuju pemukiman warga dan langsung
membakar tubuh dan rumah warga yang terselimuti kabut gas tersebut.
Peristiwa kebakaran ini bukan pertama kalinya,
sebelumnya pada tahun 2009 telah terjadi kebakaran serupa di depo 24 yang
menampung 5.000 kiloliter BBM jenis premium. Bahkan saat itu wapres Jusuf Kalla sudah mengingatkan agar kawasan tersebut
bebas pemukiman guna meminimalisir jumlah korban. Pertamina harus segera
melakukan pembebasan lahan agar kawasan sekitar Pertamina bebas pemukiman
penduduk. Sehingga, jika terjadi musibah semacam ini tidak akan banyak memakan
korban (kumparan .com).
Mirisnya, penduduk yang menjadi korban tidak
hanya yang ada di area pemukiman liar (tanpa surat izin). Namun juga kawasan
yang mereka memiliki bukti resmi Surat Hak Guna Bangunan. Artinya keberadaan
penduduk di wilayah tersebut adalah sesuatu yang dilegalkan secara hukum dan
diketahui oleh pengurus wilayah setempat baik RT maupun RW.
Objek vital negara semacam Pertamina, PLN
ataupun yang lainnya seharusnya memiliki zona penyangga (buffer zone) yang
cukup lebar dengan pemukiman rakyat. Tujuannya agar tidak terjadi bahaya pada
masyarakat manakala terjadi kecelakaan yang tak diinginkan semacam ini. Menurut
pengakuan warga korban kebakaran ini, sekitar tahun 1990an kawasan tersebut
masih kosong, namun setelah tahun 2000an
pembangunan pemukiman warga makin pesat hingga menjadi pemukiman padat penduduk
seperti saat ini.
Massifnya pembangunan pemukiman di zona
penyangga lengkap dengan pengaturan kependudukan seperti RT RW dan pemberian
Sertifikat Hak Guna Bangunan menunjukkan abainya peran pemerintah dalam menjaga
keselamatan rakyat. Pasalnya, negaralah yang seharusnya memiliki standarisasi
keamanan terhadap pengelolaan aset-aset vital negara sekaligus bisa melindungi
masyarakat dari bahaya yang mengancam jiwa. Negara dengan pengaturannya bisa
membuat peraturan jelas dan tegas agar rakyat terhindar dari musibah.
Di sisi lain, padatnya kawasan Ibukota
merupakan dampak timpangnya pembangunan di berbagai wilayah negeri ini.
Silaunya mereka dengan kehidupan metropolis, berikut harapan mendapat lapangan
pekerjaan yang lebih layak membuat mereka berbondong-bondong mendatangi Ibukota.
Akibatnya lahan hunian makin sempit, belum lagi kemiskinan dan kesulitan hidup
memaksa mereka untuk tinggal ala kadarnya di tempat yang beresiko bahaya tinggi
semacam bantalan rel kereta api, bantaran sungai, hingga kawasan buffer obyek
vital negara. Akibatnya, jika terjadi musibah semacam ini pastilah rakyat yang
kembali menjadi korban.
Dalam Islam, keselamatan rakyat adalah hal
utama. Sedangkan penguasa adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk menjaga
keselamatan rakyat. Maka penguasa akan tepat dan teliti dalam merencanakan
penataan wilayah dan peruntukannya. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
"Pemimpin atas manusia adalah pengurus
dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Juga dalam sabda NabiNya:
“Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah
dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. An Nasai dan Turmudzi).
Negara dalam Islam akan memperhatikan dan menata wilayah untuk pemukiman warga, dengan berbagai kebijakan. Prinsip pelayanan terhadap kebutuhan rakyat ini akan dilakukan dengan 3 prinsip, yaitu aturan yang sederhana, cepat dalam pelayanan dan dilakukan oleh orang-orang yang kapabel di bidangnya. Ditambah dengan pengaturan ekonomi Islam tentang kepemilikan barang.
Barang tambang disini merupakan barang kepemilikan umum,
sehingga industri yang mengelolanya juga masuk dalam kategori kepemilikan umum.
Hasil dari pengelolaan kepemilikan umum ini salah satunya bisa digunakan untuk
membangun fasilitas umum yang diperlukan oleh masyarakat semisal jalan raya,
rumah sakit dan fasilitas publik lainnya.
Dalam membangun pemukiman warga, selain
memperhatikan keindahan bangunan juga memperhatikan aspek sanitasi atau
kebersihan lingkungan, kenyamanan dan keamanannya. Tersedianya ruang terbuka
untuk sirkulasi udara yang baik, wilayah pembangunan yang aman dari banjir juga
kualitas bangunan yang tahan goncangan. Gambaran arsitektur peninggalan Islam
tersebut masih tampak keindahan dan
kekuatannya dalam pusat-pusat kota peradapan Islam semacam Granada, Baghdad dan
Andalusia dengan istana Al Hambranya.
Sistem tata kelola pemukiman rakyat ini
hanyalah salah satu mekanisme syariat Islam terhadap berbagai permasalahan
umat. Maka untuk menerapkannya hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem Islam secara kaffah
dalam kehidupan bermasyarakat.
Wallahu a’lam
Oleh : Desi Dwi A
Sahabat Tinta Media
Sabtu, 05 November 2022
Temukan Energi Para Pemenang!
Kamis, 06 Oktober 2022
UIY Ungkap Penyebab Krisis Energi di Eropa
Sabtu, 03 September 2022
Rencana Kenaikan BBM 30%, AK: Beban Rakyat Sudah Berat Jangan Ditambah
BU SRI MULYANI DAN BU NICKE WIDYAWATI, BERAPA BIAYA PRODUKSI PERTALITE PER LITER? JANGAN ASUMSIKAN SUBSIDI BERDASARKAN SELISIH HARGA JUAL DI PASARAN!
Jumat, 02 September 2022
DPR SETUJU BBM NAIK 30 %, INI SUARA WAKIL RAKYAT ATAU WAKIL PENJAHAT?
Minggu, 24 Juli 2022
Amalan Menarik Energi Dahsyat di Haramain
Jumat, 08 Juli 2022
Beli Pertalite Pakai MyPertamina, Semakin Untungkan Asing untuk Kuasai Sektor Energi Indonesia
Tinta Media - Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA), Muhammad Hatta, S.E, M.M. menilai, kebijakan pembelian pertalite dengan menggunakan aplikasi MyPertamina semakin menguntungkan asing untuk menguasai sektor energi Indonesia.
"Asing semakin menguasai sektor energi Indonesia," tuturnya kepada TintaMedia, Selasa (05/07/2022).
Menurutnya, harga JBKP (Jenis BBM Khusus Penugasan/Pertalite) yang mengikuti harga keekonomian alias dihapusnya subsidi BBM, akan membuka peluang lebih besar bagi SPBU-SPBU asing untuk meraup untung lebih banyak. "Harga jual eceran yang mereka tetapkan tidak lagi terpaut jauh dengan harga jual eceran yang selama ini dijual oleh Pertamina. Ini artinya, asing semakin menguasai sektor energi Indonesia," ungkapnya.
Ia menilai dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia, maka keuntungan yang akan asing dapatkan juga semakin nyata. "Ditambah dengan jumlah penduduk Indonesia yang terbesar keempat di dunia, maka tentu saja peluang untung besarnya menjadi semakin nyata," bebernya.
Dua perusahaan asing yang aktif mengembangkan penjualan retail di Indonesia, lanjut Hatta, adalah Shell Indonesia dan BP AKR Fuels Retail (PT. Aneka Petroindo raya). "Hingga akhir 2021, Shell Indonesia memiliki jaringan retail SPBU mencapai 167 buah. Adapun BP AKR Fuels Retail sebanyak 26 jaringan SPBU (outlet) hingga akhir januari 2022. Dalam laporan tahunan 2021nya, BP AKR Fuels Retail bahkan berencana memperbanyak jaringan mencapai 350 buah di seluruh Indonesia.
Sebagai ekonom, ia memahami bahwa baik swasta asing maupun domestik telah menguasai energi Indonesia. "Di sektor hulu (upstream), swasta asing maupun domestik sudah begitu luas menguasai sektor energi Indonesia," jelasnya.
Hal ini, terang Hatta, bisa dilihat dari tingkat lifting minyak dan gas yang dikuasi oleh Pertamina di tingkat nasional.
Terakhir, ia menjelaskan mengenai lifting di sektor perminyakan. "Di sektor minyak, pada tahun 2020 lifting minyak Pertamina hanya 52% dari total lifting nasional. Di tahun yang sama, lifting Gas Pertamina hanya mencapai 35% dari total lifting nasional," pungkasnya. [] Nur Salamah