Tinta Media: Eksistensi Diri
Tampilkan postingan dengan label Eksistensi Diri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eksistensi Diri. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Maret 2023

Eksistensi Diri atau Merendahkan Diri?

Tinta Media - Mau viral, tetapi malah nyawa melayang, berita seperti ini kerap kali muncul dan membuat kita prihatin sekaligus sedih. Kenapa eksistensi begitu dipuja hingga konten yang disajikan harus berisiko tinggi, bahkan mengancam keselamatan jiwa?

Diduga hendak membuat konten gantung diri, seorang wanita muda berinisial W, 20 tahun, meninggal dunia dalam kondisi leher tergantung tali kain di rumah kontrakannya di Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Rabu (1/3/2023) pukul 21.30 WIB. Nahas, ia meninggal setelah terpeleset kursi yang menjadi tumpuan kaki. Hal itu diketahui karena sebelum terjatuh, ia melakukan panggilan telepon pada temannya. Solopos. Com (4/3/2023).

Eksistensi hari ini dianggap seperti kebutuhan pokok. Semua aktivitas sering kali di-upload ke media sosial. Mendapat like, komentar, hingga follower adalah sesuatu yang diburu, terlebih jika bisa mendatangkan cuan. Ini adalah keinginan terbesar. Banyaknya konten artis atau orang kaya dengan fasilitas mewah kemungkinan besar menginspirasi untuk hidup enak tanpa kerja keras.

Fenomena tersebut muncul akibat sistem kehidupan yang serba bebas, berkedok hak asasi melakukan aksi sesuai keinginan hati. Pemahaman yang dilandaskan pada pemisahan agama dengan kehidupan, membuat manusia terjerumus pada martabat yang merendahkan diri. Bisa dikatakan, hal ini terjadi pada masyarakat yang mengalami krisis jati diri, mudah terombang-ambing arus perubahan lingkungan.

Sejatinya, manusia adalah makhluk istimewa dibanding makhluk lain. Anugerah akal seharusnya dibuat untuk menimbang dan berpikir, apakah yang dilakukan bisa menghantarkan pada kebaikan atau sebaliknya. Konten mandi lumpur demi mendapatkan uang, pura-pura bunuh diri, prank merampok, prank tebar uang, dan konten konyol lain tak seharusnya terjadi pada makhluk mulia ini.

Allah ta’ala berfirman, 

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Israa’ : 70).

Namun, manusia yang lemah dan terbatas jangkauannya harus dijaga agar mereka kembali pada posisi awal, yaitu mulia.

Negaralah yang efektif dalam menjaga dan memotivsi agar manusia tetap dalam kondisi sesuai fitrahnya. 
Maka, negara harus membuat berbagai kebijakan agar masyarakat tidak terjerumus pada aksi merendahkan diri.

Pertama, melarang konten media yang menjerumuskan diri dan mengispirasi orang lain melakukannya, sebagaimana konten bunuh diri dan sebagainya.

Kedua, mendidik masyarakat dengan pemahaman yang benar tentang tujuan hidup, bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Semua aktivitas, baik yang terkait aktivitas pribadi maupun hubungan dengan orang lain bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena lillah dan aktivitasnya benar sesuai syariat. Amal ibadah inilah yang kelak akan mendapatkan balasan surga, yaitu kenikmatan abadi.

Ketiga, membudayakan amar ma’ruf nahi munkar. Hal tersebut bisa menjadi rem agar manusia tidak melakukan tindakan konyol. Namun, jika masyarakat cuek, maka banyak manusia yang merasa tindakannya baik-baik saja, padahal membahayakan.

Keempat, ada sanksi bagi yang melanggar aturan. Sanksi tegas harus diberlakukan pada siapa saja, dengan sifatnya yang membuat jera pelaku dan yang lain takut menirunya. Bahkan, sanksi yang sudah diterapkan akan menggugurkan azab pedih di akhirat. Namun, dalam sistem kapitalisme saat ini, hukum diberlakukan tegas hanya pada masyarakat bawah, sedang bagi kalangan pejabat atau yang berduit, hukum tak ada nyali.

Tidak diragukan lagi bahwa sistem yang diberlakukan hari ini justru memberikan peluang bagi manusia bermartabat rendah. Sebaliknya, dengan berpegang teguh pada syariat, manusia mulia dan dimuliakan. 
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media

Minggu, 12 Maret 2023

Konten demi Eksistensi, Wujud Rendahnya Taraf Pikir Generasi

Tinta Media - Saat ini eksistensi diri menjadi suatu hal yang diprioritaskan. Dengan semakin berkembang dan majunya media, membuat hal tersebut menjadi lebih mudah dilakukan. Maka jadilah unjuk eksistensi dengan berbagai macam konten yang diperagakan. Dimulai dari berlagak kaya, sampai cara yang membahayakan jiwa.

Perilaku seperti ini, banyak dilakukan oleh remaja dan generasi muda jaman sekarang. Beberapa waktu yang lalu, ada seorang remaja yang tewas tertabrak disebabkan nekat menghadang truk hanya karena demi membuat konten di media sosial. Juga termasuk yang baru-baru terjadi, seorang perempuan yang meninggal dunia karena terlilit kain yang digunakannya untuk membuat konten gantung diri. Nahas, nyawanya tidak dapat tertolong ia terpeleset sampai terjatuh.

Sungguh miris, hanya demi mengejar eksistensi, sampai adegan berbahaya pun dilakukan. Dengan berharap kontennya bisa viral, membuat konten untuk mengejar tarif, nyawa pun kini dipertaruhkan. Apa yang terjadi pada generasi saat ini?

Taraf Pikir Rendah

Saat ini di media sosial banyak bermunculan konten-konten “Sampah” yang dinilai sia-sia. Budaya seperti ini menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan. Budaya yang memunculkan  perilaku rendah, dan pastinya datang dari taraf berpikir yang rendah pula. Dan ini tentulah hasil dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat dalam seluruh aspeknya.

Kehidupan dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, mengajarkan supaya manusia hidup sesuai dengan sekehendak hatinya. Sekulerisme membawa akidah yang telah mengubah taraf berpikir pada manusia. Dari keterikatan terhadap aturan yang datangnya dari Allah Swt, menjadi tunduk terhadap hawa nafsu dengan memperturutkan perilaku atas nama kebebasan.

Ideologi yang ada dalam kapitalisme mengalihkan tujuan hidup manusia yang mulanya taat aturan, dan beribadah kepada Allah Swt, kini serba menjadi materialistik. Semata-mata hanya mencari kebahagiaan materi sebanyak-banyaknya, tanpa mempedulikan aturan agama sebagai pedoman hidup yang sesungguhnya.

Pemikiran sekuler inilah yang banyak menjangkiti para generasi mudanya. Dengan melahirkan budaya liberal, kesenangan sebagai tujuan dalam kehidupan (hedonis), dan mencari kemanfaatan hidup sebagai definisi manusia semata.

Negara Gagal Mencerdaskan Generasi

Sungguh menjadi kerugian besar, karena generasi itu merupakan aset negara yang paling berharga. Oleh sebab itu, pemikiran generasi harus bersih, suci dari sistem sekuler yang merusak. Produktivitas mereka haruslah berisi kebermanfaatan, dan kebaikan bagi umat manusia. Jiwa muda mereka harus diberdayakan membangun peradaban yang mulia. Bukan sebaliknya, teperdaya dengan segala sesuatu yang melalaikan dari tujuan penciptaan manusia, dengan dipengaruhi oleh sistem kebebasan yang diadobsi negara saat ini.

Negara tidak hadir dalam melakukan peran strategisnya. Yang justru kini menjadi pengukuh ideologi kapitalisme sekuler, yang secara terus-menerus menjadikan potensi kaum muda, serta membiarkan gaya hidup sekuler liberal  membudaya dan merusak kehidupan generasi.

Sudah jelas, sistem yang diadopsi negara saat ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia melalui ketinggian dari taraf berpikirnya. Negara juga gagal melahirkan sosok individu yang berilmu tinggi. Jika diketahui aturan sistem kufur yang diterapkan di negeri ini gagal, kenapa masih terus dipertahankan. Beralihlah pada sistem yang memuliakan generasi yaitu sistem aturan yang ada dalam Islam. []

Oleh: Mariyam Sundari 

Praktisi Komunikasi Penyiaran

 

 

 

 

 

 

 

 

Konten Eksistensi dan Rendahnya Taraf Berpikir Generasi

Tinta Media - Beberapa hari yang lalu, beredar berita tentang seorang perempuan asal Leuwiliang, Kabupaten Bogor yang ditemukan tewas dengan leher tergantung tali. Perempuan tersebut meninggal dunia saat sedang membuat konten gantung diri di depan teman-temannya melalui video call. 

Tindakan ini bukanlah kejadian pertama. Kejadian serupa sudah pernah terjadi sebelumnya. Demi sebuah konten, seseorang nekat melakukan aksi yang berujung nyawa, seperti konten remaja menghadang truk yang sedang melaju di Bogor di awal tahun ini. Setelah berhasil merekam kejadian tersebut, mereka mengunggahnya di komunitas mereka di facebook, seolah menujukkan kehebatan karena berhasil melakukan aksi berbahaya ini.  

Ketika eksistensi diri menjadi sesuatu yang diprioritaskan, seseorang merasa perlu unjuk keberanian demi pengakuan eksistensi, tak peduli jika aksi tersebut membahayakan nyawa. 

Perkembangan media massa membuat hal ini semakin mudah. Membuat konten yang sensasional menjadi cara cepat untuk viral. Seseorang bisa dengan mudah menjadi terkenal dengan cepat tanpa harus membuat sebuah prestasi yang membutuhkan daya pikir dan kecerdasan akal. Jadilah pertunjukan eksistensi dengan berbagai konten termasuk yang membahayakan nyawa dilakukan. 

Perilaku ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Konten berbahaya seperti ini jelas melanggar syariat yang melindungi dan menjaga nyawa manusia. Konten seperti ini jika dibiarkan, dikhawatirkan menjadi inspirasi yang menyesatkan bagi orang-orang yang labil jiwanya, mudah meniru tanpa berpikir mendalam.

Sungguh, perilaku ini sebenarnya adalah perilaku rendah yang disebabkan oleh tingkat berpikir yang rendah pula. Budaya ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam hidup ini. Kesalahan tersebut merupakan hasil dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat saat ini dalam segala aspeknya. 

Sistem hari ini yang bertumpu pada sistem kapitalisme tidak mampu membuktikan keluhuran manusia dengan meninggikan cara berpikirnya. Kapitalisme merupakan pandangan hidup yang menganggap bahwa hidup adalah untuk mendapatkan materi demi kesenangan dan kebahagian dunia saja. Pengakuan terhadap eksistensi dirinya di dunia dari manusia lainnya, dianggap sesuatu yang penting, apalagi jika mendatangkan keuntungan materi. Mereka bahkan sampai rela mengorbankan nyawa demi mendapatkannya.   

Masyarakat kapitalis menjadi latah mengikuti tren seperti ini karena mereka tidak memiliki standar benar atau salah. Bagi mereka, hidup yang penting adalah mendapatkan kesenangan. Sumber kebahagiaan mereka adalah kepuasan materi, termasuk kepuasan ketika eksistensi dirinya diakui. 

Pengakuan terhadap eksistensi manusia merupakan bagian dari ekspresi penyaluran naluri mempertahankan diri (_gharizah baqa_). Dengan naluri ini, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan keberadaan dirinya di hadapan orang lain. Hal itu bersifat naluriah.

Hanya saja, ketika naluri ini tidak disalurkan secara benar, maka tidak saja pengakuan yang didapatkan, tetapi justru membahayakan diri sendiri maupun orang lain. 

Pengakuan terhadap eksistensi secara positif dan dibenarkan dapat dilakukan melalui unjuk prestasi, baik prestasi akademik maupun non-akademik. Budaya saling berlomba-lomba untuk berprestasi seharusnya mendapatkan kemudahan akses, sarana dan dukungan negara. 

Namun, yang terjadi justru negara terasa kurang mendukung hal tersebut. Aktivitas tersebut dianggap bukan sesuatu yang berpeluang mendatangkan keuntungan, jadi diabaikan. Negara kapitalisme yang mendasarkan kebijakannya berdasarkan materi, akan berhitung untung rugi. 

Kita tentu masih ingat bagaimana seorang Farel Prayoga yang mendapatkan penghargaan sebagai duta intelektual hanya karena lagu ‘ojo dibandingke’ yang kontribusinya terhadap dunia intelektual sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Sementara, prestasi anak bangsa lainnya, seperti Bullitt Zulfiqar yang berusia 13 tahun diabaikan. Ia adalah _software engineer_ berpengalaman lebih dari 2 tahun yang membuat berbagai proyek IT. 

Ada juga Kimiko Felice Humardani yang merupakan peneliti cilik berusia 15 tahun. Dia berpengalaman mengikuti lomba International Conference of Young Scientists (ICYS), yaitu meneliti serta mencoba mencari jalan masuk virus Corona dan menutupnya. 

Ada juga Salwa Putri, seorang siswi MAN Insan Cendekia Pasuruan yang mendapatkan juara kedua International _Science Without Borders Challenge_ 2022. Mereka adalah sedikit contoh dari banyaknya prestasi anak bangsa yang minim pemberitaan di media.

Dalam sistem kapitalisme, sistem pendidikan yang diberlakukan jelas tidak melandaskan pada ajaran Islam. Generasi tidak dipahamkan tentang Islam sebagai way of life sehingga mereka secara individu tidak punya standar perbuatan yang benar. Kapitalisme telah gagal melahirkan generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang selaras dengan Islam. 

Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam dan generasi yang ahli dalam setiap aspek kehidupan. Kepribadian Islam itu akan mampu membuat generasi berpikir dan bersikap secara Islami. Negara (Khilafah) akan menjaga kepribadian Islam itu dengan cara mengontrol media supaya tidak ada konten-konten nyeleneh yang bertebaran dan meracuni pemikiran generasi. 
Bahkan, media akan digunakan sebagai sarana untuk memperkuat ketakwaan dan edukasi setiap orang yang mengaksesnya, sehingga semakin tersuasana kedekatan terhadap Allah dan membawa manfaat untuk sekitarnya. 

Masyarakat tidak perlu membahayakan diri hanya demi eksistensinya diakui. Negara akan memberikan ruang untuk menggali potensi generasi sekaligus memaksimalkan potensi untuk memperoleh prestasi terbaik. Karena itu, tidak heran pada masa kekhilafahan Islam bermunculan generasi-generasi yang unggul di bidang ilmu yang ditekuni masing-masing. Sebut saja Al Khawarizmi_seorang ahli matematika, Jabir Ibnu Hayyan ahli kimia, Ibnu Sina_ahli kedokteran, dan sejumlah generasi cemerlang di zamannya. Generasi unggul di bawah naungan Khilafah mampu membawa Islam mencapai masa emas dan gemilang peradabannya. 

Wallahua’lam bish shawab

Oleh: Imaz Ummu Farras
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 11 Maret 2023

Salah Kaprah Eksistensi Diri di Zaman Kapitalis

Tinta Media - Semakin hari kita seolah mudah sekali dikejutkan dengan berita-berita tak masuk akal lagi miris. Kali ini datang dari kasus 'konten pura-pura bunuh diri' yang akhirnya membuat seorang wanita muda di Bogor bernasib mengenaskan, yaitu benar-benar kehilangan nyawanya. Ia ditemukan meninggal dunia di rumah kontrakannya.

Adapun wanita muda berinisial W ini hendak membuat konten lewat video atau video call dengan teman-temannya. Sebelumnya ia sudah dilarang untuk tidak melakukan hal berbahaya itu. Namun ia tetap percaya diri melakukannya. Nahas, akhirnya bukannya konten yang tercipta, justru kematian yang datang mendera.

Di zaman ini, sudah tak guna heran lagi melihat peristiwa maupun pemberitaan yang meramaikan media. Sungguh tak habis pikir, demi menunjukkan eksistensi diri agar disorot banyak orang, siapapun rela melakukan apa saja. Jangankan kehilangan harga diri, kehilangan nyawa sendiri pun bisa jadi dilakukan.

Makin ke sini makin lah tampak arus deras pemikiran sekuler liberal yang telah menggerus habis cara pikir anak muda. Kini standard kebahagiaan bagi mereka hanyalah kesenangan dunia. Mereka tak punya lagi landasan akidah yang kokoh, bahkan tak punya tujuan selain kebahagiaan semu yang diciptakan dunia kapitalis.

Adanya kerusakan cara pikir generasi hari ini tentu saja karena paham sekularisme telah sebegitu mengakarnya hingga menghasilkan kualitas generasi yang bermental rapuh, cengeng serta mudah terikut arus gaya hidup ala Barat. Bagaimana tidak, sekularisme telah melahirkan liberalisme, mengusung kebebasan yang salah satunya ialah kekebasan berperilaku.

Generasi hari ini telah dibuat lupa akan identitasnya sebagai penggerak perubahan. Alih-alih membawa perubahan hakiki, mereka kemudian hanya menjadi penyumbang besar masalah umat hari ini. Kapitalisme telah menggiring mereka untuk melakukan setiap perilaku yang mendatangkan keuntungan. Baik secara materi ataupun kepopuleran, yang tentu saja mengundang pundi-pundi rupiah.

Benar lah sebuah perkataan, "jika ingin menghancurkan pemuda muslim maka buatlah mereka melupakan sejarah dan berikan mereka kebebasan." Maka bukan kah itu yang saat ini sedang dilakukan oleh kafir penjajah pada generasi kita? Lewat perang pemikiran yang berperan halus namun meyakinkan untuk merusak kaum muda sampai ke akar-akarnya. Memberikan dampak kemunduran berpikir yang sangat memilukan.

Sungguh, jika berkaca pada kepemimpinan Islam, maka tak akan kita temukan kualitas pemuda sebagaimana pemuda hari ini. Tak akan kita temukan kondisi pemuda yang terlena pada kehidupan dunia. Sebagaimana Muhammad Al-Fatih, yang telah memiliki visi besar di usia yang masih kanak-kanak. Lalu mengemban amanah luar biasa di usia belia, disusul menjadi pembebas kota Konstantinopel di usia mudanya. Di mana mungkin pada zaman ini pemuda usia itu sedang berbangga dengan konten-konten ataupun pencapaian sukses mereka soalan dunia.

Sungguh hanya Islam saja lah yang mampu memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya. Sebagaimana pula Islam pasti akan menempatkan pemuda pada potensi terbaiknya. Yaitu sebagai pembawa perubahan, pun juga sebagai pejuang agama Allah. Yang akan dengan gagah dan berani menunjukkan eksistensinya sebagai pemuda rela membela agama Allah serta memberikan perubahan hakiki di tengah-tengah umat. Mereka akan menjadi penggerak menuju kebaikan di saat kerusakan datang menggerus pemikiran umat. Mereka akan berdiri paling depan untuk membela kehormatan negara-nya.

Maka tak mungkin sosok pemuda seperti itu akan kita dapatkan jika masih mengadopsi pemikiran kufur ala Barat. Pemikiran yang lahirnya dari keterbatasan akal manusia hanya akan membawa pada kehancuran pelan namun pasti. Tentu saja hanya Islam yang mampu menerapkan aturan terbaik dalam menyelesaikan setiap problematika umat hari ini. Untuk itu marilah kita songsong bersama kemenangan Islam, agar kembali diterapkan seperangkat hukum-hukumnya. Sebagai bentuk keimanan dan takwa kita pada Allah SWT serta bentuk cinta kita pada risalah yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Agar Islam yang mulia ini akan mendatangkan rahmat dari Allah bagi seluruh alam.

Wallahua'lam bisshoowab

Oleh : Tri Ayu Lestari
Penulis Novel Remaja & Aktivis Dakwah Remaja SWIC
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab