Hina Ajaran Islam, Eko Kuntadhi Bisa Dijerat Hukum
Tinta Media - Tindakan Pegiat Media Sosial Eko Kuntadhi mengunggah potongan dari video Ning Imas yang yang menjelaskan tafsir Surah Ali Imron ayat 14 di akun TikTok NU Online dengan judul ‘Lelaki di Surga Dapat Bidadari, Wanita Dapat Apa?’ sembari menuliskan kalimat yang tidak beradab, dinilai Narator MMC sebagai olok-olokan (penghinaan) terhadap ajaran Islam dan bisa dijerat dengan pasal-pasal yang berlaku.
“Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Eko, bisa dikategorikan sebagai olok-olokan terhadap ajaran agama Islam, dan sangat bisa dijerat dengan pasal-pasal yang berlaku saat ini,” nilainya pada rubrik Serba-serbi MMC: Penghinaan Buzzer terhadap Islam, Tidak Ada Proses Hukum Tegas? Sabtu (24/9/2022) di kanal YouTube MMC Lovers.
Narator MMC menjelaskan hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh ketua LBH Pelita umat Chandra Purna Irawan. “Pertama, Eko Kuntadi terindikasi dan berpotensi melecehkan tafsir ayat Al-Qur’an, sehingga Eko dianggap sama saja melecehkan Al-Quran. Sebab pandangan ini sejalan dengan pandangan para mufasir salah satunya Imam Ibnu Katsir,” jelasnya.
“Eko bisa dijerat dengan pasal 156 A KUHP,” tambahnya.
Kedua, menurutnya tindakan Eko Kuntadi tergolong menghina dan merendahkan kredibilitas Ning Imas yang memiliki kafaah atau otoritas untuk menjelaskan Tafsir Al-Qur’an berdasarkan keilmuan yang dimiliki. “Dalam hal ini, Eko bisa diduga melanggar ketentuan pasal 310 KUHP terkait menyerang kehormatan atau nama baik seseorang,” tutur Narator.
Ketiga, Eko bisa dinilai memenuhi unsur UU ITE dengan delik pasal 27 ayat 3 UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008. “Tentang informasi dan transaksi elektronik,” terangnya.
Keempat, Eko dapat dinilai memenuhi delik pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008, tentang informasi dan transaksi elektronik. “Sebab dia terindikasi atau diduga menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA),” paparnya.
Narator menganggap sekalipun Eko sudah melayangkan permintaan maaf dan menghapus video dari akun twiternya, Eko tidak bisa lari dari tanggungjawab hukum. “Sebab, ketika Eko mengunggah video, capture-nya sudah beredar. Tindakan ini dinilai memenuhi unsur menyebarkan dan tidak bisa ditarik dengan dalih telah dihapus,” tegasnya.
“Bahkan dalam pasal 28 ayat 2 Go pasal 45 UU ITE tentang pidana disebutkan menyebar kebencian dan permusuhan Berdasarkan SARA tetap harus diproses karena pasal ini bukan delik aduan,” lanjutnya menegaskan.
Narator memastikan publik menunggu proses hukum untuk Eko Kuntadi. “Apalagi sebelum tersandung dengan kasus penghinaan dan pelecehan terhadap Ning Imas, Eko juga memiliki riwayat panjang menyerang pribadi sejumlah ulama. Salah satu diantaranya Eko mendukung langkah Singapura mendeportasi Ustadz Abdul Somad (UAS),” ungkapnya.
Narator menduga jika untuk kesekian kalinya perbuatan Eko tidak ada proses hukum, hal ini mengindikasikan sokongan rezim terhadap buzzer penghina Islam semakin besar. “Sebab kasus penistaan agama telah banyak diadukan, namun penguasa justru lamban menangani kasus-kasus tersebut,” dugaannya.
“Bahkan sebagian besar kasus tidak digubris dan akhirnya menguap begitu saja,” tambahnya.
Narator menjelaskan bahwa sejatinya penghinaan terhadap simbol atau ajaran Islam hanyalah efek samping dari sistem yang berwajah sekuler. “Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Bisa dikatakan sekulerisme adalah sistem yang alergi dengan agama khususnya Islam politik, sebab ajaran Islam yang kaffah itu bisa menghancurkan eksistensi sekularisme,” jelasnya.
“Oleh karena itu, sekularisme akan melahirkan dan memelihara penghina-pengina Islam agar umat tidak taat kepada Allah ta'ala,” imbuhnya.
Karenanya, menurut Narator akidah umat tidak akan terjaga jika sistem kehidupan masih berasas sekulerisme. “Untuk membutuhkan sistem kehidupan yang akan menjaga aqidah umat dari hal-hal yang rusak dan merusak dan dari hal-hal yang berbahaya,” ujarnya.
“Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam yang disebut Khilafah,” tambahnya.
Narator menerangkan bahwa Institusi Khilafah memiliki seperangkat hukum untuk melaksanakan tugasnya sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi rakyatnya, termasuk akidah umat. “Hukuman ini akan diterapkan ketika dakwah telah sampai pada setiap individu rakyat, sehingga tidak ada satupun rakyat yang tidak tahu bahwa melecehkan simbol dan ajaran Islam adalah perbuatan dosa,” terangnya.
Ia menambahkan ketika masih ada yang berbuat demikian maka Khilafah akan menerapkan sistem sanksi atau uqubat.
“Seperti kasus Eko, kasus tersebut terkategori ke dalam sanksi takzir sebab perbuatan Eko termasuk ke dalam pelanggaran terhadap kehormatan dan perbuatan yang berhubungan dengan agama,” tambahnya.
Narator mengambil penjelasan Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nizom Al Uqubat bahwa takzir adalah hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan hudud dan kafaratnya. “Ketentuan takzir diserahkan kepada Khalifah, namun hakim dibenarkan untuk menetapkan ketentuannya berdasarkan ijtihadnya,” jelasnya.
Ia menuturkan bahwa berat-ringan sanksi takzir akan ditentukan dari level kejahatan yang oleh pelaku. “Bisa berupa ancaman untuk sanksi yang paling ringan, atau dibunuh untuk kasus yang berat,” tuturnya.
Dijelaskannya juga uqubat yang diterapkan Khilafah dapat menimbulkan dua efek. “Efek pertama adalah jawabir, artinya sebagai penebusan di akhirat nanti dan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Efek kedua adalah zawajir artinya sebagai pencegah agar masyarakat tidak berbuat hal yang serupa,” jelasnya.
“Inilah solusi yang diberikan oleh Khilafah untuk menjaga akidah umat Islam dan menghukum para penista agama,” tandasnya. [] Raras