Mewujudkan Sumber Energi Baru Terbarukan (ETB) dengan Sistem Islam
Tinta Media - Buruknya kualitas udara akhir-akhir ini mengancam kesehatan dan ekonomi masyarakat. Polusi udara merupakan permasalahan lama yang terus dialami oleh beberapa kota besar di Indonesia, terutama kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Berdasarkan data Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dapat diketahui dampak real-time yang diakibatkan oleh polusi udara, yaitu adanya potensi kematian dini dan potensi kerugian ekonomi yang harus ditanggung negara dan masyarakat.
Ada sejumlah faktor terjadinya
polusi udara. Salah satunya adalah dari asap PLTU. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum)
Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, ada dua sumber utama polusi udara
di Jakarta dalam beberapa pekan terakhir, yakni berasal dari asap kendaraan
bermotor dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Meski menjadi sumber utama terjadinya polusi udara,
pembangunan PLTU terus dikembangkan. Saat ini saja ada 13,8
gigawatt (GW) PLTU yang akan dibangun
hingga 2030. Angka tersebut tergolong besar sebab tahun 2022 saja kapasitas
terpasang PLTU di Indonesia sudah mencapai 44,6 GW atau setara 67%
dari kapasitas listrik nasional.
Padahal
semakin banyak PLTU beroperasi berarti emisi gas rumah kaca yang dihasilkan
bakal semakin besar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan komitmen negara
untuk melakukan transisi energi menuju netral karbon atau net zero emission
seperti yang tertuang dalam Pernjanjian Iklim Paris.
Sungguh miris melihat kondisi negeri ini. Di satu sisi ketersediaan listrik
sangat dibutuhkan oleh negara, yang menuntut adanya pembangunan industri
pembangkit listrik. Di sisi lain, adanya problem polusi udara yang mengancam
kesehatan.
Namun karena pembangunan saat ini dilandasi paradigma kapitalisme, maka
pembangunan akan selalu berorientasi mencari keuntungan dan mengabaikan potensi
resiko yang mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Seperti yang dikatakan oleh Global Energy Monitor, sebagian besar PLTU yang belum rampung di
Indonesia merupakan pembangkit listrik eksklusif untuk memasok kebutuhan energi
industri, seperti industri pengolahan aluminium, kobalt, dan nikel yang terkait
rantai pasokan baterai dan kendaraan listrik. Padahal kondisi sistem
kelistrikan suatu wilayah, seperti di Jawa-Bali, mengalami kelebihan daya paling besar (44%) sehingga
pembangunan PLTU di daerah ini menjadi tidak diperlukan.
Ini menunjukan bahwa pembangun PLTU ditujukan untuk kepentingan bisnis
(para kapital), tidak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Inilah mindset kapitalisme.
Tidak akan ditemukan pembangunan yang merusak lingkungan dalam sebuah
negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam keberadaan
industri, termasuk industri pembangkit tenaga listrik sangat dibutuhkan oleh
masyarakat.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Atha Abu Rasytah dalam
kitabnya yang berjudul Politik Perindustrian dan Membangun Negara Industri
dalam Pandangan Islam, yakni barang siapa yang ingin membangun dan maju dalam
bidang industri, hal ini tidak akan didapatkan selain memulai revolusi industri
dengan inisiatif untuk menciptakan industri permesinan dengan seketika tanpa
bertahap. Sebab tanpa adanya industri permesinan akan menjadikan negara kita
bergantung pada negara maju asing dalam industri alat berat.
Pentingnya keberadaan industri ini wajib diwujudkan oleh negara dengan
orientasi untuk kebaikan hidup manusia dalam menjalankan peran sebagai hamba
Allah. Maka pandangan negara dalam Islam terhadap pembangunan pembangkit
listrik adalah sebagai sarana industri yang menyediakan kebutuhan pasukan
energi bagi warga negara.
Negara dalam Islam memiliki aturan paripurna karena mengadopsi
sistem yang berasal dari Allah Ta’ala Sang Pencipta manusia dan semesta alam.
Dalam pandangan Islam, listrik merupakan kepemilikan umum, dilihat dari
listrik yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk dalam kategori “api” yang
merupakan kepemilikan umum.
Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan
api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hal ini berbagai sarana dan prasarana penyedian listrik
termasuk kategori “api”, seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan
sebagainya. Berdasarkan hadis di atas, negaralah yang berhak untuk mengelola,
mengeksplorasi hingga mengeksploitasi kekayaan alam yang tersedia dan hasilnya
diberikan kepada rakyat.
Maka perindustrian pembangkit listrik wajib dibangun oleh negara
sekaligus melarang individu atau swasta untuk memilikinya. Karena itu dalam
sistem Islam tidak akan mengenal para investor asing dalam pengelolaan sumber
daya alam. Karena melalui investasi para swasta kapital itu memiliki celah
untuk menguasai hasil sumber daya alam yang dimiliki negara.
Selain itu ketika negara membangun industri pembangkit listrik - apapun
jenisnya pembangkitnya - pembangunan
yang ada tidak boleh membawa dhoror (bahaya) dan dzolim.
Dari Abu Said, Sa’ad bin Sinan al-Khudri ra “Sesungguhnya Rasulullahn
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda
tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan
orang lain. (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruqutni serta
selainnya dengan sanad yang bersambung)
Karena itu negara akan memerintahkan untuk membangun lebih banyak
pembangkit listrik dengan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah
lingkungan seperti PLTA, PLTP,
PLTMH, PLTM, PLTS, PLTBM, dan PLTB.
Pada hari ini
untuk mewujudkan energi baru terbarukan (EBT) sangat berat. Dikarenakan
menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada dana investasi. Menurut International
Renewable Energy Agency (IRENA) dalam
laporan Indonesia Energy Transition Outlook yang dirilis
Oktober 2022, untuk
mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh dana investasi yang
besar.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam menggunakan prinsip syariat. Negara
dalam Islam memiliki institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara
dan mengalokasikannya untuk kepentingan umat yang berhak menerimanya. Institusi
tersebut disebut dengan Baitulmal.
Baitulmal memiliki pos kepemilikan umum, seperti minyak, gas bumi, listrik,
pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang
dilindungi oleh negara untuk keperluan khusus.
Dengan konsep kepemilikan
umum dalam Islam, maka sumber daya alam dikelola sendiri oleh negara. Adapun
aset-aset negara dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas, kemudian
kepemilikan umum dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat,
salah satunya berupa alokasi belanja infrastruktur serta pemeliharaannya.
Sehingga tidak sulit untuk membangun sumber energi baru terbarukan.
Demikianlah solusi Islam dalam menciptakan pembangunan industri yang ramah
lingkungan dan tanpa membahayakan kesehatan manusia. Alhasil, perintah syariah
bagi negara untuk mewujudkan maslahat dan menghindari kerusakan (mafsadat) bagi
umat bisa tercapai.