FDMPB: Dramaturgi Demokrasi, Rakyat Jadi Penonton
Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menegaskan dalam panggung politik demokrasi, rakyat hanya sekedar menjadi penonton dalam panggung sandiwara.
“Dalam panggung politik demokrasi, rakyat hanya sekedar menjadi penonton dalam panggung sandiwara,” tegasnya kepada Tinta Media, Selasa (13/9/2022).
Teori dramaturgi telah dikemukakan oleh Erving Goffman dalam karyanya Presentation of Self in Everyday Life (1959). “Goofman mengemukakan bahwa teater dan drama memiliki makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia,” ulasnya.
Ia menuturkan dalam perspektif teori dramaturgi Goffman politik demokrasi tak ubahnya juga ibarat panggung sandiwara. Banyak tugas antagonis yang dimainkan, ibarat tugas penipu, pembohong, berpura-pura, bermewah-mewah, pencitraan, pemarah, berkhianat, hingga perkelahian di meja persidangan.
“Politik demokrasi tak ubahnya juga ibarat panggung sandiwara, di mana masyarakat menonton banyak sekali macam sikap para pemimpin dan politisi,” tuturnya.
Ahmad mengungkapkan bahwa dramaturgi politik demokrasi seringkali memamerkan pertunjukkan yang mengecewakan penonton.
“Hal ini disebabkan alur dongeng yang ditampilkan seringkali tidak sesuai dengan endingnya. Judul drama perihal kesejahteraan rakyat tapi endingnya justru kesengsaraan rakyat. Judul dramanya perihal kebebasan pendapat tapi endingnya justru persekusi tak beradab,” ungkapnya.
Dalam panggung politik demokrasi, Ahmad menjelaskan bahwa rakyat bukanlah yang berdaulat sebagaimana yang sering diteriakkan oleh para politisi. Realitas yang dikemukakan hanyalah sebatas teatrikal dalam batas-batas yang sah untuk dipertontonkan.
“Yang bergotong-royong terjadi yaitu bahwa rakyat hanya sekedar menjadi penonton dalam panggung sandiwara. Rakyat hanya sekedar akan menilai performa politisi dalam memainkan peran, tidak pada proses-proses dan taktis di belakang panggung,” jelasnya.
Ia pun mencontohkan dramaturgi politik yang dialami oleh ormas HTI. Ormas ini hanya memberikan dakwah Islam tanpa kekerasan dan tanpa paksaan bahwa hanya sebatas wacana.
“Namun demokrasi yang semenjak awal anti agama, pribadi beraksi mencabut tubuh aturan ormas tersebut. Ini drama paling jelek untuk di tonton, berbagai apologi picisan terlontar dari pendukung pencabutan BHP hingga menyatakan ormas telah dibubarkan,” ujarnya.
“Padahal belum (dibubarkan), sementara intelektual rasional yang menolak upaya pembubaran, tak diperhatikan sama sekali. Dramaturgi tepat dari politik demokrasi,” lanjutnya.
Sedangkan dramaturgi horor sekaligus menjijikkan ditunjukkan oleh drama persekusi kepada para ulama dan kriminalisasi dakwah, dari mulai pembubaran pengajian hingga pembunuhan seorang ulama.
“Dramaturgi yang dipakai, yaitu tugas berpura-pura gila. Seorang abnormal yang menunggu di masjid semenjak dini lantas menyerang seorang ulama yang usai salat subuh hingga meninggal,” bebernya.
Drama Ratna Sarumpet dalam perspektif dramaturgi politik demokrasi, baginya menggambarkan pemanfaatan kebohongan. Berbagai intrik politik meluncur deras memanfaatkan kisah kebohongan perempuan renta menjadi drama horor dan menjijikkan.
“Ratna menjadikan komoditas politik untuk saling menjegal lawan politik. Ketika alur drama politik telah mencapai puncaknya, ia justru mengakui dirinya telah berbohong,” ujarnya.
Menurutnya pengakuan Ratna inilah yang selanjutnya menjadi babak gres drama politik di negeri ini. Ibarat tsunami, kisah kebohongan perempuan renta ini, sekarang menjadi bencana politik di negeri ini.
“Kisah kebohongan Ratna menjadi bencana politik di negeri ini meskipun Ratna dan Prabowo telah minta maaf, namun goreng menggoreng akan terus mengalir bagai gelombang tsunami,” ucapnya.
Ia mengakhirinya dengan mengatakan dalam perspektif dramaturgi kehidupan rakyat dalam demokrasilah yang bergotong-royong khayalan.
“Hanyalah khayalan belaka untuk sanggup hidup sejahtera, aman, rukun, dan terbebas dari penjajahan, kasihan rakyat, hingga kapan kalian jadi penonton yang terus ditipu. Sampai kapan?” pungkasnya.[] Ageng Kartika