Tinta Media: Dosen
Tampilkan postingan dengan label Dosen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dosen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Mei 2024

Rendahnya Gaji Dosen, Kemuliaan Pendidik Terabaikan

Tinta Media - Penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK mengungkap banyaknya jumlah dosen menerima gaji bersih tidak lebih dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023 (tempo.co, 2/5/2024). Termasuk di dalamnya, dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Karena kecilnya pendapatan, tidak sedikit para dosen harus mencari pekerjaan tambahan di luar jam kerjanya. Setidaknya 76 persen dosen harus mengambil kerja sampingan. Pekerjaan tersebut tidak jarang membuat tugas utama para dosen terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. 

Bahkan tagar #janganjadidosen pun sempat viral beberapa waktu lalu. Tagar ini sebagai bentuk curhatan para dosen yang mendapatkan gaji yang minim sementara jam kerja sering melebihi porsi semestinya. Sayangnya, tagar ini dinetralkan dengan opini pengabdian pada institusi. Dan banyak pihak merasa kecewa dengan keadaan tersebut. 

Tidak heran, fakta ini menciptakan pergeseran pemikiran di tengah generasi. Orang cerdas berilmu kini tidak lagi dihargai dan diapresiasi. Ironis memang. Di tengah mahalnya biaya pendidikan, kurikulum yang tidak jelas dan kondisi politik yang cenderung memanas, membuat generasi malas berpikir maju. Tidak mau direpotkan dengan fakta yang tidak sesuai harapan. Mereka cenderung lebih memilih profesi yang lebih mudah mengalirkan banyak uang. Seperti influencer atau youtuber. Wajar juga saat rakyat berpikir untuk "hijrah" ke luar negeri demi apresiasi dan masa depan yang lebih menjanjikan. 

Sistem Rusak Membajak Potensi

Rendahnya gaji dosen merefleksikan rendahnya perhatian dan penghargaan negara atas profesi dosen. Padahal dari tangan para dosen-lah generasi emas bangsa terlahirkan. Dan mampu mempengaruhi pencapaian masa depan bangsa yang jauh lebih baik.  

Dosen adalah profesi mulia, menyebarkan ilmu dan membangun karakter mahasiswa sebagai agent of change, agen perubahan dan calon pemimpin masa depan. Namun sayang, sistem saat ini tidak mampu mendukung suasana kondusif untuk profesi dosen. Sistem kapitalisme, sistem rusak yang hanya berorientasi pada materi. Konsepnya telah menggerus penghargaan atas jasa besar para dosen, karena menjadikan prinsip materi sebagai satu-satunya hal yang berharga. 

Memang tidak bisa dihindari, kehidupan yang kini tersaji membutuhkan begitu banyak materi untuk bertahan hidup. Segala bentuk kehidupan berbayar dan mahal. Bagai lingkaran masalah yang terus memutar, semua terjadi sistemik sebagai dampak sistem yang tidak mampu mengurusi kebutuhan seluruh rakyat, termasuk para dosen. 

Sekularisme pun turut andil dalam terpuruknya profesi dosen. Sistem tersebut hanya memandang dosen sebagai profesi, bukan difokuskan pada pendidik generasi. Negara pun menganggap profesi dosen hanya sebagai individu yang harus mandiri mencari penghidupan sendiri. Padahal semestinya dosen memperoleh posisi yang mulia karena mengajarkan ilmu yang berharga bagi kemajuan generasi. Namun konsep ini tidak berlaku dalam sistem sekularisme. Negara justru membelanjakan anggaran pada hal-hal yang tidak prioritas. Karena menganggap pendidikan bukan hal yang utama. Negara memprioritaskan program pembangunan yang tidak ditujukan untuk kesejahteraan dan kecerdasan rakyat. Tentu saja, hal tersebut adalah konsep keliru dalam pembangunan bangsa yang cerdas.

Wajar saja, wajah generasi saat ini penuh luka. Jauh dari kemajuan berpikir. Dan lebih cenderung pada perbuatan yang niradab. 

Di sisi lain, negara hanya berperan sebagai regulator yang tidak mampu mengatur terselenggaranya pendidikan secara optimal. Dan tidak mampu menjamin sejahteranya para pendidik karena konsep yang kini diadopsi tidak diprioritaskan untuk kepentingan rakyat secara utuh. Kebijakan yang kini ada hanya ditujukan demi kepentingan bisnis dan keuntungan para oligarki. 

Sistem Islam Menghargai Ilmu

Islam menetapkan bahwa ilmu adalah salah satu bekal berharga untuk mengarungi kehidupan. Islam juga menghargai ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu apalagi para pengajar yang mendidik generasi agar cerdas mengarungi kehidupan. Terlebih posisi strategis para dosen sebagai pendidik calon pemimpin peradaban masa depan yang mulia. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11)

Nasehat berharga dari Imam Syafi'i tentang pentingnya ilmu dan para penuntut ilmu. 

"Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan". 

Sejarah Islam mencatat gemilangnya masa pendidikan pada masa penerapan sistem Islam. Islam memuliakan para pendidik dan setiap orang yang mengajarkan ilmu kepada umat. Karena dari tangan para pendidik-lah, generasi menjadi cerdas dengan iman dan takwa yang tangguh. 

Sistem Islam pun menempatkan para pendidik sebagai individu yang wajib dihormati dan dimuliakan kedudukannya. Salah satunya dengan mengapresiasi dengan besaran gaji yang fantastis agar para pendidik mampu optimal dan fokus mencurahkan ilmu dan tenaganya demi kecerdasan generasi agar menjadi pemimpin negeri yang cerdas. 

Misalnya, pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Berdasarkan harga emas saat ini (pada bulan Mei 2024), yakni 1 gram emas adalah Rp1,308 juta, maka gaji guru Rp83,385 juta per bulan. 

Dalam sistem Islam, kehidupan para pendidik terjamin sejahtera dan mampu fokus memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak bangsa. Generasi cerdas, dan menjamin terlahirnya pemimpin yang amanah mengurusi umat. Wallahu'alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Selasa, 30 Agustus 2022

Rektor Minta Maaf Atas pengusiran Mahasiswa L68T, Analis: Untuk Apa?


Tinta Media - Permintaan maaf rektor Unhas setelah dosen fakultas mengusir mahasiswa L68T, dinilai Analis Senior Pusat Pengkajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menunjukkan sikap yang kurang tepat.

"Saya kira sikap yang ditunjukkan rektor ini adalah sikap yang kurang tepat. Untuk apa dia minta maaf? Emang ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh salah seorang dosen fakultas hukum Unhas? Saya kira tindakan yang tepat," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (25/8/2022).

Menurutnya, dosen Fakultas Hukum Unhas telah bersikap dengan benar. Sedang menegakkan nilai moral dan agama.

"Karena dosen tersebut sedang berupaya untuk menegakkan nilai-nilai moral, menegakkan nilai-nilai yang selaras dengan nilai-nilai dalam agama. Dan saya kira semua agama itu tegas sikapnya terhadap perilaku L68T," tegasnya.

Ia juga menduga bahwa sikap rektor itu karena ada pengaruh atau tekanan dari pihak lain yang mempunyai pemahaman liberal. "Mungkin saja ada tekanan-tekanan dari pihak yang memang punya paham liberal, punya paham yang mentoleransi adanya perilaku-perilaku menyimpang seperti ini," ungkapnya.

Harusnya, ungkap Fajar,  pak rektor mempunyai sikap ketegasan. Mana yang memang bisa ditoleransi dan mana perilaku seksual yang menyimpang. Itu yang harusnya dia tegaskan.

Selanjutnya, Fajar menyampaikan tentang akun mahasiswa yang memang mengidentifikasi dirinya seorang g4y. Dan seharusnya ini perlu sikap tegas. Bukan malah ditoleransi.

"Kemarin juga beredar bahwa di akun lainnya si mahasiswa tadi itu memang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay. Ini harusnya momentum yang tepat untuk mencegahnya, jangan diberikan toleransi. Kalau perlu, jabatan dipertaruhkan," tegasnya.

Fajar menilai dunia pendidikan saat ini sedang mengalami proses liberalisasi dan sekularisasi.

"Dunia pendidikan itu sebagai garda terdepan  dalam menangkal konten-konten pun, hari ini mengalami liberalisasi dan sekularisasi," tuturnya.

Menurutnya, perkembangan teknologi informasi menjadi pemicu yang sangat signifikan terhadap konten-konten yang berbau L68T. "Sementara, di sisi yang lain perkembangan platform teknologi informasi ini juga menjadi pemicu yang sangat signifikan," ujarnya.

Konten-konten yang berbau L68T, kata Fajar, sudah mulai banyak dan bersikap terang-terangan. Artinya sekarang masyarakat lebih⁹ permisif, sehingga orang yang mengaku secara terbuka, tidak ada sanksi sosial. "Mereka bebas mengedarkan konten-konten itu di media sosial mereka. Diwawancarai di YouTube dan diekspos, ditonton dengan bebas, tidak ada screen apapun.  Harusnya konten-konten yang seperti ini harus disensor," ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa konten-konten di media sosial itulah yang menjerumuskan ke dalam paham liberalisme, yang akhirnya menjadikan bebas bertingkah laku.

"Yang seperti inilah yang membuat kita ini justru terjerembab atau terjerumus ke dalam pandangan liberal. Salah satunya adalah kebebasan untuk bertingkah laku," tandasnya.

Ustaz Fajar, sapaan akrabnya juga menyampaikan bagaimana seharusnya sikap yang tepat bagi seorang rektor. "Rektor itu adalah seorang  pimpinan tertinggi dari sebuah perguruan tinggi, yang bertanggung jawab penuh terhadap  institusi pendidikan, seharusnya menjadi benteng penjaga moral," katanya.

Selain tempat untuk menimba ilmu, imbuhnya, perguruan tinggi tidak bisa dipisahkan dari penanaman nilai-nilai moral dan juga penjagaan terhadap akidah. 

Ustaz Fajar juga menjelaskan bagaimana sistem pendidikan dalam Islam untuk mengatasi masalah  L68T. 

Pertama, ia mengatakan bahwa keluarga merupakan benteng perlindungan generasi dalam menanamkan akidah atau keimanan yang akan mampu menangkal virus liberalisasi dan sekularisasi. 

"Keluarga muslim adalah keluarga yang memang punya keimanan dan akidah yang kokoh. Harapannya dengan penanaman keimanan akidah yang kokoh itu akan mampu menangkal arus liberalisasi dan sekularisasi dalam berbagai aspek yang tadi itu. Jadi, kuncinya menurut saya yang pertama adalah tadi itu bagaimana kemudian keluarga secara efektif bisa menjadi benteng akidah dan keimanan," paparnya.

Kedua, Ustadz Fajar menyebut pihak sekolah atau lembaga pendidikan lah yang berperan untuk menjaga akidah dan keimanan.
"Sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan apapun, baik sekolah, madrasah, pesantren atau kampus yang seharusnya juga menjadi second layer dari proses penjagaan akidah dan keimanan," imbuhnya.

Ketiga, ia menjelaskan bahwa masyarakat juga memiliki peran yang signifikan dalam mencegah paham-paham yang bertentangan dengan norma.

"Masyarakat juga memainkan peran yang signifikan  dalam mencegah masuknya paham-paham yang bertentangan dengan norma-norma sosial bertentangan dengan norma-norma agama. Harusnya masyarakat  jangan diam ketika melihat sebuah kondisi ya terkait  penyebaran paham-paham atau perilaku-perilaku yang menyimpang itu. Harus segera bersuara," tegasnya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa untuk saat ini yang terpenting orang tua harus bijak dalam memilih sekolah untuk anak agar mampu menjaga keimanannya.

Bagi orang tua penting memilih sekolah yang bisa membantu orang tua untuk menjaga keimanan anak kita," pungkasnya.[] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab