Rendahnya Gaji Dosen, Kemuliaan Pendidik Terabaikan
Tinta Media - Penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK mengungkap banyaknya jumlah dosen menerima gaji bersih tidak lebih dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023 (tempo.co, 2/5/2024). Termasuk di dalamnya, dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Karena kecilnya pendapatan, tidak sedikit para dosen harus mencari pekerjaan tambahan di luar jam kerjanya. Setidaknya 76 persen dosen harus mengambil kerja sampingan. Pekerjaan tersebut tidak jarang membuat tugas utama para dosen terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.
Bahkan tagar #janganjadidosen pun sempat viral beberapa waktu lalu. Tagar ini sebagai bentuk curhatan para dosen yang mendapatkan gaji yang minim sementara jam kerja sering melebihi porsi semestinya. Sayangnya, tagar ini dinetralkan dengan opini pengabdian pada institusi. Dan banyak pihak merasa kecewa dengan keadaan tersebut.
Tidak heran, fakta ini menciptakan pergeseran pemikiran di tengah generasi. Orang cerdas berilmu kini tidak lagi dihargai dan diapresiasi. Ironis memang. Di tengah mahalnya biaya pendidikan, kurikulum yang tidak jelas dan kondisi politik yang cenderung memanas, membuat generasi malas berpikir maju. Tidak mau direpotkan dengan fakta yang tidak sesuai harapan. Mereka cenderung lebih memilih profesi yang lebih mudah mengalirkan banyak uang. Seperti influencer atau youtuber. Wajar juga saat rakyat berpikir untuk "hijrah" ke luar negeri demi apresiasi dan masa depan yang lebih menjanjikan.
Sistem Rusak Membajak Potensi
Rendahnya gaji dosen merefleksikan rendahnya perhatian dan penghargaan negara atas profesi dosen. Padahal dari tangan para dosen-lah generasi emas bangsa terlahirkan. Dan mampu mempengaruhi pencapaian masa depan bangsa yang jauh lebih baik.
Dosen adalah profesi mulia, menyebarkan ilmu dan membangun karakter mahasiswa sebagai agent of change, agen perubahan dan calon pemimpin masa depan. Namun sayang, sistem saat ini tidak mampu mendukung suasana kondusif untuk profesi dosen. Sistem kapitalisme, sistem rusak yang hanya berorientasi pada materi. Konsepnya telah menggerus penghargaan atas jasa besar para dosen, karena menjadikan prinsip materi sebagai satu-satunya hal yang berharga.
Memang tidak bisa dihindari, kehidupan yang kini tersaji membutuhkan begitu banyak materi untuk bertahan hidup. Segala bentuk kehidupan berbayar dan mahal. Bagai lingkaran masalah yang terus memutar, semua terjadi sistemik sebagai dampak sistem yang tidak mampu mengurusi kebutuhan seluruh rakyat, termasuk para dosen.
Sekularisme pun turut andil dalam terpuruknya profesi dosen. Sistem tersebut hanya memandang dosen sebagai profesi, bukan difokuskan pada pendidik generasi. Negara pun menganggap profesi dosen hanya sebagai individu yang harus mandiri mencari penghidupan sendiri. Padahal semestinya dosen memperoleh posisi yang mulia karena mengajarkan ilmu yang berharga bagi kemajuan generasi. Namun konsep ini tidak berlaku dalam sistem sekularisme. Negara justru membelanjakan anggaran pada hal-hal yang tidak prioritas. Karena menganggap pendidikan bukan hal yang utama. Negara memprioritaskan program pembangunan yang tidak ditujukan untuk kesejahteraan dan kecerdasan rakyat. Tentu saja, hal tersebut adalah konsep keliru dalam pembangunan bangsa yang cerdas.
Wajar saja, wajah generasi saat ini penuh luka. Jauh dari kemajuan berpikir. Dan lebih cenderung pada perbuatan yang niradab.
Di sisi lain, negara hanya berperan sebagai regulator yang tidak mampu mengatur terselenggaranya pendidikan secara optimal. Dan tidak mampu menjamin sejahteranya para pendidik karena konsep yang kini diadopsi tidak diprioritaskan untuk kepentingan rakyat secara utuh. Kebijakan yang kini ada hanya ditujukan demi kepentingan bisnis dan keuntungan para oligarki.
Sistem Islam Menghargai Ilmu
Islam menetapkan bahwa ilmu adalah salah satu bekal berharga untuk mengarungi kehidupan. Islam juga menghargai ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu apalagi para pengajar yang mendidik generasi agar cerdas mengarungi kehidupan. Terlebih posisi strategis para dosen sebagai pendidik calon pemimpin peradaban masa depan yang mulia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Nasehat berharga dari Imam Syafi'i tentang pentingnya ilmu dan para penuntut ilmu.
"Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan".
Sejarah Islam mencatat gemilangnya masa pendidikan pada masa penerapan sistem Islam. Islam memuliakan para pendidik dan setiap orang yang mengajarkan ilmu kepada umat. Karena dari tangan para pendidik-lah, generasi menjadi cerdas dengan iman dan takwa yang tangguh.
Sistem Islam pun menempatkan para pendidik sebagai individu yang wajib dihormati dan dimuliakan kedudukannya. Salah satunya dengan mengapresiasi dengan besaran gaji yang fantastis agar para pendidik mampu optimal dan fokus mencurahkan ilmu dan tenaganya demi kecerdasan generasi agar menjadi pemimpin negeri yang cerdas.
Misalnya, pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Berdasarkan harga emas saat ini (pada bulan Mei 2024), yakni 1 gram emas adalah Rp1,308 juta, maka gaji guru Rp83,385 juta per bulan.
Dalam sistem Islam, kehidupan para pendidik terjamin sejahtera dan mampu fokus memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak bangsa. Generasi cerdas, dan menjamin terlahirnya pemimpin yang amanah mengurusi umat. Wallahu'alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor