Tinta Media: Diskusi
Tampilkan postingan dengan label Diskusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diskusi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Maret 2024

Influencer: Diskusi Itu Mencari Pendapat Terkuat



Tinta Media - Influencer Dakwah Doni Riwayanto menjelaskan bahwa diskusi itu idealnya adalah mencari pendapat yang paling kuat. 

"Diskusi atau perdebatan idealnya adalah adu argumen untuk mencari pendapat yang paling kuat," ujarnya di akun telegram miliknya @Doni Riw, Sabtu (2/3/2024). 

Menurutnya, jika salah satu pihak ada yang tidak matang, baik secara intelektual maupun emosional, maka sering kali diskusi berujung pada ad hominem (menyerang pribadi). 

Ad hominem, terang Doni, muncul ketika seseorang yang tidak matang tadi, tidak mampu menandingi argumen lawan debat, namun dia ingin tampak hebat di depan publik. 

"Maka yang biasa dilakukan adalah dengan mengalihkan ke serangan bentuk lain," jelasnya. 

Ia memaparkan, setidaknya ada tiga jenis ad hominem. 

"Pertama, abusive ad hominem. Alih-alih mengonter dengan argumen yang lebih kuat, malah menyerang pribadi," terangnya. 

Ia mencontohkan ad hominem jenis pertama ini. 

"Berani ngomong agama, kamu mondok di mana? Kamu merasa paling benar! Mainmu kurang jauh," ungkapnya mencontohkan 

Kedua, circumstance ad hominem. Alih-alih menjawab substansi diskusi, malah mengalihkan pada lingkungan diskusi. 

"Bagaimana mungkin teorimu tercapai, sedangkan organisasimu dibubarkan," ujarnya mencontohkan 

Ketiga, tu quoque ad hominem, alih-alih menunjukkan kesalahan argumen lawan debat, malah justru menyatakan bahwa lawan debat tidak melakukan apa yang dibicarakan. 

"Contoh, sok-sokan mengkritik, kamu sendiri apa yang sudah disumbangkan untuk negeri ini," ucapnya mencontohkan 

Doni memandang, ad hominem sesungguhnya adalah sikap pengecut dalam dunia intelektual. 

"Maka sikap seperti ini wajib dihindari," sarannya. 

Ia memberikan tips untuk menghindari ad hominem. 

Pertama, buang hasad (penyakit hati); kedua, jaga tawadhu (rendah hati); ketiga,  sadari bahwa diskusi adalah untuk mencari kebenaran, bukan untuk gaya-gayaan saat menang. 

"Keempat, jika memang belum sepakat tetapi belum bisa membalas argumen, mending diam ketimbang ad hominem," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Jumat, 15 April 2022

Haramkan Khilafah, Pakar Fikih Kontemporer: Pendapat Itu Salah Jika Tak Berdasar Dalil

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1f5tvDlmh4duNX8a63wCKROjQZOv45_1N

Tinta Media - Pendapat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD. yang menyebut tentang haram mendirikan negara ala Nabi (khilafah) dinilai salah oleh Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si.

“Kalaupun orang itu mempunyai pangkat yang tinggi tapi kalau argumentasinya tidak mempunyai dalil atau dasar, ya salah,” tuturnya pada rubrik Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara Ala Nabi, Haramkah? Ahad (10/4/2022) di kanal YouTube Media Umat.

Sebaliknya, kata Ustaz Shiddiq, walaupun orang itu biasa-biasa saja, akan tetapi argumennya mempunyai dasar yang kuat, yaitu benar. “Itulah kaidah kita untuk menyikapi pendapat. Jangan apriori karena dia seorang menteri hukum, segala macam, terus otomatis benar, tentu tidak!” tegasnya.

Menurutnya, pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongannya. “Walaupun yang mengucapkan itu bergelar Profesor, Doktor dan seterusnya, tapi kan sebuah pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongan orang itu,”ungkapnya.

Kyai Shiddiq menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an ada pelajaran yang penting untuk diambil. Ada ayat: “Qul haatu burhanakum inkuntum soodiqin.” Artinya: “Katakanlah: ‘datangkanlah bukti-buktimu, argumen-argumenmu, kalau kamu adalah orang-orang yang benar’.” Islam mengajarkan benar tidaknya tergantung kepada peluruhan atau argumen. “Kalau memang argumennya tidak ada, apa bisa itu disebut pendapat yang benar?” tanyanya.

Sedangkan pada kesempatan itu, Mahfud MD menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW karena katanya tidak ada nabi lagi dan tidak akan turun wahyu lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ustaz Shiddiq tidak membenarkan argumen Mahfud MD tersebut dengan memberikan beberapa poin kritik sebagai berikut: Bahwa berakhirnya wahyu dan tiadanya nabi lagi, tidaklah berarti haram bagi umat Islam mendirikan Negara ala Nabi. Sebab Nabi SAW pada saat di Madinah, mempunyai dua kedudukan sebelum meninggal, yaitu: pertama, kedudukan sebagai nabi (manshib al nubuwwah), dan kedua, sekaligus kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara.

“Maka ketika Nabi wafat, kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) berhenti (wahyu dan nabi tak ada lagi), sedang kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut,” jelasnya.

Ia memaparkan bahwa wafatnya Nabi SAW ini menjadi pertanda tugas kenabian ini berakhir, tidak ada lagi nabi dan wahyu lagi. Namun walau tugas kenabian berakhir, tugas kepemimpinan negara ini tak berakhir, melainkan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah pengganti Nabi SAW. Dengan demikian, para khalifah tersebut, hakikatnya telah meneruskan negara ala Nabi Muhammad SAW. “Negara ala Nabi Muhammad SAW inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafah atau Imamah,” paparnya.

Dalil bahwa walau tugas kenabian Nabi SAW berakhir, namun tugas kepemimpinan negara tak berakhir, disabdakan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih yak: “Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…" (HR Muslim, no 1842).

Menurutnya, hadits Nabi saw tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa:

Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah beliau. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya beliau.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi saw.

Ustaz Shiddiq menyimpulkan, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi saw sebagai kepala negara, mereka tidak mendapat wahyu lagi, karena wahyu tidak turun lagi. Para khalifah itu pun juga bukan nabi-nabi, karena tidak ada nabi lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mereka hanyalah khalifah, manusia biasa, bukan Nabi, dan berpegang dengan wahyu yang terbukukan (Al Qur`an dan As Sunnah), bukan mendapat wahyu langsung dari Allah,

“Lalu, bagaimana mungkin mendirikan negara ala nabi dikatakan haram?” pungkasnya.[]Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab