ERA DISHARMONI KEKUASAAN DAN RAKYAT
Tinta Media - Adalah manusiawi saat Plato begitu kecewa atas model kepemimpinan para politikus yang atas nama demokratis menjadikan Socrates, gurunya, harus dihukum mati di meja pengadilan atas tuduhan tak berdasar. Plato menilai tuduhan tak berdasar bahwa Socrates telah menyebarkan keonaran sosial yang menyebabkan demoralisasi pemuda Athena. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi pemikiran politik Plato bahwa idealnya pemimpin adalah seorang filosof, bukan politikus.
Plato memberikan catatan tajam atas relasi disharmoni antara penguasa dan rakyat, terlebih sikapnya terhadap para pemikir dan ilmuwan saat itu. Perbedaan pandangan antara ilmuwan dengan kebijakan politik kekuasaan dilihat sebagai kontraproduktif, bukan sebagai sebuah proses menuju tatanan negara yang lebih baik. Relasi disharmoni ini tentu lebih banyak merugikan rakyat dan menguntungkan kekuasaan.
Kepemimpinan filosof berdasarkan tesis Plato akan lebih baik, sebab seorang pemikir adalah orang yang memahami persoalan rakyatnya, konsisten atas prinsip-prinsip kebajikan dan memberikan solusi komprehensif. Seorang filosof adalah orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri, tidak lagi memiliki kepentingan dunia, apalagi memanfaatkan kekuasaan demi memperkaya diri dan keluarganya.
Intuisi seorang pemimpin yang filosof akan sanggup menatap ke dunia idea, kaitannya dengan realitas sosial, sehingga akan memiliki gagasan tentang kebaikan, keadilan dan kebenaran. Problem mendasar bagi seorang politikus adalah keterlemparan jiwa ke dalam penjara dunia inderawi. Persoalan inilah (being) yang menjadikan (becoming) lahirnya disorientasi kekuasaan.
Disorientasi kekuasaan menempatkan rakyat bukan sebagai partner produktif untuk bersama melangkah memperbaiki negara, namun dilihat sebagai posisi di luar kekuasaan yang dicurigai. Produk undang-undang yang dihasilkan pun justru mendapat kecaman, protes dan kritik dari rakyatnya. Salah satunya adalah pengesahan RKUHP menjadi undang-undang (KUHP). Produk politik DPR dan pemerintah ini banyak menyisakan persoalan disharmoni pada masa depan.
Disorientasi politik kekuasaan meniscayakan adanya politik transaksional yang berpotensi adanya praktek money politic. Kekuasaan yang koruptif sangat berpengaruh kepada produk perundang-undangan yang dihasilkan. Terlebih jika suatu negara telah dikendalikan oleh hegemoni elit ekonomi dan politik yang bernama oligarki. Kedaulatan rakyat hanyalah nyanyian sunyi di lembaga-lembaga akademik, namun nihil dalam realitas sosial politik.
Filsafat politik machiavellianisme yang menetapkan paradigma bahwa setiap orang bertindak demi kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak membentuk hubungan dekat dan tidak mudah percaya dengan orang lain tentu saja tidak relevan diterapkan di negeri ini. Uang dan kekuasaan bagi para pemimpin machiavellis lebih berarti bagi daripada hubungan harmoni dengan rakyatnya sendiri.
Filsafat politik kapitalistik oligarki juga akan menimbulkan disharmoni relasi kekuasaan dan rakyat. Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.
Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer.
Pada 600-an SM, ketika Yunani negara-kota dari Sparta dan Athena diperintah oleh kelompok elit bangsawan berpendidikan, pemerintahan oligarki berjaya. Selama abad ke-14, negara-kota Venesia dikendalikan oleh bangsawan kaya yang disebut "aristokrat". Saat Afrika Selatan berada di bawah sistem apartheid kulit putih hingga 1994, adalah contoh klasik dari sebuah negara yang diperintah oleh bentuk pemerintahan oligarki berbasis rasial.
Sementara, Indonesia yang dibangun diatas pandangan hidup pancasila menghendaki terwujudnya nilai-nilai kebajikan seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kerakyatan, musyawarah, perwakilan, hikmah, kebijaksanaan, dan keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa ini.
Filosofi kebajikan ini menghajatkan sebuah paradigma politik yang sarat nilai kebaikan yang melahirkan relasi harmoni bagi perbaikan berkelanjutan negeri ini. Sistem politik tidak boleh anti intelektualisme, sebab para ilmuwan adalah kunci bagi perbaikan peradaban suatu bangsa.
Dinamika intelektual dan diskursus gagasan harus terus ditumbuhkembangkan seiring dengan dinamika dan konstalasi politik dunia. Adalah penting memberikan sebuah pertanyaan, kemana arah dunia saat ini, apakah sedang menuju kepada kemajuan ataukah kemunduran ?. Penerimaan atas gagasan-gagasan alternatif bagi negeri ini mestinya menjadi dibuka lebar demi masa depan bangsa ini.
Relasi penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Perumpamaan antara kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah pandangan hidup dan ideologi. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat.
Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Karena itu kepala negara adalah pengurus rakyatnya. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepengurusan rakyatnya. Istilah ‘mengurus’ mengindikasikan adanya relasi harmonis antara kekuasaan dan rakyatnya.
Akhirnya penting mencatat apa yang diungkapkan oleh Plato bahwa pemerintahan yang baik idealnya dipimpin oleh seorang aristokrat, yakni sosok pemimpin terbaik, terbijak, dan orang pilihan dari suatu negara. Bagi Plato, pemilihan pemimpin mestinya tidak diserahkan kepada proses pemungutan, namun melalui keputusan bersama oleh guardian, yaitu sekumpulan tokoh masyarakat yang terpercaya.
(AhmadSastra,KotaHujan,17/12/22 : 15.54 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa