Tinta Media: Dipenjara
Tampilkan postingan dengan label Dipenjara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dipenjara. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 November 2022

RKUHP: HINA POLISI, JAKSA & DPR, BISA DIPENJARA 1,5 TAHUN, REZIM ZALIM ANTI DEMOKRASI?

Pemerintahan yang baik akan diapresiasi bahkan akan dipuji rakyatnya. Tak perlu takut akan dihina rakyat.

Tinta Media - Lagi, publik dibuat Gaduh. Rakyat kembali dibuat resah dan gelisah. Pasalnya, Awal November ini Rejim Jokowi mengajukan RKUHP yang salah satu pasalnya kembali mengancam rakyat. Siapa saja yang hina polisi, jaksa, DPR, dll. bisa dipenjara 1,5 tahun. Jelas ini spiritnya mengancam rakyat dan ingin memenjarakan rakyat. Padahal di banyak negara semangatnya membebaskan rakyat dan mengosongkan penjara. Termasuk negeri Belanda yang dulu menjajah negeri ini dan dijadikan kiblat dalam soal hukum negeri ini. Bahkan KUHP warisan penjajah Belanda itu masih kita pakai.

Rancangan tersebut sudah dimasukkan ke DPRRi untuk dibahas dan di sahkan. Banyak pihak menyayangkan munculnya pasa tersebut. padahal dahulu pasal tentang penghinaan kepala negara sudah dihapus. Kenapa justru muncul lagi pasal seperti itu? 

Lantas mengapa pemerintahan Jokowi mengajukan pasal tersebut? apakah layak didukung dan diberlakukan di negeri ini? Dalam masalah tersebut, penulis memberikan 4 (empat) catatan penting:

PERTAMA, Tak boleh menghina. Menghina siapa pun adalah perbuatan hina. Orang yang berbudaya dan beragama tak akan berbuat hina. Menghina orang atau aparat negara Jelas tidak sesuai dengan budaya kita yang sangat religius. Tak ada satu agama pun yang menyuruh kita melakukan perbuatan hina. Apalagi menghina orang lain maupun aparat dan lembaga negara. 

Oleh karenanya, Jika ada orang melakukan perbuatan hina itu hanya ada dua kemungkinan, pertama; orang tersebut sedang khilaf dan melanggar ajaran agama. Atau kondisi yang kedua, orang tersebut tak beragama sehingga melakukan perbuatan hina itu. Maka menjadi kewajiban negara untuk membuat orang makin taat kepada ajaran agamannya sehingga negara tak perlu kerja keras mengajari rakyat untuk tak melakukan perbuatan hina. Bahkan tak perlu menakuti rakyatnya dan mengancam dengan penjara.

KEDUA, Tugas negara melindungi rakyat bukan mengancam memenjarakan rakyat. Pasal yang terkait ancaman akan memenjarakan hingga 1,5 tahun bagi yang menghina aparat menunjukkan semangat memenjarakan rakyat. Padahal dalam konstitusi tegas disebutkan tugas negara itu melindungi segenap rakyat. Bukan malah hendak memenjarakan rakyat. 

Di sisi lain penjara sudah kelebihan kapasitas. Sangat berbeda dengan di negeri Belanda yang jadi kiblat hukum negeri ini. Bahkan KUHP itu warisan penjajah Belanda dan kita gunakan di negeri ini. Di Belanda penjara sudah banyak yang kosong bahkan di sewakan karena pendekatannya semangat membebaskan rakyat. Namun kita malah sebaliknya punya semangat memenjarakan rakyat. Ini tentu sudah melenceng dari konstitusi. 

KETIGA, Tugas negara mencerdaskan bukan memenjarakan rakyat. jika rakyat cerdas maka yang keluar dari ucapannya adalah ujaran yang baik dan penuh adab alias beradab. Rakyat yang cerdas tidak akan melakukan perbuatan hina atau menghina orang lain.

Kewajiban negara bekerja keras dan fokus menjalankan tugasnya untuk mencerdaskan rakyatnya. Pemerintah yang baik mestinya Merancang regulasi dan menjalankannya dengan baik. Bukan malah membuat rancangan aturan yang mengancam rakyatnya. Bahkan hendak memenjarakan rakyatnya ditengah sesaknya Lapas karena kelebihan kapasitas.

KEEMPAT, Pemerintah yang baik membuat rakyat sulit mengkritik. Hendak mengkritik saja sulit karena tak ada celah dan saking baiknya. Apalagi hendak menghina. Kalaulah ada rakyat yang coba menghina pemerintahan yang baik maka rakyat yang lain tentu akan mengoreksinya. 
Maka rezim hendaknya sibuk memperbaiki kinerja sehingga menjadi pemerintahan yang baik. bukan malah punya semangat memusuhi rakyat bahkan punya semangat menghukum dan memenjarakan rakyat. 

Perlu kita beri nasihat & dorong agar rezim ini memahami tugasnya terhadap rakyat. Juga memahami kewajibannya sesuai konstitusi. 
Semoga negeri ini diberikan pemimpin yang baik dan menjalankan sistem pemerintahan yang baik sehingga terlimpah barokah dari langit dan bumi… aamiin. 

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Oleh: Wahyudi al Maroky
Dir. Pamong Institute

Referensi:
https://pamongreaders.com/rkuhp-hina-polisi-jaksa-dan-dpr-bisa-dipenjara-15-tahun-rezim-zalim-anti-demokrasi

Selasa, 12 Juli 2022

DESPIANOR WARDHANI MENGKRITIK DAN MENYAMPAIKAN SOLUSI ISLAM, KENAPA TETAP DI PENJARA?

Tinta Media - "Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif.* Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden atau wapres. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat"

[Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, 6/7]

Pemerintah dikabarkan telah menyerahkan Naskah final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR pada Rabu 6 Juli 2022. Dalam RKUHP tersebut pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal penghinaan presiden.

Namun, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan dalam draf final RKHUP juga  turut diatur terkait kritik kepada presiden dan wakil presiden termasuk penjelasan kritik guna membedakan antara penghinaan dan kritik.

Dalam ketentuan Pasal 218 RKUHP berbunyi :

"(1) setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

"(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Dalam penjelasan pasal ditambahkan mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi. 

Pemerintah mendefinisikan apa yang dimaksud kritik untuk kepentingan umum itu, berupa penyampaian pendapat berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden yang disertai dengan pertimbangan baik buruk kebijakannya.

Kritik bagi pemerintah juga sebisa mungkin konstruktif dan memberikan alternatif solusi, atau kritik itu harus dengan cara objektif. Begitulah, penjelasan pasal yang disampaikan oleh Wamenkumham, pada 6 Juli 2022 di kompleks Parlemem, Senayan.

Hanya saja, itu cuma teorinya. Praktiknya?

Kita tengok, apa yang dialami oleh Aktivis Pejuang Syariah & Khilafah, Despianoor Whardani. Dia dijebloskan ke penjara, hanya karena memposting artikel berisi kritik kepada pemerintah di laman facebooknya.
 
Artikel yang diposting berupa artikel yang diterbitkan buletin al Islam. Artikel itu mengkritik pemerintah dan menolak Papua lepas dari Indonesia, menolak kenaikan BBM, menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik, menolak asing kelola SDA Indonesia, tolak LGBT, tolak liberalisasi Migas, solidaritas terhadap muslim Suriah, aksi tolak Komunis, aksi solidaritas muslim Rohingya, tolak negara penjajah Amerika, menolak pemerintah lepas tangan soal kesehatan, sadarkan umat tentang Khilafah, hingga kritik yang menolak Perdagangan yang merugikan Rakyat.

Kritik yang disampaikan Despianor jelas konstruktif dan memberikan alternatif solusi, yakni solusi Islam berupa syariah dan Khilafah. Nyatanya, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 237 K/Pid.sus/2022 tanggal 15 Februari 2022 lalu kembali mengeksekusi Despianor, dengan hukuman selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan serta pidana denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Sebelumnya, Despianor sempat dibebaskan olah Majelis Hakim tingkat Banding karena artikel yang diunggah dinyatakan bukan kejahatan dan bagian dari kebebasan berpendapat. Putusan Hakim tingkat banding ini membatalkan putusan tingkat pertama, yang sebelumnya mengantarkan Despianor masuk bui.

Memang benar, Despianor tidak dikriminalisasi dengan pasal penghinaan Presiden, melainkan dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Namun apa jaminannya, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP ini tidak dijadikan sarana membungkam suara rakyat ? Belum ada pasal ini saja rakyat sudah dibungkam.[]

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab