Tinta Media: Dinasti Politik
Tampilkan postingan dengan label Dinasti Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dinasti Politik. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 November 2023

Menakar Dinasti Politik dengan Sudut Pandang Islam

Latar Belakang

Tinta Media - Sebelumnya ada sebuah quotes yang cukup terkenal sebagaimana penulis kutip, yaitu apa yang disampaikan Lord Acton. 

"Power attend to corrupt, absolute power corrupts absolutely."

Artinya, "Kekuasaan hadir untuk korup, kekuasaan absolut korup secara mutlak."

Ungkapan ini mungkin bisa menggambarkan apa yang terjadi di negeri ini menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres. Sebelumnya, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial, yaitu nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Dalam putusan tersebut, MK menetapkan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Putusan ini adalah buntut dari Judicial Review UU No.7/2017 mengenai pemilu, terkait batas usia capres cawapres yang diajukan oleh seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru. Polemik ini menjadi sorotan berbagai kalangan yang menyebutkan bahwa putusan ini beraroma politis sebab terkait dengan momentum Pilpres 2024 dan sarat akan konflik kepentingan. 

Kuat dugaan, hal ini merupakan bentuk "cawe-cawe" Presiden Jokowi yang ingin melanjutkan kekuasaannya, melalui Ketua MK yang tak lain adalah pamannya Gibran Rakabuming Raka yang masih sebagai Walikota Solo.

Putusan ini justru menimbulkan silang pendapat pada hakim MK. Hakim MK yang lain saja merasa “dikibulin” atau ragu terhadap putusannya. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa, hakim saja tidak percaya dengan putusannya sendiri, apalagi publik? 

Keputusan ini menurut para ahli hukum masih bisa dibatalkan karena ketua MK memiliki hubungan ikatan kekeluargaan dengan presiden. Menurutnya, putusan ini juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Namun, sayangnya tak segampang itu. Kita berharap, hakim MK tunduk dan patuh terhadap perintah undang-undang, faktanya malah diabaikan. Ini adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi yang dibuat oleh MK sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum.

Putusan ini tentu menguntungkan salah satu paslon (pasangan calon). Melihat indikator dan rasionalitas pertimbangan hukum yang dibangun oleh MK, rasa-rasanya cukup sulit menolak anggapan tersebut. Karena faktanya, MK menunjukkan sikap inkonsistensi yang jelas terlihat. Apalagi dengan objek Judicial Review dan petitium yang kurang lebih sama dan diajukan dalam waktu yang relatif tidak berjarak, yaitu putusan No.29/PUU-XXI/2023,51/PUU-XXI/2023 dan perkara 55/PU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa kepala daerah terkait batas usia yang berakhir dengan penolakan.

Penyebab Politik Dinasti

Beberapa penyebab terjadinya dinasti politik, yakni: 

Pertama, legislasi. Peraturan yang dibuat cenderung membidani lahirnya dinasti politik. Salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah incumbent.

Alasannya, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Putusan MK ini menjadi angin segar bagi tumbuh suburnya pelembagaan dinasti politik. Dengan demikian, siapa pun sanak famili yang masih ada hubungan dengan kepala daerah incumbent, boleh saja menjadi kepala daerah sepanjang dipilih oleh publik.

Kedua, partai politik. Ada dalam sistem partai politik tersebut yang mengharuskan keluarga kadernya masuk dalam satu partai. Dengan demokrasi, hal seperti ini adalah sah-sah saja. Sehingga, parpol lebih mengandalkan ikatan genealogis daripada merit sistem (prestasi, kecerdasan, dan usaha). 

Ketiga, sistem kapitalisme yang diadopsi menjadikan politisi melakukan politik pragmatis dan instan, yakni mencari calon yang punya ikatan kekerabatan dengan pejabat yang memiliki peluang menang. Tindakan seperti ini malah persis seperti kutu loncat, demi meraih kekuasaan.

Keempat, kuatnya oligarki politik di negeri ini. Pemilihan kepala daerah melalui pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai sehingga rakyat hanya memilih apa yang disodorkan partai politik. 

Juga bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas calon. Bukan rahasia lagi ketika akan mencalonkan diri untuk menduduki jabatan kepala daerah, dana yang keluar luar biasa besar. Inilah sebabnya terjadi "deal-deal" antara pengusaha dan penguasa. 

Kelima, kesadaran umum masyarakat terkait politik. Masyarakat masih menganggap politik itu kotor dan politik itu untuk meraih kekuasaan saja. Hal ini menjadikan literasi terhadap politik yang benar itu tidak tergambarkan.

Pandangan Islam terhadap  Dinasti Politik

Syeikh Taqiyuddin an Nabhani Rahimmullah mengatakan di dalam kitabnya Nizhamul Islam bahwa khilafah adalah bukan negara malakiah, monarkhi, atau kerajaan, bukan pula jumhuriah (republik). Jadi, khilafah adalah sistem yang khas. Yang diterapkan, dijaga, dan diemban adalah Syariat Islam, baik di dalam negeri ataupun luar negeri melalui dakwah dan jihad. Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah.

Pada masa khilafah, prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh Islam untuk memilih seorang khalifah atau memilih seseorang yang diberikan amanah tetap dijaga. Namun, kuat dan lemahnya penjagaan  tergantung kepada keimanan dan ketakwaan khalifah itu kepada Allah. Juga tergantung kemampuannya untuk  menjalankan kepemimpinan. Prinsip ini tentu tidak berubah dan bahkan tidak ada yang bisa mengubahnya karena merupakan wahyu yang turun di dalam Al-Qur'an maupun as sunah. 

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim). 

Pada hadis yang lain, Rasulullah bersabda, 

"Jika satu urusan kekuasaan itu diserahkan bukan pada ahlinya, maka itulah menyia-nyiakan amanah dan tunggulah kehancuran." (HR. Bukhari).

Khilafah adalah daulah basyariah. Artinya negaranya bersifat manusiawi. Praktiknya dijalankan oleh orang-orang yang tergantung ketakwaannya kepada Allah. 

Tidak ada jaminan mereka maksum atau terlepas dari dosa. Maka, bisa saja terjadi dinasti politik. Akan tetapi, tentu bukan menjadi ancaman bagi hukum syariat dan tidak akan menjadi satu kehancuran bagi rakyat manakala masyarakat di dalam sistem Islam itu tetap berpegang teguh kepada syariat. Kenapa? Sebab Islam memiliki ukuran yang baku dalam menetapkan kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Ukuran itu bersumber dari Allah Swt.

Jika ini terkait kepemimpinan pada level negara, maka ada syarat-syarat in'iqad yang harus dipenuhi. Syarat in'iqad adalah syarat sahnya seseorang untuk menjadi seorang khalifah. Hanya Allah, Zat Yang Mahatahu bahwa syarat ini tidak akan menghalangi atau mendiskriminasi siapa pun, baik dari sisi latar belakang, suku, bangsa, atau keturunan.

Syarat iniqad ada tujuh, yaitu:

Pertama, orang yang menjadi pemimpin adalah orang yang muslim, yakni agamanya Islam. Ini berarti dia bukan orang kafir. 

Kedua, calon khalifah adalah orang yang baligh. Artinya, usia minimalnya adalah 15 tahun, tidak harus 40 tahun. 

Ketiga, adil. Artinya, khalifah bukan orang yang fasik. Seorang khalifah akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melanggar hukum-hukum Allah. Dirinya secara pribadi bukanlah orang yang banyak melakukan kemaksiatan.

Keempat, berakal. Artinya, seorang khalifah mampu memahami mana yang halal dan haram, mengetahui perbuatan yang baik dan buruk sesuai hukum syara'.

Kelima, merdeka. Artinya, orang tersebut tidak didikte atau dibelenggu oleh pihak lain untuk menjalankan amanat kekuasaannya. 

Keenam, laki-laki. Maknanya, pemimpin negara wajib laki-laki dan tidak boleh perempuan. 

Ketujuh, mampu. Salah satu prinsip dalam kepemimpinan Islam adalah bahwasanya seseorang tidak diberikan amanah kecuali karena dia memiliki kapabilitas atau mampu untuk menjalankan amanah itu. 

Adapun syarat afdhaliyah (yang utama) adalah bahwasanya khalifah merupakan seorang mujtahid, yakni memiliki kapasitas atau kemampuan untuk berijtihad atau melaksanakan istinbat (menggali) hukum syariat dalam posisi sebagai kepala negara. Syarat afdhaliyah yang lain adalah bahwasanya khalifah itu berasal dari kalangan Quraisy. 

Ketika seseorang sudah memenuhi syarat dan diangkat sebagai seorang pemimpin kemudian terjadi kezaliman, maka ada mahkamah mazalim yang akan berwewenang untuk mencermati dan memeriksa tindakan pemimpin, yakni khalifah. Mahkamah mazalimlah yang akan menetapkan apakah khalifah masih memiliki kelayakan yang melekat pada dirinya terkait dengan kapasitasnya untuk melaksanakan hukum-hukum syariat kaitannya atau tidak, apakah khalifah terbukti melakukan kemaksiatan atau tidak sehingga layak untuk dima"zulkan.
  
Mari kita lihat perbedaan yang sangat diametral antara sistem demokrasi yang berasas sekularisme dengan sistem Islam. Pemerintahan Islam sendiri tidak lain adalah perwujudan dari ketaatan dan implementasi dari hukum-hukum syara' (syariat) secara total. Melihat keburukan sistem demokrasi hari ini, seharusnya kita semakin yakin untuk mengambil dan menjalankan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin. Kita juga harus memastikan bahwa kepemimpinan tersebut adalah yang diridai oleh Allah dan menghasilkan keberkahan pada kehidupan masyarakat dan alam semesta.

Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 04 November 2023

FDMPB: Dinasti Politik Akan Berdampak Buruk Bagi Kemajuan Bangsa



Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menilai bahwa dinasti politik ini akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa.

"Berdampak buruk bagi kemajuan bangsa, karena kriteria pemimpin kemudian menjadi absurd. Kriteria pemimpin kemudian menjadi diabaikan, kompetensi kepemimpinan kemudian menjadi diabaikan," ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tema Dinasti Politik, Salahkah? Di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (1/11/2023).

Dengan menutamakan kedekatan keluarga bukan karena kualifikasi personal, bebernya, akan berdampak buruk kepada bangsa ini pada jangka panjang.

“Mengkonfirmasikan bahwa politik dinasti ini kan semata-mata berorientasi kepada kekuasaan semata-mata, karena jabatan kan jadi, istilahnya itu rakus,” lanjutnya.

Ia menilai jika terjadi dinasti politik di negeri ini mengindikasi bahwa negeri ini tidak baik-baik saja. “Kalau ditanya apakah negeri ini sedang baik-baik saja? ya jawabannya sih tentu tidak,” bebernya. 

Karena menurutnya, selain demokrasi yang merupakan sistem politik yang dikendalikan oleh oligarki sekarang ditambah politik hukum dinegeri ini seolah-olah dikendalikan oleh keluarga.

“Bahkan banyak juga yang membuat meme, ada juga yang membuat video-video pendek itu ya, yang apa namanya menyebutkan MK itu bukan mahkamah konstitusi, bahkan mahkamah keluarga gitu kan, ini kan walaupun itu candaan tapi itu kan sebenarnya sebuah ekspresi dari masyarakat kan gitu kan,” lanjutnya.

Tentu ketika primordialisme ikatan-ikatan keluarga ini lanjutnya, melahirkan dinasti politik yang mengabaikan kompetensi personal terkait problem bangsa tentu ini menjadi buruk.

“Karena ini kan soal masa depan bangsa ini, ada kompleksitas yang luar biasa Kemudian disikapi dengan pendekatan primordial seperti itu, ini kan lebih mengkhawatirkan lagi masa depan bangsa ini begitu,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Jumat, 03 November 2023

PEMIMPIN SERAKAH, RAKUS, DAN KEMARUK

Tinta Media - Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk keserakahan setiap orang (Mahatma Gandhi)

Harta dan tahta bisa menjadikan orang serakah, rakus dan kemaruk. Orang rakus bersifat materialistis dan mereka mendambakan uang dan kekuasaan. Mereka gagal memahami perbedaan antara kebutuhan dan keserakahan. Menjadi serakah adalah menjadi egois. Orang rakus kurang empati dan peduli dengan perasaan orang lain bukanlah bagian dari kamus mereka. Benarlah apa yang dikatakan Horace bahwa orang yang tamak selalu kekurangan. Bahkan Joe Meno menyindir bahwa bagaimanapun juga, manusia hanyalah hewan yang tamak.

Dalam sejarah kekuasaan fir’aun, saking rakus dan kemaruknya, dia tak ingin melepaskan kekuasaannya hingga puncaknya mengaku sebagai tuhan dan menolak semua bentuk kebaikan yang didakwahkan oleh Nabi Musa. Rakus, serakah dan kemaruk atas kekuasaan akan menjadikan seorang pemimpin buta hati. Dikatakan bahwa manusia tidak pernah puas, bahwa kamu memberi mereka satu hal dan mereka menginginkan sesuatu yang lebih, kata John Steinbeck. Orang serakah tidak dapat berbuat apa-apa, hanya dapat meningkatkan keserakahan mereka, tegas Mehak Mahajan.

Pemimpin yang serakah, rakus dan kemaruk seringkali tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka miliki dari harta dan kekuasaan. Mereka selalu ingin lebih banyak, terlepas dari sejauh mana keberhasilan atau kepemilikan yang mereka miliki. Pemimpin serakah tak peduli dari mana dia mendapatkan harta, tak peduli halal haram. Mereka juga tak peduli dan membabi buta mempertahankan kekuasaan, hingga diwariskan ke anak cucu. Pemimpin serakah, rakus dan kemaruk bernafsu menambah waktu kekuasaannya hingga seumur hidup jika perlu.

Jika kepemimpinan telah dihinggapi sifat rakus, serakah dan rakus, maka dirinya akan menjadi pemimpin yang kikir. Mereka sulit berbagi kekayaan atau pengetahuan mereka dengan orang lain karena takut kehilangan apa yang mereka miliki. Penguasa yang kemaruk sering kali menunjukkan perilaku kikir, seperti menolak untuk membayar bagi layanan yang mereka nikmati atau enggan memberikan tip kepada orang yang memberikan pelayanan. Mereka selalu berbicara tentang uang, harta, atau kepemilikan material lainnya, dan seringkali mengukur nilai seseorang berdasarkan kekayaan materi.

Pemimpin yang kemaruk mungkin mengambil risiko finansial yang tidak sehat dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak uang atau harta. Mereka sulit bersyukur atas apa yang mereka miliki dan selalu merasa tidak puas meskipun memiliki banyak hal. Pemimpin kemaruk mungkin tidak peduli dengan kebutuhan atau keinginan orang lain dan cenderung egois. Mereka mungkin mencoba menipu atau menyembunyikan informasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun hal itu bisa merugikan orang lain. Dia tidak rela jika orang lain mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan.

Tidak ada malapetaka yang lebih besar daripada keinginan yang berlebihan. Tidak ada rasa bersalah yang lebih besar daripada ketidakpuasan Dan tidak ada bencana yang lebih besar daripada keserakahan, begitu penegasan Lao Tzu. Perkataan ini benar, sebab jika kekuasaan telah dihinggapi rasa rakus dan serakah serta kemaruk maka akan menjadi malapetaka bagi rakyatnya. Dibawah kepemimpinan yang serakah, maka rakyat akan hidup dalam kesengsaraan, ketersiksaan dan kebinasaan.

Keserakahan manusia tidak akan pernah hilang kecuali setelah kematian menjemputnya. Dalam bahasa Arab, serakah disebut tamak yang artinya sikap tak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapai. Karena ketidakpuasannya itu, segala cara pun ditempuh. Serakah adalah salah satu dari penyakit hati. Mereka selalu menginginkan lebih banyak, tidak peduli apakah cara yang ditempuh itu dibenarkan oleh syariah atau tidak. Tak berpikir apakah harus mengorbankan kehormatan orang lain atau tidak. Yang penting, apa yang menjadi kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi.

Jangan serakah sebagai seorang pemimpin, dan jangan mencoba mengambil kekayaan semua orang untuk diri sendiri. Sebab dirinya  tidak akan dapat memiliki semuanya ketika tiba waktu kematian. Sebab kematian akan mendatangi setiap diri manusia, sekaya apapun tidak akan dibawa mati. Andai semua harta dikubur bersama mayatnya, maka dia tinggal seonggok bangkai yang tak berkuasa apapun. Allah telah menegaskan bahwa ketamakan dilarang dalam ajaran Islam.

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (QS At Takatsur : 1-7)

Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin) (QS Al Qalam : 17-18).

Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048).

Jika ada seorang pemimpin selalu menunpuk harta tanpa henti, bersifat kikir, ingin berkuasa selama mungkin, ingin mewariskan kekuasaan kepada anggota keluarganya, tidak mau mendengarkan nasihat kebaikan, berbuat curang demi kepentingannya, memusuhi orang-orang yang mengkritiknya, maka itulah para pemimpin yang telah terserang penyakit serakah, rakus dan kemaruk. Adakah pemimpin seperti itu di negeri ini ?.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 23/10/23 : 21.33 WIB)

* Oleh: Dr. Ahmad Sastra*
_Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa_

Kamis, 02 November 2023

IJM: Rakyat Seharusnya Tidak Mendukung Politik Dinasti


 
Tinta Media - Menanggapi munculnya praktek politik dinasti, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM)  Agung Wisnuwardana mengatakan seharusnya rakyat tidak mendukungnya.
 
“Rakyatlah yang harus tanggap dan tidak mendukung politik dinasti, karena akan mendorong praktik penyelenggaraan negara yang tidak sehat penuh intrik dan juga KKN, “tuturnya dalam video: Di Bawah Bayang Dinasti, melalui kanal Youtube Justice Monitor,  Kamis, (27/10/2023).
 
Ia menambahkan, dalam politik dinasti sangat mungkin karakter pemimpinnya itu rakus, kemaruk kekuasaan dan tidak punya rasa malu.
 
“Dinasti politik, membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan, sebaliknya orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga,” tegasnya.
 
Jika anggota keluarga berada langsung di kekuasaan, terangnya,  aji mumpung akhirnya menguasai jiwa kepemimpinan keluarga, terkesan negara ini juga punya keluarga.
 
Di samping itu, ucapnya,  semangat untuk melayani masyarakat rentan tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugasnya.
 
“Jika ini  dibiarkan gurita kekuasaan keluarga akan menjalar ke semua bidang kenegaraan baik eksekutif legislatif maupun yudikatif,” pungkasnya. [] Muhammad Nur
 
 

Selasa, 31 Oktober 2023

IJM: Putusan MK Tidak Konsisten Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres

Tinta Media - Menanggapi putusan MK tentang batas usia minimal Capres Cawapres berumur 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menilai MK tidak konsisten.

“MK tidak konsisten dalam menangani dan memutuskan uji materi yang seharusnya menjadi ranah pembuat undang-undang yaitu DPR dan pemerintah, namun diambil alih oleh MK,” ujarnya dalam tayangan Putusan MK Seperti Drama Korea? Di kanal YouTube Indonesia Justice Monitor (18/10/2023).

Ia menjelaskan bahwa MK dinilai sebagian publik bermain-main saat memutus uji materi Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal itu mengatur soal batas usia minimal capres cawapres berumur 40 tahun. Khususnya terkait dengan berbagai permohonan soal syarat usia.

"Pagi kemarin yang ditolak hanya yang diajukan oleh partai yang dipimpin ponakan. Tapi kemudian materinya dikabulkan lewat permohonan lain. Permohonan uji materi ini terdaftar dengan nomor 29/PUU-XXI/2023. MK menggelar sidang pembacaan putusan pada Senin pagi pukul 10 WIB," jelasnya.
 
Ia mengungkapkan, permohonan uji materi ini dikaitkan warga net sebagai ikhtiar mendorong Putra Sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2024. Usia Gibran masih 36 tahun. Keputusan MK menolak permohonan uji materi ini disambut gembira sebagian masyarakat Indonesia. 

“Namun jika pagi sebagian publik bergembira, maka siang harinya hingga sore hari dinilai giliran keluarga besar presiden Joko yang senang. Alasannya, MK mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah,” ungkapnya.

“Gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu dilayangkan oleh seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa konsekuensi dari putusan MK itu membuat kekuasaan saat ini berpeluang untuk mengokohkan dinasti politik. "Sehingga dikhawatirkan otoritarianisme semakin mapan sampai-sampai konstitusi dan pengawal konstitusi tunduk pada kehendak pihak tertentu," jelasnya.

"Inilah kenyataan dinamika politik di negeri ini bahkan sebagian publik menilai terlalu panjang dan berliku," tegasnya.

Ia menduga bahwa ini sebagai usaha Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan, indikasinya di mulai dari upaya tersebut, dari usaha memperpanjang masa jabatan, kemudian mendorong masa jabatan presiden. "Sampai pada akhirnya membuka peluang bagi anaknya Gibran menjadi kontestan Pilpres 2024," tuturnya.

“Dengan adanya upaya untuk mempertahankan kekuasaan, muncul isu miring di masyarakat ada sesuatu yang dikhawatirkan Jokowi terkait persoalan hukum," imbuhnya.

Agung berharap agar masyarakat semakin cerdas menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi ini. 

“Mulai dari sekarang kita harus menatap masa depan menatap ke depan terus berbenah kembali kepada syariah Islam. Jangan sampai memberikan karpet merah bagi sistem kapitalisme dan oligarki untuk berkuasa,” pungkasnya.[] Azzaky Ali

Analis: Putusan MK by Design dan Jalan Khusus Gibran Jadi Cawapres

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah by design dan jalan khusus menjadi Cawapres. 

“Putusan MK itu memang putusan yang by design? By design seperti apa? Putusan untuk memberikan jalan khusus kepada Gibran untuk bisa menjadi Cawapres,” ujarnya kepada Tinta Media, Ahad (29/10/2023). 

Menurutnya, ada tiga alasan kenapa putusan MK tersebut adalah by design. 

Pertama, yang menarik disini katanya, adalah MK mengabulkan gugatan bahwa usia Cawapres itu minimal 40 tahun. Tetapi dia ternyata juga mengabulkan gugatan bahwa seorang kepala daerah yang berusia kurang dari 40 tahun boleh juga diajukan menjadi Cawapres. “Jadi saya kira ini by design yang pertama,” ungkapnya. 

Kedua, adalah kebetulan ketua MK-nya yaitu pamannya Gibran. Sehingga muncul berita yang santer menyatakan bahwa desakan mencalonkan Gibran menjadi cawapres itu berasal dari lingkaran relawan-relawan Jokowi. 

Rupanya, singgung Fajar, desakan-desakan itu dalam enam bulan terakhir ini semakin menguat. Dari situlah kemudian disampaikan aspirasi itu kepada adiknya presiden yang kemudian menyampaikan kepada suaminya yang ketua umum MK itu.

Walaupun mungkin, ungkap Fajar, pada awalnya tidak dianggap tetapi karena desakan-desakan itu terus bergulir maka akhirnya dipertimbangkan dan diputuskan. 

“Hal ini tentu karena Jokowi sangat ingin akan legacy yang dibagun selama ini bisa dilanjutkan oleh orang-orang yang diyakini bisa dipercaya begitu,” bebernya. 

“Terlebih mungkin dalam rangka untuk melindungi kepentingan keluarga Jokowi pasca lengser begitu,“ imbuhnya. 

Ketiga, adalah dari sisi Gibran sendiri. Menurutnya, sejak awal anak ini bersikap ambigu. Bolak-balik ditanya tentang pengusungan menjadi cawapres begitu saja gak jelas. Kalau dia punya sikap, punya ketegasan dan tidak mau atau tidak punya ambisi ke arah sana, ya dia bisa menolak dengan tegas bahwa saya tidak berniat atau punya niat mencalonkan atau dicalonkan menjadi bakal calon presiden. 

Tapi dari awal anak ini kan selalu menghindar, selalu mengulur dan seterusnya. “Ini sebenarnya menggambarkan dalam enam bulan ini dikondisikan agar memang pada waktunya nanti Gibran yang eligible (memenuhi syarat) untuk menjadi bakal Cawapres gitu,” ungkapnya. 

Carut Marut

Dari sini, papar Fajar, menggambarkan betapa carut marutnya aspek hukum pada MK ini. Khususnya yang seharusnya tidak masuk dalam ranah substansi atau menambahkan substansi perundang-undangan tetapi malah menambahkan. 

“Jadi yang bermasalah di sini adalah penambahan kalimat oleh MK, “Atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung” kan gitu,” singgungnya. 

Padahal menurutnya, persyaratan itu yang harusnya masuk dalam open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. 

“Nah, kebijakan hukum terbuka itu adalah kewenangannya si pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah gitu,” terangnya. 

“MK sebenarnya tidak punya hak untuk menambahkan substansi perundang-undangan, tetapi dia hanya mengkaji apakah UU itu sah atau tidak,” tandasnya. [] Langgeng Hidayat

Gus Uwik: Politik Dinasti Tidak Diperbolehkan dalam Islam

Tinta Media - Terkait putusan MK yang dinilai memuluskan putra Presiden Jokowi untuk bisa ikut dalam kontestasi pilpres 2024, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik menegaskan bahwa politik dinasti tidak diperbolehkan dalam Islam.

"Politik dinasti tidak diperbolehkan dalam Islam," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (28/10/2023).

Adanya politik dinasti dengan kasus Gibran, katanya, walau berbeda namun ada kemiripan. Proses peralihan kekuasaan dengan adanya putra mahkota, atau kekuasaan diwariskan pada anggota keluarganya. Ini melanggar kaidah rida dan ikhtiyar dalam bai'at itu sendiri. 

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam Islam memilih pemimpin itu bebas, tidak ada paksaan.

"Islam mensyaratkan dalam memilih pemimpin harus bebas, tidak ada paksaan pemilihan calon, apalagi saat memilihnya," ujarnya.

Adanya putra mahkota, imbuhnya, menunjukkan rakyat 'di paksa' menerima pilihan raja sebelum atas siapa yang nanti akan meneruskannya, rakyat wajib menaatinya. Ini bertentangan dengan Islam.

Rezim Brutal

Gus Uwik, sapaan akrabnya juga menilai bahwa putusan MK mengindikasikan rezim saat ini telah merusak tatanan perpolitikan yang ada.

"Rezim dengan sadar 'merusak' tatanan perpolitikan yang ada. Jika ada aturan yang menghalangi nafsu politiknya maka aturan itu akan diubah melalui perangkat kekuasaannya. Termasuk keluarga yang menduduki posisi jabatan strategis. Tidak peduli lagi kepentingan rakyatnya. Semua dikorbankan untuk kepentingan nafsu politik diri dan keluarganya," cecarnya.

Jelas, tegasnya, ini membahayakan kehidupan berpolitik dan menjadi legasi buruk bagi rezim yang ada. Ternyata brutal dalam berpolitiknya, menghalalkan segala macam cara untuk meraih kepentingannya. 

Terakhir, ia mengatakan ketika rezim brutal dalam perpolitikan, maka ketika berkuasa akan semakin brutal dan rakyat akan kembali menjadi korban.

"Untuk kepentingan nafsu politiknya saja berani dan brutal mengutak-atik peraturan, apalagi nanti saat berkuasa. Maka akan lebih brutal lagi. Karena punya kuasa dan power. Ujungnya rakyat yang menjadi korban," pungkasnya.[] Nur Salamah

PKAD: Putusan MK Terkait Batas Usia Minimal Capres Cawapres di Luar Kepantasan dan Kepatutan Etika Politik

Tinta Media - Analis Senior Pusat Kajian dan Data Analisis (PKAD) Fajar Kurniawan menilai bahwa putusan MK mengenai batas usia minimal capres cawapres sudah di luar kepantasan dan kepatutan etika politik.

“Saya kira ini sudah diluar kepantasan dan kepatutan etika politik,” ujarnya kepada Tinta Media, Ahad (29/10/2023). 

Hal tersebut, menurutnya, karena proses pengkondisian memang sengaja dilakukan sedemikian rupa, meskipun awalnya itu usulan dari relawan. Namun Jokowi melihat ini adalah sesuatu yang masuk akal. Maka selebihnya tinggal diatur-atur karena kewenangan ada di tangan presiden.

“Ini menunjukkan bagi kita bagaimana kekuasaan itu bisa memuluskan proses pencalonan dari Gibran walaupun dengan cara yang sangat kasar,” bebernya.

Ketakutan

Fajar melihat, sikap Jokowi yang mempengaruhi proses keputusan MK di atas, itu didorong oleh dua hal, apakah dia benar-benar ingin memastikan bahwa apa yang dia rintis itu betul bisa diwujudkan atau bisa juga perspektif ketakutan. 

“Ketakutan apa? Karena banyak kebijakan-kebijakan yang problematik selama Jokowi menjabat. Maka siapapun penggantinya bisa jadi kemudian akan memperkarakan Jokowi,” tegasnya. 

Fajar kemudian mencontohkan kebijakan yang problematik itu dari masa pemerintahan Jokowi ini. Seperti proyek IKN yang menginvestasikan ratusan triliun dan menyeret keuangan negara. Belum lagi kereta cepat Jakarta-Bandung yang jebol juga. Kemudian UU Omnibuslaw, pulau Rempang, dan masih banyak lagi. Yang bisa jadi ketika dia lengser akan diperkarakan dan diangkat kembali di depan pengadilan. “Nah ini yang menurut saya lebih dominan motifnya Jokowi,” terangnya. 

Oleh karena itu, simpul Fajar, masuk akal kalau kemudian menyerahkan itu kepada darah dagingnya sendiri yaitu Gibran. Apalagi hanya Prabowo yang bisa dipercaya oleh Jokowi untuk menggaransi bahwa dia bisa smooth landing, dia bisa berhenti dengan nyaman, bisa tidur dengan nyenyak setelah dia tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI.

“Dan itu bisa dilihat dari sosok Prabowo yang dikawal dengan Gibran yang bisa menguatkan Prabowo,” tandasnya. [] Langgeng Hidayat

Putusan MK tentang Batas Usia Capres Cawapres, Siyasah Institute: Mestinya Berkeadilan dan Tidak Mengakal-akali

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengatakan, semua orang punya hak yang sama berkarir politik, akan tetapi mekanisme yang dipakai mestinya berkeadilan dan tidak mengakal-akali aturan.

"Sebenarnya siapa saja punya hak yang sama berkarir politik, akan tetapi mekanisme yang dipakai mestinya berkeadilan dan tidak mengakal-akali aturan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (28/10/2023).

Iwan mengutip komentar mantan ketua MK, Prof Jimmly Asshiddiqie berjalan dengan akal bulus dan akal fulus. Banyak pihak menduga kuat ada rekayasa terhadap konstitusi dalam hal ini.

"Tapi begitulah demokrasi, hukum dibuat manusia. Jadi manusia juga merasa berhak untuk mengubah aturan sesuai kepentingan politik mereka," cetusnya.

Putusan MK menurut Iwan, itu sudah dugaan kuat demikian. Bukankah hakim Mahkamah Konstitusi saja sudah ada yang begitu kecewa dengan keputusan MK kemarin. Baru kali ini secara terang-terangan ada rezim yang sibuk mempertahankan kekuasaannya dengan mengokohkan dinastinya. 

Ini tandanya, tegasnya, bahwa demokrasi itu memang tidak membutuhkan rakyat. Rakyat hanya dibutuhkan untuk memilih penguasa dan wakil rakyat yang sudah ditentukan oleh parpol dan penguasa. "Setelah mereka berkuasa, rakyat dicampakkan. Aturan mereka buat sekehendak penguasa," simpulnya.

Direktur Siyasah Ini mengungkapkan akan bahaya politik dinasti akan membuka peluang besar abuse power, penyelewengan kekuasaan. "Kata Lord Acton; power attend to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sulit bagi rakyat mengontrol kekuasaan. Ini sudah terjadi di daerah-daerah, berbagai jabatan diduduki orang terdekat, berbagai proyek dikuasai sanak famili. Bahaya," katanya sambil mengingatkan.

Iwan mengulas bahwa dalam Islam siapa saja punya hak untuk berkompetisi dalam kekuasaan. Tapi Islam mengingatkan bahwa bila penunjukkan kekuasaan itu karena kedekatan, bukan karena kelayakan, "Maka itu pengkhianatan terhadap amanah. Tunggu saja kehancurannya," tandasnya.

"Para sahabat dan orang-orang salih menolak kerabat mereka menduduki jabatan dan menikmati harta kekayaan negara. Khalifah Umar menolak pencalonan anaknya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menolak tawaran harta Baitul Mal untuk anak-anaknya," pungkasnya. [] Muhammad Nur

Sabtu, 28 Oktober 2023

Putusan MK Tentang Batas Usia Minimum Capres-Cawapres, IJM : Ini Semua by Design

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait usia minimum pencalonan Capres Cawapres, Direktur IJM (Indonesia Justice Monitor), Agung Wisnuwardana menilai bahwa ini semua by design.

"Ya, jadi saya melihat ini semua by design dan diduga kuat ada peran Jokowi di balik ini semua," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).

Dan tentu ada peran oligarki, lanjutnya, yang menginginkan ada keberlanjutan program-program Jokowi ke depan, yang tentu banyak menguntungkan kalangan oligarki dan para kapitalis .

Ia beranggapan bahwa previllege Jokowi itu sangat kuat sekali. Tentu yang diharapkan dari previllige itu apa, organ-organ atau alat kekuasaan bisa digunakan sebagai sarana untuk memenangkan pemilihan umum. 

"Inikan yang saya katakan sangat berbahaya. Ujungnya proses-proses politik yang demikian ini akan berujung pada otoriatanisme," jelasnya.

Agung menegaskan otoriatanisme itu semakin nyata hari ini, sampai konstitusi dan pengawal konstitusi pun tunduk kepada pihak yang punya otoritas, dalam hal ini Pak Jokowi beserta semua pihak yang menginginkan Gibran maju Cawapres.

"Bagaimana putusan MK yang dikatakan mahkamah garda terdepan penjaga konstitusi pun bisa diobok-obok sedemikian rupa?" tanyanya kesal.

Ini yang sangat disayangkan, dan ujung politik yang demikian, nanti akan membangun sebuah fenomena, kata Lord Acton itu dengan adagium "power tends to corrupt and the absolutely power tends corrupt to absolutely", kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. 

Agung membeberkan di balik ini semua ada isu tentang ekspor ilegal nikel. Ada informasi yang menjerat Luhut Binsar terlibat di dalamnya, dan menantu Presiden terlibat di dalamnya. Ada informasi juga, ekspor ilegal ini masuk ke tangan Jokowi. 

"Nah, ini kan rumit dan proses ini ujungnya nanti kekuasaan itu yang dominan dan cenderung absolut gitu. Dan ini menimbulkan kekuasaan yang otoriter," pungkasnya.[] Nita Savitri

Jumat, 27 Oktober 2023

Ulama Aswaja: Putusan MK Mengenai Batas Usia Capres Cawapres Hanya Cermin Buruk Demokrasi


Tinta Media - Putusan MK mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dinilai Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib sebagai cermin buruk negara demokrasi.

“Itulah Oligarki..., maka apa yang terjadi sekarang, hanyalah cermin buruk negara demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).

Menurutnya, putusan MK itu mengkonfirmasi apa yang selama ini menjadi opini di tengah masyarakat bahwa putusan hakim bisa dipesan oleh yang pegang kuasa. Penjelasan hakim MK Saldi Isra dalam dissenting opinion  dengan gamblang menjelaskan hal tersebut. 

“Dia tak habis pikir, bagaimana bisa dua hal yang sama, yakni gugatan batas usia 40  tahun ditolak, sedangkan berpengalaman menjadi kepala daerah bisa diterima. Padahal kasusnya serupa, bahwa ketentuan tersebut menjadi kewenangan pembuat undang-undang,” tuturnya menanggapi penjelasan hakim MK Saldi Isra.

“Jika MK yang sering disebut sebagai penjaga konstitusi bisa seperti itu, bagaimana dengan hakim di pengadilan tingkat di bawahnya?” tanyanya kemudian.

Menurutnya, putusan MK ini mengindikasikan jalan Gibran agar bisa ikut pilpres 2024 dan diharapkan dapat meneruskan kekuasaan Jokowi. 

“Ya, jelas sekali. Jika bukan untuk Gibran, mengapa keputusan beberapa hari menjelang pendaftaran? Begitu keluar putusan, Gibran langsung didaftarkan,” tegasnya.

Ia menilai inti politik dinasti adalah mengangkangi kekuasaan untuk diri dan keluarganya. “Tentu saja, yang menjadi fokus adalah bagaimana kekuasaan tetap dipegang dinastinya,” nilainya.

Untuk itu, menurut Ustadz Labib berbagai cara akan ditempuh untuk  mempertahankannya. Semua batasan akan diterobos jika menghalangi nafsu kuasanya. “Kasus putusan MK itu jelas menunjukkan demikian,” ujarnya.

“Ketika terjadi, maka tidak ada kepentingan rakyat. Rakyat hanya atas nama, tetapi faktanya demi dinasti,” tambahnya.

Pandangan Islam

Ustadz Labib menjelaskan bahwa Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu milik umat. Umat yang berhak menentukan siapa yang menjadi penguasa mereka. “Namun patut ditekankan, bahwa kekuasaan hanya untuk menjalankan kedaulatan syara’,” jelasnya.

Lebih lanjut ia jelaskan bahwa itu artinya, penguasa tidak hak membuat Undang-undang, apalagi mengubah undang-undang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Sebab, undang-undang itu harus didasarkan kepada dalil syara’. 

“Bahkan seandainya para penguasa dan semua rakyat berkumpul untuk mengubah ketentuan syara’, tidak diperbolehkan,” tegasnya.

Menurutnya inilah yang membedakan secara fundamental dengan demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sehingga hukum dan undang-undang bisa diubah kapan saja sesuai kesepakatan. 

“Di sinilah secara faktual hukum mengabdi kepada para pemegang kekuasaan, baik politik maupun ekonomi,” pungkasnya.[] Raras

Kamis, 26 Oktober 2023

PAKTA: Putusan MK Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres Bukti Bobroknya Demokrasi

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan bahwa itu bukti bobroknya demokrasi.
 
“Keputusan MK ini menurut saya itu menunjukkan bukti bobroknya demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (25/10/2023).
 
Erwin beralasan, kalaulah MK itu berfungsi untuk meluruskan semua regulasi yang tak sejalan dengan konstitusi, ini justru MK itu sendiri telah merontokkan konstitusi.
 
“Jadi bukan lagi Mahkamah Kontitusi di tengah-tengah masyarakat malah berkembang menjadi mahkamah keluarga. Kenapa mahkamah keluarga? Karena dengan sendirinya klausul ini, ini menjadi karpet merah untuk Gibran,” ulasnya.
 
Erwin menerangkan, yang memutuskan itu adalah paman Gibran, presiden Indonesia itu adalah Jokowi, bapaknya Gibran. “Jadi apapun yang terkait dengan pasal ini senantiasa ini pasti terhubung dengan Gibran. Jadi, ini merupakan karpet merah untuk Gibran,” imbuhnya.
 
Terus Berkuasa
 
Dalam penilaian Erwin, putusan MK ini merupakan bagian dari ambisi Jokowi untuk senantiasa terus berkuasa.
 
“Setelah upaya-upaya yang dia lakukan untuk bertahan tiga periode itu gagal karena banyak hal, akhirnya dia berusaha untuk diteruskan oleh keluarganya. Siapa yang paling mungkin? Yang paling mungkin adalah Gibran. Nah, jadi ini merupakan upaya untuk melanggengkan ambisi Jokowi untuk terus berkuasa,” bebernya.
 
Menurutnya, dinasti politik semacam ini sangat berbahaya bagi rakyat dan negara, karena akan menutup celah bagi orang lain yang jauh lebih kapabel, yang jauh lebih mampu, yang jauh lebih memiliki kapasitas untuk berkuasa.
 
 “Yang berkuasa itu pada akhirnya adalah anaknya penguasa sekarang. Apakah mampu atau tidak itu menjadi nomor sekian. Dia enggak cakap, itu nomor sekian, dia tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki integritas, itu nomer sekian. Akhirnya kondisi negara yang memang sudah amburadul tidak kunjung bisa diperbaiki,” sesalnya.
 
Islam
 
Erwin lalu membandingkannya dengan Islam. “Dalam Islam isu politik dinasti itu sama sekali tidak ada, karena Islam itu paradigma politiknya adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan masyarakat),” ujarnya.
 
Maka dengan sendirinya, ia melanjutkan,siapa di antara orang-orang terbaik dalam Islam yang mampu untuk mengurus urusan masyarakat dengan cara yang baik akan diserahi amanah kepemimpinan.
 
“Apakah bapaknya sudah menjadi khalifah, kemudian anaknya ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan bapaknya bahkan mungkin lebih baik dibanding bapaknya tidak masalah,” tambahnya.
 
Ini, ucapnya, berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi politik itu bukan pengurusan terhadap urusan rakyat tetapi politik bermakna kepentingan.
 
“Kepentingan yang dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan bahkan dengan sendirinya perundang-undangan itu dibuat akan berpihak kepada yang membuat dan juga keluarga yang membuat. Pada akhirnya negeri ini bukan menjadi milik rakyat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab