Dinasti Parpol Lumrah dalam Demokrasi
Tinta Media - Pernyataan Bamsoet (Ketua MPR RI) yang menyatakan bahwa kita tidak butuh oposisi, kita butuh gotong royong adalah pernyataan yang sangat politis dan berpotensi menjadikan negara menjadi negara kekuasaan (maacstaat) dan bukan negara hukum (rechtsstaat) jika pernyataan ini dijadikan tujuan politik.
Pernyataan politik ini ditujukan khususnya kepada parpol yang berpotensi menjadi oposisi pasca pilpres. Keberadaan oposisi dianggap akan "mengganggu" kekuasaan dan menghambat kepentingan mereka. Tanpa oposisi mekanisme check and balance tidak akan berjalan, kebijakan tanpa kritik akan sangat berbahaya dan merugikan negara dan masyarakat.
Koalisi parpol yang didasarkan pada kepentingan pribadi atau golongan akan menjadikan negeri ini negara kekuasaan (maacstaat). Pasalnya, kepentingan segelintir orang mengeliminasi kepentingan negara ataupun rakyat. Ketiadaan oposisi akan memuluskan kepentingan rezim, bahkan korupsi dan otoriter pun akan berjalan lancar ketika tanpa oposisi. Imbasnya, rakyatlah yang kemudian menanggung akibat kebijakan yang pro oligarki tersebut.
Sarat Kepentingan dan Konflik
Sebenarnya, tidaklah mengherankan ketika politik senantiasa penuh dengan kepentingan. Hanya saja, pertanyaannya adalah kepentingan siapa yang kemudian diakomodasi; rakyat, negara, atau justru oligarki?
Dalam sistem demokrasi, jual beli jabatan politik menjadi hal yang lumrah. Sistem yang ada, mengakomodasi kepentingan elite politik sedemikian rupa hingga akhirnya terbentuk oligarki dan dinasti politik. Biaya politik yang tinggi berpengaruh besar membentuk oligarki, para kapitalis mengambil peran membantu pembiayaan saat momen pemilu dengan syarat pasca terpilih harus ada timbal balik yang diberikan bahkan diantaranya ada yang turut terjun dalam politik.
Politik balas budi menjadi suatu keharusan yang dilakukan diantaranya dengan bagi-bagi jabatan, meloloskan kebijakan pro oligarki, deal-deal politik, backing kriminalitas, dan seterusnya. Bahkan, demi meraih hal ini tak jarang korupsi dan kebijakan tangan besi dilakukan sebagaimana diantaranya tertuang dalam UU Omnibus Law yang banyak menuai kritik namun tetap disahkan.
Inilah relasi antara oligarki dan elite politik, ke semuanya bersatu demi kepentingan masing-masing. Sementara itu perbedaan kepentingan politik akan menimbulkan konflik berkepanjangan, saling sandera kepentingan dan kasus, dan seterusnya. Namun di sisi lain jika kepentingan politiknya sama, perbedaan sebesar apa pun akan diabaikan, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa keruntuhan khilafah Utsmani dimana negara Barat saat itu bersatu meruntuhkan khilafah dan mengabaikan konflik sengit diantara mereka sebelumnya.
Tugas Partai Politik
Tugas partai politik adalah sebagai pendidik bagi masyarakat dan sebagai kelompok penyeimbang bagi penguasa. Dalam Islam dikenal istilah muhasabah lil hukkam (Kritik kepada penguasa), keberadaan partai politik menjadi fardhu kifayah bagi kaum muslimin sebagaimana yang tercantum dalam Ali Imran: 104. Muhasabah lil hukkam ini berlaku dalam sistem Islam ataupun sistem selain Islam. Artinya, partai politik menjadi pengoreksi atas kebijakan penguasa yang lalai dan menyalahi syari'at, mengabaikan kepentingan umat, serta mendorong umat untuk bergerak menuju puncak kemuliaannya. Syari'at yang baku menjadikannya tidak mudah dimanipulasi oleh segelintir orang, mencegah terjadinya dinasti politik, serta adanya sanksi bagi yang melanggarnya.
Oleh: Ghea R. Dyanda (Aktivis Islam Jember)