Tinta Media: Dicekik
Tampilkan postingan dengan label Dicekik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dicekik. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 November 2022

Mahasiswa Dicekik Utang Ribawi, Iwan Januar: Berpikirlah Waras dan Syar’i!

Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengajak anak-anak muda agar berpikir waras dan syar’i.

“Anak-anak muda saatnya berpikir waras dan syar’i soal bisnis,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (17/11/2022).

“Kalau tidak, siap-siaplah nyungsep dalam jerat utang,” tambahnya.
 
Ia menyontohkan seperti yang dialami ratusan mahasiswa IPB yang terjerat utang pinjaman online sampai didatangi para debt collector. Terbuai iming-iming keuntungan bisnis online, para pelaku ini nekat mengambil pinjaman online yang disodorkan pada mereka. “Tapi cicilan utang plus bunga yang harus dibayarkan ternyata lebih besar ketimbang keuntungan bisnis, jatuhlah mereka dalam debt trap,” jelasnya.

Iwan sepakat dengan pernyataan pengamat keuangan, Piter Abdullah, dalam Republika online kalau kejadian ini perpaduan sifat tamak dan kurang literasi. Soal yang pertama, anak-anak muda belakangan dibombamdir bisnis menjual mimpi. Tagline muda, sukses, kaya raya bersliweran di media sosial, buku-buku dan ragam pelatihan bisnis. Iming-iming coaching bisnis lebih banyak menjual mimpi ketimbang memberikan literasi bisnis yang benar. “Tidak jarang para coach itu tidak punya bisnis riil, kecuali ya dengan bisnis coaching bisnis,” paparnya. 

Diungkapkan pula bahwa rakyat juga makin tergiur ingin buru-buru sukses dan kaya karena dihajar budaya flexing alias pamer kekayaan maksimal. Selebritis, pengusaha muda, pengacara, atau siapapun yang kaya. Kalau dulu orang Indonesia dibuai kekayaan lewat sinetron-sinetron domestik yang menyajikan rumah mewah, mobil mewah, dsb. Sekarang warga disodori kemewahan lewat media sosial. “Lewat medsos, anak-anak muda bisa mengintip jam tangan artis atau pengusaha muda, makan siang di mana, merk dan jenis mobilnya, bajunya, berenang dan liburan dimana,” ungkapnya.

Bagi warga biasa, menurutnya juga anak-anak muda, konten-konten seperti itu selain hiburan juga menginspirasi atau tepatnya jadi mimpi. Sementara buat para selebritis, akun mereka juga sumber cuan. Makin banyak follower, like dan subscriber, makin banyak cuan yang masuk rekening mereka. “Di antara konten yang disukai warga adalah flexing, pamer kekayaan,” tuturnya.

Iwan menilai anak-anak muda ini miskin literasi bahwa bisnis itu ada ilmunya dan perlu pengalaman. Bahwa untuk membuat segelas kopi enak saja perlu belajar serius jadi barista. Untuk membuat mie instan ala abang-abang warmindo ada teknik yang kudu dipelajari. “Belum lagi siap mental untuk jatuh bangun sebagai pengusaha,” ujarnya.

Tapi, dasar manusia, apalagi anak-anak muda, lebih mudah terbujuk dengan bisnis yang mudah, tinggal rebahan, pemasukan datang. “Kalimat ‘pasive income’ itu beneran membuat banyak orang tersihir untuk cari bisnis yang gampang, cukup rebahan, tapi ada pemasukan,” paparnya.

Utang Ribawi

Utang ribawi menurut Iwan belum cukup. “Karena persoalan yang paling dasar soal ratusan mahasiswa terjerat pinjol, adalah berjalannya sistem kapitalisme yang menghalalkan pinjaman ribawi,” jelasnya.
 
Ia menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, utang atau pinjaman adalah bisnis. Bukan aktivitas sosial. Tak ada makan siang gratis. Lembaga keuangan memberi pinjaman benar-benar mencari keuntungan. Revolusi teknologi digital menjadikan bisnis pinjaman jadi lebih mudah, cepat, dan bisa diakses siapa saja. “Termasuk anak-anak muda seperti para mahasiswa ini,” jelasnya.

“Mungkin dengan niatan ingin punya penghasilan, meringankan beban orang tua, atau juga termakan iming-iming sukses finansial di usia muda, ramai-ramailah ajukan pinjaman lewat aplikasi online. Ujung-ujungnya seperti tikus masuk jepitan perangkap,” lanjutnya.

Iwan memaparkan soal mahasiswa terjerat utang jauh lebih sadis di Amerika Serikat. Ribuan mahasiswa negeri kapitalis itu jatuh dalam apa yang disebut ‘student trap’, perangkap utang mahasiswa untuk biaya kuliah. “Penyebab semua itu adalah mahalnya biaya perkuliahan di sana,” paparnya.

Diterangkannya bahwa sejak tahun 1978, biaya kuliah di AS naik hingga 1.120 persen. Banyak keluarga dan anak muda AS yang tidak sanggup bayar uang kuliah dari kocek sendiri. Solusinya mereka mengajukan pinjaman pada sejumlah bank atau lembaga keuangan yang disebut program student loan. Rata-rata mahasiswa AS punya total pinjaman pada kisaran US$ 26,950 – US$ 31,450. Kalau dirupiahkan kisarannya Rp 421 juta hingga Rp 491 juta. “Pusing, tidak?” tanyanya.

Total utang mahasiswa di AS tembus US$1,6 triliun, menempati urutan kedua daftar utang terbesar setelah perumahan. Banyak di antara mahasiswa tersebut yang gagal bayar dan harus drop out dari kampus dengan tetap masih menanggung utang. Pada tahun 2015-2016 diperkirakan ada 3,9 juta mahasiswa harus cabut dari kampus karena kehabisan uang. Hal ini mendorong Presiden Joe Biden membuat kebijakan pemutihan alias penghapusan utang mahasiswa di AS. “Tapi rencana ini ditentang sejumlah ekonom karena dicemaskan justru akan mendorong inflasi di AS,” terang Iwan.

Solusi Islam

Iwan menjelaskan persoalan utang piutang sebenarnya sudah tuntas dalam Islam. “Sedari awal Islam sudah menetapkan bahwa utang atau pinjaman adalah amal salih sebagai nilai sosial. Memberi bantuan pinjaman pada sesama itu berpahala,” jelasnya dengan menyampaikan sabda Nabi Saw 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah).

Ditambahkannya bahkan agama ini mendorong orang yang memberikan pinjaman untuk senantiasa memudahkan pembayaran, meski tentu saja juga mendorong orang yang berutang untuk segera membayar pinjamannya. Nabi Saw bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad)

Ia menegaskan soal riba, tak ada toleransi terhadapnya. Islam memerangi praktik riba dalam muamalah, termasuk dalam utang piutang, baik nilainya kecil maupun besar. Allah Swt. Berfirman, yang artinya:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (TQS. al-Baqarah [2]: 275).

Utang piutang adalah amal yang dihalalkan dalam agama. Seorang muslim dianjurkan saling tolong menolong, baik dengan bersedekah atau dengan memberi pinjaman. “Yang terlarang adalah praktik utang ribawi, karena itu diharamkan dan mencekik leher orang yang membutuhkan,” jelas Iwan.

Sedangkan untuk keperluan bisnis, Ia memaparkan Islam juga sudah membuka jalan melalui hukum-hukum syirkah. “Sistem usaha yang diajarkan Islam adalah riil, mengedepankan usaha dan kerja keras, dan bukan iming-iming atau jualan mimpi,” paparnya.

Apalagi soal biaya pendidikan, ia menegaskan Islam mewajibkan negara untuk menanggung biaya pendidikan rakyatnya; mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk doktoral sekalipun. Mencari ilmu adalah perkara fardhu, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin selain berkorban biaya, juga kewajiban Negara Islam untuk menanggung seluruh biaya tersebut. “Negara tidak boleh membisniskan pendidikan pada rakyatnya, sebagaimana juga tidak boleh membisniskan kesehatan,” tegasnya. 
Nabi Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

”Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari).

Yang tidak kalah penting, menurut Iwan adalah Islam juga mendidik umat, termasuk anak-anak muda, untuk menjadi pribadi-pribadi yang qonaah, merasa cukup, dan menjauhkan diri dari jiwa serakah dan panjang angan-angan (tulul amal). Siapapun yang membaca biografi Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf, atau ulama yang kaya seperti Abdullah bin Mubarak, maka yang diceritakan adalah tentang kesalihan dan kedermawanan mereka. “Bukan kiat sukses apalagi flexingnya,” tuturnya.

Ia mempertanyakan entah bagaimana ceritanya, selalu ada ustadz atau coach bisnis Islam yang malah mengiming-imingi jamaah agar menjadi orang kaya, sehingga malah melenceng dari karakter para sahabat dan ulama-ulama tadi.

“Maka persoalan utang ribawi apakah via pinjol atau lembaga keuangan macam perbankan tidak akan pernah tuntas selama warga Indonesia masih hidup di alam kapitalisme. Praktik ribawi masih jalan, sedangkan rakyatnya dibuai dengan mimpi-mimpi kenikmatan jadi orang kaya. Hancur sudah,” ujarnya.

Ia mempertanyakan kenapa di kampus yang mahasiswanya mayoritas muslim malah terjerat utang ribawi? Bisa jadi ini efek kebijakan kontra radikalisme di kampus-kampus, sehingga dakwah di lingkungan mahasiswa makin dibonsai, dibatasi ruang geraknya, sampai-sampai tak bisa menyampaikan seruan kalau utang ribawi itu haram. “Nah, makin jelas siapa yang bertanggung jawab,” tandasnya. [] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab