Tinta Media: Desa
Tampilkan postingan dengan label Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Desa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Agustus 2024

Gerbang Kemakmuran Desa, Sekadar Fatamorgana



Tinta Media - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pembangunan desa memiliki peran sentral dalam mengurangi kesenjangan dengan pembangunan antarwilayah. Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (antaranews.com/31-7-2024)

Selama ini, pembangunan desa kerap diklaim dapat memeratakan pembangunan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat desa. Namun, realitanya tidak demikian. Hingga hari ini, masih banyak penduduk miskin di desa dan masih banyak desa yang tertinggal. 

Maraknya urbanisasi, terutama pascalebaran membuktikan adanya kesenjangan tersebut. Dalam sistem sekuler yang diterapkan saat ini, maraknya korupsi bahkan oleh pejabat desa menjadikan pemerataan hanya sebuah ilusi. Sistem desentralisasi yang diterapkan juga mengakibatkan tidak meratanya pembangunan, karena kemampuan daerah yang berbeda-beda.

Islam sebagai sistem pemerintahan dalam naungan Khilafah akan melaksanakan pembangunan secara merata di seluruh wilayahnya. Didukung sistem sentralisasi, semua daerah akan berada dalam pantauannya. Dengan pejabat dan pegawai yang amanah, akan terwujud desa-desa yang maju dan rakyat yang sejahtera, sebagaimana di wilayah kota. 

Dalam sistem Islam, sumber-sumber kekayaan alam akan dikelola secara optimal untuk kemaslahatan seluruh rakyat, tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Alokasi anggaran pembangunan akan dilakukan secara adil dan merata berdasarkan kebutuhan masing-masing daerah, tanpa membedakan antara kota dan desa.

Islam juga dengan sistemnya akan mengembangkan ekonomi kerakyatan di desa-desa dengan mendorong usaha-usaha produktif masyarakat, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan industri kreatif. Dengan demikian, desa-desa akan menjadi mandiri secara ekonomi dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. 

Dengan keberadaan sistem Islam, ketimpangan pembangunan antara kota dan desa dapat dihapuskan. Desa-desa akan maju dan sejahtera, sehingga urbanisasi dapat diminimalkan. Inilah wujud keadilan dan pemerataan pembangunan yang sesungguhnya. Wallahu alam bishawab.



Oleh: Alifa Adnidannisa
Sahabat Tinta Media

Jumat, 07 Oktober 2022

Waspada Modus Liberalisasi Melalui Program Pendampingan Desa Wisata

Tinta Media - Indonesia terkenal memiliki banyak tempat wisata, terutama pantai yang dapat memikat perhatian para wisatawan lokal maupun mancanegara. Karena itu, pemerintah menilai bahwa pengembangan wisata di berbagai lokasi eksotik yang ada di tanah air merupakan hal yang lebih menarik dibandingkan eksploitasi sumber daya alam. Bukan masyarakat lokal saja yang bisa menikmatinya, tetapi juga turis mancanegara.

Pemerintah saat ini sedang gencar meluncurkan program pendampingan desa wisata. Pendampingan ini menurutnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi segala sumber daya yang ada di desa wisata tersebut agar menarik bagi wisatawan dan berkelanjutan. 

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Sandiaga Uno, mengatakan bahwa desa wisata merupakan kekuatan untuk membangun Indonesia dan mendorong kebangkitan ekonomi melalui terbukanya lapangan kerja. 

"Saat pariwisata mengalami banyak tantangan di 2021, jumlah kunjungan ke desa wisata justru meningkat 30 persen," kata Sandiaga Uno dalam Rapat Koordinasi dan Kick Off Pendampingan Desa Wisata di Pullman Hotel, Jakarta, Kamis, 20 Januari 2022. (Tempo.co, 21/1/22).

Sebab menurutnya, desa wisata memiliki kekuatan dan momentum kebangkitan pemulihan ekonomi pascapandemi. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat pun akan terpenuhi, karena peluang usaha dan lapangan kerja terbuka lebar bagi warga sekitarnya. Ini adalah kesempatan emas untuk mendapat kompensasi lebih besar dengan memanfaatkan sisi keindahan alam yang ada, tanpa harus mengeluarkan modal banyak. 

Dalam mendampingi pengembangan desa wisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun menggandeng 20 perguruan tinggi dan 16 komunitas yang tersebar di berbagai daerahnya.

Sayangnya, upaya itu dilakukan tanpa mempedulikan kondisi lingkungan. Pada intinya, keberadaan objek wisata yang sudah menjadi ajang bisnis ini hanya berfokus untuk meraup keuntungan tanpa melihat apakah hal itu bertentangan dengan syariat Islam atau tidak.

Daya tarik pesisir pantai dijadikan objek oleh para pemilik modal untuk menggenjot pariwisata. Dalih mendongkrak perekonomian warga setempat dan menambah pemasukan APBD seolah menjadi alasan utama. Padahal, belum tentu rakyat mendapatkan kompensasi yang dijanjikan itu. Hal ini semakin memperpanjang daftar pembuktian bahwa basis dan corak ajang promosi wisata didasari atas kapitalistik.

Berbagai cara dilakukan untuk mengantongi izin dari pemerintah maupun peserta, menjadi senjata para kapitalis mengelabui masyarakat demi kepentingan yang dicapai. Masyarakat dengan mudahnya percaya bahwa ke depannya akan berpeluang meningkatkan citra pariwisata di mata dunia, berharap akan tercipta kesejahteraan bagi masyarakat. 

Di sisi lain, program desa wisata ini hanya memikirkan bagaimana cara menyuguhkan sesuatu agar terlihat menarik untuk menyedot para wisatawan berkunjung. Tanpa disadari, telah terjadi kerusakan alam, bahkan penyimpangan akidah seperti kesyirikan dan kemaksiatan lain. Tidak hanya itu saja, di tempat-tempat seperti itu, bisa dipastikan terjadi percampuran budaya negatif antara wisatawan asing dengan masyarakat setempat. Bahayanya, arus liberalisasi semakin deras karena pemikiran asing masuk dengan bebas tanpa filter yang bisa memengaruhi masyarakat.

Islam tidak melarang untuk mengembangkan potensi wisata, asalkan sesuai jalur syariah. Sebagaimana cara pandang negara Islam tentang pariwisata sebagai jalan dakwah, negara akan menerapkan seluruh hukum Islam yang di dalam dan luar wilayah. Tujuannya adalah untuk menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran di tengah masyarakat. Prinsip dakwah inilah yang dijadikan tameng untuk menutup pintu kemaksiatan di dalam negara, termasuk melalui sektor wisata tingkat internasional.

Dalam pandangan Islam, objek wisata bisa berupa potensi keindahan alam yang bersifat natural dan anugerah dari Allah Swt., seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun, dan lain sebagainya, termasuk peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Objek wisata seperti ini layak dipertahankan, sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat tersebut. 

Di sisi lain, promosi ajang wisata ini hanya memikirkan bagaimana cara menyuguhkan sesuatu agar terlihat menarik untuk menyedot para wisatawan berkunjung. Tanpa disadari, telah terjadi kerusakan alam, bahkan penyimpangan akidah seperti kesyirikan dan kemaksiatan lain. Tidak hanya itu saja, di tempat-tempat seperti itu, bisa dipastikan terjadi percampuran budaya negatif antara wisatawan asing dengan masyarakat setempat. Bahayanya, arus liberalisasi akan semakin deras. Ini karena pemikiran asing akan bisa masuk dengan bebas tanpa filter dan dapat mempengaruhi masyarakat.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Mulk ayat 15, "Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."

Berdasarkan ayat tersebut, berarti ketika kita melihat dan menikmati keindahan alam, akan tertancap kesadaran akan Kemahabesaran Allah Yang Maha Menciptakan. Sedangkan peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, menunjukkan kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah luar biasa. Hal ini semakin mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.

Bagi wisatawan muslim, objek-objek wisata ini justru akan dapat mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara untuk wisatawan nonmuslim, baik itu kafir mu’ahad maupun kafir musta’man, objek-objek ini dapat menjadi sarana untuk menanamkan keyakinan mereka akan Kemahabesaran Allah. Hal itu juga menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya. Dan tentunya akan diberlakukan hukum publik bagi wisatawan asing agar menutup aurat, tidak ikhtilat, tidak berkhalwat, tidak mabuk, ataupun berzina.

Sementara objek wisata dari peninggalan bersejarah peradaban lain, pemimpin negara akan menetapkan dua kebijakan.

Pertama, apabila objek-objek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus diperhatikan. Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh direnovasi jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka objek-objek wisata tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.

Kedua, jika objek-objek tersebut bukan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Maka, tempat-tempat tersebut akan ditutup, dihancurkan, atau diubah. Misalnya tempat hiburan yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Semua itu akan dihancurkan agar tidak bertentangan dengan syariat dan peradaban Islam.

Maka sangat jelas dan tegas bahwa pemimpin negara di dalam Islam hanya menetapkan kebijakan terkait objek wisata tersebut sebagai bentuk sarana dakwah, bukan dengan maksud lain, seperti mengeksploitasi tanpa batas untuk kepentingan ekonomi dan bisnis semata, yang hanya menguntungkan segelintir orang tanpa mempedulikan nasib rakyat. Selain itu, praktik kemaksiatan dan hal-hal yang mengandung kemudharatan tidak akan terjadi.

Hal ini dikarenakan sumber pendapatan negara diperoleh dari hasil pertanian, perdagangan, industri, dan jasa.

Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi negara dalam memenuhi segala kebutuhannya. Selain itu juga melalui sumber lain, seperti zakat, jizyah, kharaj, fa'i, ghanimah hingga dharibah. Semuanya ini memiliki kontribusi besar dalam membiayai perekonomian negara secara keseluruhan, tidak terkecuali dunia wisata, demi kemaslahatan umat.

Dengan demikian, negara sebagai pengemban ideologi Islam, akan tetap bisa menjaga kemurnian ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya asing yang datang dari luar. Pada saat yang sama, justru negara Islam bisa menyebarluaskan dakwah ke seluruh penjuru dunia, baik kepada penduduk muslim maupun nonmuslim di luar wilayah.

Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media


Senin, 01 Agustus 2022

Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), Mampukah Mewujudkan Kesejahteraan bagi Masyarakat?

Tinta Media - Di tengah tahapan Pemilu 2024, Jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten bersinergi untuk melakukan sosialisasi program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). KPU berharap, melalui pertemuan ini, semua elemen bisa menyukseskan Pemilu. Karena menurutnya, Pemilu akan menjadi cikal bakal menuju kesejahteraan masyarakat, dan yang lainnya.

Namun kenyataannya, pemilu yang dilakukan selama ini belum mampu membawa pada perubahan besar untuk rakyat.
Problem pemilu, mulai dari anggaran yang begitu fantastis, hingga politik uang, semestinya menjadi pelajaran bagi kita. Problem utama pemilu bukan pada proses pemilihannya, langsung atau tidak langsung. Karena kenyataannya, baik langsung ataupun tidak, pemilu lima tahunan ini tidak pernah melahirkan penguasa amanah, seperti yang rakyat harapkan.

Pemilu dalam sistem demokrasi akhirnya tak ubahnya seperti meja perjudian. Para pemburu kekuasaan dan semua yang berkepentingan, harus siap membayar berapa pun yang dibutuhkan demi mendapat keuntungan besar yang dijanjikan. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka siap melakukan cara apa pun demi memenangkan pertarungan. Sehingga, penyebaran hoax, politik uang, pembunuhan karakter, menjadi hal yang begitu lumrah dalam pesta yang diselenggarakan.

Proses Pemilu dalam Islam

Pemilu di dalam Islam hanyalah salah satu dari sekian prosedur praktis dalam pengangkatan khalifah/penguasa. Sebab, satu-satunya metode pengangkatan khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah adalah baiat. Kaum muslimin berbaiat kepada khalifah untuk memerintah berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah.

Artinya, Khalifah tidak berhak melegislasi hukum karena yang berhak membuat aturan hanyalah Allah Swt. Sedangkan Khalifah hanya berhak berijtihad, yaitu menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunah. Kekuasaan dalam Islam bersifat sentralistik, berpusat pada khalifah dan dibantu oleh para muawin-nya.

Sistem politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, bukan maslahat. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah individu yang menginginkan berkhidmat lebih dalam pada penciptanya. Sebab, jabatan dalam sistem Islam adalah amanah tempat mendulang pahala, sekaligus amanah yang berat karena Allah Swt. akan haramkan surga jika tidak amanah.

“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan diganjar oleh Allah Swt. dengan haramnya ia masuk surga. Jika ada sekelompok orang alias oligarki yang mencurangi suara, lalu dengannya ia memimpin, maka sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Pemilu Utsman bin Affan

Prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai'at boleh berbeda-beda. Di antara proses tersebut, yang masyhur dan sering dijadikan contoh dalam pembahasan pemilu sesuai syariat adalah pada saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah dijelaskan bahwa saat itu ketika Khalifah Umar tertikam, beliau mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslimin.

Khalifah Umar menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah dicalonkan hingga terpilih satu dari mereka. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama 50 orang lainnya untuk mengawal mereka dan menugasi Miqdad untuk mencarikan tempat untuk para calon berkumpul.

Setelah Khalifah Umar wafat dan para calon terkumpul, salah satu calon, Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dan mulai meminta pendapat kelima calon tersebut. Jawaban mereka mengerucut pada 2 kandidat, yaitu Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan.

Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pada pendapat kaum muslimin dengan menanyai mereka, siapa di antara Ali dan Utsman yang mereka kehendaki menjadi khalifah. Abdurrahman mengetuk pintu-pintu rumah warga, malam dan siang hari, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah Abdurrahman bertanya pada kedua calon, maka saat salat Subuh, pembai'atan Utsman sempurna.

Dengan bai'at kaum muslimin itulah Utsman menjadi khalifah. Dari kisah pengangkatan Utsman bin Affan, bisa kita tarik bahwa pemilihan khalifah benar-benar representasi dari umat. Sebab, khalifah adalah orang yang bertanggung jawab dalam seluruh permasalahan umat.

Calon khalifah adalah mereka yang terbaik dari sisi ketakwaan dan kapabilitas leadership-nya. Selain itu, yang ditugasi untuk mengawal berjalannya proses pemilihan adalah orang-orang terbaik. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan, selain kepentingan umat. Sebagaimana independensi Abdurrahman bin Auf sangat terlihat saat ia gigih mengetuk pintu-pintu rumah untuk bertanya, siapakah yang lebih layak menjadi Khalifah.

Khatimah

Oleh karena itu, mengharapkan pemilu yang bersih dan bebas dari kepentingan politik dalam sistem demokrasi adalah mustahil. Sebab, justru sistem inilah yang melanggengkan politik transaksional yang pada gilirannya akan menghantarkan pada kecurangan untuk menang. Walhasil, tidak akan pernah terpilih pemimpin yang amanah dan peduli pada umat.

Hanya dengan sistem politik Islamlah pemilu yang bersih akan terwujud sehingga akan terpilih pemimpin sesuai dengan keinginan umat, serta pemimpin yang amanah melayani umat. Sedangkan sistem politik Islam akan berjalan secara sempurna, hanya dalam pemerintahan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wahai kaum muslimin, Daulah Khilafah Islamiyah telah runtuh pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Sejak saat itulah, kaum muslimin tidak memiliki lagi sistem pemerintahan yang menaunginya. Oleh karenanya, marilah berjuang mewujudkan kembali khilafah agar terlahir para pemimpin dambaan umat yang akan membawa peradaban manusia menuju kegemilangannya. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab