Tinta Media: Desa Wisata
Tampilkan postingan dengan label Desa Wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Desa Wisata. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Oktober 2023

Desa Wisata dalam Pandangan Islam


Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung melalui dinas pariwisata dan kebudayaan, mengungkapkan bahwa hingga saat ini telah dibentuk 38 desa wisata yang digali potensinya serta keunggulan alamnya untuk menarik wisatawan mancanegara maupun lokal.

Setiap desa wisata tersebut mempunyai potensi yang beraneka ragam dengan keindahan alamnya yang  dipandang dapat mendongkrak perekonomian kreatif agar bisa eksis dan berkembang.

Dalam upaya mengembangkan desa wisata ini, Dinas Pendapatan Daerah  mengatakan bahwa pihaknya harus melibatkan pihak akademisi agar mampu meningkatkan perekonomian di daerah desa wisata tersebut. 

Pembangunan desa wisata diupayakan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan keuntungan bagi daerah setempat agar dapat menutupi anggaran pendapatan belanja daerah. Sayangnya, semua itu hanya sebatas pemikiran bagaimana memberikan suguhan yang dapat memikat dan menarik para wisatawan mancanegara maupun lokal untuk berkunjung ke desa wisata tersebut, tanpa memperhatikan bagaimana dampak buruk yang mungkin dapat muncul.

Ada hal yang tidak dapat dihindari, misalnya kerusakan lingkungan, seperti terganggunya ekosistem maupun habitat tempat hidup. Kemaksiatan yang berbalut hiburan, semisal hadirnya tempat-tempat hiburan malam yang menyediakan berbagai fasilitas, mulai dari minuman beralkohol, pornoaksi, perjudian, hingga prostitusi, memang telah menjadi hal biasa terdapat di area wisata. 

Hal tersebut akan menciptakan arus kebebasan yang semakin deras, yaitu masuknya budaya asing tanpa disaring. Selain itu, bisa Hal tersebut juga memengaruhi masyarakat lokal, hingga mengubah tatanan kehidupan, dari desa yang menjunjung nilai-nilai moral dan sosial yang tinggi, menjadi penuh dengan gaya hidup hedonis materialistis.

Inilah buah dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme  saat ini yang  hanya memikirkan asas manfaat semata. Lingkungan pun dijadikan bahan eksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi, bahkan mencampakkan dampak buruk yang akan terjadi pada kemaslahatan umat. 

Berbeda dengan sistem Islam yang melakukan pembangunan dan pengembangan desa semata hanya untuk melakukan pengaturan urusan rakyat secara maksimal. Kalau pun ada desa yang dijadikan sebagai objek wisata, akan dikembangkan oleh pemimpin sebagai sarana dakwah, dalam membentuk dan menguatkan  keimanan dan ketakwaan rakyatnya, tidak ada unsur bisnis sedikit pun.

Desa wisata dengan potensinya yang  sangat beragam, seperti pantai, pegunungan, air terjun, dan lain sebagainya, dijadikan sebagai sarana untuk memahami keberadaan Allah Swt. sebagai Sang Pencipta, yaitu sebagai sarana untuk bertaqarub kepada Allah. 

Begitu pun dengan berbagai peninggalan sejarah peradaban Islam yang akan menjadi sarana dalam memahami bagaimana penerapan sistem Islam kaffah diterapkan di masa lalu oleh sebuah negara. 

Dengan demikian, pariwisata tidak dijadikan sebagai sumber pemasukan kas negara, karena
negara dalam  Islam telah mempunyai sumber-sumber pemasukan kas negara yang tetap, melalui pos pos, di antaranya: zakat, jizyah, kharaj, fa'i, gonnimah, dan hasil sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum.
Semua pos tersebut, mempunyai kontribusi besar dalam membiayai perekonomian negara, sehingga menjadikan negara mandiri tanpa harus menzalimi rakyat seperti yang terjadi saat ini.   

Oleh: Yuli Ummu Shabira
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 26 Agustus 2023

Kapitalisasi di Balik Desa Wisata

Tinta Media - Pasca pandemi Covid-19, masyarakat gemar melakukan "healing" dengan berwisata alam. Pemerintah menanggapi kecenderungan ini dengan mengeluarkan Program Desa Wisata (DW). Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparenkraf), tahun 2023 ini telah ada 4.674 desa wisata di seluruh Indonesia, bertambah 36.7 % dari tahun sebelumnya.  Salah satunya adalah desa Alamendah yang baru-baru ini diresmikan dan mendapat bantuan dari Menparenkraf Sandiaga Uno.

Desa Wisata (DW) adalah sebuah program unggulan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang menjadikan desa sebagai destinasi wisata dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan keindahan alam dan usaha produktif sesuai potensi desa yang bersangkutan. Selain itu, DW juga diharapkan dapat mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota,  membantu UMKM masyarakat, dan meningkatkan pembangunan infrastruktur desa. 

Pelaksanaan DW dilakukan dengan cara mengenalkan semua aspek pedesaan pada wisatawan, sehingga di sana terlibat masalah sosial, ekonomi, dan budaya.  Pengelolaan DW tidak hanya dilaksanakan oleh masyarakat desa, melainkan dilibatkan juga unsur Pemerintah Daerah,  pelaku bisnis pariwisata/ pengusaha, komunitas/masyarakat, akademisi, dan media. Kerja sama kelima unsur ini dikenal dengan nama Kolaborasi Pentahelix. 

Kriteria suatu desa menjadi DW antara lain memiliki potensi alam atau buatan yang unik, jarak tempuh tidak terlalu jauh dari pusat kota, memiliki akses yang mudah ke lokasi dan masyarakat mendukung dengan menyediakan rumahnya sebagai "homestay" bagi wisatawan yang menginap. Masyarakat dan wisatawan dapat saling berinteraksi. Selain itu, harus tersedia fasilitas air bersih,  listrik, telepon dan rumah makan. 

DW memang menjanjikan kemajuan bagi desa, tetapi bila ditelisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti:

Pertama, membangun infrastruktur  dan fasilitas yang melibatkan banyak pihak memberikan peluang untuk terjadi bocornya dana (korupsi) di beberapa tempat, misalnya dalam perizinan,  pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas umum dan lain-lain. Terbukti dengan ditemukannya kasus dugaan korupsi seperti di Kab.  Sleman dan Aceh yang dilakukan oleh pejabat daerah.

Kedua, membangunan DW hanya untuk desa yang dekat kota, lalu bagaimana dengan desa-desa yang jauh dari kota, bahkan di pedalaman? Apakah mereka tidak mendapat perhatian? 

Banyak desa yang kondisinya memprihatinkan, tetapi belum tersentuh pembangunan dan tidak terperhatikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Jalanan rusak berkilo-kilo meter,  jembatan ambruk tidak kunjung diperbaiki, sekolah hampir ambruk, sarana kesehatan jauh, dll. 

Infrastruktur jalan dan fasilitas umum seperti itu tidak mungkin dibangun oleh warga desa sendiri, tetapi harus oleh pemerintah. Ini menunjukan bahwa pemerintah mengadakan pembangunan kalau pasti menghasilkan pemasukan. Orientasi ekonomi sangat kental dalam program DW ini. 

Ketiga, yang penting adalah adanya arus budaya asing yang masuk ke desa. Masyarakat desa di Indonesia umumnya beragama Islam dan perilakunya santun. Sementara, budaya asing yang berpaham liberalisme membawa kebiasaan berpakaian terbuka, pergaulan bebas seperti L68T, narkoba, minuman keras atau makanan haram, sangat bertentangan dengan Islam, tentu berbahaya bagi akidah masyarakat. Bergaul dengan wisatawan asing, bisa meruntuhkan akidah dan perilaku santun kaum muslim pedesaan.

Demikianlah negara dengan sistem kapitalisme mengembangkan pariwisata, memakai segala potensi negeri, termasuk desa untuk kepentingan ekonomi semata.  Negara menjadikan pajak pariwisata sebagai penggerak ekonomi tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan. 

Berbeda dengan Khilafah, dalam mengembangkan pariwisata didasari oleh penerapan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah akan menetapkan objek dan pelayanan wisata hanya yang makruf dan mencegah kemungkaran.  

Alam  dan peninggalan budaya Islam dikelola dengan tujuan untuk menanamkan pemahaman Islam kepada para wisatawan.   Peninggalan budaya non-Islam yang tidak digunakan untuk ibadah oleh pemeluknya akan dihancurkan demi menjaga akidah kaum muslimin. Makanan minuman hanya disediakan yang halal dan thayib. 

Daerah wisata oleh Khilafah hanya dijadikan sarana dakwah,  tidak dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi karena Khilafah mempunyai sumber tetap perekonomian negara, yaitu pertanian, perdagangan,  industri, dan jasa.  Sumber keuangan Khilafah juga didapat dari zakat, jizyah, kharaj, fa'i, ghanimah, dan dharibah. 

Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Wiwin, Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab