Tinta Media: Deradikalisasi
Tampilkan postingan dengan label Deradikalisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Deradikalisasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Desember 2022

Deradikalisasi, Komitmen Barat Memoderatkan Umat

Tinta Media - Peristiwa bom bunuh diri kembali terjadi di Indonesia, tepatnya di Astanaanyar, Bandung pada Rabu 7/12/2022. Peristiwa ini menewaskan 2 orang, yaitu satu orang pelaku pemboman dan satu orang anggota polisi. Hal ini sontak menjadi highlight di berbagai media masa.

Berdasarkan laporan yang di lansir media BBC News Indonesia (8/12/22), kepolisian berhasil mengungkap identitas pelaku, yaitu Agus Sudjadno yang dikenal sebagai Agus Muslim yang ternyata merupakan mantan napi teroris dan pernah menjalani rehabilitasi di lapas Nusakambangan. Terungkapnya identitas pelaku hasil dari penggeledahan tim densus 88 ini lantas menjadikan tanggapan yang serius berbagai pihak, baik dari kepolisian maupun pemerintah.

Kasus bom bunuh diri di Bandung menjadi pemantik peningkatan deradikalisasi, apalagi adanya dugaan 10% napi teroris kembali beraksi. Wakil presiden (Wapres), KH Ma’ruf Amin segera mengimbau MUI untuk mengefektifkan kembali program tim penanggulangan terorisme (TPT) untuk menanggulangi benih-benih terorisme.

“Terorisme ini mulai lagi. Dulu MUI di awal-awal membangun tim penanggulangan terorisme, dan kita melakukan beberapa langkah. Saya kira lembaganya masih ada, ya. Karena itu, ternyata ini masih perlu diefektifkan lagi," ujar Ma'ruf dalam sambutannya saat membuka Mukernas Kedua Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2022 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (8/12/2022).

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kejadian aktifnya kembali mantan napi terorisme ini diakibatkan adanya tantangan besar dalam proses rehabilitasinya. Sulitnya menjalankan program deradikalisasi tersebut karena kurangnya koordinasi dan kolaborasi antar pihak terkait. Di antaranya, yaitu harus ada kerjasama antara masyarakat dan keluarga karena tidak bisa hanya mengandalkan BNPT dan kepolisian melulu. (BBC News 8/12/22)

Benar, kasus terorisme tersebut memang harus diatasi. Namun, solusi yang diberikan pemangku wewenang sudah terbaca jelas. Peningkatan  efektivitas program deradikalisasi baik di lembaga rehabilitasi maupun di masyarakat berisi pengerdilan umat beragama untuk taat pada agamanya sendiri, khusunya umat Islam. 

Dari kejadian yang sudah-sudah, program ini menyasar pada kriminalisasi para ulama yang ingin berdakwah secara menyeluruh mengenai segala aspek dalam Islam. Namun, lagi-lagi berbagai pembatasan, bahkan pemboikotan dai-dai gencar terjadi. Para pendakwah hendaknya tidak boleh menyampaikan Islam secara fundamentalis, tetapi harus moderat dan bisa toleran terhadap agama lain.

Program yang berjalan sebelumnya pun hanya membuat gaduh sesama umat Islam. Pembubaran majelis-majelis kajian pun sering terjadi. Alasannya karena ilmu yang disampaikan mengandung unsur pemberontakan terhadap negara atau membawa ideologi lain. Padahal, sebenarnya ilmu yang disampaikan seluruhnya termasuk dalam Islam. Sudah sepatutnya kita sebagai muslim menjalankan ajaran agama secara keseluruhan atau kaffah, tidak setengah-setengah atau pilih-pilih. 

Hal ini bahkan diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya: 

”Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” 

Solusi yang tidak tepat pihak berwenang terhadap masalah ini jelas hanya menambah gaduh. Namun, jika di tilik lebih dekat lagi, program tersebut tak lain merupakan agenda besar kaum barat untuk menyerang secara sistematis umat muslim.

Komitmen ini makin nyata dengan pengesahan RKUHP dengan adanya Pasal 191 RKUHP yang menyatakan bahwa makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

Cakupan makar setidaknya ada tiga jenis, yakni; makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan makar terhadap pemerintah yang sah. Hal ini semakin menyederhanakan definisi makar  sehingga semakin mudah memidanakan seseorang. Negara juga semakin represif terhadap rakyat dan semakin gencar melakukan upaya deradikalisasi. 

Tidak adanya ruang bagi masyarakat untuk mengkritik penguasa yang zalim dan salah, sedikit demi sedikit membungkam suara umat. Ini menjadikan penguasa lebih otoriter. Hal ini juga menunjukkan bahwa negara makin taat pada komitmen global, yaitu memoderatkan para pemeluk agama, terkhusus Islam, menjadikan para pemeluknya tidak mau menampakan identitas agamanya. Mereka menjadi pemeluk yang biasa-biasa saja, toleran secara berlebihan, dan terpengaruh presepsi sesat liberal lainnya. Sejatinya, hal ini merupakan bentuk serangan sistematis terhadap Islam. Wallahualam bii shawab.

Oleh: April Rain 
Aktivis Dakwah

Rabu, 21 Desember 2022

Bom Bunuh Diri dan Program Deradikalisasi, Pemantik Islamofobia

Tinta Media - Pola yang sama terulang kembali. Indonesia, khususnya warga Bandung, digegerkan dengan kasus bom bunuh diri yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar pada Rabu (7/12). Akibatnya 9 anggota Polri dan 1 warga mengalami luka-luka, serta 1 anggota Polri meninggal (polri.go.id/9/12/22).

Berdasarkan Riset CNBC, jejak suram bom bunuh diri di Indonesia telah terjadi lebih dari 10 kali sejak tahun 2000 hingga Desember 2022 (cnbcindonesia.com/8/12/22). 

Pola yang sama terulang kembali, apalagi menjelang natal dan tahun baru. Padahal, anggaran negara untuk program pemberantasan terorisme dan deradikalisai Densus 88 tahun 2022 tergolong besar mencapai Rp1,5 triliun (merdeka.com/12/12/22). 

Tetap saja, aksi bom bunuh diri menggunakan bom panci masih terulang kembali.

Program Deradikalisasi Menyerang Islam

Tidak akan ada asap jika tidak ada api. Agar program deradikalisasi ini terus berjalan, butuh alasan untuk terus menciptakan kekacauan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Tiap kali kemunculan peristiwa bom bunuh diri, selalu dikaitkan bahwa pelakunya beragama Islam dan membawa ajaran jihad. Bahkan, diakhir episodenya selalu terpampang ayat-ayat Al-QurĂ¡n yang dijadikan legitimasi atas tindakan rusaknya, sekaligus meninggalkan jejak bagi penyidik.

Untuk apa? Jelas akan semakin merusak profil umat muslim dan makin suburlah pelaksanaan program deradikalisasi untuk melawan paham radikal dan teroris.

Sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo bahwa bidang pertahanan-keamanan harus tanggap dan siap menghadapi perang siber, menghadapi intoleransi, radikalisme, dan terorisme (menpan.go.id/1/2022).

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa ancaman terorisme perlu dicegah dengan salah satu program yaitu Deradikalisasi. Deradikalisasi merupakan upaya untuk mengurangi dan menghilangkan paham radikal seseorang (bnpt.go.id/3/2021).

Sebenarnya, istilah radikalisme adalah istilah umum tanpa disertai latar belakang agama mana pun. Secara bahasanya saja tidak ada kaitannya dengan agama. Tidak sebagaimana istilah perayaan idul fitri identik dengan muslim, natal identik dengan kristen. Aspek kesesuaian radikalisme, terorisme, dan Islam dari mananya? Mengapa tiga kata tersebut seolah menjadi paket komplit penyebab kerusakan yang ada?

Jika dikatakan bahwa terorisme merupakan aksi teror yang dilatarbelakangi oleh ideologi tertentu, mampukah berbekal bom panci lantas menjadikan negara ini dalam ancaman besar?

Jelas, program deradikalisasi menyerang Islam berikut para pengembannya. Program deradikalisasi menjadi alat legitimasi untuk memata-matai, membungkam bahkan menyakiti ulama, kyai, habaib, dan aktivis muslim lainnya. Sedangkan dampak bagi warga muslim yang lain, terutama para pemudanya terhantui dengan islamofobia. Mereka muslim, tapi takut atas identitas kemuslimannya. Kan aneh!

Mega Proyek Pecah-Belah Umat Islam

Kebijakan deradikalisasi di negeri ini tidak terlepas dari proyek global Amerika. Melalui sebuah lembaga penelitian dan kajian strategis global bernama RAND Corporation, Amerika mengeluarkan dokumen yang berisi grand design untuk memecah-belah umat Islam. Dokumen yang bertajuk Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies (2003) ini memberikan label kepada umat muslim menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekularis.

RAND Corporation menyebutkan, diantara 4 kelompok tersebut, kelompok fundamentalis-lah yang harus diwaspadai. Lembaga ini memberikan rekomendasi strategi pecah-belah umat muslim dengan cara memerangi kelompok fundamentalis. Sedangkan kelompok Islam tradisionalis, modernis, dan sekularis dianggap masih sejalan dengan nilai dan arah pandang kehidupan Barat.

Di dalam dokumennya secara jelas disebutkan kriteria kelompok fundamentalis meliputi, (1) menentang kebijakan luar negeri Barat, (2) menolak demokrasi, ekonomi kapitalis, nilai-nilai liberal, (3) Berupaya mempraktikkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara, (4) mendukung konsep Syariah-Khilafah.

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Sejatinya Islam hanya satu, yaitu Islam yang berjalan sesuai Al-Quran dan As-Sunnah. Menjadi keniscayaan Islam akan terwujud sebagai agama yang membawa rahmat ke seluruh alam. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (TQS. Al-Anbiya: 107).

Kaum Barat tidak berhak memberikan label atas kaum muslimin. Rasulullah SAW sudah terlebih dahulu menyebutkan umat muslim bagaikan satu tubuh yang tidak bisa dipisahkan, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR. Bukhari Muslim).

Berbagai stigma negatif tentang Islam jelas merupakan fitnah yang tak lepas dari mega proyek Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim. Ajaran tentang jihad dinarasikan negatif bahkan diframing secara mengerikan melalui aksi bom bunuh diri. Islam bukanlah agama kekerasan, bukan pula agama yang menebarkan ketakutan. Rasulullah SAW tidak pernah sedikitpun menyontohkan hal itu.

Terlepas dari aspek bahwa semua teror yang ada merupakan upaya global Barat dalam menghancurkan Islam, berbagai teror yang terjadi di negeri ini justru membuktikan matinya peran negara dalam memberikan jaminan keamanan dan keselamatan jiwa warga negaranya.

Oleh karenanya, kita sebagai muslim harus menjadi umat yang cerdas. Tidak termakan oleh strategi Barat dalam memecah-belah umat Islam. Seluruh penduduk bumi dan alam semesta akan merasakan rahmat jika umat Islam bersatu kembali. Sebagaimana kejayaan peradaban Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang berlangsung selama 13 abad lamanya. Peradaban Islam telah berhasil mengukir tinta emas yang mampu membawa umat manusia pada kemajuan peradaban dan keberkahan hidup. [Wallahua’lam]

Oleh: Azimatur Rosyida 
Pegiat Literasi Komunitas Tinta Emas Surabaya
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab